Jurnal Kecamatan: Jagakarsa Kota: Jakarta Selatan Provinsi: DKI Jakarta

Hari Raya Kurban Dari Kota ke Kota

Kisah Hewan Kurban Ageung dan Zikri

Zikri bercerita tentang rutinitas Idul Adha di kampungnya, Pekanbaru, Riau. Katanya, rutinitas Idul Adha berbeda dengan rutinitas Idul Fitri. Idul Adha tidak ada tradisi sungkeman permintaan maaf seperti saat Idul Fitri. Kegiatan yang justru dinanti-nantikan adalah penyembelihan hewan, atau kurban. Warga berbondong-bondong ke masjid, tempat pemotongan, untuk menyaksikan proses itu. Menurutnya, saat itu seperti suasana konser. Orang beramai-ramai berkumpul untuk menyaksikan satu tontonan. Satu per satu hewan kurban disembelih dan berubah menjadi potongan-potongan tak berbentuk. Selama peristiwa itu berlangsung, toa masjid menyenandungkan takbir dan menyeru-nyerukan warga untuk datang ke masjid.

Setiap hewan kurban diberi nomor. Ketika hewan akan disembelih, panitia akan menyebutkan nomor hewan dan mengabsen para ahli kurban kalau mereka ingin menyaksikan hewannya disembelih.

“Kalau gue gak salah ingat, nenek gue bilang satu sapi itu ahli kurbannya tujuh orang,” Zikri menerangkan. “Kalau kambing, biasanya satu orang.”

Zikri melanjutkan ceritanya. Biasanya, dia melihat hewan-hewan yang dikurbankan adalah sapi dan kambing, jarang sekali kerbau. “Bahkan gue gak pernah melihat kerbau disembelih di Masjid Ar-Rahim!” Ar-Rahim adalah masjid yang berada di RW 03, tempat Zikri tinggal di Pekanbaru, dan menjadi pusat kegiatan warga RW di situ.

Di sebelah masjid Ar-Rahim berdiri Madrasah Diniyah Awaliah (MDA), tempat Zikri sekolah mengaji, yang memiliki halaman cukup luas. Halaman itu dijadikan tempat penyembelihan hewan kurban. Bahkan, katanya, ruangan-ruangan kelas MDA dijadikan sebagai tempat pemotongan daging. Hal ini begitu menyebalkan bagi Zikri karena ruangan kelas itu akan menyisakan bau daging untuk waktu yang cukup lama. “Yang lucu, tuh, MDA suka ngadain acara mengepel bersama setelah Hari Kurban, untuk menghilangkan bau itu, tapi baunya gak hilang-hilang sampai sebulan!” serunya sambil tertawa.

Untuk pembagian dagingnya, di RW 03 tempat Zikri tinggal itu, menggunakan kupon. Panitia akan mengumumkan melalui toa tentang pembagian berdasarkan kupon yang dibagikan. Ada sekitar empat kupon yang berbeda warna. Merah untuk panitia kurban, hijau untuk warga, putih untuk anak yatim dan kuning untuk ahli kurban. Menurut cerita Zikri, biasanya keluarganya mendapat dua kupon merah, dua kupon hijau dan tiga kupon kuning. Mereka mendapat kupon merah karena Ayah dan kakak Zikri, Hauza, menjadi panitia kurban. Kupon hijau untuk nenek dan ayahnya sebagai warga RW 03, sedangkan kupon kuning, mereka dapat, karena ayah, ibu dan neneknya sering menjadi ahli kurban. Sementara itu, tugas Zikri adalah menjemput plastik-plastik berisi daging dari masjid. “Gue harus bolak-balik seharian dari rumah ke masjid cuma buat ngangkut daging,” katanya. Suasana itu, sudah empat tahun tak lagi dirasakan Zikri, semenjak dia menjadi warga masyarakat Jakarta.

