Kontribusi Tangerang, Banten

Pantai Sampah Tanjung Burung: Episode yang Kian Genting (I)

Peta Desa Tanjung Burung dari Citra Satelit
Avatar
Written by Renal Rinoza

Tatkala kita berkunjung ke pantai utara Tangerang, atau katakanlah ke tempat wisatanya seperti pantai Tanjung Pasir. Hal yang pertama kita temui adalah kotorannya. Pantai dengan sampah-sampah yang menghanyut di lautan, kesemrawutan pantai yang kurang ditata dengan baik, kemudian ditambah kualitas air laut yang sama kotornya dengan campuran berbagai limbah-limbah. Semakin menegaskan kawasan wisata pantai Tanjung Pasir benar-benar memprihatinkan. Prihatin dengan melihat keadaan ini, lalu apa yang bisa kita lakukan dengan keadaan seperti ini?

Peta Desa Tanjung Burung dari Citra Satelit

Aku kira setiap orang yang berkunjung ke sana pasti punya pikiran dan kesadaran sama, betapa ruwetnya pantai utara Tangerang itu. Meskipun keprihatinannya mereka simpan di hati masing-masing, namun apa daya rasanya mereka menikmati wisata pantai yang murah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin saja ada juga yang berpikir sama denganku, ingin berbuat sesuatu di sana, meski akhirnya bisa ditebak akan kandas juga. Namun aku tidak berhenti di situ saja, tanpa aksi apapun. Keinginan untuk berbuat sesuatu itulah, akhirnya membawaku untuk bergeser ke daerah tidak jauh dari kawasan Tanjung Pasir. Tepatnya adalah Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang. Seorang temanlah yang mengusulkan kepadaku untuk ke Tanjung Burung, katanya di sana kita bisa berbuat sesuatu minimal dengan aksi seadanya.

Dalam minggu kedua bulan April 2013, aku bersama teman-temanku membahas agenda untuk ke sana, dan apa saja kiranya yang akan kami lakukan. Terbesit yang akan kami lakukan adalah semacam aksi lingkungan. Berembug bersamaku, Bagus, Farhan, Berva, Ical, Zarkasih dan Yudi sepakat untuk kesana. Oya, lokasi Tanjung Burung direkomendasikan oleh Zarkasih Tanjung dan Yudi yang pernah melakukan advokasi lingkungan di sana. Tanjung Burung merupakan desa kemitraan teman-teman kelompok pecinta lingkungan hidup, tergabung dalam Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan (KMPLHK) RANITA, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Maka berangkatlah aku bersama teman-teman ke sana, pada hari Jumat, 12 April 2013 dari kampus UIN Jakarta.

Perjalanan kami dipandu oleh Yudi, mahasiswa Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) UIN Jakarta yang juga pernah Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sana. Kebetulan Zarkasih tidak bisa ikut karena ada urusan yang mendadak. Sebelum berangkat, terlebih dahulu kami singgah di rumah Yudi di Cipeucang, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan. Setelah dari rumah Yudi, kami berangkat menuju Cisauk dengan menyusuri sempadan (bantaran-red) Sungai Cisadane di kawasan perbatasan Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Terlihat semacam lembah sempadan yang ditumbuhi berbagai vegetasi dan ekosistem yang masih terjaga, walaupun ancaman pembangunan perumahan semakin masif di daerah bantaran Sungai Cisadane.

Baru-baru ini banyak pengembang proyek dengan seenaknya saja membangun perumahan. Padahal di sana sudah jelas dilarang membangun kawasan hunian di sekitar sempadan yang dilindungi Undang-Undang. Sesampainya di Cisauk, kami berangkat menyusuri tiga kawasan perumahan raksasa, kawasan pengembangan baru BSD City di Cisauk dan Pagedangan yang keduanya secara administratif masuk wilayah Kabupaten Tangerang, Summarecon Serpong, dan Paramount Serpong, untuk menuju Teluk Naga atau yang dikenal menuju kawasan Pantura Tangerang. Waktu tempuh yang dibutuhkan sekitar dua jam perjalanan untuk sampai di Tanjung Burung. Tepat selepas Maghrib kami tiba di rumah Pak Guntur, disambut oleh istri Pak Guntur, karena kebetulan Pak Guntur belum pulang, kami akan menginap di sini.

