Kontribusi Sukabumi, Jawa Barat

Sedikit Cerita tentang Serikat Buruh di Parungkuda

Spanduk May Day
Avatar
Written by Dian Komala

Sabtu, 27 April 2013, ketika menuju kamar kecil, aku melihat ada banyak selebaran pengumuman ditempel di dinding-dinding bagian dalam gedung pabrik tempatku bekerja, di PT. Nina Venus Indonesia, Jalan Angkrong, Parungkuda, Kabupaten Sukabumi. Isinya adalah pemberitahuan tentang pergantian hari libur untuk buruh pabrik. Semua buruh di PT. Nina diwajibkan masuk kerja pada tanggal 9 Mei, yang merupakan hari libur nasional, sebagai pengganti hari tidak masuk kerja pada Hari Rabu, 1 Mei 2013. Bagi pihak perusahaan, May Day seharusnya bukan hari libur.

Spanduk May Day.

Tiga hari kemudian, temanku, Zikri, bertanya, “Gimana hasil obrolanmu dengan ketua serikat buruh di sana?”

“Tidak memuaskan,” jawabku. “Sepanjang obrolan, mereka selalu mempertanyakan status keanggotaanku di serikat, apa aku udah jadi anggota atau belum.”

Emangnya harus daftar dulu baru bisa tahu tentang serikat buruh itu?”

Gak tahu, deh! Pokoknya, setiap aku bertanya tentang serikat buruh itu, tentang struktur organisasinya, gimana kerjanya…, semuanya deh, obrolan selau diarahkan ke sana. Bahkan, waktu aku nyoba ngasih ide bikin blog untuk serikat buruh, mereka bilang aku harus jadi anggota dulu. ‘Kalau tidak begitu, statusnya gimana?’ katanya…”

Serikat buruh yang kami perbincangkan itu adalah Serikat Buruh Industri Plastik – Gabungan Serikat Buruh Independen, disingkat SBIP-GSBI, tetapi biasanya buruh-buruh di PT. Nina menyebutnya dengan ‘GSBI’ saja. Beberapa hari belakangan, aku tertarik dengan keberadaan serikat buruh ini, dan sempat terniat ingin bergabung ke dalamnya meskipun belum menyerahkan formulir pendaftaran yang aku dapatkan lebih dari sebulan yang lalu.

Baju seragam GSBI, yang mengusung prinsip independen, militan, patriotik, dan demokratis.

Menurut Anton, ketua GSBI PT. Nina Venus Indonesia, yang sempat berbincang denganku dua hari yang lalu, buruh se-Parungkuda akan melakukan orasi di halaman taman Monumen Bojongkokosan, yang berjarak sekitar sepuluh menit menaiki angkot dari Stasiun Parungkuda ke arah Bogor.

Taman Monumen Bojongkokosan.

Kemarin, pagi hari, 1 Mei 2013, Teh Asih, teman satu pabrik di PT. Nina Venus Indonesia yang ngontrak kamar di rumahku sedang mengepel lantai. Sambil menikmati segelas kopi, Zikri bertanya padanya, “Gak ikutan demo ke Bojongkokosan, Teh?”

Nggak, ah! Takut rusuh!” jawab Teh Asih. “Belum demo aja, kemarin udah ada pabrik yang kebakar.”

“Oh, yang Hari Minggu kemarin itu, ya?” kata Zikri. Dia dan aku sempat melihat kepulan asap memenuhi langit di arah Bogor ketika menaiki angkot dari Parakansalak menuju Stasiun Parungkuda. “Itu di mana, Teh? Kenapa bisa terbakar?”

“Pabrik garmen, katanya. Menurut gosipnya, ada yang bilang karena puntung rokok, tapi ada juga yang bilang karena lampu listrik.”

“Udah kayak pertanda akan terjadi apa-apa ya, Teh?” kata Zikri bercanda sementara Teh Asih menanggapinya dengan tertawa.

Tapi, toh ternyata memang tidak terjadi kerusuhan atau malapetaka apa-apa di Bojongkokosan. Penyelenggaraan demonstrasi oleh para buruh yang dikawal ketat oleh satuan keamanan dari Polres Kabupaten Sukabumi dan TNI itu berlangsung biasa-biasa saja. Barisan massanya tidak seheboh di Bundaran HI ketika aku berkesempatan melihat acara peringatan May Day di Jakarta tahun lalu. Yang tidak biasa adalah justru kebingunganku dengan keberadaan Serikat Buruh di Parungkuda, khususnya GSBI di PT. Nina Venus Indonesia, sehubungan dengan kegunaan dan fungsinya bagi kesejahteraan para buruh di Parungkuda.

