Sukabumi, Jawa Barat

Cerita Kuasa Koloni: Gula, Pabrik dan Foto

Avatar
Written by Dian Komala

Gula. Mendengar kata itu membuat lidah ini langsung merasakan rasa manis yang legit. Rasa manis menjadi simbol sebuah kebahagiaan. Seperti ketika sedang kelelahan, mengonsumsi rasa manis akan membangkitkan tenaga karena gula mengandung karbohidrat yang dapat diolah oleh tubuh menjadi glukosa. Atau juga ketika kita sedang dalam keadaan sedih, suasana hati yang tidak enak, memakan kue atau cokelat berbahan dasar gula, akan memperbaiki suasana hati. Rasa manis di dalam gula itulah yang memberikan rasa kebahagiaan. Setiap makhluk di dunia ini memerlukan pembangkit tenaga untuk kesehariaannya. Gula menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi tubuh manusia.

Tebu adalah bahan pokok pembuatan gula. Indonesia yang berilklim tropis, menjadi lahan yang cocok untuk budidaya tebu. Hal ini menjadi menarik perhatian para penjajah Indonesia di masa kolonial dulu, yaitu bangsa Belanda. Mereka membangun banyak pabrik gula yang membawa Indonesia ke dalam sebuah ‘kebangkitan’ baru. Kebangkitan yang tidak selalu menghasilkan  kebahagiaan, tapi lebih memunculkan bidang perindustrian di Indonesia. Dan dengan demikian juga menjadi cikal bakal kemunculan sistem industri dan era modernisme barat di Hindia Belanda. [1]

 

Bisa jadi, kebahagiaan yang timbul dari manisnya gula itu hanya dirasakan oleh lidah saja, tidak untuk kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Aku hidup di sekitar pabrik dan mempunyai pengalaman sebagai buruh pabrik garmen di Parungkuda, Sukabumi. Pendidikan, kelas, dan budaya pabrik menjadi persoalan, yang tentunya kurang lebih sama seperti yang dialami masyarakat di sekitar pabrik gula. Tidak manis.

Aku akan berbagi sedikit tentang pengalaman itu. Aku bersama lingkungan tempat tinggalku dulu itu, tidak pernah membicarakan pabrik gula sebagaimana yang diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer di dalam roman ‘Tetralogi Buru’-nya. Kami tidak pernah membahas itu. Namun kehidupan kami tidak akan pernah bisa menjauh dari kata pabrik. Kami dikelilingi oleh bangunan-bangunan besar yang berdiri di lahan hijau kami. Bangunan-bangunan itu adalah pabrik. Bukan pabrik gula, tetapi pabrik garmen yang menjamur hingga ke pelosok Sukabumi.

Karena semakin menjamurnya pabrik, bisa aku katakan bahwa pabrik memberikan lahan pekerjaan yang menghasilkan buruh-buruh pabrik. Dalam ruang lingkup kampungku, situasi yang saat ini terjadi, justru terbalik: bukan pabrik yang membutuhkan warga, tetapi wargalah yang membutuhkan pabrik. Pabrik menciptakan suatu budaya baru yang membuat pola pikir sebagian besar warga Parungkuda memiliki pemahaman bahwa menjadi buruh pabrik adalah satu-satunya pekerjaan.

Para pekerja pabrik garmen di Parungkuda, Sukabumi

Biasanya, kalau kita berbicara tentang perempuan, di lingkungan masyarakat kita selalu mengetahui dua konsep yang saling dikait-kaitkan: ‘perempuan’ dan ‘dapur’. Aku ingat komentar-komentar dari teman-teman sekolahku dulu. Beberapa di antara mereka mengatakan, “Buat apa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi?! Kami sebagai perempuan, hanya akan terjebak di dalam dapur rumah dan pabrik!”. Jadi, kini ada tiga konsep yang terbahas di kampungku, yaitu: ‘perempuan’, ‘dapur’, dan ‘pabrik’.

Menyeramkan, ketika aku mengingat itu. Dulu, aku berpikiran sama seperti mereka, sehingga situasi akhirnya menggiringku berpengalaman menjadi buruh pabrik. Lulus Sekolah Menengah Atas (SMA), aku tidak bisa meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi karena keterbatasan ekonomi. Aku merasakan dampak ‘budaya’ itu: menjadi buruh pabrik, ketika ada rasa kecewa akibat tak dapat melanjutkan sekolah. Saat itu, aku berpikir, kata-kata temanku benar adanya. Aku dikuasai oleh ‘hantu’ pabrik waktu itu. Aku merasa, satu-satunya cara untuk mengatasi rasa kecewa, adalah dengan menjadi buruh pabrik.

Mengacu pada apa yang dikatakan oleh teman-temanku, pendidikan menjadi tidak lagi penting karena pabrik akan menerima semua warga: berpendidikan atau tidak berpendidikan. Mereka (pabrik) memiliki wadah untuk menampung warga dan kemudian mengklasifikasikannya menurut jenjang pendidikan. Misalnya, teman-temanku yang sekolah sampai bangku Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) akan diberi pekerjaan sebagai penjahit (sewing) atau pembantu penjahit (helper). Berbeda dengan yang memiliki ijazah SMA seperti aku, akan diberikan jabatan sebagai tenaga Quality Control (QC) dengan alasan bisa meneliti pakaian dengan cermat.

