Darivisual Kecamatan: Jatiwangi Kota/Kabupaten: Majalengka Provinsi: Jawa Barat

Masyarakat Berdaya untuk Pemberdayaan Pemerintah

Avatar
Written by Manshur Zikri

Artikel ini sudah pernah terbit di buku kumpulan tulisan berjudul Gerimis Sepanjang Tahun (terbitan Forum Lenteng, 2015) dengan judul yang sama. Diterbitkan kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.

KALAU BERBICARA TENTANG ‘pemberdayaan masyarakat’, saya secara pribadi terkadang merasa gelisah. Apa sebab? Dua kata itu, yang pada masa sekarang sudah sedemikian populer dalam berbagai aktivitas organisasi masyarakat sipil—bahkan, telah umum dijadikan sebagai salah satu program unggulan oleh para pelaku dan institusi-institusi dari lingkungan pemerintahan—dalam keadaan tertentu, merepresentasikan suatu nuansa yang dapat ‘menusuk dari belakang’ dan ‘merendahkan’ masyarakat itu sendiri.

Alih-alih menyatakan bahwa masyarakat memiliki daya, aksi ‘memberdayakan’ itu, bisa jadi, merupakan alter-ego dari kelompok-kelompok eksklusif [1]Maksud saya dengan istilah ‘kelompok ekslusif’ ini memang dimaksudkan sebagai oposisi dari makna inklusif. ‘Kelompok ekslusif’, yakni kelompok yang sesungguhnya berada ‘di luar’ dan tidak melebur ke dalam lingkungan masyarakat yang menjadi objek atau sasaran kegiatan-kegiatannya. Kelompok ini adalah ‘kelas yang terbatas’, yang keanggotaannya ditentukan oleh prasyarat tertentu agar orang-orang bisa menjadi bagian darinya. Keterbatasan itu pun, secara sadar atau tidak, juga menentukan akses, baik yang arahnya ke dalam kelompok itu sendiri maupun ke arah luar. Umumnya, ‘kelompok eksklusif’ mengidentifikasi dirinya sebagai pihak yang lebih unggul atau istimewa atas hal tertentu di antara elemen-elemen masyarakat umum yang lainnya. dalam memandang masyarakat, yakni menguatkan status masyarakat sebagai entitas yang ‘tidak berdaya’.

‘Pemberdayaan masyarakat’ memanglah sebuah terjemahan umum dari kata Bahasa Inggris, ‘community development’ atau ‘community empowerment’. Di mata saya sendiri, sepertinya penerjemahan kata itu pun juga harus ditinjau kembali, apakah tepat atau tidak. Untuk sementara, keharusan itu dapat dikesampingkan. Kita masih bisa mendadar istilah ‘pemberdayaan masyarakat’ sebagai sebuah perbincangan yang renyah meskipun dengan kegelisahan.

Memaparkan isi kegelisahan itu, untuk mencegah adanya poin-poin yang bisa jadi terlewatkan atau kealpaan diri saya sendiri dalam memahaminya, saya mencoba memulai risalah ini dengan mendeskripsikan secara kritis beberapa sumber bacaan yang saya dapatkan, terkait wacana ‘pemberdayaan masyarakat’ (dalam konteks, bahwa istilah itu adalah terjemahan dari kata Bahasa Inggris, ‘community development’ atau ‘community empowerment’).

Konon, aksi ‘pemberdayaan masyarakat’ yang dianggap sebagai salah satu yang pertama ada, di antara yang lainnya, adalah aksi-aksi yang terjadi di penghujung tahun 1930-an dalam suatu pertarungan posisi tawar antara kelompok tertindas dan penguasa dari Barat. ‘Pemberdayaan masyarakat’, jika mengikuti kerangka berpikir imperialis dalam memandang bangsa jajahan, konsepnya sederhana saja: memberdayakan orang lokal untuk pembangunan (yang sesuai dengan kepentingan pihak yang—di masa program pemberdayaan itu dijalankan—memiliki dominasi). Sedikit catatan yang menunjukkan hal ini adalah tentang sejarah politik salah satu negara di Afrika—tapi saya yakin peristiwa serupa juga terjadi di berbagai negara bekas jajahan lainya, termasuk Indonesia. Dalam rangka meluaskan sekaligus menguatkan pengaruh dan tekanan Pemerintah pusat terhadap wilayah-wilayah dudukannya, Kekaisaran Inggris yang kala itu menguasai Kenya melancarkan program yang berusaha menarik minat para pribumi (orang lokal, terutama yang muda) untuk terlibat dalam agenda administratifnya, guna memastikan mereka berpihak kepada Pemerintah dan tidak melawan.[2]J. M. Lonsdale, “Some Origins of Nationalism in East Africa”, The Journal of African History, Vol. 9, No. 1 (1968), hal. 119-146. Lihat di halaman 128. Pada dekade-dekade selanjutnya, agenda ‘pemberdayaan masyarakat’ ini menjadi wajah gerakan-gerakan yang berusaha mengentaskan kemiskinan, tetapi, sering kali, yang dilihat sebagai ‘miskin’ itu adalah ‘negara berkembang’.