Desa Tanjung Burung adalah sebuah desa yang berada di sempadan muara Sungai Cisadane. Di desa inilah aku menyaksikan secara langsung, bagaimana rasanya berada tepat di muara sungai yang berbatasan langsung dengan air laut. Ya, aku persis di tengah-tengah air sungai yang menuju ke laut dengan menggunakan perahu yang aku sewa. Ongkos sewa perahu Rp. 100.000 pulang dan pergi. Asal jago menawar, harganya bisa lebih murah. Di kanan dan kiri sungai menuju ke laut, jarak laut dengan perahu yang membawaku hanya sekitar 50 meter. Pemandangan yang aku jumpai ialah semak belukar di sempadan sungai dan hamparan kolam tambak yang begitu luas sejauh mata memandang. Lantas, apa itu saja? Tentu tidak. Ternyata pemandangan yang aku jumpai setelah menyusuri kolam tambak menuju garis pantai adalah tumpukan sampah yang membuat aku tertegun. Baru kali ini aku menyaksikan sebuah pantai yang berisi ribuan kubik sampah yang sudah menahun terbengkalai, tanpa ada upaya untuk mengeruknya. Kolam-kolam tambak yang aku saksikan juga demikian. Tanggul kolam dari lumpur-lumpur yang dikeruk juga banyak sekali mengandung bahan-bahan sampah plastik yang tidak terurai.

Pak Hasan Basri Sekretaris Desa Tanjung Burung sedang berdiskusi dengan kami.

Jelang pukul 20.00 WIB, kami diajak Yudi bertamu ke rumah Pak Hasan Basri, Sekretaris Desa Tanjung Burung, rumahnya sekitar 200 meter dari rumah Pak Guntur tempat kami menginap. Pak Hasan Basri mempersilakan kami duduk lesehan diteras rumahnya. Dalam seketika obrolan kami dengan Pak Hasan berlangsung cair dan menggugah. Aku menanyakan berbagai hal dengannya, seperti keadaan geografis dan demografis Desa Tanjung Burung, soal reklamasi pantai utara Tangerang, soal lingkungan hidup, program-program Pemerintah yang dilakukan di Desa Tanjung Burung, kesehatan dan pendidikan, sampai ia sendiri membicarakan soal demokrasi di negara kita. Tak terkecuali ia membicarakan bagaimana pengaruh media massa mempengaruhi persepsi masyarakat yang kian apatis dan jengah melihat realitas politik dewasa ini.

Sebuah rumah warga yang terbuat dari anyaman bambu, rumah seperti ini masih banyak dijumpai di Desa Tanjung Burung.

Pak Hasan Basri memulai percakapan dengan permasalahan banjir yang sudah menjadi langganan di Desa Tanjung Burung. Luapan banjir itu membawa material sampah dan menghambat pertumbuhan pohon mangrove. Obrolan berlangsung acak, Pak Hasan Basri dengan ekspresi muka yang agak menyesal ia berkata, “kita jadi kuli di desa sendiri”. Ia mencermati profesi warga desanya yang mayoritas buruh kasar alias kerja serabutan sesuai apa yang diperlukan, entah jadi buruh galangan kapal, kuli pengerukan tambak baru, buruh nelayan dan sebagainya. Dibilang miskin sekali sih tidak begitu, namun hanya cukup menghidupi keluarganya saja. Begitu pun rumah-rumah di Desa Tanjung Burung sudah banyak yang permanen dan lumayan bagus. Meski masih banyak dijumpai rumah terbuat dari anyaman bambu, beratapkan daun kelapa dan beralaskan tanah.