Berbeda dengan kurban yang aku saksikan hari ini, Hari Sabtu, tanggal 27 Oktober 2012, di RT 04 RW 03, Lenteng Agung, Jakarta. Ketika aku dan Zikri iseng ingin melihat warga sekitar menyembelih Kurban, kami melihat tenda bekas shalat ied masih terpasang di depan masjid Al Kautsar, masjid yang berada di Jalan Agung Raya 1, di dekat kontrakanku. Aksi penyembelihan dilakukan di seberang masjid, tepatnya di halaman belakang rumah-rumah warga. Sepintas, aku tak melihat kegiatan itu. Ketika aku bertanya tentang tenda itu kepada penjual gorengan yang mangkal di sebelah masjid, barulah aku mendapat kabar bahwa di belakang sana, maksudnya di belakang rumah warga yang ada di pinggir jalan, ada peristiwa massa yang akan aku saksikan setiap setahun sekali itu.

Di tempat penyembelihan, tepatnya di belakang rumah-rumah kontrakan milik Pak Narawi, beberapa warga sedang asik bercanda sambil menguliti kambing-kambing tanpa kepala yang digantung terbalik. Ada sekitar sebelas bapak-bapak yang bekerja di sana sementara yang lainnya, ibu-ibu dan anak-anak, asik menonton. Satu ekor kambing dikuliti oleh sekitar tiga atau empat orang. Saat aku menghampiri peristiwa massa itu, ada tiga kambing yang sedang dikuliti, sedangkan satu kambing lagi, kambing terakhir, siap untuk menunggu antrian. Dua orang membersihkan isi perut kambing dan satu lagi sibuk mengasah golok dekat lubang penuh darah kambing.

“Tahun ini tidak ada sapi, semuanya kambing, ada 17 ekor,” kata bapak yang jongkok di sebelahku, Pak Emil. Dia ikut bagian dalam penyembelihan ini. Saat itu, dia sedang istirahat seraya minum kopinya. Dia lanjut berkata, “Biasanya, Pak Narawi menyumbangkan sapi, tapi kali ini tidak, beliau sempat kena serangan jantung.” Aku tak mengerti maksud dari Pak Emil, apa hubungannya antara Pak Narawi serangan jantung sehingga tidak dapat menyumbangkan sapi? Ya sudahlah, aku terlalu bersemangat untuk hal yang lain; bersemangat untuk bertanya yang lain. Semua kambing itu adalah sumbangan dari warga yang ada di RT-RT di RW 03. Aku tidak melihat ada perempuan yang bekerja dalam proses itu, semuanya laki-laki.

Pak Emil

Kambing yang telah selesai dikuliti dan dikeluarkan isi perutnya digotong oleh dua orang ke area depan, di letakkan di kolong bangunan-bangunan warung. Warung itu tepatnya berada di seberang masjid. Mengapa aku menyebutnya di bawah kolong? Karena jalan aspal yang mengantarai masjid dan warung itu lebih tinggi daripada tanah tempat berdirinya rumah. Jadi, halaman rumah tersebut berada di bawah warung. Kolong bawah warung menjadi semacam ruangan, mungkin tempat memarkir mobil.

Di sana, ada sekitar sepuluh orang yang bekerja, setiap orang punya tugasnya masing-masing. Kambing dipotong menjadi bagian-bagian kecil oleh dua orang. Ada satu orang yang bertugas memotong bagian paru dan hati. Sementara itu, dua orang lagi bertugas membagi-bagi dan menimbang-nimbang daging, dengan bobot sesuai perkiraan saja tanpa menggunakan timbangan. Satu orang sibuk memilah-milah isi perut sementara Bapak Narawi sibuk mengawasi para pemotong daging. Dua orang lagi bertugas memasukan daging-daging ke kantong plastik dan menumpuknya menjadi gunung. Plastik-plastik itu belum siap dibagikan karena pemotongan belum selesai. Masih ada dua kambing di belakang sana.

Tempat pemotongan daging

Kegiatan itu mereka lakukan dari pukul setengah delapan pagi tadi. Tiga jam sudah berlalu, namun kambing-kambing itu belum juga selesai. Mereka bergegas mengejar waktu. Sebelum adzan Dzuhur, semuanya harus sudah selesai. “Pamali!” ujar salah seorang dari mereka.