Kategori ‘miskin’—atau, kata lainnya ‘berpenghasilan rendah’—yang disematkan pada masyarakat, toh ternyata mengundang sinisme terhadap aksi ‘pemberdayaan’ itu sendiri. Lihat saja salah satu contohnya, Saul D. Alinsky, organisator dan penulis asal Amerika, yang disebut-sebut sebagai pendiri atau pelopor organisasi masyarakat modern itu, tetap menerima kritikan pedas dari beberapa pakar di bidang ilmu sosial. Karya tulisnya, berjudul Rules for Radicals: A Pragmatic Primer for Realistic Radicals—yang secara jelas menyatakan peran penting organisasi massa dalam “merebut kekuasaan dan memberikannya kepada orang-orang; demi mewujudkan mimpi demokratis akan kesetaraan, keadilan, perdamaian, kerja sama, kesempatan yang sama rata dan penuh atas pendidikan, pekerjaan yang penuh dan berfaedah, kesehatan, dan penciptaan situasi di mana manusia dapat memiliki kesempatan untuk hidup pada nilai-nilai yang memberikan makna bagi kehidupan”[3]Saul D. Alinsky, Rules for Radicals: A Pragmatic Primer for Realistic Radicals (New York: Random House, 1971), hal. 3.—dipandang sebagai sekumpulan instruksi semata yang diduga hanya efektif jika diperuntukkan bagi area-area yang masyarakatnya ‘berpenghasilan rendah’. Kritik seperti itu, salah satunya dipicu karena pada karyanya yang lebih awal[4]Lihat Saul D. Alinsky, Reveille for Radicals (Chicago: University of Chicago Press, 1946)., Alinsky dituding hanya menyebutkan satu contoh studi[5]Dalam Reveille for Radicals itu, Alinsky memaparkan ilustrasi dengan mengambil contoh pada peristiwa pertemuan antara American Federation of Labor, Congress of Industrial Organizations, dan Railroad Brotherhood. Pertemuan itu dalam rangka dukungan terhadap suatu kampanye organisasional di sebuah kota yang terletak di dekat Mason-Dixon (lihat di hal.188-189). untuk mendukung klaimnya mengenai dampak dari People’s Organizations (suatu terma yang ia gunakan untuk mengacu bentuk ‘organisasi modern’, untuk membedakannya dengan organisasi tradisional).[6]Robert Pruger dan Harry Specht, “Assessing Theoritical Models of Community Organizations Practice: Alinsky as a Case in Point”, Social Service Review, Vol 43, No. 2 (Juni, 1969), hal. 123-135. Lihat di halaman 133. Dan lagi-lagi, dampak yang dibicarakannya hanya untuk konteks masyarakat berpenghasilan rendah.[7]Robert Pruger dan Harry Specht, ibid. Dalam pemaparannya, Pruger dan Specht menyoroti klaim Alinsky tentang mekanisme People’s Organizations yang dapat memproduksi tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat berpenghasilan rendah (low-income community). Jika kita meninjaunya ke Reveille for Radicals, Alinsky memaparkan pengalamannya menghadapi ketiga lembaga (yang disebut di catatan kaki nomor 5) yang mulai menghindari Hukum Jim Crow, yakni hukum yang mengatur etnis Afrika-Amerika (sering disebut dengan istilah merendahkah: ‘orang negro’) secara diskriminatif; fasilitas untuk orang kulit putih selalu lebih bagus ketimbang fasilitas untuk orang kulit hitam. Menurut pemahaman saya, pada pemaparan Alinsky tersebut, tersirat suatu pernyataan bahwa pola ‘organisasi modern’ yang dia ajukan telah membuka peluang bagi kelompok tertindas untuk berpartisipasi secara lebih aktif dan diakui dalam aktivitas-aktivitas politik. Kritik yang menyerangnya bahkan menyatakan, bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan jikalau gaya organisasi a la Alinsky itu telah membuahkan hasil yang membuat masyarakat dapat beranjak dari “kekhawatiran-kekhawatiran yang sifatnya ekspresif belaka” ke “aksi-aksi bersifat instrumental”.[8]Robert Pruger adan Harry Specht, ibid., hal. 134.

Selain masalah efektivitas, saya sendiri melihat bahwa kita patut mempertanyakan posisi ‘masyarakat’ di dalam gagasan Alinsky tersebut. Meskipun cita-citanya mulia, tetap saja peluang partisipasi masyarakat yang dimarjinalkan—dalam konteks masyarakat Amerika saat itu—masih berada di bawah bayang-bayang penguasa dari etnis kulit putih. Masyarakat ‘miskin’, baik dari segi kemiskinan ekonomi, sosial maupun budaya, dilihat tak lebih sebagai objek yang diberikan kesempatan untuk bisa berpartisipasi. Dengan kata lain, masyarakat ‘miskin’ itu didefinisikan sebagai suatu ‘kelompok tertindas’ yang patut ditolong dengan dalih mewujudkan mimpi tentang kesetaraan.

Jika kita mencermati pengertian dari istilah dan aksi ‘pemberdayaan masyarakat’ berdasarkan hasil bacaan yang telah saya paparkan di atas, tidak heran jika Bank Dunia—lembaga keuangan internasional milik PBB yang memang memiliki visi dan misi utama memberantas kemiskinan di dunia, melalui pemberian pinjaman modal kepada ‘negara-negara berkembang’—yang selalu menggaungkan wacana ‘pemberdayaan masyarakat’ melalui programnya, bernama Community Driven Development (CDD), sering pula dicurigai memiliki agenda ‘udang di balik batu’ karena diduga membawa kepentingan negara ‘adidaya’ Amerika Serikat yang berusaha meletakkan pengaruhnya di berbagai belahan dunia. Terlepas dari benar atau tidaknya konspirasi semacam itu, fenomena ini mengindikasikan bahwa aksi ‘pemberdayaan masyarakat’ dapat berpotensi salah sasaran; menguatkan daya paham di bawah alam sadar, yang sangat mungkin akan keliru, dalam mendefinisikan peran dan posisi masyarakat, terutama masyarakat di lingkungan lokal.

