DKI Jakarta

[Tanpa] Basa-Basi Soal Pemilu 2014

Avatar
Written by Manshur Zikri

“Tempat nyobolos di mana nanti, ya, Pak?” tanya saya kepada Pak Taeng, Pak Kos, ketika membayar uang kosan.

“Ada nanti di lapangan, dekat rawa itu,” jawabnya. Di belakang kompleks kos-kosan saya, ada lapangan luas yang merupakan pekarangan sebuah masjid besar, bernama Masjid Al-Hikam. Biasanya, acara-acara yang berhubungan dengan kerumunan warga di sekitaran Kukusan Teknik (biasa disingkat Kutek), Beji, Depok, diadakan di sana. Dan mungkin juga untuk Pemilu 2014 ini.

Atribut kampanye yang masih menggantung di tiang listrik depan Masjid Al-Hikam (7 April, 2014)

Atribut kampanye yang masih menggantung di tiang listrik depan Masjid Al-Hikam (7 April, 2014)

Setelah membayar uang kos, saya segera bergegas mandi dan bersiap-siap berangkat  menuju Lenteng Agung. Niat saya untuk berbincang lebih jauh soal keikutsertaan Pak Taeng di Pemilu 2014 terpaksa harus ditunda. Sepertinya, beliau ada urusan keluarga sehingga tak bisa menemani saya ngobrol lebih lama.

Sebelum berangkat ke Lenteng Agung, saya sempatkan diri untuk melihat ke lapangan belakang. Ada Aboy, seorang teman dari Lebak, yang menyertai saya hari itu. Seperti sudah saya duga sebelumnya, tak ada tanda-tanda keberadaan tenda TPS. Kerangka tendanya pun belum ada. Mungkin baru akan dibangun besok, H-1 pemungutan suara.

Atribut kampanye yang masih menempel di gerbang Kutek (tanggal 7 April, 2014)

Atribut kampanye yang masih menempel di gerbang Kutek (tanggal 7 April, 2014).

Saya dan Aboy juga tak langsung menuju Lenteng Agung. Kami mampir dulu ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Meskipun sudah lulus dari kampus itu, saya sering menyempatkan diri ke sana sekedar untuk bertemu kawan-kawan mahasiswa atau dosen. Di perjalanan, saat melewati pintu gerbang menuju kampus, saya melihat beberapa alat peraga kampanye masih menempel di pagar gerbang. Hari ini adalah hari kedua dari tiga hari tenang Pemilu Legislatif 2014 (tanggal 6, 7 dan 8 April, 2014). Ada beberapa artikel di media online menyebutkan bahwa target pembersihan total akan rampung pada H-1 coblos, ada juga yang menyebutkan bahwa seharusnya semua alat peraga kampanye dibersihkan sebelum masa tenang. Terlepas ada unsur kesengajaan atau tidak, apa yang saya lihat di gerbang Kutek menunjukkan kinerja Panwaslu dan Bawaslu dalam mengawasi peserta pemilu tahun ini.

Sesampainya di kampus, saya langsung ke warung langganan saya, warung Pak Yayat, untuk membeli rokok. Saya biasanya memanggilnya Babe, dan tanpa basa-basi, saya bertanya padanya tentang keikutsertaan di Pemilu 2014.

“Tanggal 9 ntar, nyobolos, ga, Be?”

“Ya, nyoblos… biasanya juga nyoblos.”

“Kalau nyoblos, ke TPS mana biasanya?”

“Itu di Pocin (Pondok Cina-red).”

Udah urus daftar sebagai pemilih, Be?”

“Sudah, kan nanti tinggal dateng aja,” katanya. Pak Yayat sibuk dengan pekerjaannya membersihkan tong sampah.

“Kalau di tempat saya, sih, katanya diurusin RT, dateng ke rumah-rumah, ngasih tahu ke TPS mana.”

“Kita udah daftar,” katanya, sepertinya tak nyambung dengan maksud ucapan saya. “Kalau gak daftar, ya kagak bisa, lah!”

Saya lalu diam dan hanya memperhatikan si ibu yang sedang mengambilkan enam batang rokok kretek buat saya. Tak lama kemudian, Pak Yayat berkata lagi, “Kalau dulu, kan pake bawa surat ‘abe’ aja, noh…! Yang kemarin bawa begitu juga, gak bisa, karena gak kedaftar.”

