Jurnal Kecamatan: Jatiwangi Kota/Kabupaten: Majalengka Provinsi: Jawa Barat

Jatiwangi Art Factory: Tempat Pertama Pemutaran Perdana Film Naga Yang Berjalan Di Atas Air Di Luar Kota

Awal bulan Juli 2012 tepatnya hari Senin, 2 Juli 2012 film Naga Yang Berjalan Di Atas Air secara perdana diputar di luar kota tepatnya di Desa Surawangi, Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Pemutaran film ini tak terlepas dari dukungan kawan-kawan dari Jatiwangi Art Factory (JAF) yang memfasilitasi agenda pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air. Agenda pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air di Jatiwangi diwakili oleh Renal dan Choiril Chodri dari Komunitas Djuanda sebagai bagian dari program road show pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air yang telah kami agendakan  jauh-jauh hari. Sehari sebelum pemutaran, terlebih dahulu kami tiba di Jatiwangi pada malam jelang laga final Piala Eropa 2012 yang mempertandingkan kesebelasan Spanyol dan Italia. Namun kami tidak menyaksikan sepenuhnya laga final Piala Eropa 2012 karena rasa kantuk yang mendera dan akhirnya kami pun istirahat sehabis merasakan perjalanan dari Jakarta menuju Jatiwangi yang melelahkan.

Perjalanan kami dari Kampung Rambutan, Jakarta Timur ke Jatiwangi, Majalengka menempuh waktu sekitar lima jam. Sebelumnya kami berencana pergi menggunakan kereta dari Stasiun Senen, Jakarta. Ternyata setelah sampai stasiun, antrean begitu panjang. Aku (Choiril Chodri) baru ingat kalau sekarang pemesanan tiket harus dari jauh-jauh hari, dan tanggal 1 Juli 2012 juga bertepatan dengan pembukaan perdana pemesanan tiket untuk lebaran. Tidak heran kalau antrian pemesanan tiket begitu panjang.

Tidak lama kami sampai di stasiun, antrean begitu panjang sehingga kami memutuskan untuk berangkat menggunakan bus dari Pulogadung. Karena dana yang aku punya sangat mepet, maka aku putuskan mengajak Renal ke rumahku yang kebetulan dekat dengan Terminal Kampung Rambutan untuk mengambil dana perjalanan.

Tidak lama kami berdua sampai di rumah, kami langsung ke terminal karena takut kemalaman sampai di Jatiwangi. Setelah kami sampai terminal ternyata harus menunggu begitu lama, dan bus baru berangkat sekitar Pukul 18.10 WIB, itu pun harus menunggu penumpang penuh hingga sekitar pukul 19.10 WIB menuju Kuningan. Karena kami menggunakan bus Kampung Rambutan-Kuningan, kami pun turun di Palimanan, Cirebon, Jawa Barat sekitar pukul 23.25 WIB.

Dalam perjalanan  menuju Jatiwangi ada yang menarik perhatianku yaitu, konser dangdut di dalam bus. Awalnya aku mengira itu hanya pengamen biasa, tapi kok lama banget dalam hatiku berkata. Setelah aku melihat mereka bernyanyi, aku mengira kalau mereka dibayar dengan saweran. Perkiraanku  itu diperkuat saat mereka mau turun tidak meminta uang kepada penumpang selayaknya pengamen biasanya. Buatku hal itu sangat menarik, karena selama aku menggunakan bus malam menuju kampungku di Purworejo tidak pernah mendapati pengamen seperti itu, padahal jalur Jakarta-Purworejo dan Jakarta-Kuningan sama-sama melewati jalur Pantura.

Penyanyi dangdut di bus.