Menimbang faktor-faktor itu, saya lebih setuju jika kita, bersama-sama, bersedia mencari istilah alternatif bagi gerakan-gerakan lokal yang ingin membangun tangga untuk mencapai tatanan masyarakat madani. Daripada sekadar menggunakan dua kata ‘pemberdayaan masyarakat’, agaknya kita membutuhkan sebuah istilah lain yang menegaskan esensi ‘kemandirian’; suatu istilah yang memanifestasikan ruh ‘berdaya’, misalnya semacam istilah yang berarti ‘pemberdayaan yang mandiri oleh dan untuk masyarakat’—tapi, supaya terasa elegan dan tampak praktis serta taktis, istilah yang kita cari itu, tentunya, harus menggunakan diksi yang, dari segi bentuk dan ritmenya, sepadan dan dapat berambivalensi dengan istilah sebelumnya yang sudah umum digunakan.

Sejauh ini, Program AKUMASSA[9]Sebuah program bernama resmi “AKUMASSA: Program Pemberdayaan Media Berbasis Komunitas” yang digagas sejak 2008 oleh Forum Lenteng, sebuah organisasi nirlaba egaliter, berbasis di Jakarta, yang fokus pada studi-studi sosial dan budaya, khususnya di bidang media, seni, dan sinema. Penulis adalah salah satu pegiat utama program tersebut. Forum Lenteng—sehubungan dengan fokus kegiatannya di wilayah media—lebih sering menggunakan istilah ‘pemberdayaan media’. Jika kita mengacu pada pembahasan saya sebelumnya, memang aksi-aksi yang dilakukan oleh AKUMASSA dilatarbelakangi oleh fakta, bahwa ‘media’ (khususnya media massa arus utama) sedang tidak memiliki daya—terutama jika kita mengerucutkan ruang lingkupnya sejak peristiwa Reformasi 1998. Media, sebagai sebuah entitas yang terpisah dari masyarakat, tidak berdaya fungsi yang relevan bagi kepentingan umum. Sekarang ini, kita tidak bisa menentukan dengan pasti media massa apa, yang mana, dan milik siapa yang benar-benar bekerja untuk kepentingan masyarakat. Hampir semuanya berbalut kepentingan yang didasarkan unsur kepemilikan (privat), jauh dari cita-cita ideal tentang ‘media’ yang memiliki kodrat sebagai alat masyarakat.

Oleh karena itu, AKUMASSA berdiri di atas wacana yang berusaha menguatkan ide tentang ‘memberdayakan media’, terutama melalui agenda membangun infrastruktur media yang bentuk dan pola kerjanya berbeda dengan mekanisme media arus utama. Siapa yang melakukan ‘pemberdayaan media’ itu? Tentu saja masyarakat. Jikalau ‘pemberdayaan masyarakat’ memposisikan masyarakat sebagai objek yang pasif, konsep ‘pemberdayaan media’ yang coba digagas oleh AKUMASSA adalah wacana untuk menandingi itu, yakni dengan memposisikan masyarakat sebagai subjek yang aktif; ‘pemberdayaan media’ oleh dan untuk masyarakat.


DI DESA JATISURA[10]Salah satu desa yang berada di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat, Indonesia., saya mendapat pengalaman diskusi yang membuat saya jadi benar-benar mengerti apa yang disebut sebagai ‘kalah dengan terhormat’. ‘Kalah’ bisa mengandung makna yang positif. Bahkan, ‘kalah’ itu justru menjadi metafora tentang gerakan masyarakat yang optimis.

Otty Widasari (Direktur Program Pemberdayaan Media Berbasis Komunitas, Forum Lenteng) ketika memberikan materi pada lokakarya AKUMASSA Ciranggon, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, tahun 2015.

Suatu hari, saya dan Otty duduk berdiskusi dengan Arief dan Ginggi di markas Jatiwangi Art Factory (JaF). Dalam rangka merencanakan pelaksanaan workshop Program AKUMASSA untuk wilayah Kampung Wates, Arief dan Ginggi menceritakan pengalaman mereka bernegosiasi dengan dinamika sosial dan politik yang ada di desa mereka. Termasuk di dalamnya, hal-hal tentang bagaimana membangun suatu hubungan simbiosis mutualisme antara warga, organisasi masyarakat, dan Pemerintah. Menurut mereka, hanya melalui cara itulah agenda membangun desa dapat terwujud—sekarang bukan lagi era yang menggunakan kekerasan untuk melawan kekuasaan.

