Jurnal Kecamatan: Sukajadi Kota: Pekanbaru Provinsi: Riau

Zakat Fitrah di Masjid Ar-Rahim

Salah seorang warga RW 03 sedang membayar zakat fitrah.
Avatar
Written by Manshur Zikri
Seorang Bapak berkemeja hijau bertanya kepada bapak yang mengenakan baju muslim berwarna oranye, seraya menunjuk saya, yang duduk di sebelahnya, “Dari mana?”. Si Bapak berbaju muslim, saya memanggilnya Pak Edy, melirik saya, kemudian menggeleng seakan mengisyaratkan kepada temannya itu bahwa saya bukanlah hal penting.

Masjid Ar-Rahim

Masjid Ar-Rahim

Saat itu, saya sedang duduk di antara bapak-bapak pengurus Masjid Ar-Rahim di RW 03, Kelurahan Jadirejo, Kecamatan Sukajadi, Pekanbaru, Riau. Pada malam terakhir Bulan Ramadhan 1434 H itu, tanggal 6 Agustus 2013, setelah sholat tarawih, di masjid tersebut sedang ada kegiatan pembagian zakat fitrah kepada warga RW 03.

Sebelumnya, Pak Edy menyuruh saya menunggu barang sebentar, menjelang dia selesai mengurus proses pemberian zakat fitrah dan menghitung uang sisa yang belum tersalurkan. Saya menduga-duga tebakannya tentang saya: mungkin mahasiswa, mungkin juga wartawan. Yang jelas, saya telah menerangkan padanya bahwa saya akan menulis cerita tentang kegiatan pemberian zakat fitrah di Masjid Ar-Rahim, dan akan memuatnya di sebuah media online.

akumassa_zakat fitrah di masjid ar-rahim_02

Saya memilih masjid itu karena kemudahan akses yang saya dapat dibandingkan dengan masjid-masjid lain di Kelurahan Jadirejo. Kedekatan saya dengan Masjid Ar-Rahim sudah terbangun sejak kecil. Ada banyak ritual keagamaan dan kegiatan sosial masyarakat setempat yang saya alami di masjid itu, mulai dari peringatan hari besar keagamaan, kerja bakti, pembangunan madrasah, hingga acara-acara perayaan, seperti khatam Al-Quran. Ketika saya duduk di bangku Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) Ar-Rahim, setiap hari saya memasuki masjid, dan menyimak setiap perkembangan yang terjadi. Dulu, saya kenal dengan penjaga masjid. Pak Masrul, namanya, yang juga merupakan salah seorang guru di MDA Ar-Rahim. Penjaga masjid berganti beberapa kali, bahkan sekarang saya sudah tak kenal siapa penjaga masjidnya, apalagi sejak merantau ke Jakarta. Namun, penjaga masjid yang sekarang usianya tak jauh berbeda dengan saya, dan lebih nyambung diajak ngobrol. Imam masjid juga begitu, berganti-ganti. Kata ibu, ketika masih hidup, kakek saya adalah salah seorang imam Masjid Ar-Rahim terpandang, disegani, dan sering terlibat dalam kegiatan sosial-keagamaan yang diadakan oleh panitia masjid. Salah satunya, sebagai ketua panitia zakat fitrah di Bulan Ramadhan. Selain itu, ayah saya juga pernah menjabat bendahara RW 03, dan ketika masih aktif sebagai pemuda masjid, ayah pernah pula mengurus keuangan masjid selama Ramadhan.

Para jamaah masjid Ar-Rahim sedang bersiap-siap mendengar ceramah sholat tarawih.

Para jamaah masjid Ar-Rahim sedang bersiap-siap mendengar ceramah sholat tarawih.

Seorang istadz memberikan santapan rohani kepada jamaah.

Seorang ustadz memberikan santapan rohani kepada jamaah.

Bibi saya mengatakan bahwa dulu, ketika ia masih remaja, pemberian zakat fitrah Masjid Ar-Rahim diadakan pada malam takbir. Tak ada yang tahu pasti di keluarga saya mengapa belakangan pemberian zakat fitrah berubah menjadi malam terakhir Bulan Ramadhan. Alasan yang paling logis datang dari sepupu saya, Sabil, “Mungkin, supaya yang menerima zakat fitrah juga punya waktu untuk belanja keperluan lebaran,” katanya berpendapat.

