Darivisual Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Sebelas Kisah dari Tenggara – “Prolog”

Avatar
Written by Muhammad Sibawaihi

Tulisan ini adalah bagian dari buku Sebelas Kisah dari Tenggara yang ditulis oleh Muhammad Sibawaihi, Otty Widasari, dan Manshur Zikri, diterbitkan oleh Forum Lenteng pada tahun 2016. Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.

Tiap hari Kamis, sore menjelang malam, Masyarakat Budha dari Dusun Tebango, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, melakukan ritual membasuh diri di air laut Pantai Bangsal. Itu sudah dilakukan sejak dahulu. Masyarakat Hindu di Kecamatan Pemenang yang nenek moyangnya berasal dari Bali juga memiliki ritual keagamaan di Pantai Bangsal. Tiga hari (tilem kesanga) menjelang perayaan Hari Raya Nyepi, mereka melepas sesajen di tengah laut. Lautlah penghubung mereka dengan tradisi leluhur mereka di Pulau Bali sana. Sebagian besar masyarakat Pemenang yang mayoritas beragama Islam juga meyakini bahwa air laut menyembuhkan berbagai penyakit, dan membawa anak mereka yang sakit untuk membasuh diri di Pantai Bangsal. Intinya, pantai Bangsal yang luas adalah milik seluruh warga Pemenang untuk hidup, bersosialisasi dan menjalankan kepercayaan mereka masing-masing.

Peta Tiga Gili dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. (Sumber gambar: User:(WT-shared) Burmesedays,OpenStreetMap [CC BY-SA 3.0 (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0)])

Peta Tiga Gili dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. (Sumber gambar: User:(WT-shared) Burmesedays,OpenStreetMap [CC BY-SA 3.0 (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0)])

Saat ketiga gili (pulau kecil), Gili Air, Gili Trawangan, dan Gili Meno, berkembang pesat menjadi tujuan wisata domestik dan internasional, pelabuhan juga dikembangkan. Berbagai bangunan infrastruktur penunjang sektor pariwisata, dermaga beton, dan kawasan berlabuhnya perahu-perahu, alat transportasi umum yang melayani wisatawan, memakai teritori yang luas di bibir pantai. Masyarakat perlahan meninggalkan Bangsal. Ritual keagamaan dan kepercayaan tetap ada, menempati sebagian kecil pantai yang tersisa dan bisa dianggap tidak terlalu dikotori oleh limbah pariwisata dan bahan bakar kapal. Bangsal bukan lagi menjadi jantungnya masyarakat Pemenang. Hal ini memengaruhi mentalitas warga yang akhirnya terbiasa dengan sektor ekonomi pariwisata yang terus menerus merasuk ke sendi-sendi kehidupan.

Pariwisata bukannya kambing hitam dari situasi Pemenang saat ini. Namun, persinggungan perkembangan pariwisata dan budaya lokal adalah persoalan yang belum terkelola dengan baik di Pemenang.

Gili Trawangan

Di depan sebuah hotel, layar putih besar yang menghadap ke laut, sebuah proyektor sedang memproyeksikan film Transformer di sana. Beberapa orang tampak terlentang di atas kursi panjang. Khusyuk menonton adegan heroik sang Optimus yang bertarung melawan robot-robot yang lain. Sementara, saya dan teman-teman duduk dan berbincang ditemani beberapa cangkir kopi.

Pemandangan stasiun transportasi kapal feri di Gili Trawangan. (Foto: Magul [CC BY-SA 4.0 (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0)])

Pemandangan stasiun transportasi kapal feri di Gili Trawangan. (Foto: Magul [CC BY-SA 4.0 (https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0)])

Suandi bercerita, bahwa suatu ketika, Si Bos memiliki seorang manajer yang tidak bertanggung jawab. Si Bos meminta manajer tersebut untuk membuat beberapa penginapan lokal dengan biaya yang cukup besar. Karena memang Si Bos tidak tinggal di Trawangan, dan hanya datang berkunjung beberapa kali dalam satu tahun, membuat Si Manajer tersebut nekat mengibuli majikannya sendiri. Sampai ketika Si Bos kembali ke Trawangan, bangunan yang diharapkan belum rampung, malah Si Tukang yang diminta mengerjakan bangunan tersebut, meminta tambahan biaya dari Si Bos. Si Tukang sendiri mengaku tidak mendapatkan bayaran yang sesuai.