Pengamen itu terdiri dari dua orang wanita, dan menyanyikan cukup banyak lagu dangdut yang aku tidak mengerti, karena mereka menyanyikannya dengan Bahasa Sunda. Namun ada satu lagu yang sangat familiar di telingaku yaitu, lagu yang berjudul Perahu Layar (kalau aku tidak salah). Saat itu juga aku mengikuti alunan lagu itu, dan teringat masa Sekolah Dasar ku yang pernah menyanyikan lagu tersebut. Ternyata lagu itu adalah Tembang Jowo (lagu Jawa) yang dinyanyikan dengan logat Sunda, karena memang yang membawakan lagu tersebut orang  Sunda. Walaupun hanya mendapat suguhan musik dangdut, aku cukup terhidup dalam bus itu di Pantura. Dan tibalah kami di Palimanan. Kami turun sesuai dengan petunjuk yang telah disampaikan kawan dari JAF yang bernama Alghorie.

Di Palimanan, kami buta arah dan tidak tahu harus kemana. Tapi setelah bertanya Alghorie dan Tedi  En dari Jatiwangi Art Factory (JAF) melalui SMS dan juga orang di sekitar, kami pun menuju ke tempat ngetem minibus elf jurusan Majalengka. Namun perjuangan kami belum habis, kami harus menunggu dan menunggu, karena mobil itu juga menunggu penumpang penuh untuk bisa jalan. Kami berangkat dari Palimanan sekitar Pukul 23.55 WIB. Dengan menempuh waktu perjalanan selama setengah jam, kami sampai tempat tujuan yaitu, lampu merah Jatiwangi. Kami janjian dengan Tedi En di Pertigaan lampu merah tersebut untuk menjemput dan mengantar ke markas JAF.

Sesampainya di markas Jatiwangi Art Factory (JAF) tepatnya di Desa Jatisura, Tedi En langsung mengantarkan kami ke kamar yang telah disediakan. Setelah menaruh tas kami di kamar, segera menuju ke kantor untuk diperkenalkan kepada kawan-kawan JAF yang lain dan sekaligus beramah tamah. Di markas JAF kami menikmati ruang galeri. Namun setelah itu kami diajak untuk nonton bareng pertandingan final Piala Eropa 2012 yang digelar tak jauh dari markas JAF.

Malam kian larut, karena tak kuasa menahan kantuk akhirnya kami beranjak menuju markas JAF untuk istirahat di kamar tamu yang telah disediakan. Malam telah berganti, kami bangun dari tidur pada siang hari dan langsung mandi. Setelah itu kami menikmati hari dengan melihat-lihat pabrik genteng dan pabrik pembuatan keramik yang letaknya bersebelahan dengan markas JAF. Di pabrik keramik kami melihat proses pembuatannya dan sedikit bertanya-tanya mengenai proses pembuatan keramik dengan salah satu pengrajin keramik.

Pengrajin sedang membentuk keramik.

Darinya aku memperoleh sedikit informasi mengenai proses pembuatan keramik yang seharinya menghasilkan sekitar 50 keramik. Proses berikutnya menjemur keramik yang telah dibuat selama sehari. Keramik yang sudah kering kemudian di semprot dengan cat khusus dan didiamkan beberapa jam. Langkah berikutnya keramik itu dilukis dengan berbagai motif dan ornamen. Setelah dilukis, keramik diletakkan dalam rak. Kemudian dijemur lagi dan dibakar selama sehari. Setelah dibakar, keramik tersebut masuk tahap finishing untuk benar-benar dinyatakan layak dipasarkan melalui pesanan. Pesanan dapat menerima dalam partai besar dan partai kecil bahkan diekspor ke beberapa negara.

Pengrajin sedang melukis keramik.

Keramik yang telah selesai siap dipasarkan.