Sementara ayah saya, yang punya pengalaman menjadi pengurus RW dan masjid, mengatakan bahwa sistem kepanitiaan sudah banyak yang berubah, malah semakin berantakan, sejak para tokoh masyarakat yang dipercaya, salah satunya nenek saya yang dikenal sebagai Ibu Kepala MDA Ar-Rahim, tak terlibat lagi dalam banyak kegiatan, biasanya karena sudah terlalu tua atau meninggal. Kepengurusan yang sekarang dilakukan salamak paruikpanitia (seenak perut panitia), kalau istilah ayah saya, yang maksudnya adalah ‘sesuka hati para panitia’ tanpa mempertimbangkan dan mengutamakan kemaslahatan umat.

Tentu saja itu adalah pendapat subyektif ayah, dan belum tentu benar. Oleh sebab itu, gosip-gosip mengenai kebobrokan moral para pengurus masjid atau orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pengurusan masjid, ingin saya buktikan sendiri. Zakat fitrah di bulan puasa, saya rasa cukup pas untuk meninjau hal ini.

Sesi pengumpulan infak dan sadakah setelah ceramah sholat tarawih.

Sesi pengumpulan infak dan sadakah setelah ceramah sholat tarawih.

Panitia masjid mengumpulkan infak dari jamaah.

Panitia masjid mengumpulkan infak dari jamaah.

Sholat tarawih.

Sholat tarawih.

Saya tertawa kecil di dalam hati waktu melihat kekikukan para panitia masjid malam itu. Saya mengerti bahwa ada kekhawatiran yang muncul di wajah mereka ketika menyadari kamera di tangan saya. Saya mulai jepret sana jepret sini ketika ceramah sebelum sholat tarawih dimulai. Dan itu terus berlanjut hingga sesi pemberian zakat fitrah. Tanpa ragu, saya mengambil gambar aktivitas penghitungan uang infak, sadakah, dan uang zakat fitrah. Orang-orang yang menghitungnya pun saya abadikan. Maka maklum, ketika saya bertanya tentang sistem dan proses pembagian zakat fitrah itu, dengan tegas dan sikap membatasi diri, Pak Edy berkata, “Ini semua untuk warga yang membutuhkan. Kami tidak ada sedikit pun mengambil jatah, tidak ada hak. Jadi, kami tidak mengambil bagian, karena itu berdosa!”

“Iya, Pak!” kata saya. “Saya cuma pengen tahu, ada berapa kepala keluarga yang menerima zakat fitrah di RW kita?”

“Hitungannya per jiwa, bukan KK,” kata Pak Edy. Dia pun menunjukkan dokumen yang berisikan daftar para penerima zakat fitrah kepada saya. “Di RW 03 ini ada enam RT, 48 KK yang masuk kategori, ada 196 jiwa.”

Melalui pengumuman panitia, saya mengetahui bahwa dalam satu kepala keluarga yang berhak menerima zakat fitrah, hanya dianggap ada lima jiwa, dengan total uang zakat fitrah adalah Rp 480.000,- per kepala keluarganya.

“Jadi, kalau ada yang enam jiwa dalam satu KK, hanya mendapat delapan puluh ribu saja,” terang Pak Edy melalui pengeras suara.

Keramaian di pos penerimaan zakat.

Keramaian di pos penerimaan zakat.

Pak Edy (baju oranye), salah seorang panitia zakat, sedang memberikan santunan anak yatim dari hamba Allah.

Pak Edy (baju oranye), salah seorang panitia zakat, sedang memberikan santunan anak yatim dari hamba Allah.

Panitia sedang menghitung keuangan masjid.

akumassa_zakat fitrah di masjid ar-rahim_19

Sebelumnya, saya tak pernah melihat proses pemberian zakat fitrah. Dalam bayangan saya, para panitia akan berdiri di pintu masjid sementara di dekat mereka ada banyak sembako, lalu warga fakir dan miskin berbaris antri untuk menerima sekantong atau dua kantong sembako. Jujur saja, bayangan itu dipengaruhi oleh opera-opera sabun bernuansa islami di TV, yang biasanya menjamur di bulan puasa. Atau bayangan lainnya, pemberian zakat fitrah yang berujung ricuh karena warga berebutan. Hal itu seringkali menjadi pemberitaan di TV-TV, biasanya sehari atau dua hari setelah bulan puasa berakhir.

Panitia amil zakat memberikan zakat fitrah kepda warga yan berhak.

Panitia amil zakat memberikan zakat fitrah kepada warga yang berhak.

Warga sedang menunggu giliran menerima zakat fitrah.

Warga sedang menunggu giliran menerima zakat fitrah.

Warga sedang menunggu giliran menerima zakat fitrah.

Warga sedang menunggu giliran menerima zakat fitrah.

