Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Menelusuri Kampung Keong

Avatar
Written by Jelita Rahmadhani
Lebak saat itu terasa lebih panas dari biasanya. Udara berubah-ubah, panas, dingin dan lembab hingga terasa sangat tidak nyaman. Saat itu aku dan teman-teman dari Saidjah Forum berencana pergi ke suatu tempat, Kampung Keong namanya. Tempat pemukiman penduduk ini terletak di sebelah selatan Rangkasbitung. Orang-orang pribumi Lebak sudah tidak asing dengan nama kampung itu, tetapi aku sangat ingin mengenal dekat nama tempat itu.

Kolam renang di Kampung Keong

Nama keong bagiku cukup unik, rasa penasaran dan keingintahuan akan segera terjawab pikirku. Waktu selalu berubah, Saat itu menunjukan setengah dua belas siang hari. Aku dan salah satu partisipan akumassa Lebak bernama Ivo menuju ke Saidjah Forum. Tempat dimana teman-temanku sedang beristirahat. Sebelumnya sebuah rencana tersepakati untuk sama-sama pergi menuju Kampung Keong. Akan tetapi sesampainya disana, Semuanya berubah. Siang itu kami tidak langsung pergi sesuai rencana. Aku harus sabar menunggu karena beberapa teman baru yang terpilih oleh pemerintah sebagai ikon daerah akan tiba dari Saidjah dan Adinda.

Saat berkerumun di depan warung kecil yang letaknya berhadap-hadapan dengan Saidjah Forum, Bayangan tubuhku tidak lagi tegak lurus melainkan miring ke kanan. Kami pun beranjak dari saidjah untuk memulai perjalanan ke Kampung Keong. Sinar matahari begitu menyengat tubuh dan perjalanan pun dimulai. Kami tidak melewati jalan besar, melainkan melewati jalan setapak yang banyak dikelilingi perkebunan pisang, singkong, dan kelapa. Di sekelilingnya terdapat banyak parit, airnya tenang tak bergerak. Diperjalanan, sinar matahari terkadang redup dan mendadak terang cahayanya menerobos dedaunan. Dalam beberapa menit saja aku sudah melewati perkebunan itu dan mulai berpapasan dengan penduduk kampung Pulo Sari, kampung yang terletak di tengah rawa-rawa dan parit.

Lebak hari itu memang kurang bersahabat. Ditengah terik matahari itu tiba-tiba hujan turun membasahi tubuh kami dan tanah merah. Kami berlari-lari kecil mencari tempat berteduh dari hujan yang semakin lebat. Aku dan yang lainnya akhirnya berteduh di sebuah mushola. Aku tidak melihat tanda-tanda keramaian warga di sekitar tempat itu. Kami berteduh tidak terlalu lama, lalu kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan walaupun masih sedikit gerimis. Kondisi jalan setapak yang becek dan berlumpur membuat tanah merah dalam perjalanan harus hati-hati dalam memilih pijakan. Salah melangkah, aku bisa terpeleset.

masjid tempat kami berteduh

Masjid tempat kami berteduh.

Jalan setapak yang becek disiram hujan

Jalan setapak yang becek disiram hujan.

Untuk sampai di Kampung Keong, kami harus jalan berputar menelusuri jalan setapak dan memilih jalan pintas. Perjalanan itu memang terasa lelah, tetapi aku menikmatinya. Akhirnya, sinar matahari mulai meredup, perkiraanku jam tiga sore kami sampai ke tempat yang dituju. Kampung itu tepat berada di ujung jembatan. Sekilas tidak menandakan ada perkampungan karena tertutup warung-warung kecil dan sebuah pemakaman umum. Sebelum memasuki Kampung Keong, kami melewati jembatan keong yang mengalir sungai dibawahnya.

Sesampainya disana, kami berusaha untuk mencari tahu tentang asal nama Kampung Keong, agak susah memang, karena setiap penduduk yang ditanya selalu menjawab sama. “Waduh, kalau masalah asal muasal kampung, saya kurang tahu neng, kalau neng pengen tahu, coba Tanya pada orang yang paling tua di kampung ini, ujar salah seorang warga kampung yang kami tanyai.