Yang aku bayangkan, seharusnya serikat buruh itu bertugas sebagai wakil buruh untuk pengantar pesan aspirasi buruh. Artinya, serikat buruh harus melakukan segala usaha untuk membantu semua buruh tanpa terkecuali. Menurut hasil diskusiku dengan Zikri, serikat buruh menjadi penting bagi penyelesaian masalah-masalah buruh, seperti masalah perampasan hak buruh akan aset-aset publik, masalah akses pendidikan bagi kaum buruh, masalah kesetaraan hak dan jaminan kesehatan, khususnya bagi kaum perempuan dan anak, serta masalah perlindungan kemanan dan kenyamanan kerja buruh, terutama bagi buruh migran di luar negeri.

Aku pernah bertanya kepada Munir dan Teh Amira , temanku di pabrik, tentang alasan mereka mengapa bergabung ke serikat buruh. “Supaya punya tempat berlindung,” kata mereka.

Munir berkata, “Kita tidak tahu 5 tahun lagi, entah nanti pabrik bangkrut, terus kita di-PHK, jadi ada yang iniin kita lah… biar gak di-PHK.”

Sedangkan Teh Amira berkata, “Awal-awal kenaikan gaji buruh mengikuti UMR, banyak buruh yang ditekan dan gosipnya akan diancam keluar. Terus masuk ke serikat, biar ada tempat berlindung.”

Namun, aku bertanya-tanya di dalam hati, “Tempat berlindung yang seperti apa?” Bagaimana mungkin menjelaskan tempat berlindung itu hanya dengan menyebutnya sebagai suatu wadah yang bisa menjamin kenaikan gaji atau aman dari PHK saja. Tidak ada penjelasan yang lain? Kesan yang aku dapatkan adalah GSBI, atau serikat buruh umumnya di Parungkuda, dianggap ada kalau soal gaji saja, dan ketika gaji sudah memuaskan, ya sudah. Teh Puput pun, temanku yang lain, pernah bercanda waktu aku bertanya apakah dia akan ikut serta GSBI untuk demo atau tidak di Bojongkokosan, “Arek naon demo, pan geus naek gaji na?!” (“Ngapain demo, kan udah naik gajinya?”)

Di sisi lain, penjelasan Anton sebagai ketua Serikat Buruh GSBI PT. Nina juga tidak memuaskan. Ketika aku bertanya tentang apa contoh konkret yang bisa diperjuangkan oleh GSBI soal hak buruh, dia menjelaskan seperti ini:

“Kalau perempuan, kan punya hari libur karena mens dan hamil. Nah, dengan adanya serikat, hak bagi buruh laki-laki juga akan diperjuangkan, misalnya. Jadi semuanya adil.”

“Ha?!” itulah ekspresiku ketika mendengar jawabannya. Aku benar-benar bingung. Sebenarnya, adil yang diinginkan serikat buruh itu yang seperti apa, ya?

Awalnya Zikri kurang percaya dengan ceritaku itu. “Masa begitu, sih cara berpikirnya?” ucap Zikri. Namun, begitu, kebingungan ini tidak mengurungkan niat kami untuk menyaksikan bagaimana situasi demonstrasi yang akan dilangsungkan di Monumen Bojongkokosan pada hari May Day.

Kami tiba sekitar pukul setengah sembilan pagi di Monumen Bojongkokosan. Suasana masih sangat sepi, hanya ada beberapa polisi yang sedang berjaga-jaga.

Monumen Bojongkokosan masih sepi pada pagi hari.

“Demonstrasinya mulai jam berapa, Pak?” tanya Zikri kepada salah seorang polisi.

“Seharusnya jam delapan, tapi gak tahu, deh. Belum ada laporan lagi. Ditunggu saja!” jawab polisi tersebut. “Dari mana?”

“Saya mahasiswa, Pak, mau nulis aja buat blog tentang demo buruh di Parungkuda pas Hari Buruh,” kata Zikri. “Kami ijin ambil-ambil gambar, ya, Pak?”

“Ya, silahkan!”