Pak Yayat (Foto: Yanuar Permadi)

Pak Yayat (Foto: Yanuar Permadi)

Saya malah tambah bingung dengan penjelasan Pak Yayat. Mungkin, surat ‘abe’ yang ia maksud itu adalah Surat Formulir C6 (surat undangan atau surat pemberitahuan dari Ketua RT setempat) kalau dalam Pemilu 2014. Saya sudah browsing di internet, dan memeriksa kemungkinan nama surat di Pemilu 2009 dan 2004, tak saya temukan yang namanya surat ‘abe’. Kalaupun ada yang bunyinya mirip, ialah surat ‘ate’, atau Surat Formulir A.T., dan itu pun khusus dipegang oleh KPU.

Contoh surat forumulir C6 (milik Mba Minah dan keluarga, tetanga saya di Forum Lenteng).

Contoh surat forumulir C6 (milik Mba Minah dan keluarga, tetangga saya di Forum Lenteng).

Ada tiga model surat dalam Pemilu 2014. Pertama, surat model C (1-6), sebagai surat berita acara. Model C1 untuk hasil penghitungan perolehan suara di TPS, C2 untuk pencatatan kejadian khusus dan keberatan saksi dalam proses pemungutan suara di TPS, C3 untuk surat pernyataan pendamping pemilih, C4 untuk pengantar penyampaian berita acara pemungutan dan penghitungan suara di TPS dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) kepada Panitia Pemungutan Suara (PPS), C5 untuk tanda terima penyampaian berita acara bagi para saksi dan Pengawas Pemilu Lapangan (PPL), dan C6 untuk surat pemberitahuan (undangan) pemungutan suara bagi para pemilih terdaftar. Sementara itu, untuk surat keterangan pindah memilih ke TPS lain, disebut Forumulir A5. Model yang terakhir, Formulir A.T., berfungsi untuk pencatatan nama-nama pemlih yang datang ke TPS menggunakan KTP.

Dari warung rokok, saya beranjak ke warung langganan yang lain untuk memesan es teh. Namanya warung Mang Ari. Salah seorang pegawai Mang Ari, namanya Mang Andi, menyapa saya, “Zikri!”

“Eh, Mang, pesen es teh, yak!” seru saya sembari mengambil sendiri es tehnya dan memberikan uang dua ribu rupiah. Dan juga tanpa basa-basi, saya pun bertanya padanya, “Tanggal 9 ikut nyoblos gak, Mang?”

Nggak. Golput aja.”

“Lho, kenapa golput?”

Emangnya kenapa? Salah, ya, kalau golput?”

“Ya, enggak, sih… tapi ya sayang aja surat suaranya.”

Mang Andi berjalan ke dapur warungnya untuk mengambil pesanan nasi yang siap untuk dihantarkan ke pelanggan.

Mang Andi sedang bekerja di warungnya.

Mang Andi sedang bekerja di warungnya.

“Kenapa, sih, Mang, kok golput?”

“Jauh…!” serunya Mang Andi singkat.

“Emang dapil-nya masuk daftar mana?”

“Bogor. Gak kekejar, harus bolak-balik.”

“TPS-nya di Bogor? Emang Mang Andi tinggal di mana? Bogor juga, kan?”

“Ya…” tangan kanannya bergerak menunjuk ke depan dan ke dirinya.

“Oh, maksudnya repot bolak-balik ke Bogor pas jam dagang, ya?”

“Iya, padahal cuma sebentar doang, tapi susah ninggalin…”

“Tapi kalau milih, ada sih, yak?”

“Ya, gitu-gitu aja… sama aja semua, mah…!”

Jiah…!” seru saya sembari berlalu dari warungnya.

Saya sampai tak sadar ada Aboy yang menemani saya sedari tadi. Ternyata dia sudah duduk di salah satu meja kantin dan memesan es teh juga. Tapi, bukannya menghampiri mejanya, saya justru menghampiri meja yang lain, di belakang meja kasir. Di meja yang saya datangi itu, ada seorang teman, senior saya dulu saat masih kuliah di Jurusan Kriminologi UI.