Secara filosofis, sebagaimana yang diterangkan oleh Ginggi, warga masyarakat mau tidak mau memang berada di posisi yang ‘selalu’ akan ‘kalah’. Masyarakat akan benar-benar kalah (dalam artian yang sesungguhnya) jika terjebak dalam pola pikir dan perilaku yang mengamini kekerasan. Kekerasan, dalam hal ini, selalu identik dengan kecenderungan untuk menindas, yang merupakan buah dari karakter kekuasaan, baik berupa kekerasan fisik, psikis, sosial, maupun budaya. Pada pelaksanaan pembangunan jalan tol, contohnya, yang menurut Ginggi akan berdampak kerugian bagi kehidupan masyarakat di Desa Jatisura[11]Ginggi menerangkan kepada kami, bahwa dalam cetak biru pembangunan jalan tol yang melintasi Kecamatan Jatiwangi, tidak dipertimbangkan, salah satunya, aspek-aspek krusial sehubungan dengan sarana pengairan (semacam saluran drainase) di tingkat desa dan kelurahan. Cetak biru itu hanya mempertimbangkan keselamatan saluran air di tingkat yang lebih tinggi, seperti kabupaten., oleh masyarakat desa tidak dilawan dengan cara-cara yang menggunakan kekerasan pula, seperti demonstrasi berujung perilaku brutal massa, misalnya. Alih-alih, warga masyarakat itu menggalakkan kegiatan gotong-royong desa sebagai sebuah usaha untuk memberi tahu Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam pembangunan jalan tol itu, bahwa Desa Jatisura, secara disengaja atau tidak, telah ‘diluputkan’ dari peta Negara. Kegiatan gotong royong membersihkan lingkungan desa itu menjadi ‘bukti’ bagi Negara bahwa Desa Jatisura masih ada dan masyarakatnya berdaya. Pembangunan jalan tol memang tetap dilanjutkan, tetapi setidaknya pembangunan itu ‘berbelok’ sehingga tidak meluluhlantahkan wilayah desa secara keseluruhan; ‘kalah’, tapi tetap berada.

Di lain kesempatan, saya mendengar istilah ‘pemberdayaan pemerintah’. Sebagaimana pembahasan saya sebelumnya, istilah ini memang mengindikasikan bahwa Pemerintah sedang tidak berdaya.

“Sebenarnya, banyak sekali program-program yang dirancang Pemerintah itu yang bagus,” ujar Ginggi, suatu ketika. “Tapi mereka tidak mengerti bagaimana menerapkannya atau mengkomunikasikannya kepada warga.”

Dengan kata lain, supaya program-program yang ada membuahkan hasil yang maksimal, warga memberdayakan Pemerintah agar bisa memenuhi kebutuhan masyarakat—bukan menunggu Pemerintah memberdayakan masyarakat.

Kembali kita memasukkan istilah ‘pemberdayaan masyarakat’ di bagian ini, sebenarnya agenda yang dari segi tertentu dapat disebut menggunakan wajah ‘pemberdayaan pemerintah’, sudah lama ada di Indonesia. Beberapa di antara program ‘pemberdayaan masyarakat’ oleh Pemerintah yang saya maksud—yang lagi-lagi berporos pada kebutuhan untuk ‘mengentaskan kemiskinan’—antara lain, P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil) yang dilaksanakan sejak tahun 1979[12]Edy Rianto, Peran Stakeholder dalam Pelestarian Program P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani – Nelayan Kecil), Makalah Seminar dan Lokakarya “Strategi Pengembangan dan Pelestarian Program P4K dalam Pengurangan Kemiskinan di Kabupaten Pemalang” (Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, 2004), hlm. 1. Diakses pada 19 Mei, 2015., di bawah Departemen Pertanian; KUBE (Kelompok Usaha Bersama) yang dilaksanakan sejak tahun 1982[13]Sjafra Dwipa dan Janes Simanjuntak, MT., “Regulasi Panas Bumi Dalam Era Otonomi”, Kolokium Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral (DIM) TA (2002), hal. 2. Diakses pada 19 Mei, 2015., di bawah Departemen Sosial; Program IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang dicetuskan Mubyarto tahun 1993[14]Faizah Fauzan El Muhammady, Evaluasi Program Inpres Desa Tertinggal dalam Konteks Mengentaskan Kemiskinan pada Masyarakat Nelayan (Studi Kasus Nelayan Penerima Program IDT di Kotamadya Padang, Propinsi Sumatera Barat), Tesis (Institut Pertenian Bogor, 1996), hal. 10. Diakses pada 19 Mei, 2015., di bawah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; dan PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir) yang mulai dilakukan sejak tahun 2001[15]Razak Miraza, Implementasi Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat, Skripsi (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 14-15. Diakses pada 19 Mei, 2015., di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan. Tak lupa pula kita menyebut PPK (Program Pengembangan Kecamatan) yang dilaksanakan mulai tahun 1998[16]The World Bank, “Program Pengembangan Kecamatan”, diakses pada 19 Mei, 2015., di bawah tanggung jawab Departemen Dalam Negeri; dan P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) yang dilaksanakan sejak tahun 1999[17]PNPM Mandiri (3 Juli, 2011), “Tanya Jawab Seputar PNPM Mandiri”, Brosur, hlm. 1. Diakses pada 19 Mei, 2015. oleh Departemen Pekerjaan Umum.[18]Agus Purbathin Hadi, “Tinjauan Terhadap Berbagai Program Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia” (tidak bertanggal). Diakses pada 19 Mei, 2015. Kedua program ini sekarang bergabung dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri yang mulai berjalan tahun 2007.[19]PNPM Mandiri, op cit.