Pada sore hari, kami bersama teman-teman JAF menyiapkan peralatan untuk pemutaran film di malam hari. Setelah persiapan selesai, kami berdua diajak untuk menemani pembuatan video performance dari dua orang seniman video asal Australia yang sedang residensi di Jatiwangi Art Factory (JAF) selama dua pekan. Dua seniman asal Australia tersebut bernama Sabina Maselli dan Greg Pritchard. Di pematang sawah yang habis panen, mereka mendemonstrasikan pembuatan video performance dengan membakar tumpukan jerami dan di tembak lampu proyektor yang menampilkan video tarian Topeng Cirebonan. Mereka merekam tarian topeng yang ditampilkan proyektor dengan kamera videonya. Warga masyarakat bahu membahu membantu proses pembuatan video performance itu. Sebelum matahari terbenam, Sabina dan Greg memfoto warga sekitar.Tampak warga sangat senang di foto oleh mereka berdua dan kawan-kawan dari JAF.

Sabina Maselli mengabadikan warga Jatiwangi di pematang sawah.

Senja di langit Jatiwangi menyingsing dua orang seniman asal Australia itu. Sehabis maghrib, Sabina dan Greg langsung mendemonstrasikan video performance-nya dengan tembakan cahaya proyektor menuju kepulan asap yang mengepul dari tumpukan jerami yang dibakar.

Demonstrasi video performance.

Video bergambar penari ditembakkan melalui proyektor ke kepulan asap.

Setelah mereka selesai melakukan demonstrasi video performance, kami bersama teman-teman JAF beranjak untuk mempersiapkan acara pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air. Acara pemutaran diadakan sekitar pukul 19.30 WIB di sebuah pelataran rumah warga Desa Surawangi, Kecamatan Jatiwangi yang merupakan desa tetangga dari Jatisura—Desa Jatisura adalah desa di mana Jatiwangi Art Factory (JAF) bermarkas dan letaknya tak begitu jauh dari tempat pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air.

Renal Rinoza Kasturi dari Komunitas Djuanda memberikan informasi tentang film Naga Yang Berjalan Di Atas Air.

Acara pemutaran cukup banyak dihadiri warga sekitar dan mereka menikmati film dengan gelak tawa karena ada adegan-adegan yang lucu. Adegan-adegan pembuka membuat para penonton tertawa, misalkan adegan yang menampilkan topeng monyet. Tampilan film Naga Yang Berjalan Di Atas Air kualitasnya lumayan bagus begitu juga dengan sound-nya. Dengan kualitas seperti itu, aku merasa seperti menonton di bioskop sungguhan walaupun tentunya tidak sebagus sound di gedung aslinya. Maklum pemutaran diadakan di ruang terbuka.

Suasana pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air.

Pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air berjalan lancar sampai selesai. Di tengah-tengah pemutaran, kami berdua diajak oleh warga, namanya Pak Api—tokoh masyarakat setempat untuk berbincang-bincang. Tak hanya kami berdua saja, Sabina, Greg, Tedi, Ismal dan beberapa kawan JAF lainnya diundang juga ke ruang tamu Pak Api. Kami menikmati panganan seperti risol, bayam goreng, rengginang, piscok (pisang coklat), dadar gulung, kopi dan teh. Dalam bincang-bincang itu, Renal sempat menjelaskan tentang film Naga Yang Berjalan Di Atas Air kepada Sabina dan sedikit informasi mengenai produksi film ini kepada Greg serta Pak Api.

Ha..ha..ha, aku (Renal) sedikit tertawa dalam hati tatkala berbincang-bincang dengan Sabina, karena bahasa Inggrisku yang masih terbata-bata. Tapi syukurlah komunikasi berlangsung efektif walau agak belibet ngomongnya. Sabina pun tertarik dengan apa yang diceritakan dan aku mengajak dia untuk berkunjung ke Forum Lenteng dan Komunitas Djuanda. Sabina dengan senyum simpulnya meng-iya-kan. Rasanya mungkin dia akan berjanji untuk berkunjung ke Forum Lenteng dan Komunitas Djuanda. Menariknya ia mencatat alamat web yang aku berikan kepadanya untuk dikunjungi di antaranya, situs Forum Lenteng, akumassa, Jurnal Footage, filmNaga Yang Berjalan Di Atas Air dan Komunitas Djuanda.