Di sepanjang pagar taman Monumen Bojongkokosan, dipampang berbagai spanduk, salah satunya Koalisi Buruh Sukabumi (KBS) dan GSBI. Pada spanduk itu tertulis: “Gerakan Buruh Indonesia Melawan Perampasan Upah, Tanah, Kerja & Union Busting”. Di depan kantor Badan Pembina Pelestarian Nilai-Nilai 45, yang terletak di sebelah taman Monumen Bojongkokosan, juga terpampang spanduk besar yang berisi ucapan selamat Hari Buruh Internasional dari Polres Sukabumi. Di sana juga ada mobil bertuliskan “Donor Sekarang” yang melayani para sukarelawan yang ingin mendonorkan darahnya.

Spanduk May Day dari Koalisi Buruh Sukabumi (KBS) dan GSBI.

“Lah, itu mereka pada ke mana?” seruku ketika melihat rombongan motor mengenakan baju warna biru-biru (seragam GSBI) melintas di depan taman Monumen Bojongkokosan, menyusuri Jalan Raya Parungkuda ke arah Cicurug. Hingga detik itu, kami tidak tahu bahwa ternyata barisan massa buruh berkumpul di Cicurug dan akan berjalan kaki menuju Bojongkokosan untuk berorasi. Kami baru mengetahuinya setelah jam makan siang, pukul 13:06 WIB, ketika rombongan massa gabungan buruh se-Parungkuda datang dengan iring-iringan mobil panggung berisi sound system dan bendera-bendera serikat buruh. Menjelang siang itu, Bojongkokosan sepi, hanya ada beberapa buruh yang datang duluan, dan para petugas keamanan.

Suasana di Monumen Bojongkokosan ketika para buruh yang tiba terlebih dahulu di sana menunggu rombongan massa dari Cicurug.

Suasana di Monumen Bojongkokosan ketika para buruh yang tiba terlebih dahulu di sana menunggu rombongan massa dari Cicurug.

Beberapa buruh yang menunggu rombongan massa dari Cicurug juga menyiapkan bendera serikatnya masing-masing.

Beberapa buruh yang sudah tiba terlebih dulu di Monumen Bojongkokosan.

Beberapa buruh dan petugas keamanan mencari tempat berteduh di bawah pohon.

Suasana makan siang petugas keamanan.

Saat rombongan buruh yang berjalan kaki itu tiba di Bojongkokosan, seorang orator yang merupakan Koordinator Koalisi Buruh Sukabumi (KBS), Bung Dadeng Nazarudin, menyapa para buruh.

Bung Dadeng Nazarudin, Koordinator Koalisi Buruh Sukabumi (KBS).

“Hidup buruh! Hidup buruh! Hidup buruh!”serunya. “Ayo temen-temen, semuanya bergabung ke tengah, jangan ada yang berteduh. Bagi buruh-buruh yang berteduh, kalau perempuan, saya sumpahi akan hitam keling, dan bagi buruh laki-laki, saya sumpahi tidak akan pernah bisa bersenggama dengan buruh perempuan itu!”

“Hidup buruh! Hidup buruh! Hidup Buruh!” serunya lagi. “Hidup… buruh… perempuan!” serunya diakhir.

Rombongan massa buruh dari Cicurug mendekati Monumen Bojongkokosan.

Rombongan massa buruh dari Cicurug mendekati Monumen Bojongkokosan.

Rombongan massa buruh dari Cicurug mendekati Monumen Bojongkokosan.

Rombongan massa buruh dari Cicurug mendekati Monumen Bojongkokosan.

Rombongan massa buruh dari Cicurug mendekati Monumen Bojongkokosan.

Bung Dadeng menyampaikan pidato politiknya, yang secara garis besar berisikan tentang sejarah Hari Buruh, di mana pada tahun 1890 merupakan momentum bagi kesejahteraan buruh karena ada kesepakatan dalam Konvensi ILO No. 01 tahun 1919 dan Konvensi Internasional No. 47 tahun 1935 yang menetapkan jam kerja buruh selama 8 jam sehari, mengganti ketetapan lama, yakni 18 jam sehari.

“Tapi, apa yang kawan-kawan rasakan di Sukabumi? Kita bekerja lebih dari 8 jam. Kita pulang hingga pukul 11!” teriaknya keras dan dilanjutkan dengan menyumpahi pejabat-pejabat yang ada di Komisi Perburuhan, tanpa mau menyebut fraksi partainya, karena buta dan tuli dengan tuntutan-tuntutan para buruh di Parungkuda selama ini.