Semua bekerja keras, dengan tidak mengurangi atau melebihkan banyak daging yang akan dikemas ke dalam kantong. Aku ikut ambil bagian dalam pembungkusan, bukan untuk mengharapkan jatah tapi karena keinginan yang didasarkan kepada membantu mengejar waktu. Satu jam kemudian, semuanya selesai. Pak Narawi, selaku panitia memegang kertas bertuliskan daftar nama-nama penerima daging kurban itu. Kalau di kampung Zikri, orang-orang dibagikan kupon, di sini tidak. Nama-nama panitia dan warga sudah tertulis di kertas Pak Narawi. Total warga yang mendapatkan jatah dari tujuh belas kambing itu adalah delapan puluh lima warga, termasuk panitia.

Proses pembagian daging

Nama-nama panitia disebutkan satu per satu. Beberapa panitia sudah pulang sehingga bagian mereka disisihkan untuk nanti diantarkan.

“Udin…!” Seru Pak Narawi.

“Sudah pulang, Pak. Entar gue yang anterin!” sahut salah seorang bapak.

“Dian Bastian….!” Seru Pak Narawi lagi. Satu persatu kantong plastik itu berkurang. Gunung itu semakin lama semakin merata.

Pak Narawi mendata warga

“Ageung…Ageung…?!” namaku dipanggilnya. Aku terkejut. Awalnya aku tidak mau menerima karena aku tidak berniat ke sana untuk mengambil jatah. Aku sekadar ingin menyaksikan peristiwa massa yang hanya ada setahun sekali itu. Namun, karena bapak-bapak itu sedikit memaksa. “Ya, boleh, sih buat makan nanti malam!” seruku, dan bapak-bapak itu tertawa.

Zikri bercerita bahwa dulu di kampungnya pernah terjadi perdebatan tentang hari penyembelihan. Waktu itu Idul Adha jatuh pada Hari Jumat, seperti pada tahun ini. Perdebatan itu soal waktu penyembelihan karena Hari Jumat umat muslim harus melakukan shalat Jumat yang waktunya lebih cepat daripada shalat Dzuhur biasanya. Perdebatan itu muncul karena takut acara kurban tidak selesai saat waktu shalat Jumat datang. Warga di kampung Zikri biasanya memilih keesokan harinya, Hari Sabtu, untuk waktu penyembelihan. Karena diundur Hari Sabtu, pada Hari Jumat itu Zikri masih masuk sekolah mengaji di MDA. Ustadz di MDA-nya bilang kepada Zikri dan teman-temannya, “Kurban dilaksanakan Hari Jumat itu tidak apa-apa, jangan takut tidak keburu melaksanakan shalat Jumat. Tidak masalah bagi panitia yang tidak melaksanakan shalat Jumat pada hari itu, karena shalat ied sudah ‘menggantikannya’.”

Zikri juga menceritakan penjelasan gurunya itu ke kakaknya, Fauzan. Lalu Fauzan menanggapinya dengan berkata, “Ya itu artinya panitia-panitia itu tidak belajar sejarah agama Islam dengan baik. Kalau mereka tahu, gak akan debat gak jelas gitu!”

Aku sendiri tidak dapat menanggapi apa yang dikatakan Zikri tentang hal itu, apakah itu benar atau tidak. Lagipula, seperti yang kita tahu bersama, perdebatan-perdebatan seperti itu sudah sering terjadi di Indonesia karena setiap ulama memiliki pemahamannya masing-masing. Aku sendiri tidak terlalu memusingkan hal itu. Kalau kata Zikri, “Yang penting, mah belajar agama yang bener, sampe sempurna! Kan, katanya Idul Adha itu hari mencapai kesempurnaan!”

Aku justru lebih pusing memikirkan kantong plastik yang aku jinjing. Mau diapakan daging ini? Sebagai anak kos, ketika merasakan lapar, aku selalu mengunjungi warteg (Warung Tegal) terdekat. Aku tidak punya peralatan masak. Akhirnya aku memberikan jatah dagingku itu ke kakakku, Kino, dengan kesepakatan ketika daging itu sudah matang, aku akan mengambil bagian untuk makan malamku nanti.