Di Masjid Ar-Rahim, warga fakir dan miskin—sejauh amatan saya, mayoritas yang mengambil hak zakat fitrah adalah perempuan—duduk dengan sabar di dalam masjid, sedangkan jamaah masjid yang bukan masuk dalam golongan penerima zakat sudah pulang ke rumah masing-masing. Panitia duduk di dekat mimbar, dan sambil menghitung uang dan mencatat data-data para penerima, mereka memanggil satu per satu nama jiwa yang berhak. Satu per satu para penerima maju ke depan, dan menerima amplop berisi uang. Peristiwa itu persis seperti pengumuman absen kehadiran siswa MDA ketika menerima rapor kenaikan kelas waktu saya masih sekolah mengaji dulu.

Salah seorang warga RW 03 sedang membayar zakat fitrah.

Salah seorang warga RW 03 sedang membayar zakat fitrah.

akumassa_zakat fitrah di masjid ar-rahim_16

Selama proses pemberian zakat itu, pos pembayaran zakat fitrah juga masih dibuka di depan pintu masuk masjid. Hingga malam itu, saya masih melihat ada banyak orang membayar zakat, ada yang dengan uang, ada juga yang langsung memberikan beras.

Yang saya pelajari sewaktu masih duduk di bangku MDA, dan juga melalui diskusi dengan ibu, zakat fitrah memiliki ketentuan, yakni pengeluaran wajib bagi umat muslim berupa sebagian harta berbentuk makanan pokok, tergantung dari makanan pokok apa yang dikonsumsi di wilayah lokal tertentu. Misalnya, di Indonesia yang umumnya mengkonsumsi makanan pokok berupa beras, orang-orang membayar zakat fitrah dengan beras atau uang sesuai bobot harga beras yang dikonsumsi. Bobot pengeluaran zakat fitrah adalah satu sha’ makanan pokok. Pada beberapa artikel di internet yang saya telusuri, mayoritas ulama di Indonesia menyepakati bahwa satu sha’ beras untuk konteks Indonesia setara dengan 2,5 kilogram beras.

Formulir keterangan membayar zakat fitrah Masjid Ar-Rahim.

Formulir keterangan membayar zakat fitrah Masjid Ar-Rahim.

Pada kertas formulir keterangan pembayaran zakat fitrah Masjid Ar-Rahim, saya melihat ada tiga jenis beras yang umumnya dikonsumsi masyarakat. Beras pertama adalah beras ramos (IR 64), sering juga disebut Setra Ramos. Sebuah artikel di http://jagoanberas.blogspot.com/ menerangkan bahwa beras ini paling banyak ditemui di pasaran karena harganya yang terjangkau. Beras ini memiliki ciri lonjong (tidak bulat). Pada formulir itu, harga per kilogram beras ramos adalah Rp 11.000,- dan dengan kata lain, harga zakat fitrah yang harus dibayar adalah Rp 27.500,-.

Beras jenis kedua adalah beras pandan wangi yang dijual seharga Rp 10.000,- per kilogram. Artikel di website Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, http://diperta.jabarprov.go.id, menyebutkan bahwa beras ini merupakan varietas padi lokal khas Cianjur, di daerah Kecamatan Cibeber (Desa Cisalak/Mayak), dan mulai popular di Jakarta sekitaran tahun 1980. Bentuk gabah beras ini bulat dengan tekstur nasi yang pulen. Sesuai perhitungan sha’, zakat fitrah bagi pengkonsumsi beras ini adalah Rp 25.000,-. Ibu mengatakan bahwa keluarga kami mengkonsumsi beras jenis ini.

Beras jenis ketiga adalah beras belida. Saya tak menemukan artikel yang menerangkan jenis beras ini. Katanya, beras ini berasal dari Palembang. Kalau menurut keterangan dari bibi, orang-orang menyebutnya beras belida karena pada bungkus beras dari pabriknya terdapat tulisan “Belida” dan ada gambar ikan belida. Pada formulir zakat fitrah, tertera harga per kilogram beras belida adalah Rp 9.600,- dan harga zakat fitrahnya menjadi Rp 24.000,-.

Panitia memberikan zakat fitrah kepada warga yang berhak. Terlihat dalam foto, Pak Edy sedang memandu proses pembagian zakat.

Panitia memberikan zakat fitrah kepada warga yang berhak. Terlihat dalam foto, Pak Edy sedang memandu proses pembagian zakat.

“Lalu, bagaimana cara menentukan orang-orang yang berhak menerima zakat fitrah, Pak?” Tanya saya lagi.

