Jurnal Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Mencari Ruang, Mencari Rumah

Di hari pertama, selain dua rumah incaran yang saya ceritakan tadi, sebetulnya kami juga sudah menemukan bangunan lain yang juga terletak di Dusun Karang Desa. Ada tiga bangunan menarik di pinggir jalan yang menuju ke arah Senggigi.

Gedung bekas koperasi, terletak di Dusun Karang Desa.

Gedung bekas koperasi, terletak di Dusun Karang Desa.

Bangunan pertama sangat besar, dengan pekarangan yang luas. Ghozali mengatakan bahwa bangunan itu bekas koperasi desa. Kalau dilihat-lihat, bandingan untuk bentuk bangunannya adalah bangunan Gudang Sarinah yang menjadi venue Jakarta Biennale 2015 di Pancoran Timur II. Sangat layak untuk dimanfaatkan menjadi ‘art space’. Tapi, memaksakan bangunan itu sebagai markas Komunitas pasirputih yang baru, justru akan mendatangkan PR-PR baru pula: ketersediaan listrik dan air yang harus memadai untuk bangunan sebesar itu; kami juga harus menunggu persetujuan si pemilik yang keberadaannya entah di mana, serta menunggu hingga tiga rumah yang sedang dibangun di bagian belakang gedung itu selesai. Seorang warga yang lewat mengatakan bahwa si pemilik adalah orang kaya dan punya banyak rumah. Gedung bekas koperasi itu adalah salah satu aset kekayaannya. Tiga rumah yang sedang ia bangun di dekat gedung besar itu rencananya akan dia sewakan. Rasanya tak mungkin jika gedung itu akan direlakan si pemilik untuk disewa dengan kisaran harga 10 jutaan saja.

Sementara itu, di seberang jalan, berhadap-hadapan dengan gedung besar itu, ada sebuah rumah yang ukurannya agak lebih kecil, ditempeli papan bertuliskan DIJUAL.

“Mungkin pemiliknya mau kalau kita sewa,” kata Ghozali. “Coba telepon, Siba!”

Siba kemudian mencoba menghubungi nomor yang tertera di papan pengumuman itu. Saya dan Dum mencoba melirik-lirik jendela, menduga-duga keadaan ruangan-ruangan di dalamnya. Setelah menunggu cukup lama, niat kami untuk menyewa bangunan itu pun juga batal, karena setelah menelpon si pemilik, Siba mengatakan bahwa rumah itu sudah lebih dulu dibeli oleh orang Jakarta seminggu sebelumnya.

Rumah kosong yang ditinggalkan pemiliknya hampir dua tahun, terletak di Dusun Karang Desa.

Rumah kosong yang ditinggalkan pemiliknya hampir dua tahun, terletak di Dusun Karang Desa.

Selanjutnya, jika kita berjalan lagi sekitar seratus meter dari bangunan besar bekas koperasi itu, ke arah Senggigi, kita akan menemukan sebuah rumah kosong dengan pekarangan yang cukup luas. Tapi tampak sudah tak dihuni demikian lama. Semak belukar tumbuh subur di pekarangannya. Ghozali sudah mengincar jauh-jauh hari rumah itu.

Ketika kami masuk ke pekarangan rumah dan memarkirkan motor, karena pagar temboknya tidak ditutup, tak ada orang sama sekali yang bisa ditemui. Rumahnya pun tidak dikunci. Kami berempat—saya, Ghozali, Siba dan Dum—nekat masuk ke dalam rumah dan memperhatikan keadaan ruangan-ruangan di dalamnya. Benar-benar berantakan, bahkan ada satu ruang yang atapnya ambruk. Namun, lokasi rumah, pekarangan luas, dan ketersediaan banyak kamar serta sebuah ruang yang cukup luas (± 4×6 m), membuat Ghozali jatuh hati pada bangunan itu (saya juga, sebetulnya).

Gue pengen banget bangunan ini jadi markas kita…” katanya, dengan wajah memelas.

Setelah bertanya sana-sini, kami pun akhirnya memutuskan bertamu ke rumah kepala dusun, menanyakan status rumah kosong itu dan keberadaan si pemiliknya.

“Orangnya tinggal di Trawangan,” jawab Pak Kadus. “Memang, rumah itu sudah hampir dua tahun tidak ditempati. Keluarganya ada yang tinggal di dekat sini. Kalau mau, nanti saya bantu sampaikan. Soal harga, saya tidak tahu, itu tergantung kesepakatan kawan-kawan dengan si pemilik.”

Ghozali kemudian menjelaskan kepada Pak Kadus, maksud kami mencari rumah adalah untuk dijadikan sebagai markas Komunitas pasirputih. Bahwa, nanti akan ada banyak kegiatan, semacam penayangan filem, diskusi, pameran seni, bahkan mengundang beberapa seniman dan peneliti dari luar kota untuk tinggal di sana, melakukan semacam kegiatan residensi seni di Lombok. Kami juga mengklarifikasi bahwa orang yang diundang itu bisa saja laki-laki dan peremuan, sehingga nanti mereka semua akan di tinggal di rumah itu (tapi, tentunya, akan tidur di ruangan yang berbeda). Pak Kadus tidak mempermasalahkan itu semua. “Asalkan untuk kegiatan positif, saya mendukung!” katanya. Itu adalah respon yang baik.

Tapi, mungkin karena memang bukan jodoh, hingga dua hari kemudian setelah obrolan di rumah Pak Kadus, kami tak kunjung mendapat kabar darinya soal konfirmasi dari si pemilik rumah.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.