Gunungan kantong plastik berisi daging

Kisah Fajar dari Parungkuda, Kabupaten Sukabumi

Nah, saya akan menceritakan sedikit tentang bagaimana suasana Hari Raya Idul Adha yang saya jalani di kampung saya …

Pada malam harinya takbir seperti biasa bergema membelah kesunyian di daerah tempat tinggal saya, pastinya juga bergema di seluruh pelosok dunia. Alunan suara beduk yang menjadi ciri khas pun kembali menghiasi keramaian malam takbiran, walaupun pada malam itu hujan turun cukup deras, tidak sedikitpun menyurutkan atau mengganggu hikmatnya malam yang selalu dirindukan seluruh umat muslim di dunia ini.

Pagi harinya setelah melaksanakan shalat subuh, saya bersiap siap untuk melaksanakan ibadah rutin setiap Hari Raya, yaitu shalat Idul Adha berjamaah. Salat Ied, biasanya dilaksanakan di tempat terbuka seperti lapangan sepak bola, karena yang mengikuti shalat sangat banyak dan kapasitas mesjid tidak mencukupi. Namun, kali ini dikarenakan malam hujan deras jadi Lapangan yang biasanya kita pakai untuk melaksanakan shalat Ied tidak layak pakai. Lalu, panitia pelaksanakan shalat Ied mengalihkan tempat, yaitu di masjid. Alhasil, jamaah membludak. Setengah dari jalan raya pun (karena masjid di kampung saya berada langsung di pinggir jalan raya) digunakan untuk syaf baru untuk para jamaah.

Shalat Ied, dilaksanakan 2 jam setelah shalat shubuh, kira-kira pukul 06:20. Seperti biasa, shalat Ied dilaksanakan secara berjamaah. Jumlah raka’at dalam shalat Ied adalah 2 raka’at. Rakaat pertama  setelah takbiratul ihrom, kita diwajibkan membaca takbir sebanyak 7 kali dan pada rakaat kedua 5 kali. Setelah melaksanakan shalat, barulah khatib/imam memimpin pelaksanaan rangkaian ibadah selanjutnya, melaksanakan khotbah yang selalu menggetarkan para jamaah setiap mendengarkan apa yang disampaikan Sang Khotib.

 

Suasana bubaran shalat Ied

Kira-kira pukul 07:00, pelaksanaan shalat Ied telah selesai, kami pun berdiri dan berbaris berurutan untuk bersalam atau bersilaturahim. Kesempatan yang jarang ada untuk bersilaturahim karena di hari biasa, kita acap kali disibukkan dengan urusan duniawi yang tak bisa dipungkiri menyita hampir setiap detik waktu kita.

Biasanya, pada Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban, setelah pelaksanaan shalat Ied, para warga melakukan persiapan untuk melaksanakan penyembelihan hewan kurban. Namun, karena Hari Raya Idul Adha tahun ini jatuh pada Hari Jumat, kami mengundurkan waktu penyembelihan dari setelah shalat Ied menjadi setelah shalat Jum’at.

Pada pelaksanakan Kurban tahun ini, keluarga saya, Alhamdulilah, dapat jatah atau bagian dari hasil daging kurban tersebut. Jumlah secara keseluruhan, berepa ekor sapi/kambing yang dijadikan korban di daerah saya, cukup banyak. Sejauh yang saya lihat, ada 3 ekor sapi dan beberapa ekor kambing yang sudah siap menanti ajalnya di ujung golok yang telah disiapkan para jagal yang akan mengakhiri hidup mereka. Pasti sedih, ya! Tapi memang itu sudah garis yang telah dibuat oleh Sang Pencipta. Kira-kira pukul 02:00, pelaksanaan kurban pun dilaksanakan. Jujur, saya enggan menghadirinya karena cukup ngeri juga menyaksikan bagaimana prosesi penyembelihan tersebut. Setelah acara penyembelihan selesai, panitia mulai menguliti hewan kurban lalu dagingnya dipotong-potong menjadi beberapa bagian dan dimasukan dalam kantong plastik untuk dibagikan pada yang berhak. Dalam hal pembagian hasil daging kurban, menurut imam Syafi’I dalam qoul jadid-nya berpendapat, sepertiga untuk dimakan sendiri dan dua pertiganya untuk disedekahkan. Ada pun salafush shalih mereka menyukai membagi tiga bagian, sepertiga untuk dimakan sendiri, sepertiga disedekahkan kepada fakir miskin dan sepertiga lagi dihadiahkan kepada orang yang kaya.