Akhirnya, Si Bos menguji Si Manajer untuk membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan dana. Satu, dua, tiga hari, satu minggu, sampai berminggu-minggu, laporan tidak juga selesai. Waktu itu, Suandi sebagai salah seorang staf, menjadi teman curhat Si Bos. Si Bos akhirnya meminta bantuan Suandi untuk mengurus keuangan. Karena Suandi sendiri tidak mengerti bagaimana membuat laporan keuangan, tanpa pengetahuan Si Bos, Suandi meminta temannya, Agus, untuk membantu permasalahan pelik yang sedang terjadi di perusahaan tempatnya bekerja.

Suandi kaget bukan main. Dia sampai tidak percaya apa yang dia lihat, manakala Agus membantunya membuat pembukuan tersebut. Hanya dalam hitungan jam, Agus menyelesaikan pembukuan, yang oleh Si Manajer belum bisa diselesaikan selama beberapa minggu itu. Agus pun mengajarkan Suandi hal-hal yang penting dalam mengelola dan membuat laporan keuangan.

Keesokan harinya, Si Bos juga sangat heran melihat hasil kerja Suandi. Si Bos tidak habis pikir, mengapa laporan dari Si Manajer tidak juga selesai. Akhirnya, Si Bos memutuskan untuk memecat Si Manajer dan digantikan dengan manajer baru. Awalnya, Suandi sempat ditawari. Namun, Suandi tidak berani memegang jabatan tersebut. Akhirnya, si Bos meminta bantuan Syahrir, kawan Suandi. Syahrir pun menyepakati, asal kawan-kawan yang lain mendukung dia memegang tampuk kepemimpinan tersebut.

Setelah sisa pekerjaan dari Si Manajer yang sudah dipecat selesai, Si Bos kembali ke negaranya, dan menyerahkan perusahaan tersebut kepada Syahrir, Suandi, dan kawan-kawan.

Sebagai pekerja, Syahrir, Suandi, dan kawan-kawan menjalankan tugas seperti biasa layaknya pekerja yang lain. Sedikit sekali komunikasi yang terjalin antara mereka dan Si Bos. Sesekali ketika Si Bos menelepon dan menanyakan kabar perusahaannya, Suandi dan kawan-kawan selalu berkata, “Beres Bos!”

Sampai suatu ketika, manakala Si Bos berkesempatan untuk kembali ke Trawangan, Si Bos mengumpulkan semua pekerja. Si Bos sangat heran, mengapa kondisi pekerjanya sekarang sangat gak neko-neko. Beda sekali dengan kondisi Si Manajer sebelumnya. Manajer sebelumnya banyak ide dan gagasan. Mau bikin ini-itu, mau mengubah ini-mengubah itu, dan berbagai ide-ide cemerlang lainnya. Kendati demikian, ide-ide yang ditelurkan tidak berjalan dengan baik, bahkan merugikan perusahaan. Sementara saat ini, tidak ada ide, tidak bikin ini-itu, namun kondisi perusahaan, terutama kondisi keuangan, aman-aman saja.

Syahrir, Suandi, dan kawan-kawan menjawab Si Bos dengan sangat sederana, “Ngapain kami capek-capek membuat sesuatu, yang nantinya bisa saja berdampak tidak baik bagi perusahaan. Jika Bos mau, Bos saja yang membuat ide, mau bikin apa, mau ubah apa. Nanti kami tinggal membantu.”

Kepolosan, atau mungkin strategi ‘masa bodoh’ yang diterapkan Suandi dan kawan-kawan berhasil memikat hati Si Bos. Kini, pengelolaan memang benar-benar dipercayakan kepada mereka. Maka, ketika Si Bos tidak ada, merekalah ‘bos’-nya.

Dulu, sebelum bekerja di dunia pariwisata, Aziz aktif berkegiatan di berbagai organisasi dan kelompok pemuda. Sepertinya, latar belakang berorganisasi ini, membuat hati Aziz terpanggil untuk membela kepentingan saudara sesama pekerjanya, di salah satu perusahaan di Trawangan.

