Lenteng Agung adalah kawasan lalu-lalang massa antara kota Depok-Jakarta. Di pinggir jalan rayanya diramaikan toko dan Ruko yang menawarkan berbagai macam peralatan mulai dari meja lukis, furniture, bengkel, aksesoris motor, hingga dekorasi taman. Walaupun pada kenyataannya pembeli tidak seramai dengan apa yang ditawarkan.
Jika kamu melewati Lenteng Agung, selintas memang tak akan meninggalkan kesan mendalam. Mungkin kamu hanya akan bergumam ”hmm.. macet ya”. Karena itulah Lenteng Agung, jalanannya lebih akrab dengan padatnya kendaraan bermotor, dibanding tempat wisata ataupun restoran mewah
Tapi tunggu dulu. Coba berhenti sejenak di halte Taman Lenteng Agung. Tepat di belakang halte beratap hijau itu, ada sebuah taman publik. Namanya, Taman Lenteng. Taman seluas 2.365 M ini menjadi tempat berkumpul dan bersuka ria masyarakat sekitar dan siapapun yang datang kesana.
Setiap sore, riuh tawa anak-anak meramaikan taman ini, mengalahkan suara klakson mobil dan motor yang tak sabar melewati kemacetan. Taman ini memiliki perosotan, dan beberapa mainan lainnya yang sering kita jumpai di Taman Kanak-Kanak (TK). Ibu-ibu pun ikut berkumpul di sana. Ada yang sambil menyuapi anaknya, ada yang sekedar rumpi-rumpi, namun ada juga yang membakar kalori. Yaitu ibu-ibu anggota klub bola voli. Mereka aktif bermain bola Voli di taman ini hampir setiap sore. Tepatnya di sebuah lapangan mini yang multifungsi. Sebagai lapangan voli sekaligus arena main sepeda anak-anak. Adapula sebagian anak-anak yang memanfaatkan ruang-ruang taman berumput hijau untuk bermain bola ala kadarnya.
Taman Lenteng juga menjadi arus ekonomi bagi sebagian orang. Karena beberapa pedagang memanfaatkan kegiatan massa di taman ini untuk menjajakan dagangannya. Terutama kuliner dan mainan anak. Siomay, pempek, cincau, es potong, hingga bakso laris manis di taman ini. Tukang mainan pancing ikan, serta odong-odong juga dapat dijumpai setiap harinya. Ubay adalah salah seorang yang memanfaatkan taman Lenteng sebagai ladang usahanya. Mulai jam 3 sore Ubay sudah setia menunggu anak-anak datang dan mampir di lapaknya. Ubay menyediakan permainan pancing ikan. Dengan modal kolam plastik mini dan ikan-ikanan plastik, Ubay mengaku hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Setiap kali bermain anak-anak harus membayar Rp. 1.000,- .
Ruang publik ini memang sederhana namun bermanfaat. Taman seperti ini sudah jarang ditemui di Jakarta. Di taman Lenteng tak ada tiket masuk, satpam, penitipan barang, atau birokrasi lainnya. Kamu hanya tinggal masuk lewat jalan setapak yang dibatasi pagar warna hijau, selanjutnya terserah anda.
Di malam hari, Taman Lenteng terlihat anggun diterangi lampu neon kuning dan lampu jalan. Keadaan pun jauh lebih tenang dibandingkan saat sore hari. Banyak muda-mudi yang memanfaatkan taman ini untuk berduaan sembari menikmati malam, dan terkadang menjadi tempat melepas lelah anak-anak jalanan tanpa rumah. Namun, jika esok harinya merupakan hari libur, taman ini tak beda jauh dari keadaan di waktu sore. Anak-anak melanjutkan bermain hingga larut malam.
Taman Lenteng memang tidak seindah dan sepopuler Monas atau Taman Menteng. Tapi taman ini cukup sukses merapatkan kembali sosialisme orang-orang jakarta yang semakin hari semakin individualis.
MOHON IZIN, ARTIKEL INI AKAN AKU PAKAI UNTUK BAHAN SAYEMBARA DESAIN TAMAN INDOCEMENT AWARD… SUKSES SELALU
Silahkan, selama sumber artikel dari akumassa ini dicantumkan. Semoga bermanfaat.
– Manshur Zikri (Redaktur https://www.akumassa.org)