Program-program yang mengusung agenda ‘pemberdayaan masyarakat’ tersebut, saya nyatakan berwajahkan ‘pemberdayaan pemerintah’, karena dalam penerapannya juga menyasar peningkatan kapasitas para pelaku pemerintahan di tingkat desa dan kota, dengan harapan mereka dapat terlibat aktif untuk menyukseskan program-program Pemerintah Pusat tersebut. Hal itu terutama terlihat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri[20]P2KP, “Tentang PNPM”, Situs web P2KP (tidak bertanggal). Diakses pada 19 Mei, 2015. dan Inpres Desa Tertinggal[21]Faizah Fauzan El Muhammady, op cit.. Namun demikian, konsep ‘pemberdayaan pemerintah’ yang dibawa oleh program-program ini jauh berbeda dengan apa yang saya pelajari di Jatiwangi. Alih-alih tercipta suatu kondisi di mana masyarakat memberdayakan Pemerintah, program-program tersebut tetap saja memposisikan masyarakat berada di bawah. Hal itu dapat dinilai dari beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebab kegagalan program-program itu, yakni menggunakan pendekatan yang top-down, mengabaikan nilai-nilai lokal, tidak partisipatif, tidak holistik, dan adanya ilusi investasi.[22]Agus Purbathin Hadi, op cit. Jika kita mengamatinya dengan lebih kritis, wajah ‘pemberdayaan’ semacam itu mengindikasikan suatu gejala yang lebih-kurang sama dengan ‘pemberdayaan’ a la Barat yang sempat saya singgung di awal tulisan ini. Meskipun yang mencanangkannya adalah Negara sendiri, selama esensi dan status publik dan masyarakat masih dilihat sebagai kelompok ‘tidak berdaya’, sudut pandang risalah ini menilai bahwa kondisi itu adalah cerminan dari suatu pendisiplinan yang membelenggu demokrasi. Pada kenyataannya, partisipasi masyarakat yang digaung-gaungkan Pemerintah hanya berhenti di tataran ‘dialog’, selebihnya, segala macam bentuk pembangunan sering kali mengingkari kesepakatan dari dialog yang telah dilakukan.

Jika kita berkaca pada kasus di Jatiwangi, sebuah daerah yang sebagian warganya melakukan kegiatan-kegiatan yang memanifestasikan ‘masyarakat berdaya’ (terutama karena dipicu oleh keberadaan Jatiwangi Art Factory), program-program milik Pemerintah yang saya sebutkan di atas memang bertolak belakang sifatnya dengan yang dimaksud oleh Jatiwangi Art Factory. Mengutip kata Ginggi, “Program-program Pemerintah itu kehilangan ruh!” Warga masyarakat yang terlibat aktif di dalam berbagai kegiatan Jatiwangi Art Factory berusaha mengembalikan ruh itu. Caranya, bekerja sama dengan Pemerintah Desa mereka (kalau kita enggan menggunakan kalimat “mengajari Pemerintah Desa”) untuk dapat melancarkan berbagai program di tingkat kelurahan dan kecamatan, sesuai dengan jalur yang dimengerti dan diingini oleh warga masyarakat Kecamatan Jatiwangi sendiri. Pertanyaannya kemudian, apakah kerja sama yang terjalin itu terjadi dalam suatu hubungan yang sama rata dan sama kuat? Atau, apakah hanya berupa suatu bentuk pendisiplinan yang lain belaka?

Sebelum menjawab itu, menurut saya, tentu gegabah namanya jika menganggap kasus di Jatiwangi dapat diterapkan begitu saja di daerah-daerah lain di Indonesia. Kita tidak bisa memukul rata kasus spesifik di suatu daerah untuk daerah lain. Sebab, kekerabatan sosial, yang menjadi faktor utama bagi terwujudnya ‘masyarakat berdaya’ di sebuah wilayah, sangatlah relatif. Kita bisa menyaksikan, bahwa ada banyak daerah lain yang memiliki masalah yang sama dengan Jatiwangi, tetapi tidak dapat dengan mudah memengaruhi Pemerintah di lingkungan lokalnya agar mau bekerja sama dalam bentuk yang benar-benar konkret. Paling tidak, untuk dapat berpihak kepada warga saja, itu pun cukup sulit. Pada kenyataannya, berdasarkan hasil observasi saya terhadap Jatiwangi ketika menyelenggarakan workshop selama satu bulan di sana, ada beberapa hal yang menjadi prasyarat bagi warga agar mereka mampu menjadi masyarakat berdaya (bukan sekadar diberdayakan, apalagi diperdaya).

Untuk menjawab pertanyaan yang saya lemparkan sebelumnya, kita terpaksa mempertimbangkan pertanyaan anteseden: apakah warga di lingkungan komunitas[23]Kata ‘komunitas’ yang saya maksudkan di sini merujuk pada pengertian sebuah kelompok tertentu di dalam masyarakat. Sedangkan ‘masyarakat’, dalam konsep yang lebih abstrak, dapat dimengerti sebagai suatu istilah yang mendefinisikan jaringan-jaringan sosial yang ada di dalam berbagai bentuk interaksi dalam kehidupan manusia. tertentu, dari awal kemunculannya di suatu wilayah hingga menjadi bagian dari jaringan-jaringan sosial yang ada, sudah ditakdirkan ‘berdaya’? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Akan tetapi, yang justru menarik untuk diungkai ialah proses menjadi ‘berdaya’ itu sendiri. Kita bisa menyalahkan aksi-aksi ‘pemberdayaan masyarakat’ yang dilakukan oleh kelompok-kelompok eksklusif (yang sebetulnya bukan bagian dari masyarakat di lingkungan wilayah tertentu), karena adanya potensi yang mendefinisikan warga masyarakat sebagai objek. Status warga sebagai objek tersebut, terbukti dari bentuk-bentuk kegiatan lanjutan berbagai program ‘pemberdayaan masyarakat’ yang hasilnya justru lebih banyak dinikmati oleh penyelenggara kegiatan pemberdayaan—lebih parahnya, keuntungan itu bersifal komersil dalam kerangka berpikir Kapital yang selalu mengakumulasi modal.