Dalam pidato politiknya itu pula, Bung Dadeng menyampaikan 10 tuntutan buruh. Butir pertama, buruh menuntut penghapusan Kepmen No. 231 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Upah Minimum, dan menuntut diberlakukannya Upah Minimum Nasional. “Harga bala-bala di Jakarta dan di Sukabumi sama, betul tidak kawan-kawan?! Harga indomie di Jakarta dan di Sukabumi sama, betul tidak kawan-kawan?!”

Spanduk berisi 10 tuntutan buruh pada May Day 2013.

Butir kedua, buruh menuntut penghentian pemberangusan serikat buruh. Butir ketiga, buruh menolak Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta menuntut jaminan sosial bagi kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia di mana kewajiban itu ditanggung oleh negara. Butir keempat, buruh menuntut dihapuskannya sistem kerja kontrak dan outsourcing. Butir kelima, buruh menolak privatisasi aset-aset negara. Butir keenam, buruh menuntut pemberlakuan Undang-Undang yang pro buruh. Butir ketujuh, buruh menuntut perlindungan sejati bagi buruh migran Indonesia sekaligus juga menuntut dicabutnya Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri (PPTKILN) No. 39 Tahun 2004.

Butir kedelapan, buruh menuntut supaya tanggal 1 Mei dijadikan sebagai hari libur nasional. Aku dan Zikri sempat membaca berita terkait hal ini. Katanya, Presiden SBY telah menyetujui untuk menjadikan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional meskipun baru akan berlaku tahun depan. “Jadi, tidak ada lagi hari libur nasional lain dijadikan hari kerja oleh perusahaan untuk mengganti tanggal 1 Mei!” seru Bung Dadeng.

Butir kesembilan, buruh menuntut supaya dihentikan liberalisasi perdagangan. Dan di butir kesepuluh, para buruh menuntut dihentikannya perampasan upah, tanah, dan kerja, serta menuntut dilaksanakannya land reform sejati bagi kaum buruh. Butir kesepuluh itu yang menjadi tema May Day di Parungkuda pada tahun ini.

Ke sepuluh butir tersebut dituliskan pada spanduk, tertanggal 1 Mei 2013 di Parungkuda, oleh gabungan serikat-serikat buruh, yakni  Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Serikat Pekerja Danone Aqua Group (SPDAG), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), dan Serikat Pekerja Nasional (SPN).

Pada sesi akhir pidato politiknya, Bung Dadeng menyebutkan bahwa demonstrasi hari itu juga didukung oleh pihak pemerintah setempat, yakni ajaran Muspida (Musyawara Pimpinan Daerah), seperti Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi Badri Suhendi dan Kapolres Sukabumi AKBP M Firman, dan juga dihadiri oleh Wakil Bupati Kabupaten Sukabumi Akhmad Jajuli, dan Kepala Disnakertrans Aam Amarhalim.

Beberapa pejabat juga turut hadir dalam kegiatan orasi memperingati Hari Buruh Internasional di Monumen Bojongkokosan.

Namun, yang membuat kami bingung, orasi ini semakin lama terasa seperti kampanye. Pada pidato itu disebutkan bahwa Pak Aam, Kepala Disnakertrans, berencana akan mencalonkan diri menjadi Bupati pada periode selanjutnya. “Kami para buruh yang tergabung dalam Koalisi Buruh Sukabumi, sangat mendukung beliau, karena beliau sangat dekat dan mau bekerjasama dengan kita,” kata Bung Dadeng. Dia bahkan memuji-muji para pejabat yang berdiri di atas panggung mobil karena rela berpanas-panas ikut mengiringi massa buruh yang berjalan kaki dari Cicurug menuju Bojongkokosan. Ketika nama Kepala Disnakertrans itu diteriakkan, “Hidup Aam!”, para buruh yang berkumpul di depan panggung turut berteriak, “Hidup!”

Suasana ketika orasi di Bojongkokosan.

Suasana ketika orasi di Bojongkokosan.