Aziz merasa perlu mengambil sikap atas tindakan perusahaan yang terlalu memforsir pegawainya. Jam kerja yang tinggi namun apresiasi perusahaan rendah. Banyak kawan-kawannya yang mengeluh. Terlalu sering mendengar keluhan, akhirnya Aziz memberanikan diri ngomong dengan pemilik perusahaan. Membela hak-hak kawan-kawannya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik.

Aziz menghadap ke Bosnya, ia menggugat. Mengajukan tuntutan atas nama semua kawan-kawannya. Namun naas bagi Aziz. Tuntutan yang ia ajukan tidak direspon oleh Si Bos. Si Bos kemudian mengumpulkan semua pekerja, menanyakan kepada mereka perihal tuntutan Aziz. Si Bos mengancam akan memecat mereka yang melawan. Akhirnya, tidak satu pun dari pekerja yang mendukung upaya Aziz untuk memperjuangkan mereka. Para pekerja diam. Aziz, tidak bisa melakukan apa-apa. Terlebih, sakit di hati Aziz, melihat teman-temannya tidak mendukung upayanya. Alih-alih mendukung, justru Aziz disalahkan atas tindakannya yang bsia merugikan kawannya yang lain. Si Bos memutuskan untuk memecat Aziz. Akhirnya Aziz keluar dari perusahaan tersebut.

Ini adalah realitas kehidupan pariwisata di Gili Trawangan. Menjadi pahlawan bukanlah sesuatu yang hebat dan membanggakan. Situasi bisa berbalik 180 derajat dari film Transformer, tentang kepahlawanan yang berakhir kemenangan. Ini bukan realitas film. Dan sang pahlawan tidak lebih adalah tumpukan sampah yang bisa merugikan.

Satu lagi kisah yang menarik, sebelum nantinya akan saya kaitkan dengan kenyataan yang berbeda di Pemenang. Suandi dan kawan-kawan, suatu ketika ingin membuat acara di pantai yang berada di depan tempat kerja mereka. Mereka ingin membuat semacam bangunan tidak permanen untuk melayani para wisatawan. Pada dasarnya, pembangunan di sepanjang pantai di Trawangan adalah ilegal. Beberapa watu yang lalu pun, Pemda Lombok Utara berniat menertibkan bangunan-bangunan yang marak di sepanjang pantai di Trawangan, namun justru bentrok dengan para pengusaha di sana.

Suandi baru saja menempelkan beberapa pengumuman di beberapa pohon cemara yang ada di pantai depan perusahaan tempat mereka bekerja, manakala sekumpulan remaja, mengatasnamakan kumpulan remaja, menolak aksi menggunakan pantai tersebut untuk kepentingan komersil. Alasan para remaja itu adalah, bahwa pantai tidak boleh dibangun bangunan apa pun. Suandi dan kawan-kawan menghentikan kegiatan mereka. Suandi lalu menanyakan mengapa mereka tidak boleh, sementara di depan mereka, puluhan bahkan ratusan bangunan berdiri permanen di sepanjang pantai Trawangan, namun tidak ada satu pihak pun yang menggugat.

Kelompok pemuda tadi tidak mau tahu. Pokoknya Suandi dan kawan-kawan tidak boleh membuat apa pun di pantai itu. Bahkan kelompok pemuda itu, mengancam akan menghancurkan apa pun yang ada di sana. Suandi menantang kelompok pemuda tadi untuk melakukan hal yang sama terhadap puluhan bangunan yang berdiri kokoh di sepanjang pantai Trawangan. Namun, para pemuda tersebut mengatakan, kalau bangunan yang ada sekarang, sudah mendapatkan izin. “Izin dari mana?” Tanya Suandi. “Lalu, apa karena kami warga lokal yang tidak memiliki uang untuk membayar, akhirnya tidak diperbolehkan? Mengapa bangunan-bangunan milik orang asing diperbolehkan?” Berbagai pertanyaan tersebut tidak mampu dijawab.