“Itu berdasarkan seleksi RT masing-masing,” jawab Pak Edy.

“Bukan, maksud saya, kategori untuk menentukan bahwa keluarga A masuk kategori penerima zakat, itu bagaimana cara menentukannya?”

“Ya, kalau di ajaran kita, kan ada delapan golongan yang berhak menerima zakat,” begitulah kira-kira penjelasan Pak Edy. “Tapi sebaiknya yang didahulukan adalah golongan fakir dan miskin. Kalau fakir itu, kan ndak punya penghasilan, ndak ada kerja. Kalau orang miskin itu, kadang ada, kadang ndak. Ndak tetap penghasilannya.”

Dalam ajaran Islam, delapan golongan yang dimaksud oleh Pak Edy itu disebut Mustahiq. Berdasarkan artikel di website Lembaga Amil Zakat, http://zakat.or.id/, delapan golongan itu adalah Fakir (orang yang tidak memiliki harta), Miskin (orang yang penghasilannya tidak mencukupi), Riqab (hamba sahaya atau budak), Gharim (orang yang memiliki banyak hutang), Mualaf (orang yang baru masuk Islam), Fisabilillah (pejuang di jalan Allah), Ibnu Sabil (musyafir dan para pelajar perantauan) dan Amil zakat (panitia penerima dan pengelola dana zakat).

“Tapi, Pak, bagaimana mengetahuinya, yang fakir dan miskin itu?”

“Ya, kalau awak kok kan alah samo-samo tahu. Jadi, berdasarkan pertimbangan, sia nan ka dapek atau indak, awak tantuan basamo-samo. Awak lah tau baa urangnyo, apo karajonyo, hiduiknyo…” (Ya, kalau kita sudah sama-sama tahu. Jadi, berdasarkan pertimbangan, siapa yang berhak mendapat atau tidak, kita tentukan bersama-sama. Kita sudah tahu bagaimana orangnya, pekerjaannya, hidupnya…)

Jawaban dari Pak Edy ini tidak memuaskan saya mengenai gambaran tentang tolak ukur siapa yang berhak. Penentuannya hanya berdasarkan pertimbangan sejauh mana mengenal dan memahami si warga. Pak Edy menjelaskan bahwa yang menjadi anggota panitia zakat fitrah haruslah orang yang memang benar-benar mengerti keadaan warga di lingkungan RW 03 tersebut. Akan tetapi, ketika saya konfirmasi ke ayah dan ibu, ternyata masing-masing RT melakukan seleksi berdasarkan catatan kependudukan setiap kepala keluarga.

“Di dalam catatan itu, terdapat keterangan mengenai seberapa besar penghasilan, apa jenis pekerjaan, berapa banyak tanggungan jiwa, dan semua hal terkait keadaan ekonomi KK yang bersangkutan,” terang ibu beberapa hari setelah saya mewawancarai Pak Edy.

Panitia amil zakat sedang menghitung uang zakat yang tersisa.

Panitia amil zakat sedang menghitung uang zakat yang tersisa.

“Semuanya kita kasih kepada yang berhak,” sekali lagi Pak Edy mengatakan, tepat di waktu ketika ia memberi sebuah amplop kepada seorang bapak yang saya lihat ikut menghitung uang selama proses pemberian zakat fitrah tersebut. “Tapi, sepuluh persen juga diberikan kepada para panitia, amil zakat, termasuk para RT juga kita kasih.”

“Para RT?”

“Iya, uang lelah, karena mereka ikut mendata dan menyeleksi warga yang berhak menerima. Selain itu juga, RT mendatangi rumah-rumah warga untuk meminta bayaran uang zakat fitrah.”

“Oh, jadi panitia gak cuma menunggu di masjid, Pak?”

“Iya, supaya terdata semua, panitia juga mendatangi rumah-rumah warga untuk mengingatkan sekaligus menerima pembayaran zakat fitrah. Jadi, warga tidak perlu bersusah payah mendatangi pos pembayaran zakat.”

Ketika berbincang dengan Pak Edy, saya melihat beberapa pengurus masjid mulai beranjak pulang setelah menerima hak mereka sebagai amil zakat. Warga yang berhak menerima zakat juga sudah pulang semua. Di dalam masjid, hanya tinggal saya, Pak Edy, dan dua orang temannya. Saya mencatat semua keterangan Pak Edy sementara dia melanjutkan menghitung uang-uang yang masih ada di hadapan mereka.

Pak Edy sedang memeriksa daftar nama warga yang berhak menerima zakat fitrah.