Akan berbeda proses dan hasilnya, jika yang melakukan ‘pemberdayaan masyarakat’ itu adalah warga lokalnya sendiri. Menurut saya, ini adalah prasyarat pertama bagi terciptanya ‘masyarakat berdaya’. Tentu saja, inisiatif warga itu membutuhkan sebuah pemicu. Kita tidak dapat memungkiri, bahwa pemicu itu mungkin saja berasal dari Pemerintah dan Negara, atau justru dari elemen yang lain. Hal yang membedakannya dari kecenderungan pola ‘pemberdayaan masyarakat’ konvensional yang menjadikan warga sebagai objek, adalah terletak pada proporsi dan peruntukan keuntungan yang dihasilkan, apakah lebih besar manfaatnya bagi si pemicu, atau bagi si warga itu sendiri. Memang, pemaparan konsep ini agak terlalu muluk. Akan tetapi, kasus di Jatiwangi, agaknya, adalah contoh nyata dari pemikiran ini.

Arief dan Ginggi, misalnya, atau Ila dan Maman[24]Ila dan Maman adalah dua Kepala Dusun yang ada di Desa Jatisura., adalah warga lokal asli yang memang hidup di Jatiwangi. Aksi pemberdayaan yang dilakukan oleh Jatiwangi Art Factory, bisa kita anggap sah dan mampu menggaungkan ide ‘warga sebagai subjek yang berdaya’, karena mereka bergerak secara mandiri untuk wilayah mereka sendiri. Yang perlu dicatat, inspirasi-inspirasi yang dimiliki oleh kelompok ini dalam melakukan aktivitas ‘masyarakat berdaya’, didapatkan melalui pergaulan luas dengan berbagai jaringan komunitas yang juga bergerak demi mencapai cita-cita yang sama. Dengan kata lain, faktor kepemilikan jaringan adalah prasyarat kedua bagi terciptanya ‘masyarakat berdaya’. Untuk membangun wilayah lokalnya, warga tidak akan berhasil jika hanya berdiam diri di dalam kandang, tanpa melihat, mempelajari, serta [sesuai kebutuhannya] memodifikasi cara-cara yang sudah pernah diterapkan di wilayah lain yang memiliki pola, gaya, dan pengalaman yang berbeda. Memiliki jaringan dengan wilayah lain, membuka peluang tersebut menjadi lebih besar.

Kegiatan lokakarya AKUMASSA di Komunitas Ciranggon, Desa Wates, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, tahun 2015.

Merumuskan prasyarat yang ketiga, kita sekarang harus menyinggung aspek ‘kekerabatan sosial’ yang relatif itu. Dalam hal ini, kekerabatan sosial yang memang telah menjadi karakter kehidupan masyarakat di Timur, dalam keadaan tertentu, dapat dibentuk dan diperkuat sedemikian rupa untuk kepentingan warga lokal. Tapi, mengacu ke prasyarat pertama, tentu kita sepakat bahwa yang melakukan pengkondisian ‘kekerabatan sosial yang sengaja dibentuk’ tersebut haruslah warga lokalnya sendiri. Dalam hal ini, warga membutuhkan suatu perangkat yang dapat mewujudkan hal itu. Inilah pintu yang mempersilakan ide tentang ‘pemberdayaan media’ masuk ke dalam aktivitas ‘masyarakat berdaya’. Melalui aktivitas bermedia (produksi-distribusi informasi dan pengetahuan secara mandiri), warga masyarakat memiliki ruang untuk saling bertukar pikiran dan berdialektika, dalam rangka menggapai suatu kesalingpahaman hingga menguatkan kekerabatan sosial yang sudah lebih dulu ada sebelumnya. Sederhananya, berdasarkan kasus di Jatiwangi, aktivitas bermedia, dan hasil dari media itu sendiri, memicu warga untuk menjadi lebih kompak.[25]Kata ‘kompak’, dalam hal ini, saya rasa lebih tepat untuk digunakan ketimbang kata ‘konsensus’, untuk mengacu sebuah kondisi yang memungkinkan warga masyarakat bergerak secara serempak. Kata ‘konsensus’, secara politis, lebih merepresentasikan suatu kesepakatan umum yang diciptakan oleh pihak penguasa untuk kepentingan-kepentingannya sendiri. Akan tetapi, tentu saja aktivitas bermedia ini bukanlah sebuah proses yang instan. Masyarakat Jatiwangi sendiri membangun kesadaran itu, untuk wilayah lokalnya, selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya memiliki posisi tawar yang sama kuat dengan Pemerintah yang akan mereka berdayakan.

Singkatnya, meninggalkan istilah ‘pemberdayaan masyarakat’ yang dapat menyesatkan pemahaman kita tentang status dan posisi masyarakat, ‘pemberdayaan media’ dapat kita jadikan sebagai sebuah konsep alternatif, yang layak dilakukan sebelum memasuki tahapan terakhir, yaitu ‘pemberdayaan pemerintah’.

