Jurnal Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Mencari Ruang, Mencari Rumah

Musik alternative saja kini telah menjadi musik mainstream juga, toh?! Karena media massa dan label-label arus utama memandangnya sebagai bahan yang bisa didadar terus-menerus untuk menghasilkan konten hiburan yang laku, pikir saya suatu hari. Demikian pula soal “budaya tanding”. The Rebel Sell, buku hasil kolaborasi seorang profesor filsafat dan seorang jurnalis dari Kanada itu, telah memaparkan argumen tentang bagaimana penguasa modal bisa merontokkan “mimpi/utopia alternatif” menjadi bahan yang gunanya tak lebih dari sekadar pemicu akumulasi keuntungan mereka.[1]Lihat Joseph Heath & Andrew Potter, The Rebel Sell: Why the Culture Can’t be Jammed (Toronto: Harper Perennial, 2004). Sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Radikal Itu Menjual: Budaya Perlawanan atau Budaya Pemasaran?, terj. Ronny Agustinus & Paramita A. P. (Jakarta: Antipasti, 2009). Belakangan, stasiun-stasiun televisi swasta nasional juga ikut-ikutan ber-jurnalisme warga pula. Singkatnya, kita semua seakan sedang dikadali oleh “si dominan”, lagi dan lagi! Bukankah ini menggelikan?

Tapi fenomena ini menunjukkan, bahwa “alternatif” pada faktanya justru telah menginspirasi “arus-arus utama” supaya mereka (juga) bisa tetap bertahan. Dengan kata lain, komunitas-komunitas itu, yang—karena faktor “pemahaman yang dialamiahkan” oleh si pendominasi—mulanya dianggap oleh masyarakat umum sebagai “pemain-pemain pinggir”, ternyata, adalah “pelaku-pelaku utama” juga: poros-poros inspirasi.

Dalam konteks ini, tentunya hingga sekarang kita tetap menolak ide tentang kemapanan, karena “yang berhasil mapan” selalu rentan menjadi “pendominasi [baru]”—kalau sudah mendominasi, pasti lagi-lagi akan menindas. Bagaimana kita kemudian dapat melihat komunitas sebagai bagian dari konstelasi “pelaku utama” yang jamak (plural), yang sama kuat dan saling menopang, yang tersebar secara merata di berbagai segi, mendesentralisasikan kekuasaan yang dominan? Kalau kata Rath, komunitas (beserta ruang yang mereka kelola) itu, pada dasarnya, menjadi bagian dari “sektor-sektor sosial yang lebih luas dan lebih beraneka yang sedang memperjuangkan hak untuk menafsir”[2]A. K. Rath, op. cit., hal. 12… atau berekspresi.

Daripada memusingkan bagaimana caranya supaya “menjadi beda” itu bisa lepas dari unsur kapital-kapitalan dan neolib-neoliban, menurut saya, ada baiknya sedari awal kita meniatkan diri menjadi komunitas yang mengelola ruang (yang organik) dengan agenda: menjadi utama—secara kualitas, tentu saja—bukan anak bawang. Dalam artian: memiliki daya yang dapat menggiring (atau menjadi contoh bagi) “arus-arus utama konvensional” agar mereka bergerak ke arah yang lebih baik.

Untuk mendukung agenda itu, saya pikir, tentu sebuah komunitas membutuhkan ruang yang tidak sekadar alternatif, atau pun memiliki ruang yang hanya dijadikan sebagai “ruang alternatif”, melainkan sebagai “ruang utama” bagi publik (masyarakat umum). Kerangka berpikir inilah yang kemudian menjadi modal saya untuk membantu kawan-kawan Komunitas pasirputih di Pemenang, Lombok Utara, NTB, saat mereka mencari rumah/markas baru.

Sekali lagi, di mana ruang semacam itu bisa kita dapatkan? Berdasarkan kesepakatan dan keyakinan kami saat itu, jawabannya adalah di area-area di mana kekerabatan sosial telah berkembang secara organik. Barangkali, “rumah yang memiliki tetangga”…?

Footnote   [ + ]

1. Lihat Joseph Heath & Andrew Potter, The Rebel Sell: Why the Culture Can’t be Jammed (Toronto: Harper Perennial, 2004). Sudah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Radikal Itu Menjual: Budaya Perlawanan atau Budaya Pemasaran?, terj. Ronny Agustinus & Paramita A. P. (Jakarta: Antipasti, 2009).
2. A. K. Rath, op. cit., hal. 12

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.