“Apa kabar, lu?” tanya Galih, teman saya itu. “Gimana dunia kerja?”

“Ya, gitu-gitu aja, Bang. Hahaha!”

“Tapi masih di sana, di Lenteng?” yang dia maksud adalah Forum Lenteng, tempat saya berkegiatan sekarang. “Jadi bikin buku?” sambungnya menanggapi anggukan kepala saya.

“Jadi, itu, tuh salah satu penulisnya,” kata saya menunjuk Aboy di mejanya.

“Oh, kumpulan tulisan, ya, bentuknya?” seru Galih seraya menghembuskan asap rokok yang ia hisap sedari tadi. “Emanglah, ya, mahasiswa krimminologi yang satu ini. Beda sendiri. Keren die!” Galih mengucapkan kalimat itu ke Mas Min, si penjaga kasir yang mejanya di sebelah meja kami, yang sedari tadi tersenyum-senyum melihat obrolan kami berdua.

Sekali lagi, tanpa basa-basi, saya melemparkan pertanyan yang sama ke Mas Min, “Tanggal 9 ikut nyoblos gak, Mas?”

Nggakgak bisa milih di sini aku…” jawabnya.

“Oh, DPT-nya beda, ya?” kata saya. Saya bertanya ke Galih, “Mas Min dari mana, sih?”

“Solo,” jawab Galih.

“Kan, bisa diurus, Mas…?!”

“Belum diurus…”

“Padahal kemarin BEM UI sempat buka posko bantuan untuk ngurus itu, Mas!” kata saya. “Tapi, ya emang cuma tiga hari…”

“Sekarang udah gak bisa?!” Galih menanggapi, entah bertanya, entah memberi tahu.

“Ya, sekarang kan udah masa tenang.”

Saya lanjut bertanya ke Mas Min, “Tapi sebenarnya ada yang mau dipilih, Mas?”

“Nggak ada… aku ya pengennya milih di kampung, tapi gak ada waktu untuk balik,” jawab Mas Min.

“Oh, kalau di sini nggak ada yang kenal, ya, Mas? Tapi kalau di kampung ada yang kenal? Maksudnya, ada yang mau didukung?” tanya saya bertubi-tubi. Mas Min hanya menganggukkan kepala.

“Kamu sendiri, milih gak?” Mas Min balik bertanya.

“Ya, nggak lah…! Saya, mah, golput aja. Kagak ada yang kenal…!” ucapan saya itu disambut tawa oleh Mas Min dan Galih. Saya sempat melirik Aboy, dia sedang asik dengan handphone-nya.

“Kalau gue, sih… kenal, ya, kenal dengan caleg-caleg Depok,” ujar Galih. “Tapi sepak terjangnya itu kan yang kita gak tahu…”

Dari ucapan itu, obrolan saya dan Galih melebar ke persoalan-persoalan korupsi dan kampanye hitam para caleg. Tak lupa pula menyinggung perdebatan soal hak suara yang harus diselamatkan, antara BEM UI dan beberapa BEM tingkat fakultas.

“Yang satu, argumennya, arus suara bisa kacau karena orang-orang rantauan, ‘kan sejatinya gak kenal dengan caleg-caleg di Depok. Buka posko pemindahan DPT justru mendorong orang asal milih,” saya menjelaskan apa yang saya tahu soal isu aksi protes beberapa kalangan mahasiswa atas tindakan BEM UI yang membuka posko bantuan pengurusan pemindahan daftar pilih ke TPS di Depok bagi mahasiswa rantauan. “Sementara, dari BEM UI-nya sendiri bilang bahwa motivasinya, ya, murni untuk menyelamatkan hak suara, daripada disalahgunakan di daerah asal.”

“Argumen keduanya benar, sih…” tanggap Galih mengangguk-angguk. “Tapi, kan, persoalannya, mahasiswanya bisa kritis atau tidak. Ya, yang namanya politik, pasti korupsi. Pemilu itu musimnya banget. Sekarang mana ada yang bisa memaparkan baik-buruknya caleg secara detil… makanya gue tadi bilang, kalau kenal, sih, kenal… tapi, kan itu, sepak terjangnya yang kita gak tahu. Kalau soal suara yang dimainin, ya, bukan hal baru.”

