Darivisual Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Sebelas Kisah dari Tenggara – “Prolog”

Pemandangan Pelabuhan Bangsal yang terlihat dari bukit Dusun Tebango Bolot, tanggal 29 Januari 2016. (Foto: Ismal Muntaha)

Garis Imajiner: Satu Tuhan, dan Tiga Cinta di Pemenang

Sejarah kerukunan umat beragam di Pemenang tidak dibuat-buat. Berdasarkan cerita yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, bahwa memang di Pemenang, kerukunan ini sudah terjalin sangat lama. Pun saat Anak Agung Nengah Subagan dikirim oleh Anak Agung Gede Agung (Raja Karang Asem yang menguasai Lombok saat itu) untuk memimpin dan memerintah di Pemenang. Saat itu, memang, kebutuhan Anak Agung Gede Agung adalah untuk meluaskan kekuasaan di Lombok.

Namun, saat terjadi Perang Puputan, sebuah perang antara Kerajaan Karang Asem dan Uni Kedatuan di Lombok saat itu, Pemenang tidak terkena dampak peperangan tersebut. Sebab, Anak Agung Nengah Subagan memerintah dengan baik. Tidak membedakan antara agama Hindu, Budha, dan Islam. Bahkan,di dalam tulisan Rosmayadi, salah seorang penulis saat program AKUMASSA pertama kali dijalankan di Pasirputih, menurut narasumber yang ia wawancarai, Anak Agung Nengah Subagan mampu mengambil hati seluruh komponen masyarakat Pemenang yang terdiri dari tiga agama tersebut, serta melibatkan mereka dalam pengelolaan pemerintahannya.

Salah satu bukti keharmonisan umat beragama di Pemenang, tercermin dari Masjid Jamiul Jamaah Dusun Karang Pangsor. Secara harfiah, Jamiul Jamaah berarti kebersamaan masyaratakat. Di masjid itu, masyarakat Pemenang membuat tiga buah tiang yang melambangkan kebersamaan masyarakat. Masing-masing tiang dibangun oleh masing-masing agama.

Sampai saat ini pun, kebersamaan itu masih terasa. Jika kebetulan salah satu umat sedang merayakan upacara dan acara keagamaan, maka umat yang lain dengan senang hati ikut membantu kegiatan tersebut.

Secara syariat, setiap umat melaksanakan ibadah sesuai dengan ketentuan agama mereka masing-masing. Tapi dalam hal interaksi sosial, masyarakat Pemenang memiliki satu ‘tuhan’, yaitu ‘tuhan’ yang mencintai perdamaian. Maka, dalam hal keharmonisan umat beragama, Pemenang, sepantasnya muncul sebagai daerah percontohan kerukunan umat beragama.

Kesadaran ini yang ingin ditekankan oleh Pasirputih kepada pihak Pemerintah Daerah dan seluruh warga Pemenang, untuk tidak hanya memunculkan Tiga Gili sebagai ikon wisata, tetapi juga tiga agama di Pemenang, untuk menjadi acuan internasional dalam melihat bagaimana hidup berdampingan dalam perbedaan.

Namun, cerita keharmonisan umat beragama yang saya uraikan di atas, jangan dibayangkan sebagai sebuah cerita yang mulus tidak ada rintangan dan tantangan. Apalagi jika sedikit genit mengaitkan realitas dan fenomena di Pemenang saat ini dengan apa yang disebut Nietzsche dengan “kematian Tuhan”.

Dalam sebuah makalah yang ditulis oleh kawan saya, Anhar Putra Iswanto, saat menjadi pembicara di Program Kelas Wah Pasirputih (17 April, 2016), Anhar menulis bahwa sinisme ini sebagai bentuk kritik kepada realitas sosial, bahwa Tuhan telah “dibunuh” oleh kuasa absolutisme—yang sebetulnya adalah relativisme yang menjadi “Tuhan Baru” bagi manusia. Lebih lanjut, Anhar juga menulis tentang munculnya kritik Michel Foucault pada era ’60-an yang meramalkan “kematian manusia”. Bahwa, akan hilang konsepnya sebagai suatu kategori istimewa. Manusia akan kehilangan tempatnya yang sentral dalam bidang pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, sosial, politik, agama, dan berbagai bidang kehidupan manusia lainnya. Foucault juga mengatakan bahwa manusia tidak akan menjadi penguasa, bahkan atas dirinya sendiri.