Fajar menunjukkan jatah daging yang ia dapat

Lulus dan Pengalamannya Ber-Hari Raya Kurban di Jember

Pohon-pohon rindang daunnya saling bergesekan, seperti mengajak orang-orang untuk berteduh. Seolah pohon-pohon itu mengerti panasnya matahari sulit diajak kompromi meskipun masih jam sepuluh pagi. Tapi sekarang bukan waktunya istirahat, tugas mengurus daging kurban belum selesai. Cukup menikmati angin sepoi-sepoi sebagai penolong, maka pekerjaan mengemas daging bisa dilanjutkan.

Pada Hari Raya Idul Adha, 10 Zulhijjah 1433 H ini, suhu udara di Jember memang mencapai 32 derajat. Tapi hal ini tak melunturkan semangat warga Desa Krajan untuk kumpul di Pos RW 12, Kecamatan Patrang. Mungkin menunggu dibagikannya daging kambing memang lebih mengasyikan dibanding tinggal di rumah untuk berlindung dari teriknya matahari.

Namun, warga yang datang tidak hanya sekedar menunggu dibagikannya daging kambing. Mereka juga saling berinteraksi dan bergotong royong dalam prosesnya. Diantaranya yang kukenal adalah Taufiq dan Ahar. Kedua orang itu ditugaskan menimbang daging dan beras. Menarik bagiku karena ada beras.

Ahar (kiri) dan Taufiq (kanan)

“Kenapa ada beras, Pak?”

“Itu loh, kulit kambing, kan tidak mungkin dimasukan ke dalam kantong. Tapi setiap bagian dari hewan kurban harus dibagikan. Kita siasati dengan menjualnya ke orang yang mau membeli kulit. Terus uangnya kita belikan beras untuk dibagikan juga,” kata Taufiq dengan logat Jawa.

Ia menjelaskan lebih jauh, biasanya setiap Idul Adha memang ada pengrajin krupuk kulit yang keliling pos-pos penjagalan hewan kurban untuk membeli kulit-kulit hewan. Untuk Idul Adha kali ini, warga RW 12 Desa Krajan berhasil mengumpulkan 17 kulit kambing yang kemudian bisa disulap menjadi beras sebanyak 60 kilogram.

“Tapi gak ada sapi, ya, Mas,” tanyaku lagi.

Sambil menimbang beras, Ahar menjawab, “Ya, kan dalam cerita nabi yang dipotong kambing, Mas. Jadi, kita potong kambing. Lah, kalo ceritanya hewan yang lain, ya kita potong yang lain!”

Hahaha, iya juga, Mas. Tapi dalam cerita nabi yang dipotong itu domba, Mas,” jawabku.

“Ya kambing gak beda jauh toh, Mas, sama domba?! Hahaha!” jawab Ahar dengan logat Madura.

Pembagian daging di pos penyembelihan

Mendengar gaya logat bicara Ahar dan Taufiq berbeda, aku baru sadar dan teringat tentang cerita temanku sebelumnya saat aku baru sampai di Jember. Qomar, temanku itu, sempat menjelaskan karakteristik warga Jember. Katanya, sudah sejak dulu di sini memang terjadi peleburan dua budaya, terutama dalam bahasa. Umumnya warga Jember Kota—termasuk Desa Krajan—menggunakan dua bahasa dalam kesehariannya, yaitu Bahasa Jawa dan Bahasa Madura, bahkan sering juga dicampur-campur. Kata temanku itu, etnis Madura yang berasal dari Jember Utara dan etnis Jawa yang berasal dari Jember Selatan sudah saling melebur sejak lama. Kemudian mereka menjadi suatu kelompok masyarakat tersendiri yang disebut masyarakat Pendalungan.

Temanku yang lain, Dedi, mengira awal proses peleburan dua etnis itu terjadi sejak ekspansi besar-besaran industri pertanian yang dilakukan Kolonial Hindia Belanda. Pada saat itu VOC memang banyak mendatangkan pekerja dari Jawa dan Madura untuk menggarap perkebunan kopi, tembakau, dan komoditas lainnya. Lebih jauh dari itu, ia mengira geografis Jember merupakan hutan dan pegunungan.