Pak Edy sedang memeriksa daftar nama warga yang berhak menerima zakat fitrah.

“Semuanya sudah menerima, Pak?” tanya saya kemudian.

“Ada satu yang tidak datang mengambil, berhalangan, katanya,” jawab Pak Edy.

“Itu bagaimana nasibnya, Pak?”

“Ya, nanti kita antarkan ke rumahnya.”

“Nah, kalau yang uang zakat baru masuk malam ini, Pak, disalurkan kemana?”

“Pos zakat masih buka hingga besok, sampai sebelum sholat ied. Nanti, zakat yang masuk belakangan kita salurkan langsung ke tempat-tempat orang yang berhak, ke warga-warga sekitar yang terlihat. Biasanya, pagi-pagi ada banyak yang datang ke masjid, di luar daftar kita.”

“Kalau yang dalam bentuk beras itu, Pak?” kata saya seraya menunjuk tumpukan beras di dekat pintu.

“Ya, sama. Nanti akan kita salurkan juga.”

Pak Edy dan dua temannya masih terlihat sangat sibuk. Meskipun sudah sepi, dan uang sudah disimpan ke dalam amplop, mereka masih mencatat beberapa nama yang, menurut dugaan saya, masih perlu didata untuk menerima zakat fitrah.

Pak Edy sedang mencatat beberapa nama warga yang, saya duga, masih berhak menerima zakat.

Pak Edy sedang mencatat beberapa nama warga yang, saya duga, masih berhak menerima zakat.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, saya bertanya-tanya mengapa beberapa panitia (artinya; tidak semua) terlihat takut-takut menjawab pertanyaan saya, seolah tidak mau disalahkan bahwa mereka ‘memakan’ uang. Toh sesungguhnya mereka memang tidak akan disalahkan jika mengambil bagian, karena mereka termasuk golongan yang juga berhak menerima (amil zakat). Kepala saya tak pernah lepas dari ingatan mengenai ekspresi Pak Edy yang terlihat berusaha menampik dengan menekankan bahwa dia tidak ‘memakan’ uang.

Hal ini kemudian saya ceritakan kepada ayah, ibu, dan bibi. Khususnya ayah, yang tahu banyak hal krisis moral di lingkungan masjid, menjelaskan bahwa hal itu wajar-wajar saja terjadi. Sebab, kepercayaan dan optimisme masyarakat terhadap kejujuran para pengurus masjid sudah mulai berkurang. Ayah tak lupa pula menceritakan tentang kasus salah seorang penjaga Masjid Ar-Rahim yang dulu pernah melarikan uang infak dan sedekah. Ada juga cerita tentang keributan di antara para imam masjid yang sekarang ini. Mereka berpacu ingin menjadi imam Masjid Ar-Rahim karena ada janji honor untuk para imam yang rajin memimpin sholat. Belum lagi persoalan penghitungan uang pemasukan masjid yang tidak jelas juntrungannya digunakan untuk apa. Tidak ada laporan yang jelas dan transparan kepada warga masyarakat.

“Ada kesan kebanggaan jika mengumumkan kas masjid banyak,” kata ayah. “Padahal, seharusnya uang kas itu harus kosong, dalam artian jelas digunakan untuk apa, ya untuk kesejahteraan umat.”

Mendengar pernyataan ayah itu, saya jadi teringat artikel yang ditulis oleh Eddi Santosa di http://ramadan.detik.com, mengutip pernyataan Richo Wibowo, seorang mahasiswa program doktor ilmu hukum  di Utrecht, Belanda. Katanya, merujuk pada pemikiran Salim A. Fillah, “Mengumumkan kekayaan masjid sementara ada warga sekitar yang sedang membutuhkan adalah bentuk atas tragedi dalam berdakwah.”

akumassa_zakat fitrah di masjid ar-rahim_23

Yah, terlepas dari benar atau tidaknya cerita ayah, saya justru melihat dengan mata kepala sendiri keteraturan pengelolaan zakat di lingkungan Masjid Ar-Rahim, khususnya proses pembagian zakat fitrah di tahun ini yang berjalan dengan baik dan aman. Pendataan kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat dilakukan melalui kerjasama para RT di lingkungan RW, tidak dibebankan kepada pengurus masjid saja. Paling tidak, pengalaman ini menunjukkan kepada saya kerjasama warga masyarakat RW 03 dalam menciptakan dan membangun kemaslahatan warga. Toh, bukankah itu esensi dari zakat fitrah itu sendiri, yakni berbagi kenikmatan bagi sesama umat sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.