Tidak berlebihan, rasanya, sedikit mengutip apa yang jauh sebelumnya diungkapkan Neitzsche dan Foucault tentang kondisi zaman ini. Sebab, apa yang benar-benar tampak di Pemenang saat ini seperti menggiring masyarakat Pemenang menuju kehancuran itu. Pelan, tapi pasti. Sedikit demi sedikit, akar budaya, agama, persaudaraan, pendidikan, dan berbagai aspek kehidupan masyarakat Pemenang, digerogoti.

Masyarakat Pemenang yang menang sebelum bertanding, keharmonisan umat beragama, Bangsal sebagai titik berkumpulnya budaya lokal, keharmonisan dan keakraban, terasa menjadi semacam dongeng saja. Tidak benar-benar ada. Bahkan, untuk persoalan sampah saja, masyarakat Pemenang mesti menyerahkan dan menyalahkan pihak lain. Untuk menjamu tamu saja, masyarakat Pemenang sudah tidak lagi menggunakan kata-kata indah. Jangankan antaragama, dalam internal pemeluk agama saja, terjadi perselisihan dan perkelahian. Blueprint Pemenang dahulu, yang sempat diceritakan oleh orang-orang tua, tentang tata letak masing-masing dusun yang menguatkan satu sama lain, sekarang malah saling meruntuhkan satu sama lain, akibat sering terjadi perkelahian, hanya karena masalah pertandingan sepak bola, hanya gara-gara balapan liar dan mabuk-mabukan, bahkan saat pawai takbiran Lebaran Idul Fitri.

Kegamangan ini, saya sebut disebabkan oleh perbuatan ‘biang keladi’. Ada biang keladi di Pemenang yang tidak disadari oleh masyarakatnya. Ada biang keladi yang menggerogoti Pelabuhan Bangsal. Ada biang keladi yang masuk dalam gaya hidup anak muda. Ada biang keladi yang masuk dalam pengajian dan mantra-mantra agama. Biang keladi itu menjadi apa saja dan masuk di mana saja. Ia masuk ke dalam olahraga, pasar, sekolah-sekolah, bahkan ke dalam pikiran semua warga Pemenang. Biang keladi yang saya maksud adalah Industri Pariwisata.

Begitu Lombok Barat secara resmi melepas Lombok Utara menjadi kabupaten sendiri, harapan para pelaku wisata dalam hal promosi dan perbaikan Lombok Utara menjadi semakin terbuka. Apalagi kini, pariwisata adalah andalan utama program Pemerintah Kabupaten Lombok Utara. Dinilailah pariwisata menjadi salah satu faktor penentu kesejahteraan masyarakat. Tentu penilaian ini tidak benar-benar salah. Sebab, bagaimanapun, dalam rentan waktu yang cukup lama, tertanam dibenak warga tentang pariwisata.

Kecamatan Pemenang kemudian menjadi Gerbang Pariwisata Lombok Utara. Segala aktivitas harus dilatarbelakangi oleh landasan pemikiran untuk ikut menyukseskan pariwisata. Kegiatan pendidikan, untuk pariwisata. Kegiatan adat dan budaya, untuk mendukung pariwsata. Kesenian, disiapkan untuk menjadi tontonan pariwisata. Bahkan, agama pun dijadikan jualan pariwisata.

Dari Pemerintahan pusat sampai Pemerintahan dusun, semua menjadi latah dengan pariwisata. Semua menggunakan slogan “Visit Indonesia”, “Visit Lombok”, “Visit Sumbawa” dan berbagai “visit-visit” lainnya. Sekarang, muncul lagi slogan baru wisata di Lombok, yakni “Wisata Religi”, “Wisata Syariat”, dan “Wisata Halal”.

Muncul pertanyaan, untuk siapakah sebenarnya pariwisata ini? Apakah masyarakat benar-benar membutuhkan pariwisata? Bagaimana kita melihat dan menilai kisah-kisah tentang realitas-realitas ambigu yang saya tuliskan di atas? Tidakkah kita juga menimbang beragam konflik yang muncul diakibatkan oleh pariwisata? Bagaimana dengan kasus lahan-lahan warga yang sudah habis dibeli investor? Bagaimana dengan perkelahian warga lokal dan pendatang saat memperebutkan lahan-lahan basah di Trawangan? Lalu, sejauh mana kita bisa merasakan kondisi seniman-seniman tradisi di Pemenang, yang sampai saat ini belum juga menerima kesuksesan pariwisata? Dan, pertanyaan akhir, siapa yang benar-benar menikmati pariwisata?

About the author

Avatar

Muhammad Sibawaihi

Dilahirkan di Desa Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 20 Mei 1988. Lulusan IKIP Mataram jurusan Bahasa Inggris. Ia adalah Direktur Program di Yayasan Pasirputih. Sehari-harinya ia juga aktif sebagai penulis dan kurator.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.