Menyinggung soal tingkat pendidikan, berarti aku sedang bicara edukasi. Menyinggung soal pabrik, dengan kata lain aku sedang berbicara tentang indsutri, tentang merajanya aksi kolonisasi di tanahku. Aku teringat pelajaran sekolah tentang politik etis, sebuah ‘tuntutan’ yang kurang lebih untuk perbaikan kehidupan pribumi, yang diajukan oleh Pieter Brooshooft dan C. Th. Van Deventer di kisaran tahun 1900-an, tentang tiga hal: irigasi (pengairan), emigrasi (perpindahan penduduk), dan edukasi (pendidikan).

Situasi dan kondisi ini sungguh sangat menyedihkan bagiku. Budaya pabrik menciptakan kelas-kelas di lingkungan warga. Bahkan, pendidikan pun menjadi sesuatu yang menciptakan kelas-kelas dalam bentuk lain di dalam ruang lingkup pabrik itu sendiri.

Sekarang, ketika aku sedang menulis ini, dihadapanku berjejer beberapa foto (arsip sejarah) dokumentasi si Pabrik Gula di Indonesia. Ada enam foto yang memperlihatkan perbandingan kelas. Namun aku akan mengambil satu dari enam foto tersebut.

Foto yang bernama “Indonesia 13p” paling menarik perhatianku. Foto itu merupakan foto para pekerja pabrik gula di Tjomal Sugar Factory, tahun 1919. Dalam foto lansekap situasi masyarakat pabrik gula di daerah Pekalongan, Jawa Tengah, pada jaman kolonial itu, terdapat dua belas orang. Sebelas orang berpakaian pribumi, duduk berdempetan di atas rumput dan satu orang berpakaian putih rapih berdiri di sisi kanan. Terlihat jelas dari pakaiannya, mereka berbeda. Sebelas orang itu merupakan representasi dari warga Indonesia yang kala itu sedang dijajah oleh Belanda, yang diwakili oleh satu orang berpakaian putih. Dia (orang berpakaian putih) bergaya dengan gagahnya, bertolak pinggang dalam bingkai. Mereka (sebelas orang berpakaian pribumi) duduk berdempetan. Efek warna hitam putih dalam foto mempertegas kelas yang ada di antara mereka. Si orang berbaju putih mengabadikan dirinya dalam bingkai sebagai penguasa yang memiliki bawahan di negeri orang. Bawahannya itu diwakili oleh sebelas orang lain dalam bingkai, yaitu pribumi. Dia lebih menonjol dengan baju putihnya. Berbeda dengan tampilan kusam sebelas orang lainnya. Efek foto hitam-putih itu juga semakin memperjelas bahwa mereka adalah orang-orang yang dikuasai.

Foto itu semakin menegaskan kekuasaan kolonial terhadap negara jajahannya; sebuah representasi dari penindasan atas kaum terjajah di Indonesia oleh Eropa sebagai biang keladi yang memunculkan sistem industri dan kelas-kelas pekerja di dunia.

Kalau di barat kelas-kelas itu muncul karena sistem industri, di Indonesia kelas-kelas itu semakin diperkuat oleh penjajahan. Artinya kita terjajah, baik dulu maupun sekarang. Warga di Parungkuda, termasuk aku, saat ini masih merasakan ‘penjajahan’ itu. Pabrik-pabrik di Parungkuda secara jelas menciptakan kelas-kelas yang tidak berbeda dengan jaman kekuasaan kolonialisme Belanda.

 

————————————————————-

Tulisan ini dibuat dalam rangka lokakarya Proyek Seni The Sweet & Sour Story of Sugar yang diadakan oleh Ruangrupa bekerjasama dengan Langgeng Art Foundation dan Noorderlicht.

[1] Menurut Dianto Bachriadi, Wakil Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria (Deputy Chairperson of Consortium for Agrarian Reform, Indonesia), dalam makalah berjudul “Indonesian Sugar Industry Policy And The Peasantry”, yang dipresentasikan pada Seminar IUF Sugar Workers yang kedua (28-30 September 1998), dulu pada tahun 1637, pabrik-pabrik gula dibangun di Indonesia untuk kepentingan Belanda (VOC) guna memenuhi permintaan pasar Eropa. Gunawan Wiradi, dalam seri penelitian ilmiahnya tentang industri gula di Jawa, berjudul “Industri Gula di Jawa dalam Perspektif Model ‘Inti Satelit’”, menjelaskan bahwa pabrik gula yang didirikan Belanda terus berkembang dengan memeras dan menghisap sumber daya alam dan sumber daya manusia di tanah jajahan. Karena kebutuhan tanah yang subur untuk menanam tebu, dan ditambah dengan adanya Undang-Undang Agraria 1870, Belanda melakukan penjajahan dengan mengeksploitasi tanah sawah, sehingga masyarakat pribumi dirugikan (Lihat Gunawan Wiradi, Project Working Paper Series No.A-31, tidak ada tahun, diakses dari http://pustaka-agraria.org/). Kepingan sejarah ini memberikan gambaran umum tentang perubahan sitem pencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri yang akhirnya memunculkan ‘budaya pabrik’ yang memberi efek buruk bagi masyarakat.

About the author

Avatar

Dian Komala

Dian Komala, akrab disapa Ageung, tinggal di Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sehari-harinya ia bekerja sebagai buruh pabrik wig di Parungkuda. Ageung turut aktif di Forum Lenteng dalam Program akumassa, untuk lokasi dampingan Lenteng Agung (Jakarta Selatan) dan Depok. Selain menjadi salah satu penulis aktif di jurnal online www.akumassa.org hingga sekarang, Ageung juga mengelola blog pribadi, bernama www.dariwarga.wordpress.com, yang mengangkat narasi-narasi warga Parungkuda, khususnya warga masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya.

2 Comments

Tinggalkan Balasan ke aryanto X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.