Loh, nama Kecamatan Patrang itu sendiri dari Bahasa Madura yang artinya pembabatan hutan toh,” tambah Qomar.

Kemudian Qomar juga menjelaskan, sebagai salah watu wilayah yang disebut Tapal Kuda (Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, Lumajang), Jember-lah yang disebut wilayah urban. Apalagi, sekarang ada Universitas Negeri Jember. “Cuma kabupaten ini toh, Mas, yang ada universitas negerinya di wilayah Tapal Kuda.”

Ya, sepertinya aku sepakat dengan penjelasan Qomar. Beberapa temannya, yang dikenalkan padaku, memang berasal dari berbagai macam daerah yang ada di wilayah Tapal Kuda. Seringkali, mereka berinteraksi dengan Bahasa Jawa dan Madura yang tidak bisa aku mengerti. Tapi aku bisa mengetahui ada perbedaan gaya bicara di antara mereka, mulai dari intonasi hingga penekanannya.

Panitia kurban melakukan pendataan

Kemudian, aku kembali memperhatikan Taufiq dan Ahar yang saling berinteraksi dengan gaya bicara yang berbeda sambil menimbang daging dan beras hasil perayaan Idul Qurban.

Loh, kok bengong, Mas?” tegur Ahar.

Oh… iya, kepanasan, Mas.”

Hahaha, emang Mas-nya dari mana?” Tanya Taufiq.

Aku menjelaskan kedatanganku ke Jember dari Jakarta sedang mengunjungi teman yang tinggal di Desa Krajan dan aku singgah di markas Komunitas Tikungan. Aku katakan kepentinganku mendatangi lokasi pembagian daging kurban hanya ingin melihat-lihat aktifitas warga yang berkumpul. Aku menjelaskan hal itu karena awalnya mereka minta diliput. Mereka mengira aku wartawan Jember TV sebab aku menenteng handycam.

“Mas, kenal Qomar?” Tanyaku pada Taufiq.

“Oh, ya, kenal. Yang kecil itu, bukan?” Jawabnya.

Aku pun memberi senyum, bermaksud iya.

Cerita Lebaran Kambing Mira dari Bukit Tinggi

“Gimana di kampung, udah nyate, Mer? Selamat Lebaran Kambing ya..!”

Sebuah pesan singkat masuk dari temanku di Jakarta. Aku membacanya sekilas lalu menarik selimut, kedinginan. Maklum, aku sedang pulang kampung ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat, yang setiap pagi dan malam diguyur hujan.

Warga bersiap-siap melaksanakan sembelih kurban

Ceritanya, pada Lebaran Kambing tahun ini, aku melaksanakan tradisi pulang basamo (pulang bersama) ke kampung halaman. Pulang Basamo biasanya dilakukan keluarga perantau setiap Idul Fitri. Namun, aku dan keluarga lebih memilih pulang kampung saat Lebaran Haji, karena menghindari acara silaturahmi yang tak ada habisnya, jalan macet, dan tiket mahal, tentunya.

Terakhir kali, tradisi Pulang Basamo ini aku lakukan tahun 1996 saat berumur 6 tahun. Meskipun sudah lama, tetapi masih banyak keping-keping yang aku ingat. Dan memang tidak banyak yang berubah di kampungku, Desa Bonjol Alam, Kelurahan Ampang Gadang, Kabupaten Agam, Bukit Tinggi.  Kecuali nenek yang sudah almarhum dan kebun tebu yang sudah berubah menjadi pekarangan beralas semen—mengurangi keindahan.

Pagi ini (27/10), sayup-sayup aku dengar takbir berkumandang. Lebaran Idul Adha memang dirayakan pada 26 Oktober, 2012, namun karena jatuh di hari Jum’at maka pemotongan hewan kurban dilaksanakan hari ini dengan alasan takut terpotong waktu Sholat Jum’at.

“Te Mira, jagolah! Tapi wak ka pai mancaliak Jawi didabiah!?” (Tante Mira, bangunlah! Katanya kita mau pergi lihat sapi dipotong!?) ujar Abi, salah satu sepupuku yang menempati rumah Nenek di kampung. Aku pun terpaksa bangun dan berjalan bersamanya ke tempat pemotongan.