Menyoal rencana reklamasi pantai utara, Pak Hasan Basri mengatakan rencana itu masih tataran wacana. Megaproyek reklamasi ditangani oleh pengembang PT. Tangerang International City yang akan memulai proyek tersebut pada tahun 2013 ini. Sekilas reklamasi pantai utara Tangerang, aku sedikit memberi gambaran bahwa megaproyek reklamasi pantai utara Tangerang sudah dimulai sekitar tahun 1990-an. Dengan kajian intensif dan komprehensif mengenai dampak lingkungannya, potensi ekonomi, dan dampak sosio-kulturalnya. Kawasan yang direklamasi sekitar 9.000 hektar dengan menciptakan zonasi kawasan pantai untuk berbagai kepentingan, seperti industri, perdagangan, rekreasi, dan hunian. Di samping itu, proyek reklamasi pantai utara akan membuat enam pulau buatan yang diperuntukan untuk kawasan industri, perdagangan, wisata dan hunian. Ditambah saat ini Pemerintah Kabupaten Tangerang sangat berkepentingan terhadap mega proyek ini. Dimana akan mendongrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten yang defisit dan kehilangan potensi PAD sekitar 40%, setelah pembentukan Kota Tangerang Selatan. Karena tujuh kecamatan yang sangat memberikan kontribusi besar terhadap PAD Kabupaten Tangerang, kini sudah menjadi bagian dari Kota Tangerang Selatan (Joniansyah: 2012). Pada intinya proyek reklamasi didasari atas kepentingan komersial dan keuntungan dari pihak pengembang di satu sisi, dan pemerintah daerah di sisi lainnya.

Penyesalan Pak Hasan Basri dengan nada pesimistis tentang apa yang akan terjadi jikalau reklamasi itu terjadi, ditambah dengan potensi pengangguran di desanya yang begitu tinggi dan membuat ia tidak bisa tidur nyenyak. Kata-katanya begitu serius dan dalam, karena entah apa yang terbesit di pikirannya antara realitas di desanya kini dengan apa yang akan terjadi nanti. Lebih-lebih dampak reklamasi yang dia sendiri tak bisa membayangkan seperti apa jadinya nanti. Beberapa program dari pemerintah daerah dan pusat, sudah dan akan dilaksanakan di desanya, seperti rencana Pemerintah Kabupaten tadi yang akan membangun tanggul di bantaran Sungai Cisadane untuk meminimalisir luapan banjir. Program-program dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Program Desa Pesisir Tangguh (PDPT) yang beliau katakan saat ini sudah berjalan selama setahun. Program PDPT  yang digulirkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah program dengan konsep blue economy yang berorientasi pemberdayaan desa pesisir berbasis ekonomi. Meningkatkan produktifitas dan kapasitas desa pesisir yang terdiri dari program pembangunan SDM, program pembangunan infrastruktur, program pengolahan kompos dan pelestarian atau konservasi ekosistem kawasan pantai dan muara sungai.

Program Desa Pesisir Tangguh (PDPT) adalah program andalan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di 16 Kabupaten se-Indonesia, termasuk Kabupaten Tangerang dengan Desa Tanjung Burung, sebagai desa yang ditunjuk untuk terlaksananya program ini. Program yang digulirkan KKP ini, diformulasikan untuk menjaga ketahanan desa dari dampak perubahan iklim, bencana ekologis dan menjaga ekosistem lingkungan desa pesisir, serta penguatan identitas kebaharian masyarakat desa pesisir dari bias kepentingan ekonomi dan politik yang memiskinkan masyarakat desa pesisir. Namun, formula PDPT ini akan terhambat jika terjadi pemiskinan di masyarakat desa pesisir seperti apa yang terjadi di desa Tanjung Burung. Gejala untuk memiskinkan masyarakat, mencerabut hak-hak ekologis, dan penghidupannya sudah terlihat seperti keluh kesah Pak Hasan Basri dan Pak Guntur, selaku aktivis lingkungan hidup Desa Tanjung Burung.