Belajar dari apa yang telah dilakukan oleh Jatiwangi Art Factory dan anggota masyarakat Jatiwangi lainnya, aksi ‘pemberdayaan pemerintah’ hanya dapat diwujudkan tatkala warga telah memiliki kesadaran dan kemampuan untuk memberdayakan media. Melalui kegiatan memproduksi filem dan karya video dokumenter, contohnya, warga Jatiwangi dapat mengajak para pelaku yang memiliki peran atau posisi penting dan strategis di lingkungan pemerintahan—termasuk lembaga kepolisian dan tentara—untuk terlibat dalam berbagai kegiatan-kegiatan berbasis komunitas. Mulai dari penyelenggaraan gotong-royong[26]Ginggi sempat memperlihatkan kepada saya salah satu video dokumenter koleksi Jatiwangi Art Factory yang merekam keterlibatan langsung Camat dan aparat kepolisian dalam kegiatan gotong-royong yang pernah mereka lakukan. tingkat desa hingga penyelenggaraan festival seni tingkat internasional. Faktanya, Pemerintah juga berkenan untuk ‘hadir’ di dalam media, sebagaimana warga bergairah menyambut sensasi media tersebut; merayakan aktivitas merekam dan direkam. Kebutuhan atas hasrat simbolik seperti ini adalah kunci yang memungkinkan terjadinya ‘hubungan simbiosis mutualisme sosial’. Baik Pemerintah maupun warga, sama-sama terpenuhi kebutuhannya untuk berpromosi, atau menyimpan kenangan yang dapat digarap sebagai arsip untuk masa depan.

Terkait hal itu, Arief dan Ginggi menekankan bahwa output atau produk dari media yang mereka produksi bukanlah yang utama. Justru, poin ‘masyarakat berdaya’ itu terjadi saat menjalani proses produksi media yang mereka lakukan sendiri. Kegiatan-kegiatan ‘selebrasi’ membuat filem dan video, lagu kolaborasi, konser, dan segala macam bentuk kegiatan kreatif lainnya memberikan efek nyata yang dapat memobilisasi Pemerintah dan warganya untuk melakukan aktivitas membangun desa secara bersama-sama. Di satu sisi, warga dapat menentukan pembangunan seperti apa yang mereka butuhkan—atau setidaknya, meningkatkan daya kontrol terhadap aparat pemerintahan, karena keadaan bertatap muka (berkolaborasi) yang semakin meningkat di antara keduanya, terjadi selama proses produksi media. Di sisi lain, Pemerintah dapat mengimplementasikan program yang telah mereka rancang sesuai kehendak warga masyarakat lokalnya. Dengan cara ini, ‘dialog’ dan ‘aksi konkret’ terjadi secara bersamaan, karena ada [kegiatan produksi] media yang mewadahinya. Sebagaimana efek yang didapatkan jika prasyarat ketiga terpenuhi, ‘kegiatan produksi media warga’ itu dapat berfungsi sebagai ruang bertukar pikiran untuk meningkatkan kesalingpahaman, dalam rangka menciptakan ‘kekerabatan’, antara warga dan Pemerintah. Pada titik ini, Pemerintah justru belajar kepada warganya.

Kegiatan membuat peta Desa Wates pada lokakarya AKUMASSA Ciranggon (2015).

Dari semua pemaparan yang saya utarakan dalam risalah ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ‘pemberdayaan pemerintah’ adalah karakteristik dari ‘masyarakat berdaya’. Masyarakat merupakan subjek utama yang berhak dan berkewajiban menentukan kehidupannya sendiri. Daerah-daerah lain yang hendak membangun tangga untuk kemajuan desa/kotanya sebagaimana yang diterapkan oleh masyarakat Jatiwangi, haruslah terlebih dahulu memenuhi tiga prasyarat, yakni kesadaran warganya untuk menjadi subjek, perluasan jaringan, dan memperkuat kekerabatan sosial. Untuk mewujudkan cita-cita itu, ‘pemberdayaan media’ (oleh dan untuk warga) adalah strategi yang dapat dilakukan.

Selain sebagai manifesto tentang warga yang aktif, mengadopsi pernyataan Arief, media adalah janji; sesuatu yang dapat menjanjikan posisi tawar bagi warga, sesuatu yang dapat menjanjikan perubahan. Saya setuju, bahwa pada ‘media warga’-lah seorang atau sekelompok warga dapat melihat, mengingat, dan mengkritisi janjinya sendiri sebagai ‘masyarakat berdaya’. ***

Footnote   [ + ]