Kami melanjutkan perjalanan ke dalam kampung sambil mengarahkan pandangan ke kanan dan kekiri. Nisrin (24) salah seorang Saidjah-Adinda Lebak sebagai teman bicara memberikan keterangan tentang apa saja yang ada disana. Lalu terpikirlah olehku pada siapa rasa ingin tahu ini bisa ditanyakan. Saat melewati rumah penduduk, aku melihat seorang lelaki tua baya yang sedang duduk di beranda rumahnya. Aku pun berkata pada Nisrin apa kita bertanya padanya? Nisrin Setuju, lalu kami menghampirinya. Saat kami menanyainya dia acuh saja. Barulah diketahui ketika datang perempuan pemilik kedai kopi yang mengaku anak si kakek menjelaskan bahwa pendengarannya sudah berkurang. Percakapan kami dengan si kakek terjadi. Diketahui jika nama kakek tua itu ialah Usup, ia seorang veteran tentara. Sayang, aku mengalami banyak kesulitan dengan bahasa tuturnya. Teh Nisrin membantuku dalam pembicaraan dengannya. Aku sendiri hanya menunggu Teh Nisrin dan sesekali ibu penjaga kedai membantu menerjemahkan apa yang dikatakan si Kakek.

Suasana Kampung Keong

Suasana Kampung Keong.

Kutipan garis besar dari hasil pembicaraannya adalah, Kampung Keong dulunya merupakan tempat pembuangan. Itu terjadi saat zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Disebut keong karena ada sebuah Leuwi (genangan arus sungai yang dalam) yang banyak terdapat keong. Lalu anak si Kakek menjelaskan lagi bahwa dulunya disini hanya sebuah rawa dengan jalan yang sangat becek, yang kadang sampai selutut. Biasanya warga berjalan melewati jalan itu tanpa alas kaki. Sayang, Obrolan kami harus terputus sampai disitu, karena Teh Nisrin ada keperluan lain, sehingga mengharuskan kami untuk mengakhiri percakapan tersebut. Kami pun pamit dengan masih menyisakan ketidakpuasan dan beberapa pertanyaan di benakku. Saat akan pulang, aku dan Teh Nisrin menghampiri teman-teman lain yang sedang menunggu di rumah seorang penduduk lain. Ketika kami membicarakan hasil wawancara dengan si Kakek tadi, tiba-tiba yang punya rumah bertanya kepada kami,Eh, kalian sedang mencari tahu tentang kampung keong ya? kenapa tidak tanya sama bapak saja, bapak cukup tahu tentang kampung ini. Ayo…, masuk saja!” tuturnya pada kami seraya menawarkan dengan ikhlas. Kami pun tak segan mampir ke rumah Bapak Satria yang ternyata seorang pensiunan tentara juga.

Kali ini wawancaraku ditemani oleh Fuad. Bercermin dari pengalaman singkat, aku khawatir mengalami kesulitan bahasa kedua kalinya. Bahasa Sunda cukup sulit pikirku. Obrolan awal dibuka oleh pertanyaan  yang dilontarkan oleh Fuad tentang perihal sungai kecil yang terdapat tepat di depan gerbang masuk Kampung Keong. Bapak itu menjelaskan:

”Sungai itu tidak membelah kampung ini, tetapi memang sudah ada dari zaman dulu. Awalnya  hanya saluran air kecil saja, di sini yang disebut membelah atau pemisah dari daerah sebelah selatan keong ialah Batu belah yang ada di Cirende. Terus sungai itu hulunya ada di sana. Terkenal dengan adanya ‘Setan Lubang’; dulu, sejarahnya di sana ada ikan Lubang (sejenis ikan belut),”  jelas si kakek.

Letaknya di sebelah selatan Kampung Keong, jalan menuju daerah Cirende dan Lebak Parahiang. Kemudian aku menanyakan tentang cerita sungai Cikatapis, yang awalnya hanya sebuah selokan kecil yang bersumber dari batu belah. Dia berkata bahwa di ujung sungai Cikatapis itulah banyak hantu,  Diantaranya hantu yang mirip ular tetapi bukan ular. Hantu tersebut bisa berubah wujud atau bentuk. Terkadang menjadi ular dan kadang berubah menjadi kerbau. Ularnya sebesar kerbau dan dinamakan Leuwi Kebo kepalanya berada di hulu sungai Cikatapis. Jika berubah menjadi kerbau, dia akan terlihat mandi di Leuwi. Aku penasaran menanyai apa nama hantu itu, dia hanya berkata “susah menyebutnya, dia bisa berubah-rubah bentuk, kalau dia muncul di sungai itu, maka kampung ini kebanjiran dan Siluman itu pun ikut dengan arus air. Kalau di hulu disebut Leuwi Kebo maka yang di hilir sini disebut Leuwi Eneng”.