Setelah Bung Dadeng, satu per satu pejabat-pejabat tersebut juga memberi kata sambutan. Wakil Bupati sangat mengapresiasi kegiatan aksi damai yang berlangsung hari itu dan memuji-muji buruh yang begitu semangat bertahan di bawah panas terik matahari. Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi juga demikian, dan sangat menghimbau para buruh untuk tidak segan-segan menyampaikan suaranya kepada jajaran dewan agar dapat dipertimbangkan dalam penentuan kebijakan mengenai buruh.

Wakil Bupati memberikan sepatah dua patah kata.

Ketika giliran Kepala Disnakertrans, dia berseru sebagaimana Bung Dadeng sebelumnya, “Hidup Buruh! Hidup Buruh! Hidup Buruh!” setiap seruannya disambut oleh para buruh. Kemudian, dia berseru lagi, “Perempuan… buruh!” katanya pelan sambil menunjuk rombongan buruh perempuan yang berteduh di bawah pohon di depan mobil panggung, dan disambut dengan tertawa kecil oleh buruh laki-laki.

Kepala Disnakertrans memberikan sepatah dua patah kata.

Pada pidato Kepala Dianakertrans tersebut, disampaikan bahwa sudah ada Surat Keputusan (SK) Upah untuk sektor makan dan minuman. Menurut SK tersebut, UMR buruh di sektor makanan dan minuman meningkat dari 1,2 juta menjadi 1,4 juta. Kabar ini disambut dengan gembira, dan pada saat itu pula SK itu dibacakan secara lengkap di hadapan para buruh yang hadir.

Dirasa-rasa, seperti komentar Zikri kepadaku, demonstrasi KBS kemarin di Bojongkokosan lebih berbentuk acara seremonial untuk menyampaikan dukungan daripada menyampaikan protes. Selain menyampaikan 10 tuntutan dan pengumuman tentang SK baru mengenai UMR tersebut, acara ini juga diisi dengan pemberian cinderamata dari KBS kepada dua orang buruh berprestasi yang dianggap memiliki kontribusi besar dalam organisasi.

Akhirnya, sekitar pukul dua siang, aku dan Zikri memutuskan untuk pulang ke rumah karena acara orasi telah selesai dan ditutup dengan sujud syukur bersama, foto-foto, dan pertunjukkan kesenian oleh buruh-buruh yang masih bertahan di depan panggung hingga orasi selesai.

Buruh melakukan sujud syukur di akhir kegiatan orasi.

Buruh melakukan foto-foto diakhir orasi.

Di angkot, aku berkata pada Zikri, “Agak menyedihkan, ya…?! Demonya cuma begitu doang…”

“Ya, namanya juga serikat buruh, rentan oleh konflik kepentingan,” Zikri menanggapi. “Aneh, ya, aspirasi buruh perempuan kurang diangkat. Padahal, sebagian besar buruh di sini perempuan, kan?”

“Ya, gitu deh…!” kataku pelan.

About the author

Avatar

Dian Komala

Dian Komala, akrab disapa Ageung, tinggal di Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sehari-harinya ia bekerja sebagai buruh pabrik wig di Parungkuda. Ageung turut aktif di Forum Lenteng dalam Program akumassa, untuk lokasi dampingan Lenteng Agung (Jakarta Selatan) dan Depok. Selain menjadi salah satu penulis aktif di jurnal online www.akumassa.org hingga sekarang, Ageung juga mengelola blog pribadi, bernama www.dariwarga.wordpress.com, yang mengangkat narasi-narasi warga Parungkuda, khususnya warga masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya.

13 Comments

  • menurut hampir rata-rata semua demo buruh selalu terjadi seperti itu
    saudara-saudara dan warga di rumahku kebanyakan pekerja sebagai buruh karena memang para orang tua kakakku atau orang terdahulu bekerja menjadi buruh sehingga mereka seperti di cetak menjadi seperti itu.

    dan mereka kebanyakan tidak tau menahu tentang fungsi demo dan apa yang mereka perbuat dengan berdemo, dan kadang mereka memilih untuk pulang daripada ikut berdemo

  • Ya emang begitu… hahaha … gmn yak?! Ya sama keadaannya kayak di sini (parungkuda)..
    Oh iya, btw, selamat ulang tahun buat Kinetik yak.. 😀

  • Ya bagaimanapun keberadaan serikat buruh (atau komunitas) itu penting… harus ada inisiatif dan usaha untuk membangun organisasi serikat yang ideal, yang bisa memberikan atau membuka peluang bagi akses-akses yang diperlukan oleh buruh untuk meningkatkan kualitas penghidupan dan hak-haknya… pendidikan alternatif itu wajib.. hahaha #asyek