1. Maksud saya dengan istilah ‘kelompok ekslusif’ ini memang dimaksudkan sebagai oposisi dari makna inklusif. ‘Kelompok ekslusif’, yakni kelompok yang sesungguhnya berada ‘di luar’ dan tidak melebur ke dalam lingkungan masyarakat yang menjadi objek atau sasaran kegiatan-kegiatannya. Kelompok ini adalah ‘kelas yang terbatas’, yang keanggotaannya ditentukan oleh prasyarat tertentu agar orang-orang bisa menjadi bagian darinya. Keterbatasan itu pun, secara sadar atau tidak, juga menentukan akses, baik yang arahnya ke dalam kelompok itu sendiri maupun ke arah luar. Umumnya, ‘kelompok eksklusif’ mengidentifikasi dirinya sebagai pihak yang lebih unggul atau istimewa atas hal tertentu di antara elemen-elemen masyarakat umum yang lainnya.
2. J. M. Lonsdale, “Some Origins of Nationalism in East Africa”, The Journal of African History, Vol. 9, No. 1 (1968), hal. 119-146. Lihat di halaman 128.
3. Saul D. Alinsky, Rules for Radicals: A Pragmatic Primer for Realistic Radicals (New York: Random House, 1971), hal. 3.
4. Lihat Saul D. Alinsky, Reveille for Radicals (Chicago: University of Chicago Press, 1946).
5. Dalam Reveille for Radicals itu, Alinsky memaparkan ilustrasi dengan mengambil contoh pada peristiwa pertemuan antara American Federation of Labor, Congress of Industrial Organizations, dan Railroad Brotherhood. Pertemuan itu dalam rangka dukungan terhadap suatu kampanye organisasional di sebuah kota yang terletak di dekat Mason-Dixon (lihat di hal.188-189).
6. Robert Pruger dan Harry Specht, “Assessing Theoritical Models of Community Organizations Practice: Alinsky as a Case in Point”, Social Service Review, Vol 43, No. 2 (Juni, 1969), hal. 123-135. Lihat di halaman 133.
7. Robert Pruger dan Harry Specht, ibid. Dalam pemaparannya, Pruger dan Specht menyoroti klaim Alinsky tentang mekanisme People’s Organizations yang dapat memproduksi tingkat partisipasi yang tinggi dari masyarakat berpenghasilan rendah (low-income community). Jika kita meninjaunya ke Reveille for Radicals, Alinsky memaparkan pengalamannya menghadapi ketiga lembaga (yang disebut di catatan kaki nomor 5) yang mulai menghindari Hukum Jim Crow, yakni hukum yang mengatur etnis Afrika-Amerika (sering disebut dengan istilah merendahkah: ‘orang negro’) secara diskriminatif; fasilitas untuk orang kulit putih selalu lebih bagus ketimbang fasilitas untuk orang kulit hitam. Menurut pemahaman saya, pada pemaparan Alinsky tersebut, tersirat suatu pernyataan bahwa pola ‘organisasi modern’ yang dia ajukan telah membuka peluang bagi kelompok tertindas untuk berpartisipasi secara lebih aktif dan diakui dalam aktivitas-aktivitas politik.
8. Robert Pruger adan Harry Specht, ibid., hal. 134.
9. Sebuah program bernama resmi “AKUMASSA: Program Pemberdayaan Media Berbasis Komunitas” yang digagas sejak 2008 oleh Forum Lenteng, sebuah organisasi nirlaba egaliter, berbasis di Jakarta, yang fokus pada studi-studi sosial dan budaya, khususnya di bidang media, seni, dan sinema. Penulis adalah salah satu pegiat utama program tersebut.
10. Salah satu desa yang berada di Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.
11. Ginggi menerangkan kepada kami, bahwa dalam cetak biru pembangunan jalan tol yang melintasi Kecamatan Jatiwangi, tidak dipertimbangkan, salah satunya, aspek-aspek krusial sehubungan dengan sarana pengairan (semacam saluran drainase) di tingkat desa dan kelurahan. Cetak biru itu hanya mempertimbangkan keselamatan saluran air di tingkat yang lebih tinggi, seperti kabupaten.
12. Edy Rianto, Peran Stakeholder dalam Pelestarian Program P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani – Nelayan Kecil), Makalah Seminar dan Lokakarya “Strategi Pengembangan dan Pelestarian Program P4K dalam Pengurangan Kemiskinan di Kabupaten Pemalang” (Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, 2004), hlm. 1. Diakses pada 19 Mei, 2015.
13. Sjafra Dwipa dan Janes Simanjuntak, MT., “Regulasi Panas Bumi Dalam Era Otonomi”, Kolokium Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral (DIM) TA (2002), hal. 2. Diakses pada 19 Mei, 2015.
14. Faizah Fauzan El Muhammady, Evaluasi Program Inpres Desa Tertinggal dalam Konteks Mengentaskan Kemiskinan pada Masyarakat Nelayan (Studi Kasus Nelayan Penerima Program IDT di Kotamadya Padang, Propinsi Sumatera Barat), Tesis (Institut Pertenian Bogor, 1996), hal. 10. Diakses pada 19 Mei, 2015.
15. Razak Miraza, Implementasi Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) di Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat, Skripsi (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 14-15. Diakses pada 19 Mei, 2015.
16. The World Bank, “Program Pengembangan Kecamatan”, diakses pada 19 Mei, 2015.
17. PNPM Mandiri (3 Juli, 2011), “Tanya Jawab Seputar PNPM Mandiri”, Brosur, hlm. 1. Diakses pada 19 Mei, 2015.
18. Agus Purbathin Hadi, “Tinjauan Terhadap Berbagai Program Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia” (tidak bertanggal). Diakses pada 19 Mei, 2015.
19. PNPM Mandiri, op cit.
20. P2KP, “Tentang PNPM”, Situs web P2KP (tidak bertanggal). Diakses pada 19 Mei, 2015.
21. Faizah Fauzan El Muhammady, op cit.
22. Agus Purbathin Hadi, op cit.
23. Kata ‘komunitas’ yang saya maksudkan di sini merujuk pada pengertian sebuah kelompok tertentu di dalam masyarakat. Sedangkan ‘masyarakat’, dalam konsep yang lebih abstrak, dapat dimengerti sebagai suatu istilah yang mendefinisikan jaringan-jaringan sosial yang ada di dalam berbagai bentuk interaksi dalam kehidupan manusia.
24. Ila dan Maman adalah dua Kepala Dusun yang ada di Desa Jatisura.
25. Kata ‘kompak’, dalam hal ini, saya rasa lebih tepat untuk digunakan ketimbang kata ‘konsensus’, untuk mengacu sebuah kondisi yang memungkinkan warga masyarakat bergerak secara serempak. Kata ‘konsensus’, secara politis, lebih merepresentasikan suatu kesepakatan umum yang diciptakan oleh pihak penguasa untuk kepentingan-kepentingannya sendiri.
26. Ginggi sempat memperlihatkan kepada saya salah satu video dokumenter koleksi Jatiwangi Art Factory yang merekam keterlibatan langsung Camat dan aparat kepolisian dalam kegiatan gotong-royong yang pernah mereka lakukan.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.