“Kenapa disebut Leuwi eneng, Kek?” tanyaku tak sabar. Si kakek pun mulai bercerita, Dulu ada anak perempuan Bupati yang mati dibawa oleh siluman kali. Saat itu Bupatinya bernama Hardiwinangun. Setiap tahunnya dipastikan ada peristiwa kematian. Korban yang pertama adalah anak perempuan Bupati, yang kedua anaknya Dandres (Komandan Resort) Kepala Polisi. Pada saat anak perempuan itu akan di sunat, pembantunya membawanya mandi di sungai itu, tiba-tiba kaki anak itu seolah ada yang menariknya ke dalam sungai. Dulu diyakini anak perempuan itu ditarik siluman. Sudah tiga hari lamanya, barulah mayatnya ditemukan. Siluman kali jembatan itu sangat jahat pada tamu.

Selanjutnya kubertanya mengapa kampung tersebut dinamakan Kampung Keong? Dulunya,  disebut keong emas. Pertama kali ditemukan di sebelah utara kampung ini.

Jembatan Kampung Keong

Jembatan Kampung Keong

Sebelumnya kampung di sini terbagi dua, sebelah utara Kampung Pulo. Disitulah keong di temukan. Kalau yang sebelah sini namanya Kampung Kidul (Selatan). Setelah ditemukannya benda (keong) itu maka kedua kampung tersebut disatukan menjadi Kampung Keong. Daerah ini diakui oleh pemerintahan sebelum 1945 dengan nama Kampung Keong.

Sebelum Belanda datang, kampung disini sudah bernama keong. Saat kedatangan Belanda pertama kali, warga pribumi dikejar-kejar, sedangkan kedatangan Jepang tidak separah Belanda sebelumnya.

Ternyata, jembatan yang kami lewati saat memasuki Kampung Keong tersebut, dulunya berwarna kuning. Besi jembatan melengkung-lengkung dan ada tempat khusus buat pejalan kaki. Jembatan tersebut ambruk terkena meriam Belanda saat Bupati Hardiwinangun menjabat. Setelah hancur, jembatan dibangun kembali oleh Belanda. Tetapi, kira-kira tahun 1958 jembatan ambruk kembali karena memang sengaja dihancurkan oleh tentara kita. Ini dilakukan karena pada saat itu Belanda akan menyerang ke Selatan. Jembatan dihancurkan supaya Belanda tidak bisa menyeberang, kemudian Jepang datang ke Lebak merenovasi jembatan itu. Lalu jembatan dibangun kembali tahun 1997.

Dari penjelasan si Kakek, aku menyimpulkan bahwa nama keong itu berasal karena memang banyak ditemukan keong disana, keong juga bisa diartikan tempat persembunyian. Karena menurut cerita Kakek Satria, Semua Tentara Indonesia bersembunyi di kampung ini. Sedangkan kalau di Lebak sendiri, pribumi tidak ada sama sekali.

Lagipula, selain untuk persembunyian para tentara, di kampung ini, di sepanjang sungai Ciberang dari belakang kabupaten, muara, sampai ujung jembatan dua di buat galian namanya bentengan. Yang digunakan oleh orang Jepang, jadi mereka berjalan di bawah tanah.

Setelah kakek bercerita panjang lebar mengenai kampung keong dan pertanyaan-pertanyaan yang tadinya masih bergelayut di benakku menjadi terjawab semuanya. Tak terasa matahari yang ku fikir masih setia menemani kami untuk pulang ternyata berangsur kembali ke peraduannya, Kami pun pamit untuk pulang sebelum hari benar-benar gelap dengan perasaan senang. Apalagi aku, aku merasa sangat puas dan sekaligus senang karena hari itu aku sudah diberikan pengetahuan dan pengalaman baru pada perjalanan pertamaku kali ini.

About the author

Avatar

Jelita Rahmadhani

Dilahirkan di Padangpanjang pada tanggal 31 Maret 1989. Ia kuliah di Institut Seni Indonesia, Padangpanjang, jurusan Ilmu Televisi dan Film angkatan 2007. Perempuan ini juga aktif di komunitas Sarueh Padangpanjang.

4 Comments

  • seperti membaca tulisan dari lebak yah hmmmm…. nice manis dan sangat merenyuh..nga nyangka tulisan ini ternyata dari padang panjang hehehe….

  • “Mitos dan tempat tersembunyi” suka tidak suka kami menerimanya sebagai tambahan informasi bernilai besar. Kami yang terjebak pada ketidak sadaran mengakuinya secara jujur.

  • yeee kampung keong ternyata ada sejarahnya yh baru tau setelah 16 tahun saya tinggal di kampung keong.. :)))

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.