Di Trawangan, ada kekuatan besar yang sedang bermain dan menguasai Trawangan. Kekuatan itu membungkam siapa saja dan akhirnya, menghalalkan apa saja. Kekuatan ini, tidak hanya di Gili Trawangan. Namun juga sampai di Pemenang. Bagaimana kemudian terjadi banyak ketimpangan dalam laku kehidupan sosial masyarakat. Ini dunia pariwisata. Siapa yang berduit dan yang bekuasa, memiliki kekuatan sepenuhnya.

Satu contoh yang sering sekali saya rasakan, bahwa hal serupa terjadi juga di Pemenang adalah bagaimana kondisi Pelabuhan Bangsal. Yang kuat yang berkuasa. Yang banyak uang, jadi prioritas. Yang lemah, terpinggirkan. Yang tidak memberikan apa-apa, didepak jauh dari arena. Semua berorientasi pada uang. Tidak salah, tapi kurang tepat. Uang bisa menjadi utama, tapi yang menjadi lebih utama adalah kemanusiaan.

Hal inilah yang coba diusung oleh Pasirputih dalam keterlibatannya untuk AKUMASSA Chronicle, juga dalam perhelatan Pesat Rakyat Bangsal Menggawe 2016: Membasaq. Pasirputih ingin membuktikan bahwa warga berdaya, memiliki kekuatan mutlak di atas kekuatan apa pun. Kekuatan warga tidak diukur dari uang, tidak diukur dari kebendaan yang ia punya. Kekuatan masyarakat ditakar melalui kebersamaan dan rasa saling memiliki. Maka harusnya, kekuatan masyarakat bisa bernegosiasi dengan kekuatan sebesar apa pun. Kekuatan masyarakat bisa meruntuhkan rezim, bisa membungkan kediktatoran, bisa menghanguskan kekuatan uang dan bisa membuat kekuatan apa pun tidak berdaya.

Saya bisa membayangkan, andai saja kawan-kawan Aziz bersatu, memperjuangkan hak mereka bersama. Si Bos tentunya tidak bisa berbuat apa-apa. Peluang mereka mendapatkan hak mereka sebagai pekerja terbuka sangat besar. Tapi sekali lagi, ini adalah realitas pariwisata.

Maka, Pasirputih, lewat Proyek Seni AKUMASSA Chronicle yang digagas oleh Forum Lenteng, ingin mengajak masyarakat untuk kembali menyadari kekuatan mereka. Yakni, kekuatan akar budaya, kekuatan kebersamaan dalam keberagaman serta kekuatan saling menghargai dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Itulah beberapa poin yang tampak dalam kehidupan masyarakat Pemenang. Sebuah kota yang masih memiliki kekuatan persaudaraan meskipun memiliki keyakinan yang berbeda. Kekuatan untuk saling membantu dan menolong meskipun masing-masing memiliki kesibukan dan kepentingan yang berbeda. Di Pemenang, tercermin bagaimana toleransi antarumat beragama terjalin sangat baik. Bahkan, masjid dibangun oleh umat dari tiga agama yang berbeda, yakni Budha, Hindu, dan Islam.

Di Kota ini, tidak pernah terjadi perselisihan antaragama, apalagi sampai terjadi peperangan. Di sini, setiap umat beragama memiliki ikatan persaudaraan yang kuat. Namun, memang tidak menutup kemungkinan, Pemenang yang harmonis ini, bisa tiba-tiba menjadi sangat individual, sangat egois, dan sangat arogan, manakala virus-virus pariwisata masuk dan menjalar ke seluruh tubuhnya.

Pasirputih, sebagai sebuah ide untuk menciptakan masyarakat Pemenang yang terus menjaga kebersamaan, keharmonisan, dan persaudaraan, merasa penting untuk mengikat lebih erat lagi semua yang sudah terajut sejak zaman berkuasanya Raja Bali Anak Agung Gede Agung. Maka, Pasirputih memulai rajutan itu dari Pelabuhan Bangsal. Mengapa Bangsal?

About the author

Avatar

Muhammad Sibawaihi

Dilahirkan di Desa Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 20 Mei 1988. Lulusan IKIP Mataram jurusan Bahasa Inggris. Ia adalah Direktur Program di Yayasan Pasirputih. Sehari-harinya ia juga aktif sebagai penulis dan kurator.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.