Jalanan becek, daun-daun padi masih dibebani embun dan sisa air hujan semalam. Abi bersemangat menuju tempat pemotongan yang berada di sebelah Masjid Jamik Bonjol Alam. Tak lupa, ibu dan beberapa saudaraku turut juga.

Pos penyembelihan kurban

Sesampainya aku di tempat pemotongan hewan kurban, rasa kantuk dan malasku langsung hilang. Dibenakku, tempat pemotongan adalah pekarangan masjid berlantai semen yang nantinya akan dipenuhi bau kambing dan genangan darah. Ternyata, padang rumput dan sawah menyambutku. Bukit Barisan pun seolah membingkai hamparan hijau itu dengan malu-malu karena masih berselimut kabut. Ini tempat penjagalan paling indah yang pernah aku lihat.

Ada 16 sapi yang masuk daftar. Dua belas diantaranya masih asyik merumput, sementara empat lainnya sudah terguling dengan kepala hampir putus. Dan kambingnya…,tidak ada.

Aku pun sibuk bertanya kepada ibu dan saudaraku, “Di mana kambingnya?”

Lalu seorang nenek, yang belakangan aku tahu masih bersaudara dengan ibuku, menjelaskan mengapa tidak ada kambing yang dikurbankan di Desa Bonjol Alam.

Menurut Nenek Nafsiah, sudah berpuluh tahun tidak ada kambing yang dikurbankan. “Jawi sadonyo,” (“Sapi semuanya,”) ujar nenek berusia 80 tahun itu. Katanya, masyarakat Bonjol Alam dan banyak desa di Sumatera Barat lainnya lebih memilih membeli sapi sebagai hewan kurban.

Sapi-sapi yang menjadi hewan kurban

Alasannya, sapi lebih banyak bisa dimanfaatkan bagian tubuhnya dibanding kambing. Kulitnya bisa dijadikan kerupuk, dagingnya banyak, tulang dan buntutnya enak dibuat sop, kepalanya pun bisa diolah jadi gulai otak dan lain sebagainya. “Kalau kambing tu, panek wak mambarasihan bulunyo,” (“Kalau kambing itu, kita capek membersihkan bulunya,”) jelas Nenek Nafsiah.

Ada lagi alasan yang lebih utama. Harga kambing di Sumatera ternyata lebih mahal dibandingkan harga patungan sapi per orang. Seperti kita ketahui, menurut agama Islam, seekor sapi biasanya dikurbankan untuk tujuh orang. Sedangkan kambing untuk satu orang. Harga patungan sapi per orang sekitar Rp. 1.650.000,- sedangkan kambing bisa mencapai Rp 2 juta per ekornya. Pantas saja jika masyarakat Desa Bonjol Alam, yang seluruhnya beragama Islam ini, lebih memilih berkurban Sapi (Jawi).

Anak-anak antusias melihat penyembelihan

Pemotongan hewan kurban dimulai pukul 8 pagi. Sebuah tenda biru dipasang untuk para panitia dan penonton—mayoritas anak-anak. Sementara itu, para sapi dipotong di atas rumput dengan terlebih dahulu disebutkan nama-nama pembelinya. “Sapi nomor 8 atas nama Haji Saleh, Asniah!” ucap panitia.

Anak-anak yang memadati area pemotongan itu sempat lari berhamburan dan tercebur ke empang karena insiden sapi kabur. Ceritanya, seekor sapi besar mengamuk dan terlepas tali pengikatnya. Sapi itu berlarian ke sawah dengan kaki berat karena lumpur. Panitia pun sempat sibuk beberapa saat untuk menangkap dan menenangkannya. “Ibu-Ibu, Bapak-bapak, tolong diberitahukan anaknya agar berdiri jauh dari tempat pemotongan. Ada empat sapi ini yang katanya susah diatur! Mohon perhatiannya!” ujar panitia (dalam Bahasa Minang tentunya). Sepertinya, panitia memang harus bekerja keras mengatur jalannya pemotongan hewan kurban dan para penonton cilik yang begitu antusias.

