Padangpanjang, Sumatera Barat

Siapa Pengganti Kakekku?

Siang itu cuaca kota ku terasa sangat panas. Beberapa orang di dalam angkot (angkutan kota) yang kutumpangi tampak mengipaskan apa saja agar hawa panas itu cepat pergi dari tubuh mereka yang mulai berkeringat, begitu pun denganku yang sudah mulai tak kuasa menahan panas hari ini. Tapi tak lama kemudian, aku sampai juga di tempat tujuanku dan turun dari angkot. Seketika mataku terpaku pada sebuah bangunan tua yang masih berusaha untuk tetap berdiri kokoh di antara hiruk pikuknya kota kecilku ini. Itulah Bioskop Karia Padang Panjang, tempat di mana almarhum kakekku pernah menjadi projectionist (pemutar film) di sana selama 55 tahun pengabdiannya, hingga saat beliau menghembuskan nafas terakhirnya beliau masih berusaha melaksanakan tugas tersebut dengan baik.

Suasana jalan di sekitar Bioskop karia saat siang hari

Suasana jalan di sekitar Bioskop karia saat siang hari

Aku jadi ingin tahu sejak kakekku tiada, siapa yang menggantikan tugas beliau sebagai pemutar filem? Tapi aku singkirkan sejenak pikiran itu dan bergegas pergi karena aku harus segera mengurus pendaftaran ulang kuliahku untuk semester berikutnya. Esoknya, aku utarakan apa yang terlintas dibenakku kemarin kepada Linda, temanku di Komunitas sarueh, tak ku sangka Linda juga mempunyai pemikiran yang sama, maka kami pun membuat janji untuk pergi bersama ke Bioskop Karia pada hari Jum’at malam, untuk melihat siapa orang yang menggantikan pekerjaan kakekku di sana.

Hari menunjukkan pukul tujuh malam, kotaku diguyur hujan semenjak sore. Karena cuaca yang seperti ini aku dan Linda tak yakin kalau kami akan bisa ke sana, ditambah lagi dengan kondisi Linda yang sedang kurang sehat. Tapi sepertinya Tuhan sayang padaku, karena sesaat kemudian hujan mulai berkurang intensitasnya, sekarang hanya tinggal tetesan-tetesan kecil saja dari langit. Aku langsung berucap syukur dalam hati dan langsung menyuruh Linda bersiap-siap agar kami bisa segera berangkat sebelum hujan deras kembali. Akhirnya pukul setengah delapan malam, aku, Linda, Fandi dan Angga langsung menuju ke bioskop tua tersebut.

Bioskop Karia di malam hari

Suasana jalan di sekitar Bioskop Karia saat malam hari

Sesampainya di sana, ternyata seperti biasa telah berkumandang sebuah tembang lawas yang diputar melalui toa sebagai tanda bahwa filem akan segera dimulai. Dan tentu saja sebelum masuk kami harus membeli karcis terlebih dahulu seharga Rp. 7.500,-. Tapi sepertinya Bapak Taz (penjual karcis) masih ingat kepada kami yang dulu pernah ke  Bioskop karia untuk memutar karya video akumassa, sehingga kami diberi keringanan, hanya harus membeli 3 tiket untuk 4 orang yang masuk.

Setelah mendapat karcis, kami pun masuk, penglihatanku harus menyesuaikan lagi dengan ruangan yang begitu gelap, semua lampu sudah dimatikan karena filem telah mulai diputar. Masih tetap jelas terekam di otakku bagaimana kakekku mengatakan bahwa beliau sangat senang saat bioskop ini kembali ramai setelah 10 tahun terakhir, karena saat itu Komunitas Sarueh mengadakan pemutaran karya akumassa di sana.

Aku dan Linda langsung menuju ke atas, tempat almarhum kakekku biasa bekerja. Tanpa kusadari butiran bening itu menetes dari sudut mataku, teringat bagaimana kakek tua yang tak banyak bicara itu bekerja mengangkat gulungan-gulungan filem dan memasang kembali ke alat pemutarnya agar para penonton, yang biasanya tak lebih dari 10 orang, dapat menikmati filem yang disuguhkan. kemudian cepat-cepat ku sapu air mata itu dengan punggung tanganku agar tak ada orang lain yang tahu kalau aku menangis.

Suasananya masih tetap sama, sebuah ruangan sempit yang pencahayaannya diterangi bohlam 60 watt (sebelumnya kakekku bekerja hanya diterangi dengan lampu 15 watt), 2 buah alat pemutar filem, sebuah meja kecil di dekat jendela yang di atasnya terdapat alat yang dipergunakan untuk meggulung pita-pita seluloid. Tetapi aku merasa ada yang berbeda, karena sekarang tak kudapati lagi sosok kakek tua ku yang penuh semangat menekuni tugasnya, melainkan di sana telah berdiri seorang bapak setengah baya, rupanya dia lah yang sekarang menggantikan posisi kakekku sebagai projectionist.