“Udah, nyoblos aja, nyoblos…!” Mas Min menimpali, setelah beberapa menit ia tak ikut serta dalam obrolan karena harus melayani pelanggan-pelanggan yang membayar uang makan.

Saya, saat menyadari ada ibu-ibu penjual nasi pecel (saya tak tahu namanya karena jarang membeli makanan di warungnya), langsung melemparkan pertanyaan juga, “Tanggal 9, nyoblos, gak, Bu?”

“Apa, Mas?”

“Ikut nyoblos, gak?”

“Ya, ikut…”

Nyoblosnya di mana, Bu, biasanya?”

Si Ibu itu menyebutkan nama sebuah gang, tapi saya tak ingat. Waktu saya tanya ke Galih, daerah mana yang ia maksud, Galih mengatakan itu sebuah gang di dekat kompleks perumahan Pesona Khayangan, Jalan Margonda, Depok.

Mas Min.

Mas Min.

Lu lagi survei, nih, ceritanya?” Galih menggoda saya.

“Ya, rencananya gue mau buat tulisan. Pengen tahu aja, motivasi orang-orang nyoblos atau golput.”

“Intinya, tuh, Zik… bukannya kita atau gue gitu, gak mau nyoblos…” Mas Min menanggapi. Terkadang dia ber-‘aku-kamu’, kadang ber-‘gue-elu’. “Tapi, ngurusnya itu lama. Harus bawa surat lagi, urus yang di kampung dulu, kasih ke pengurus yang di sini. Lama. Dan banyak maunya juga… ini-itu…”

“Ada pungli-pungli gitu, maksudnya?”

“Ya, ada juga yang begitu…!” kata Mas Min. “Makanya, ya mendingan gak usah milih. Yang dulu-dulu juga gak milih…”

Dateng aja, Mas, ke TPS-nya… ‘golput putih’, coblos aja semuanya… sayang surat suaranya, Mas!” seru Galih.

“Kalau partai, Mas… kira-kira dukung yang mana?” tanya saya.

“Apa, ya…?”

“Pasti ada, dong…”

Nggak juga… biasa aja… soalnya yang di kepala itu, ya golput… jadi gak ngikutin perkembangan, gak tahu mau mana yang harus didukung.”

Sebenarnya, keluhan-keluhan seperti Mas Min itu bisa saja diredam meskipun memang harus bergantung kepada kesadaran masing-masing individu. Seperti mengurus surat pindahan memilih ke TPS di tempat rantau, misalnya. Jika sudah siap sejak jauh-jauh hari, si pemilih terdaftar bisa terlebih dahulu mengurus formulir A5 ke PPS asal hanya dengan menyerahkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja sebagai bukti bahwa nama yang bersangkutan terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Setelah mendapatkan Surat A5 dari PPS asal, si pemilih harus melaporkan ke PPS tempat tinggalnya yang sekarang. Jika tak sempat, pada hari H pemilihan, Surat A5 itu juga tetap berfungsi dan bisa diserahkan ke KPPS setempat, sebagai bukti sudah pindah TPS. Tak merepotkan, sebenarnya, dan si pemilik surat A5 tetap dapat memilih.

Setelah tak ada lagi bahan obrolan, dan juga karena Galih harus pergi ke suatu tempat, saya beranjak ke meja yang lain (tak lupa mengajak Aboy), ke tempat tongkrongan mahasiswa kriminologi. Jawaban-jawaban mereka tak jauh beda ketika saya menanyakan apakah masing-masing dari mereka akan ikut nyoblos di tanggal 9 April atau tidak. Tanpa basa-basi, mereka mengatakan akan golput saja karena tak akrab dengan para caleg. Berbeda dengan topik legislatif, bayangan-bayangan akan memilih calon presiden yang mana, lebih terlihat jelas. Citra-citra para calon presiden di media massa, paling tidak, sedikit memberikan gambaran bagi para mahasiswa yang saya temui itu. Mereka mampu memilah yang mana penjahat media, penjahat kemanusiaan, dan yang mana yang kutu loncat. Saya lupa menanyakan pendapat Pak Yayat, Mang Andi dan Mas Min soal calon presiden. Tentunya pendapat mereka akan lebih menarik. Mungkin lain waktu, karena jam di handphone saya memberitahukan bahwa saya dan Aboy harus segera ke Forum Lenteng.