Foto bersama di Rumah Pak Api, tokoh masyarakat di Jatiwangi.

Setelah acara pemutaran, kami pun membereskan peralatan-peralatan. Kemudian ngobrol-ngobrol sejenak dengan Pak Api. Setelah dari rumah Pak Api, kami menuju markas JAF. Sesampainya di markas JAF begitu banyak kawan-kawan JAF, suasana begitu cair penuh dengan obrolan santai dan canda tawa. Di markas JAF, tepatnya di ruang kantor ada Pak Camat Jatiwangi, namanya Haryono. Ia sering menghabiskan waktu di JAF pada malam hari. Ternyata ia ikut serta dalam setiap agenda JAF termasuk memainkan beberapa lagu yang digubah bersama kawan-kawan JAF. Haryono pandai bernyanyi dan penampilannya sudah aku saksikan di kanal Youtube Jatiwangi. Menurut Tedi, Pak Kuwu (Kepala Desa) maupun Pak Camat juga berkolaborasi membuat karya seni termasuk di jalur seni musik. Satu hal dari penampilan dan pembawaan Pak Kuwu dan Pak Camat, mereka sangat cair dan tak terkesan kaku dan formal.

Beginilah sekelumit kisah acara pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air yang berlangsung di Jatiwangi. Banyak kisah dan hal-hal yang menarik perhatianku di tempat ini (baca: Jatiwangi), termasuk membunuh rasa penasaranku tentang keberadaan Jatiwangi Art Factory (JAF) yang digawangi sekumpulan anak muda dengan semangat dan idealisme dalam berkesenian dan berkebudayaan. Kawan-kawan dari JAF memiliki beberapa program kegiatan, salah satunya program residensi seniman untuk berkarya di sini. Dan aku (Renal) merasa senang bisa sampai di Jatiwangi, menyaksikan secara riil aktivitas yang dilakukan oleh kawan-kawan JAF.

Acara pemutaran film Naga Yang Berjalan Di Atas Air di Jatiwangi adalah agenda perdana kami di luar kota dan akan terus diputar di beberapa daerah. Adapun bagi pembaca yang ingin film Naga Yang Berjalan Di Atas Air diputar di kota anda dapat menghubungi bagian publicist kami, Rizky Muhammad Zein +62856 9317 50 18, twitter @nagadaritangsel, fanpage FB: Naga Yang Berjalan Di Atas Air

About the author

Avatar

Renal Rinoza

Renal Rinoza lahir di Jakarta, 8 Maret 1984. Tahun 2004 kuliah di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lulus tahun 2010 dan di tahun 2007 sempat kuliah Filsafat Barat pada Program E.C Ilmu Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Aktif di Komunitas Djuanda, sebuah kelompok studi sosial dan budaya berbasis media yang mengembangkan potensi media komunikasi seperti teks, video, fotografi dan material media komunikasi lainnya. Menulis kajian sinema, video dan kebudayaan visual di jurnalfootage.net. Bersama akumassa.org, menulis aneka tulisan feature berbasis jurnalisme warga dan bergiat sebagai Peneliti/Pemantau Program Pemantauan Media Akumassa di daerah Kota Tangerang Selatan.

About the author

Avatar

Choiril Chodri

Pria kelahiran 1990 ini sedang menyelesaikan studinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktif diberbagai komunitas, di antaranya Div. Produksi di Komunitas Djuanda, Div. Media di Masyarakat Peduli Karakter Bangsa dan Wakil Ketua di Ikatan Mahasiswa Purworejo Jakarta Raya (Imapurjaya). Selain di kampusnya, beberapa karyanya pernah dipamerkan di Jakarta 32 ruang rupa di Galeri Nasional Indonesia 2010 dan Pameran fotografi 484, Cikini dan pernah presentasi khusus video akumassa di Festival Film Dokumenter (FFD) Taman Budaya, Yogyakarta, 2010.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.