Kami bersama Pak Edi, projectionist di Bioskop karia saat ini

Kami bersama Pak Edi, projectionist di Bioskop karia saat ini

Aku pun langsung memperkenalkan diriku, bahwa aku adalah cucu dari Pak Udin (nama almarhum kakekku). Bapak yang ku ketahui bernama Edi dan berusia 50 tahun itu langsung tersenyum, setelah itu obrolan kami pun langsung mengalir begitu saja karena Pak Edi sangat ramah. Disela-sela kesibukannya mengganti gulungan pita seluloid aku terus bertanya tentangnya, sementara Angga dan Fandi tengah sibuk melihat-lihat cara kerja alat tersebut. Pak Edi yang biasa disapa Edi Awak ini ternyata telah lama mengenal kakekku.

“Apak lah lamo kenal samo Pak Udin tu mah..” (Bapak sih sudah lama kenal dengan Pak Udin), jelasnya kepadaku.

“Iyo Pak? Sajak bilo tu Pak?” (Benar Pak? Sejak kapan?)

“Lah dari taun anam puluahan lai.. sangkek tu apak masih ketek-ketek juo baru,” (Sudah dari tahun enam puluhan lah, saat itu kami masih kecil-kecil)

“Ooh.. Menurut Pak baa anduang wak tu?” (Menurut Bapak bagaimana kakek saya itu?), tanyaku.

“Pak Udin tu ndak banyak kecek doh, elok bana urangnyo. Malah sangkek tu nyo ado kanai berang dek Pak Taz karano salah mamasang pilem, maklumlah kan urang lah gaek kadang lupo. tapi tumah ndak ado nyo berang doh.” (Pak Udin itu tidak banyak omong, baik sekali orangnya. Pernah beliau kena marah oleh Pak Taz karena salah memasang filem, maklum beliau sudah tua kadang suka lupa, tapi tak pernah dia marah balik), cerita Pak Edi kepadaku.

“Iyo nak Pak, sabana ndak banyak kandak anduang wak tu doh…” (Iya Pak, memang benar-benar sabar kakek saya itu), ujarku.

“Iyo bana.” (betul sekali)

“Dari sia Apak baraja mamuta film ko Pak?” (Dari siapa Bapak belajar memutar film?), tanya Linda kepada Pak Edi.

“Dari Pak Udin, sabanta barajanyo nyoh..” (Dari Pak Udin, hanya sebentar belajarnya kok), jawab Pak Edi.

“Lah bara lamo Apak karajo iko, Pak?” (Sudah berapa lama Bapak kerja ini, Pak?)

“Lah anam taun, tapi yo pak jarang karajo. Paliang apak karajo kalau Pak Udin sadang ndak bisa mamuta pilem, baru apak yang manggantiannyo.” (sudah enam tahun, tapi saya jarang bekerja, hanya kalu Pak Udin sedang tak bisa memutar filem, baru saya yang menggantikannya), jelasnya.

“Oo.. patuiklah ndak pernah awak nampak apak disiko do..” (Oh pantas saja kami tidak pernah lihat Bapak di sini).

Dari cerita tersebut ku ketahui bahwa Pak Edi belajar memutar film dari kakekku yang telah ia kenal dari tahun 60-an, ia sudah bekerja sebagai pemutar filem di sini selama enam tahun belakangan tapi tidak rutin, ia hanya menggantikan kakekku saat beliau tak bisa memutar filem karena sakit atau hal lainnya. Bapak 5 anak ini juga bekerja sebagai pekerja bangunan, namun jika ada borongan saja. Menurutnya daripada hanya duduk di rumah saja tidak ada borongan lebih baik bekerja di sini.

Alat pemutar iklan yang masih berbentuk slide

Alat pemutar iklan yang masih berbentuk slide

Lalu  setelah melihat-lihat, aku tertarik pada sebuah alat yang terletak tak terurus di sudut ruangan ini, lalu aku mendekati alat tesebut dan bertanya perihal alat tersebut. Ternyata itu adalah alat untuk memutar iklan sebelum filem dimulai, tapi sayangnya alat itu sudah lama rusak, dan Pak Edi pun tak tahu apa nama alat tersebut.

Lalu Pak Edi memperlihatkan beberapa contoh iklan yang berjaya di tahun 80-an, tapi karena melihat minat kami yang cukup besar, kami diperbolehkan membawa pulang iklan-iklan tersebut, yang pada umumnya berupa iklan layanan masyarakat semasa orde baru seperti Iklan Repelita I,II,III, dan IV. Bentuknya persegi, terdiri dari dua buah lempeng kaca berukuran 8×8 cm. Lempengan kaca itu nantinya ditempelkan setelah iklan yang diinginkan dipasang di antara kaca, lalu diberi isolasi di sekelilingnya agar tidak berpisah. Ada sekitar 30 iklan berbentuk slide dan dua buah iklan seluloid yang kami bawa ke Komunitas Sarueh.

Contoh iklan slide

Contoh iklan slide

Akhirnya, jam 21.30 WIB kami pulang dengan sebelumnya menikmati sate Padang Panjang di pasar dengan ditemani rintik hujan yang mengiringi perjalanan kami pulang dengan penuh semangat.

About the author

Avatar

Jelita Rahmadhani

Dilahirkan di Padangpanjang pada tanggal 31 Maret 1989. Ia kuliah di Institut Seni Indonesia, Padangpanjang, jurusan Ilmu Televisi dan Film angkatan 2007. Perempuan ini juga aktif di komunitas Sarueh Padangpanjang.

6 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.