Tandon Air Pemberian dari Program CSR Perusahaan dan Lembaga Filantropi

Program-program yang digulirkan Pemerintah mau tidak mau dilaksanakan oleh pemerintah desa Tanjung Burung termasuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Mengenai program Millennium Development Goals (MDGs) yang digadang-gadangkan Pemerintah kita, faktanya aparat Desa Tanjung Burung seperti Kepala Desa dan jajarannya, tidak mengetahui sama sekali apa itu program Millennium Development Goals (MDGs), apalagi warganya.  Pak Hasan pun mengatakan, “Saya pun baru tahu apa itu MDGs”. Aku juga bingung, padahal program ini akan berakhir pada tahun 2015 mendatang. Disamping itu, bantuan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan dan lembaga filantropi, membantu membangun tandon air di beberapa titik sebagai terminal air bersih. Kebutuhan air bersih di Desa Tanjung Burung didapat dari tandon-tandon air tersebut. Ada beberapa titik instalasi tandon air bersih yang dimiliki PDAM dan bantuan dari perusahaan. Pak Hasan Basri mengatakan, harga 1 dirigen air bersih Rp. 2000, dan Rp. 250.000 untuk satu truk tangki. Ditambahkan Pak Hasan sambil menceritakan waktu dia kecil dulu, air Sungai Cisadane masih bisa diminum, sangat kontras dengan kondisi sekarang, dimana cuma bisa digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci saja. Air bersih kalau musim kemarau harganya bisa melonjak dengan harga satu truk tangki bisa mencapai Rp. 500.000.

Pak Hasan Basri dengan nada menggugat berkata kepada kami, “saya agak pesimis dengan program-program pemerintah yang kesannya menggugurkan kewajiban saja. Saya justru lebih suka dengan program-program mahasiswa yang dilakukan di sini, soalnya lebih ril walau program itu kecil-kecil dan bisa langsung terjun di masyarakat.” Ia menambahkan, “program PNPM yang digulirkan pemerintah banyak mengandung kelemahan di sini, seperti BLT dimana SDM di sini nggak siap, jadi hasilnya nggak maksimal.” Begitu juga kurangnya pengawasan dari Dinas (SKPD Kabupaten Tangerang) terkait yang lemah. Pak Hasan Basri pun berujar, “perlu dianalisa pembangunan di masyarakat agar efektif, perlu pembangunan masyarakat untuk pembangunan di desa ini.” Pak Hasan mengakui bahwa “pemerintah desa kurang aktif mendorong partisipasi masyarakat yang ada, pemerintah desa cuma menjalankan instruksi dari atas, dan akhirnya apa yang dilakukan di sini adalah swadaya masyarakat, karena di sini masih ada tradisi guyup semangat gotong royong meskipun diakui sekarang ini mulai terkikis.”

Hamparan kolam tambak.

Menyoal penanaman mangrove, acapkali gagal, karena lahan kolam tambak yang membuat area penanaman mangrove menyusut. Pemilik-pemilik kolam tambak menurut Pak Hasan Basri, kebanyakan dikuasai oleh orang-orang dari Jakarta. Persoalan ini kata beliau disebabkan oleh kesalahan pemerintahan desa terdahulu yang tidak berpikir untuk menyediakan area konservasi. Dan sampai saat ini belum ada kebijakan desa untuk konservasi di desa Tanjung Burung. Pak Hasan Basri dengan mantap mengatakan, bahwa penanaman mangrove di sini kurang mendapat perhatian warga desa, hal ini disebabkan kepentingan masyarakat sudah bergeser karena kepentingan pemilik modal, sehingga masyarakat di sini tetap jadi kuli di daerahnya sendiri.

Sebuah kolam tambak yang ditumbuhi pohon mangrove.

Berkenaan dengan pemerintahan, Pak Hasan Basri mengatakan wibawa Camat Teluk Naga kurang dibandingkan dengan seorang Kepala Desa. Soalnya, hemat beliau jabatan Camat adalah jabatan administratif, sedangkan Kepala Desa adalah jabatan politis, sehingga kewibawaan Kepala Desa lebih kuat dibandingkan Camat, yang kerjaannya lebih ke persoalan administrasi dan pengawasan saja, sedangkan kebijakan berada di tangan Kepala Desa. Ia pun mempersoalkan sistem ketatanegaraan kita, jujur membuat aku terkejut sampai bahasannya ke sana. Baginya apa yang ia terangkan di atas adalah persoalan ketatanegaraan kita, seperti hubungan Gubernur dengan Bupati atau Walikota, begitu juga hubungan Camat dengan Kepala Desa. Baginya sistem pemilihan Gubernur lebih baik ditiadakan saja karena memboroskan biaya demokrasi kita yang begitu besar, ujarnya dengan tegas mencoba membandingkannya dengan pemilihan Kepala Desa.

