Jurnal Kecamatan: Tanah Abang Kota: Jakarta Pusat Provinsi: DKI Jakarta

Sembilan Catatan Kala Demonstrasi September

Catatan Anggraeni Widhiasih (Peneliti, Forum Lenteng)
Dari People Power menuju amok. Hal tersebut bukan pengalaman pertama di sejarah gerakan massa di Indonesia. Celakanya, hal ini sering sekali digunakan oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk melanggengkan kepentingan mereka selagi warga memperjuangkan kepentingan bersama. Berdasarkan pengalaman saya bersentuhan dengan demonstrasi kemarin (24 September 2019), tendensi itu terlihat. Saya sendiri tentu tidak tahu siapa oknum-oknum yang berniat menyisipkan kepentingannya di demonstrasi kemarin; saya hanya tahu saat malam semakin larut, seruan kemarahan dan kekerasan terasa di mana-mana.

Malam itu, saya datang ke area demonstrasi pada sekitar pukul 9 malam, yaitu di depan Hotel Mulia, Jalan Asia Afrika, Tanah Abang, tepatnya di seberang Gerbang 11 Gelora Bung Karno. Rencana awalnya, saya ingin ikut di demonstrasi pada siang hari, tapi karena harus bekerja, maka saya baru bisa ikut serta pada malam hari dengan niatan memberi logistik dan menjemput teman yang berada di area demonstrasi sejak siang harinya.

Ketika tiba di sana, suasana tenang. Teman-teman saya ternyata terpisah dari rombongannya. Sebagian ada yang di area Stasiun Palmerah, yang saat itu di sana tengah terjadi bentrok antara massa dan polisi. Video unggahan salah seorang teman saya di grup WhatsApp—yang baru saya lihat sekitar pukul sebelas malam—menunjukkan bahwa di kawasan Palmerah tengah ditembaki gas air mata; tembakan tampak dekat dari area stasiun. Bagi saya, penampakan pada rekaman itu mengejutkan, karena di dalam maupun di sekitaran stasiun KRL ada banyak warga yang tidak terlibat demonstrasi dan hanya mau pulang dari tempat kerja. Tentu, saya berpikir, penembak gas air mata itu adalah polisi, karena siapa lagi yang punya alat “penertiban” semacam itu, kalau bukan mereka…?

Kemudian, di tempat saya berdiri, di halaman kantor Kelurahan Gelora yang menghadap pintu belakang gedung DPR, suasana juga rusuh. Saya tidak tahu, apakah orang-orang yang rusuh itu adalah mahasiswa atau bukan, karena tidak banyak yang mengenakan jaket almamater. Saya sempat mendengar himbauan seseorang yang memastikan agar teman-teman sekampusnya tidak memakai jaket almamater malam itu. Jadi, ada kemungkinan juga bahwa mereka mahasiswa, meskipun itu belum tentu.

Jujur saja, saya sendiri bingung dengan tujuan aksi pada malam itu, mengingat Pemerintah sudah mengeluarkan keputusan untuk menunda pengesahan RUU KUHP. Bagi saya, yang kita butuhkan sekarang adalah “Rencana Tindak Lanjut” untuk mengawal dan mencegah pengesahan RUU KUHP yang bermasalah dan RUU blunder lainnya di periode DPR mendatang.

Layak disayangkan betapa malam itu kerumunan massa yang persisten di lokasi bertindak reaksioner sedangkan aparat pun agaknya lebih agresif dalam menangani situasi ini. Bentrok di antara mereka pun akhirnya mengakibatkan kerusakan fasilitas umum, seperti halte, pintu gerbang belakang gedung DPR, dan bus. Di titik lokasi tempat saya menyaksikan itu semua, polisi bergerak maju ke arah kami dan terjadilah hujan gas air mata.

Saya, dan beberapa teman perempuan yang saya hampiri, berlari menyelamatkan diri. Sembari berlari, saya melihat ada seorang mahasiswa mengenakan jas almamater berwarna biru—tapi saya tak tahu dari universitas mana—tengah digotong dengan kondisi kepala berdarah. Beberapa orang jatuh, tersungkur, mungkin karena menghirup udara yang terkontaminasi gas air mata atau karena kelelahan.

Saya mendesak teman-teman untuk segera pulang karena situasi bisa jadi akan semakin keruh. Saya tidak mau polisi salah tangkap—menangkap kami. Saat kami berusaha keluar dari area demonstrasi, lokasi tersebut sudah penuh dengan gas air mata dan barikade polisi. Jalan teraman hanyalah dengan memanjat pagar gedung GBK. Beberapa mahasiswa membantu kami memanjat. Dari situ, salah seorang teman dari teman saya kembali ke kerumunan massa; seorang yang tak kami kenal ikut keluar bersama saya dan dua teman perempuan yang saya jemput. Ia ternyata bukan mahasiswa dan dia datang dari Bogor. Saya sendiri bukan mahasiswa, meski saya punya aspirasi yang sama. Malam itu, saya berniat menjemput dua orang teman saya yang barangkali tak punya uang untuk pulang di saat situasi memburuk. Dan seperti yang saya khawatirkan, malam hari kemarin memang situasi memburuk.

Sesampainya kami di rumah, dalam pantauan saya di linimasa media sosial, tersiar kabar bahwa polisi mulai menangkapi sejumlah massa yang merusuh. Demikianlah, dari people power menuju amok, dan sialnya di tengah perjuangan massa untuk kepentingan dan keadilan bersama selalu ada oknum-oknum tak bertanggung jawab yang menyusup. Tentunya, oknum-oknum ini punya agenda politik kekuasaan lain yang tak menggubris kepentingan rakyat. Hati-hati provokasi!

About the author

Avatar

akumassa

Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media Berbasis Komunitas, atau biasa disebut AKUMASSA, adalah sebuah program pemberdayaan media yang digagas oleh Forum Lenteng sejak tahun 2008, berkolaborasi dengan komunitas-komunitas lokal di beberapa daerah di Indonesia untuk melaksanakan lokakarya dan memproduksi beragam bentuk media komunikasi (tulisan, gambar/foto, audio, dan video).

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.