  • Bagus.
    Ageung sebagai buruh melihat dengan obyektif tentang serikat buruh, dengan mempertanyakan keberadaan serikat. Selama belum punya alasan tepat untuk bergabung, bukan berarti ga memperjuangkan hak-hak buruh. Menulis merupakan langkah paling benar untuk berjuang, memperjuangkan hal yang sama dengan berdemo. Dan kenaifan tulisan yang sangat terasa berperspektif perempuan ini semoga meyentuh ke sebuah prinsip dasar yang paling hakiki dari segala perjuangan.

  • Bagus, ageung, masuk dlm serikat memang bukan satu-satunya jalan untuk berjuang.

    Tapi ada catatanku soal keanggotaan dan bergabung: ya organisasi manapun memang harus begitu. Keanggotaan memang harus jelas. Kalau tidak, akan rentan main klaim, penyusupan, dan penggembosan, seperti yang terjadi selama ini sepanjang sejarah serikat buruh di Indonesia. Jadi untuk menilai “keketatan aturan” soal keanggotaan itu, perlu dipertimbangkan sejarah serikat buruh yang tak pernah mudah, bahkan sampai hari ini. Percakapan di awal tulisan ini seperti melupakan sejarah kekerasan yg dialami serikat buruh selama ini. Bahkan sampai sekarang mereka masih diinteli. Tentu bisa dimaklumi kalau mereka agak secretive ttg struktur organisasi, struktur kerja dsb bagi yang bukan anggota. Mereka kan tidak bisa tahu orang yang tanya2 ini intel atau bukan. Ini bukan paranoid, tapi kenyataannya memang begitu. Gw baru saja bikin diskusi di Univ. Negeri Malang, masih aja ada intel kayak diskusi di TUK 17 tahunan lalu. Temen2 di Blitar masih dikejar2 krn muter The Act of Killing. Apalagi serikat buruh.

  • @ronny: Waktu ageung ngobrol sama Anton (ketua serikat GSBI PT. Nina), ageung tidak terpikir sama sekali soal kecurigaan mereka tentang ageung seorang intel karena kami sudah berteman cukup lama. Lagipula obrolannya tidak menjurus ke persoalan internal organisasi secara mendetail lebih kepada obrolan tentang masalah-masalah apa yang diurus oleh serikat. Tapi setelah membaca komen kamu, ageung jadi berpikir ulang, mungkin ada benarnya. Semoga saja yang kamu jelaskan itu memang ada dalam GSBI. Yang jelas ageung akan mengenal lebih jauh tentang serikat buruh ini dan semoga dapat ikut berkontribusi. Btw, kira-kira kalau mau nambah wawasan tentang buruh dan serikat buruh, baca buku apaan yak? Kasih rekomendasi dong, mas ron…. yang ringan-ringan aja hehehe…

    @cotty: Memang sih, cot. Selain blog, ageung sempet nawarin ide bikin mading di pabrik. Tapi, lagi-lagi, karena ageung belum jadi anggota, mereka kurang menyambut ide tersebut. Mungkin yang dibilang ada benernya. Ageung akan terus berusaha untuk bertukar pikiran lebih jauh dengan si anton. Mudah-mudahan kegiatan tulis menulis bisa dilakukan. Doain aja, cot.. hehhee

  • @Roni Agustinus: Coming soon buku kumpulan tulisan Ageung. Sedang diedit, bisa dong Marjin Kiri berkontribusi. Amin

  • Tulisan ini walau singkat mampu memperlihatkan masalah mendasar dalam serikat buruh. Sayangnya meskipun pemaparan kisahnya lengkap, penulis justru terlihat kurang mengkritisi hal yang diangkatnya tersebut. Opini pribadi penulis mengenai apa yang dilihatnya belum digali lebih dalam di tulisan ini.

    Saya sebetulnya tidak begitu banyak tahu tentang dunia buruh. Tapi, sepemahaman saya, sepertinya kebanyakan aksi serikat buruh itu kayak pemadam kebakaran, ya. Hanya bergerak ketika ada gejolak.

