Pemilik lapo ini bernama Umar Pasaribu. Sedangkan laponya sendiri ia namakan Lapo Bor-Bor. Aku yang merasa aneh dengan nama ini karena tidak mengerti Bahasa Batak menanyakan arti Bor-Bor kepada Umar. Ia pun menjelaskan bahwa Bor-Bor merupakan salah satu nama perkumpulan masyarakat Batak yang bermarga Pasaribu.
Di Terminal Depok terdapat sekitar enam lapo, dan Lapo Bor-Bor terletak di jejeran tengah kios warung makan terminal ini. Umar membayar Rp. 600.000,- per bulan untuk menyewa kios. Selain itu tiap harinya ia harus membayar Rp.2.000,- untuk Uang Kebersihan dan Uang Keamanan. Menurut Umar Lapo-nya paling ramai ketika jam makan siang tiba. Dan makanan yang paling sering diburu adalah Saksang dan Rica-rica. Menurutku sekilas Saksang terlihat seperti Rendang (masakan khas Minangkabau), dan memang menurut Umar, rasa Saksang pun mirip dengan Rendang. “Saksang ini Rendang-nya Batak,” ujarnya bangga.
Keadaan lapo siang itu tidak terlalu ramai sehingga aku bisa bebas ngobrol dengan si pemiliknya. Ternyata Umar yang berasal dari Sibolga, Medan, Sumatera Utara, sudah empat tahun membuka Lapo ini. Ia ditemani oleh seorang saudara perempuan yang bertugas memasak. Jam buka Lapo Bor-Bor ditentukan sesuka hatinya, karena Umar tak bisa bangun pagi. Persoalan bangun pagi ini pula yang membuatnya berhenti bekerja di MD Entertainment Production House sebagai kru sebelum ia membuka lapo. Umar bekerja di sana selama tiga tahun dan mengaku kenal dekat dengan Randy Pangalila, Chico Jericho, Laudya Chintya Bella, dan beberapa artis sinetron lainnya.
“Tak jadi artis saja kau, Bang?” tanyaku sok kenal dalam logat sok Batak.
“Ah, bosan juga kerja sinetron begitu! Kena marah terus. Lebih enak buka lapo,” jawabnya sambil tertawa.
Sambil asyik ngobrol dan menikmati gulai ikan, aku memperhatikan ke sekeliling Lapo. Di samping Lapo, tepatnya sebuah warung kopi yang dikelola orang Batak juga, terdapat sekumpulan orang, yang mayoritas terdiri dari supir dan kondektur. Mereka sedang asyik main Domino. Sedangkan di depan Lapo beberapa orang sedang asyik ngobrol dengan Bahasa Batak sambil minum kopi, dan Umar sendiri sedang menuang Tuak ke dalam botol-botol yang terletak di meja dagangnya.
Tuak merupakan minuman tradisional yang terbuat dari fermentasi buah dan mengandung alkohol. Beberapa daerah di Indonesia memiliki jenis tuak sendiri, salah satunya Tuak Medan yang berasal dari fermentasi air kelapa. Menurut Umar, kandungan yang semakin membuat Tuak Medan memabukkan adalah potongan Kayu Laru (jenis kayu yang hanya ada di Medan) yang ditambahkan ke dalamnya. Aku dipersilahkan Umar melihat langsung Kayu Laru yang ia miliki. Menurutku yang merupakan orang awam dalam hal ini, bentuk Kayu Laru tak ada bedanya dengan kayu-kayu lainnya. Dan Umar pun tidak bisa menjelaskan lebih jauh kenapa Kayu Laru dapat menambah kadar alkohol dalam Tuak. “Aku taunya cuma ini bikin mabuk saja!” ujarnya.
Setiap hari Umar menyediakan sekitar 30 liter Tuak Medan. Tuak itu kemudian ditempatkan ke dalam botol-botol bekas bir, dan per botol dijual seharga Rp. 6.000,-. Jika malam hari sudah tiba, tuak pun lebih laris daripada masakan yang disajikannya. Dan jika tuak masih bersisa, Umar dengan senang hati ‘menyapu bersih’ tuak tersebut. Ini juga yang menyebabkan dirinya tak pernah sanggup bangun pagi hari.
Selesai dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Tuak, aku pun membuka obrolan tentang beberapa wajah yang aku kenal di lapo milik Umar. Aku baru menyadari bahwa aku mengenali hampir setiap wajah orang Batak yang duduk dan makan di lapo ini. Mereka terdiri dari supir-supir dan kondektur bus P.O. Deborah jurusan Depok-Lebak Bulus yang hampir setiap hari aku tumpangi sejak empat tahun yang lalu, selama menjadi mahasiswa perguruan tinggi swasta di Lenteng Agung.
“Di sini memang tempat nongkrongnya geng Deborah! Semua Batak ini!” Ujar Umar. Senyumku pun melebar mendengar perkataan Umar.
‘Wajah’ lapo yang semula asing bagiku seketika berubah menjadi hangat, karena ternyata aku mengenal wajah-wajah Batak ini. Umar pun memanggil satu di antara banyak supir itu. Sambil menepuk perut si supir yang tambun ia berkata“Ini dia hasil minum tuak tiap hari!”
Supir itu hanya tertawa dan ikut duduk dalam satu meja denganku.
“Aku penumpang setia Deborah, Bang!” ucapku pada si supir.
“Mana aku tau! Kau tak pernah panggil! Mulai besok kalau naik mobilku jangan lupa tepuk pundakku!”
“Siap!” jawabku.
Walaupun duduk di lapo ini rasanya seperti dihujani omelan karena suara lantang khas Batak, tetapi aku sangat senang bisa menjejakkan kaki di Lapo Bor-Bor. Ketika kaki melangkah ke luar lapo, aku pun kembali tersadar bahwa aku masih berada di Kota Depok, namun kali ini dengan pengalaman baru, ‘rasa’ Medan yang kental dan memabukkan.
Mantab…. tuak nya satu lae…… 🙂
bertemankan B2 lae
menarik & lebih natural, cobain diri bro buat diangkat ke jenjang yg lebih real (film dokumenter) dengan judul Underground atau apalah…
kereeeennn….
tuak sada butet hehehe….
Mantap kali infonya … jadi pengen minum tuak. kebetulan sy tinggal di depok. Nice posting mbak …