Obrolan seru kami ditutup dengan pengamatan Pak Hasan Basri mengenai realitas politik kita sekarang ini. Baginya masyarakat di desanya menjadi pasif dan apatis terhadap partai politik, karena mengamati pemberitaan di televisi tentang perilaku politikus yang tersandung kasus korupsi dan perbuatan amoral lainnya. Pak Hasan Basri mengatakan kepada kami, akibat banyaknya politikus yang ditangkap KPK, masyarakat jadi nggak peduli dengan perpolitikan kita. Dan Pak Hasan Basri kembali menggugat soal megaproyek reklamasi yang tidak sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Namun di sisi lain, kata beliau Pemerintah Kabupaten membuat payung hukum untuk megaproyek tersebut dalam produk Peraturan Daerah (Perda), dan ini jelas-jelas bertabrakan dengan peraturan diatasnya yang lebih kuat, ditambah tidak seusai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Namun belum sempat kami beranjak dari kediaman Pak Hasan Basri, tiba-tiba Pak Guntur datang dengan sepada motornya. Akhirnya malam pun semakin panjang rasanya.

About the author

Avatar

Renal Rinoza

Renal Rinoza lahir di Jakarta, 8 Maret 1984. Tahun 2004 kuliah di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lulus tahun 2010 dan di tahun 2007 sempat kuliah Filsafat Barat pada Program E.C Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Aktif di Komunitas Djuanda, sebuah kelompok studi sosial dan budaya berbasis media yang mengembangkan potensi media komunikasi seperti teks, video, fotografi dan material media komunikasi lainnya. Menulis kajian sinema, video dan kebudayaan visual di jurnalfootage.net. Bersama akumassa.org, menulis aneka tulisan feature berbasis jurnalisme warga dan bergiat sebagai Peneliti/Pemantau Program Pemantauan Media Akumassa di daerah Kota Tangerang Selatan.

9 Comments

  • Laut, sebagaimana sungai sudah jadi halaman belakang rumah kita sekarang. Karena menjadi halaman belakang, maka sungai dan laut sudah berubah menjadi tempat sampah. Perlu perubahan mendasar dari cara berfikir hingga perilaku kita untuk mengembalikan sungai dan laut sebagai beranda depan rumah kita.

  • “Saya justru lebih suka dengan program-program mahasiswa yang dilakukan di sini, soalnya lebih ril walau program itu kecil-kecil dan bisa langsung terjun di masyarakat.” – Pak hasan basri

    Alhamdulillah

  • ass renal. Sebagai dosen di uin jakarta, ibu bangga ada alumni seperti anda. Tahun ini, persisnya bulan agustus-oktober 2013, ibu ada program konservasi lingkungan di tanjung burung dan didanai dari kampus. Kalo berkenan, anda bisa ikut bergabung..

  • Smstinya bukn sja para tokoh pmuda yg mngafresiasíkn,ttg alam tj.burung yg kian kurng mndpt prhatian dri kpala desanya.dlu wktu sya kcil,pantai tj.burung lumayan rapi,skrg hẻm … Cape..!

  • soal pantai sampah tanjung burung……….?simple aja jwbnya harusnya kita semua sadar diri terutama pengusaha&pemerintah jgn mau enaknya ajeeeeeeeeeee

  • Sebenernya Tanjung Burung itu indah. Apalagi kalo kita olah raga di pagi hari, suasana yang ada di desa ini sangat nyaman bagi penduduk asli dan para pendatang. Namun sayang, para penduduk tidak mau menyadari akan keindahan alam yang mereka tempati sekarang ini. Saya harap, semoga semua pihak dapat berkerja sama demi sejahteranya desa Tanjung Burung bersama…Amiinn
    #Salam dari penduduk asli Tanjung Burung ^_^

  • Luar biasa. Indonesia butuh banyak pemuda seperti suadara.

    Ga coba di join aja sama universitas sekitaran sana? Klo ga salah ada 3 atau 4 universitas sekitaran ciputat.

    Biar banyak mahasiswa yg tergerak. Dan petinggi negeri ini paham bahwa kita butuh bukti bukan sekedar janji.

    Maju terus mas renal.

Tinggalkan Balasan ke Abdul Haris Djiwandono X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.