    Seperti yang dituturkan di atas, buruh yang menggabungkan dirinya dalam serikat buruh tampaknya bukan karena merasa memiliki dan memahami nilai-nilai yang dianut serikat buruh itu maupun merasa perlu saling memperjuangkan nasib sesama buruh, melainkan karena ada rasa ketakutan yang komunal. Tapi, ya itu, yang komunal hanya ketakutannya. Tapi, ketika kepentingan sendiri gak terusik, gak ikutan bergerak.

  • Salam perjuangan klas buruh
    Saya selaku ketua umum serkat buruh dari salahsatu perusahaan ,yang nerafgiliasi ke GSBI, merasa prihatin dengan keadaan buruh disukabumi, khususnya dioarungkuda dsk.
    Rata2 buruh disini hanya mengartikan serikat sebagai pengaduan saja atau asuransi yang hanya diperlukan disaat mereka (buruh) terkena dampak sesuatuyg merugikan bagi dirinya, maka tidak heran banyak sekali anggota yang bergabung disaat dia akan di phk, seolah serikat adalah polisi yg melayani masyarakat ketika ada hal yang terjadi, atau pemadam kebakaran yg siap melayani ketika ada kebakaran…

    Keadaan ini jelas akan membuat sukabumi jauh tertinggal, perjuangan yg dijalankan hanya dilakukan segelintir orang saja dan itupun tidak seoenuhnya faham, sebagian ikut2 an…

    Kendati demikian perjuangan kami tidak akan pernah padam, memberikan pemahanan, memberikan pengertian agar semua buruh disukabumi daoat terbangun kesadarannya bahwa ketika:
    Hak-hak buruh di rampas
    Amanat UU tidak dijankan oleh penerintah
    Perusahaan dengan bebas memperbudak
    Penjualan upah oleh oknum

    maka hanya ada satu kata “LAWAN”
    HIDUP BURUH

  • Hidup Buruh…Hidup Buruh….
    Bukan cita-cita sebenarnya kami menjadi Buruh, namun garis kehidupanlah yang menjadikan kami sebagai Buruh. Kami bersyukur sudah menjadi Buruh….karena Insya Allah apabila kami bersyukur Allah akan menambah rezeki buat kami..itu kepercayaan kami.
    Walaupun sebagai seorang Buruh tapi kami berusaha ingin menjadi Buruh yang berkualitas yang salahsatunya mempunyai wawasan tentang masalah perburuhan…
    Kalau kami perhatikan sebenarnya para Buruh ketika akan melakukan demo sudah diberikan wawasan tentang apa yang akan disampaikan dalam demo tersebut…
    Harapan saya agar semua Serikat Buruh atau Serikat Pekerja terutama yang ada di sukabumi bisa bersatu untuk memperjuangkan aspirasi Buruh…..Bukan membawa aspirasi dalam golongannya saja…Untuk masalah UMK 2014, mari kita perjuangkan UMK 2014 untuk Kab. Sukabumi demi kesejahteraan Buruh namun tetap rasional sesuai dengan survey KHL yang tentunya sudah diatur dalam Kepmen…Hidup Buruh….Hidup Buruh….

  • Ageung,
    Mungkin akan lebih baik jika gerakan kawan-kawan buruh diarahkan ke tindakan yang lebih nyata misalnya dengan membuat koperasi sembako kecil-kecilan di lingkungan buruh. Koperasi ini harus bekerja sama dengan HDR Perusahaan, sehingga proses simpanan wajib dan potongan cicilan akan dilakukan lewat payroll. Buruh diharapkan mengambil kebutuhan sembako bulanan melalui koperasi ini (dari pada beli di Alfa/IndoMart), dan bisa dibayar tempo dengan pemotongan gaji. Yang terpenting, carilah orang-orang jujur untuk mengelola uang anggota seperti ini.
    Mudah-mudahan kondisi buruh di Cicurug& parungkuda yang merupakan tempat kelahiran saya, akan semakin baik. Amin.

    Salam,
    Dian Iskandar

  • Sepertinya memang buruh harus lawan semua harus punya jatah gaji yang setimpal dengan hasil kerja, semoga bisa majuin Sukabumi tercinta

  • sayah salah satu anggota buruh sgbi sayah harap anggota buruh d sukabumi bsa lbh bangak lg dan sayah harap umka sukabumi bsa sama dengan umka jkrta

    sayah harap gsbi pasukan garda buri bsa lbh bangak lg…sekian dri syah

Tinggalkan Balasan ke Ageung X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.