Jurnal Kecamatan: Tanah Abang Kota: Jakarta Pusat Provinsi: DKI Jakarta

Sembilan Catatan Kala Demonstrasi September

Catatan Dhanurendra Pandji (Mahasiswa Universitas Terbuka, Angkatan 2018)
Selasa, 24 September 2019. Palmerah. “Ada anak bayi, Pak! Yang penting selamat dulu,” seorang bapak dengan bayi di tangannya meminta agar petugas stasiun mempersilakannya masuk. Petugas tersebut tengah kewalahan mengatur pintu akses alternatif di tengah kekacauan yang terjadi. Ia memberi jalan bagi bapak tersebut untuk masuk, sembari mengingatkan kami untuk tetap melakukan tap out di pintu yang sekaligus menjadi pintu masuk darurat.

Saya mengenali sensasi pedih yang dibawa udara Palmerah ketika bertemu mata saya. Gas yang pernah membuat saya berleleran ingus ini bercampur dengan udara di sekitar. Nyaris tak ada tempat yang memberi kami udara segar. Para pengunjuk rasa, sebagian dengan atribut kemahasiswaan yang masih dikenakan, berhamburan di jalan. Sebagian lainnya tergeletak kelelahan. Sebagian lagi berkumpul dan mengamati dari jauh. Sebagian berlari mundur, melangkah maju. Sebagian memaksakan diri masuk ke dalam stasiun dengan memanjat pagar atau menyelinap di antara celah sempit gerbang yang dikunci rapat. Sebagian lagi sibuk mengoleskan kembali pasta gigi yang mengering di sekitar mata mereka. Pasta gigi dipercaya dapat mengurangi rasa pedih yang ditimbulkan pada gas air mata. Ada yang mengoleskan hingga dahi, ada yang mengoleskannya dari kantung mata turun ke pipi. Seorang teman yang datang bersama saya percaya bahwa pasta gigi hanya membuat mata semakin pedih. Seorang lagi, yang baru pertama kali berhadapan dengan gas air mata, menyarankan agar kami lebih dulu mencari warung atau minimarket terdekat untuk membekali diri dengan masker fiber, atau setidaknya berbagi pasta gigi dengan para demonstran, sebab kami datang tanpa persiapan apa pun kecuali telepon genggam dan sebuah handycam.

Tak ada warung atau minimarket yang tersedia. Semua tutup lebih awal. Kami pun terus berjalan menuju titik kericuhan. Sesekali, saya berhenti dan memanjat pagar pembatas rel sambil menjaga sebelah tangan saya tetap stabil dalam merekam gambar. Kobaran api menyala dari persimpangan JL. Palmerah Timur dan JL. Gelora disertai suara ledakan berulang kali. Para demonstran di garda depan terus melempari batu ke arah komplek DPR & MPR, disusul tembakan gas air mata untuk memecah massa aksi. Massa yang berkumpul di depan gedung Permata Senayan berusaha mengatur sirkulasi lalu lintas dan memberi jalur khusus bagi iring-iringan ambulans. Mereka memberikan isyarat bagi pengendara roda empat untuk menutup jendela kendaraanya demi menghindari udara yang bercampur gas air mata masuk.

Suara ledakan kembali terdengar dari arah JL. Gelora. Saya tak cukup yakin dengan suara ledakan tersebut. Di kepala saya, entah petasan atau ledakan dari senapan pelontar jenis Arsenal Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) kaliber 40×46 mm yang dibeli Brimob, sehingga saya tak cukup bernyali untuk mendekati titik kericuhan. Di tengah-tengah kerumunan massa, saya tak lagi dapat mengidentifikasi mereka, kecuali lewat atribut yang mereka kenakan. Apakah mereka massa yang sama dengan aksi yang dilakukan siang hari sebelumnya atau pemuda setempat yang ikut turun ke jalanan, semua berbaur. Bahkan ada pula siswa sekolah menengah yang masih menggunakan seragam ikut berlari maju ke garda depan.

Seseorang bertanya kepada saya, “Bang, itu lagi bakar apa, ya?”. Saya hanya menggeleng. Kemudian saya balik bertanya pada pemuda berjaket hitam dengan suara yang sedikit berat tersebut, “Polisinya di dalam, ya?”

Ia menjawab, “Engga tahu gue, Bang.”

Tiba-tiba, ledakan terdengar kembali. Namun, kali ini, saya mendengar dari tempat yang berbeda. Massa yang berkumpul di tengah palang pintu kereta bertepuk tangan. Ledakan berikutnya datang dari dalam gedung DPR & MPR. Tak lain tembakan petasan, disusul gas air mata dari arah yang sama. Massa bergerak mundur. Saya melihat Pos Polsubsektor Palmerah membara. Satu unit sepeda motor dan tenda halte Transjakarta tergeletak di jalan.

Saya mengantisipasi ledakan kericuhan yang lebih besar dengan menepi di sekitar Stasiun Palmerah. Tak lama kemudian, beberapa massa aksi yang berlindung di area stasiun melompati pagar dan merapatkan barisan mereka menuju JL. Gelora. Perlahan saya mendekat untuk mengambil gambar. Namun, tembakan petasan menghujani. Sebuah kaleng gas air mata melayang di atas saya dan mendarat persis di ujung peron 2 stasiun. Massa terpecah, dan saya berlari menerobos asap menuju stasiun. Asap masuk sampai ke dalam kereta yang berhenti di peron 1. Massa aksi yang terpukul mundur, kini mendobrak gerbang komplek DPR & MPR. Gerbang berhasil terbuka dan massa aksi berbondong masuk. Polisi memukul mundur massa dengan tembakan gas air mata hingga ke dalam stasiun. Saya nyaris kehilangan pandangan akibat derasnya air mata yang keluar. Situasi semakin kacau ketika banyak korban berjatuhan akibat kesulitan bernapas. Di antara korban tersebut, tak terkecuali, masyarakat awam yang terjebak di dalam stasiun. Peserta aksi dari berbagai universitas melantangkan suaranya, berusaha mengumpulkan anggota mereka. Petugas stasiun kewalahan menjaga situasi tetap kondusif. Beberapa korban dibawa lari menggunakan ambulans. Beberapa lainnya diberikan pertolongan seadanya.

Kondisi di JL. Palmerah Timur berangsur sepi. Tak terdengar lagi suara ledakan atau tembakan gas air mata. Petugas stasiun mengumumkan kereta terakhir menuju Tanah Abang segera tiba. Udara terlalu pedih untuk dihirup lama-lama. Massa pun berdesakan menaiki kereta. Saya dan dua teman saya yang sebelumnya terpisah, berkoordinasi melalui telepon untuk bertemu di satu titik. Kami mendapat informasi dari teman kami yang masih berada di sekitaran GBK, bahwa bentrokan masih terjadi. Saya sendiri menyayangkan bagi siapa saja yang bersikap reaktif. Dalam situasi demikian, akan sangat riskan bila terlibat dalam bentrokan yang lebih besar. Terang, tuntutan belum juga dikabulkan. Dan perjuangan di lapangan masih terus berjalan.

About the author

Avatar

akumassa

Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media Berbasis Komunitas, atau biasa disebut AKUMASSA, adalah sebuah program pemberdayaan media yang digagas oleh Forum Lenteng sejak tahun 2008, berkolaborasi dengan komunitas-komunitas lokal di beberapa daerah di Indonesia untuk melaksanakan lokakarya dan memproduksi beragam bentuk media komunikasi (tulisan, gambar/foto, audio, dan video).

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.