Menangkap sapi

Setelah pemotongan sapi ke 10, aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah. Bayangan acara makan sate kambing pun sirna dari pikiran, tergantikan oleh harum rendang yang sepertinya akan mengepul dari dapur tanteku malam ini.

Setelah tiba di rumah, aku langsung mengambil peralatan mandi dan mengikuti seruan Abi, “Te Mira, ayo kita bakacimpuang di tabe’!” (“Tente Mira, ayo kita mandi di empang!”).

Dan kusempatkan membalas pesan singkat temanku sebelum mandi berenang bersama ikan sepat: “Pulang Basamo seru abis, Men!”

About the author

Avatar

Dian Komala

Dian Komala, akrab disapa Ageung, tinggal di Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sehari-harinya ia bekerja sebagai buruh pabrik wig di Parungkuda. Ageung turut aktif di Forum Lenteng dalam Program akumassa, untuk lokasi dampingan Lenteng Agung (Jakarta Selatan) dan Depok. Selain menjadi salah satu penulis aktif di jurnal online www.akumassa.org hingga sekarang, Ageung juga mengelola blog pribadi, bernama www.dariwarga.wordpress.com, yang mengangkat narasi-narasi warga Parungkuda, khususnya warga masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya.

About the author

Avatar

Lulus Gita Samudra

Lulus Gita Samudra telah menyelesaikan studi Strata Satu-nya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Pria kelahiran Jakarta tahun 1989 ini, juga turut aktif di Forum Lenteng sebagai Sekretaris Redaksi akumassa.org. Sebelumnya ia pernah mengikuti workshop akumassa Depok pada tahun 2011. Kini ia sedang membangun sebuah komunitas berbasis massa di Depok, bernama Suburbia.

About the author

Avatar

Fajar Sidiq

Dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 8 Februari 1990. Ia telah menamatkan pendidikannya di SMA Negri 1 Parungkuda, konsentrasi Ilmu Bahasa pada tahun 2008. Sekarang, pria ini bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik di Sukabumi.

About the author

Avatar

Mira Febri Mellya

Perempuan kelahiran Jakarta pada tanggal 22 Februari 1990 ini telah menyelesaikan studi strata satu di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Sebelumnya ia telah aktif sebagai fasilitator program worskhsop akumassa di beberapa kota bersama komunitas dampingan. Sekarang ia menjadi wartawan aktif di majalah Gatra.

6 Comments

  • selalu ada cerita disetiap daerah tentang idul adha. dari hewan kurban yang masih hidup, cara menjegal, cara menyembelih, cara menguliti, cara memotong sampai menjadi sebuah makanan dengan berbagai macam hidangan dari bakar sampai rendang

    unik memang jika disumatra masarakat sana lebih suka patungan untuk membeli Sapi daripada kambing,, karena di beberapa daerah seperti tempatku tidak terfikir sistem patunga untuk membeli seekor sapi. karena memang harga kambing disni lebih murah dan mayoritas orang disni lebih suka daging kambing yang lebih terasa berat

  • @artipijar: Salah satu dari output konkret jurnalisme warga, seperti akumassa.org adalah saling silang (berbagi) informasi setiap daerah sehingga masyarakat lokal dari wilayah yang berbeda bisa saling mengetahui ciri sosial-budaya masyarakatnya. Gue jadi inget kata Ronny Agustinus sewaktu memberikan materi di Workshop Pemantauan Media pada Februari 2012 lalu. Katanya, bertukar informasi dari setiap daerah itu menjadi penting (ciri khas lokal disajikan dalam bentuk komunikasi yang bisa dipahami oleh seluruh masyarakat Indonesia). Jadi, dengan demikian, kita bisa benar-benar memahami kebhinekaan yang ada pada bangsa ini.

    @dino: yang luas itu tempat potong kurban di Bukit Tinggi, Om! Foto-foto dari Merre… hehe

  • Do you mind if I quote a few of your articles as long
    as I provide credit and sources back to your website? My blog is in
    the very same niche as yours and my visitors would genuinely benefit from a lot of the
    information you present here. Please let me know if this ok with you.

    Cheers!

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.