Mbak Minah dan keluarga sedang bercengkrama saat makan malam.

Mbak Minah dan keluarga sedang bercengkrama saat makan malam.

Isi perbincangan saya hari ini tak jauh beda dengan ujaran-ujaran Mbak Minah dan suaminya, induk semang di kontrakan Forum Lenteng, dua hari lalu. Mereka bilang bahwa mereka cukup menunggu kabar dari Pak RT saja soal kapan dan di mana harus mencoblos. Ketika saya tanya pandangan mereka soal siapa kira-kira caleg yang layak dipertimbangkan, jawabnya, “Ya, yang kita tahu dari poster-poster aja. Mau pilih siapa, ya rahasia, dong!”

Suasa kantin kampus FISIP UI di malam hari.

Suasa kantin kampus FISIP UI di malam hari.

Jawaban-jawaban atas pertanyaan pancingan saya kepada orang-orang yang saya temui itu seakan merefleksikan suatu kejenuhan atas demokrasi. Atau mungkin, hanya karena memang saya yang jenuh? Mulai dari cara parta-partai mengkader anggota untuk dijadikan perwakilan, cara berkampanye yang tak sehat, hingga proses sosialisasi dari Bawaslu dan Panwaslu yang tak maksimal. Barangkali, Pemilu 2014, bagi kita, tak lagi menjadi sebuah perayaan, tapi lebih kepada kebiasaan lima tahunan yang mesti dijalankan. Menyikapinya seolah-olah dipaksa menjadi mudah: jika lupa ikuti perkembangan, golput saja; jika sayang dengan surat suaranya, coblos semua nomor saja; jika memang ingin memilih, pilih yang paling sering dilihat saja. Fasilitas dan akses bagi peningkatan kritisisme masyarakat terhadap pemilu dan para peserta pemilu, sepertinya belum lagi terbangun dengan baik. Tak tahulah pada saat pemilihan presiden nanti. Sebab, katanya, ada warna baru yang sudah lama dinanti-nanti.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

2 Comments

  • wew.. tulisan yang kreatif zik..

    saya juga sempat nanya2 hal serupa..

    seorang teman perantauan katanya, “gue bingung.. golput atau nggak kayaknya sama2 ‘dosa’ deh. kalau milih, takutnya ngasih kesempatan pada orang yang salah, kalau nggak milih malah serasa dikejar dosa2 pula, serasa ngebiarin orang yang layak tidak dipilih”

    brarti lu punya lu punya calon yang layak dong?

    “belum sih, tp gue percaya aja ada. ”

    teman yang satu lagi (penulis), bilang:

    “gue golput juga, karena sebenernya gue udah riset. Dan emang nggak nemu,”

    … cara gue sederhana, pertama gue riset cara dia milih kata2 baik di poster ataupun di medos, kalau kampanye sih gue ga pernah ikut. kesimpulannya gue nemuin kata2 yang jujur tapi malah menjelaskan ketidak-patut-annya, abis tu ada yang katanya2 bagus tapi jelas aja bohongnya.

    kok lu bisa tau dia bohong?

    karena bertentangan setelah gue liat dia berfoto dan pemberitaan di media…
    … cara kedua, liat gaya dia berfoto di poster dan di medos. hasilnya, gue coret semua yang foto selfi, abis tu gue coret juga yang buat gue itu terkesaan penciteraan yang dipaksakan. pilihan foto yang publis seakan dia aja yang paling layak disanjung dari yang lain.. buat gue itu bukti dia bakal menciptakan jarak antara dia dan rakyat.. eh baru itu aja ternyata gue udah kehabisan kandidat,”

    trus yang ideal menurut lu,?
    “dia bersedia menjadi anonim dan punya program jangka panjang,”

    kalau dia anonim trus gimana kita bisa kenal?
    “ya buktinya semua calon menyanjung diri sendiri semua,.. jadi kayaknya emang gak ada yang anonim,”

    haha..

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.