Jurnal Kecamatan: Cimanggis Kota: Depok Provinsi: Jawa Barat

Sunatan Massal

Salah satu peserta sunatan massal
Avatar
Written by Mahardika Yudha

Di antara bingkai-bingkai kisah kota Jakarta dalam durasi 60 menit miniDV itu, ringis bocah kelas 1 sekolah dasar membenamkanku ke dalam ingatan alunan lagu,

Bukan lantaran kerjaan brutal
Ujungnya daging harus dipenggal
Di bumi insan makin berjejal
Hingga terjadi sunatan massal

Salah satu peserta sunatan massal

Salah satu peserta sunatan massal di Masjid Jami Al Huda

Sunatan Massal-Iwan Fals

Rekaman itu sudah tersimpan satu setengah tahun lamanya. 5 juli 2008, di jam setengah sembilan, tutup lensa kamera miniDV DCR-HC15E itu terbuka. Merekam medium shot balon gas di depan Masjid Jami Al Huda. Lalu menurun ke bawah menelusuri benang kenur pengikat sampai ke genggam erat tangan kecil. Bocah bersarung berkopiah itu menahan tangis di tengah kerumunan anak-anak berkaos yang berharap cerita ‘anu’nya diiris.

ba

Shot pertama yang terekam di kamera miniDV DCR-HC15E, sebuah balon gas di depan Masjid Jami Al Huda saat sunatan massal berlangsung.

Si bapak mantri bukannya bengis
Meskipun tampak sedikit sadis
Kerinyut hidung bocah meringis
Sedikit tangis anunya diiris

Bocah

Salah satu bocah bersarung berkopiah menahan tangis menunggu giliran disunat.

Bocah-bocah sepantaran bersarung dan berkopiah, duduk di bawah teduh tenda kawinan. Menunggu giliran. Degup jantung melaju kencang, membuat wajah tertampak tegang. Pendongeng boneka tangan di teras masjid tak menarik perhatian telinga yang tersita peka menunggu panggil nomor urut dari toa yang membuat kepala terasa berat menoleh. Beberapa kali mata membelalak akibat parade imajinasi bilah bambu yang menari riang mengikuti sirkulasi suara toa dari telinga kiri ke kanan.

Pendongen

Pendongeng boneka tangan mendongeng di teras masjid.

Tersenyum ramah si bapak mantri
Kerja borongan dapat rejeki
Berbondong bondong bocah sekompi
Mesti dipotong ya disunatin

Mata berkedip sadar mendengar suara ayah menawarkan kue berkat dari panitia. Tapi bukan karena kue bolu, sus, dan lemper yang membuatnya sadar. Janji ayah untuk belikan Playstation 1 bekas yang harganya 300 ribu membuat kepala sedikit ringan menggeleng.

Gelisah ayah dan ibu tersembunyi dalam hati dan berdoa supaya anak tak takut. Sesekali sang ayah menarik butir tasbih dengan jempolnya lalu tersenyum berkata, “Pake laser, tidak sakit. Cuma sebentar.” Imajinasi cerita bengkong (sunat dengan metode klasik yang menggunakan sebilah bambu tajam yang dilakukan oleh mantri) dari ayah pun tergantikan. Samar-samar, bentuk laser yang dimaksud bercampur dengan permainan RPG (Role Playing Video Games, jenis permainan interaktif pada komputer dan video games yang mulai diperkenalkan tahun 1980an. Permainan ini memungkinkan bagi penggunanya untuk menciptakan dan menyusun secara mandiri permainannya) di Playstation. Sementara, dalang boneka tangan semakin asyik berganti-ganti suara memerankan hewan-hewan yang bisa bicara.

Ayah

Seorang ayah sedang mendampingi anaknya yang akan disunat.

Seorang

Seorang ayah sedang mendampingi anaknya yang akan disunat.

Buyung menginjak masa remaja
Seiring doa ayah dan bunda
Sebagai bekal masa depannya
Agar menjadi anak yang berguna

Sebagian anak-anak lain sibuk membereskan kopiahnya yang miring dan sarungnya yang melorot. Sarung bercorak polkadot merah muda yang menggantung kalau dipakai kini tinggal kenangan. Lengser dari atas meja belajar, kursi meja belajar, kursi meja makan, jemuran, kursi tamu, tempat tidur, stang sepeda atau tertinggal di rumah kawan ke plastik baju bekas, bersama gurita dan bedong biru muda yang menjadi mainan keluar tangan di usia bulan. Sarung bercorak garis vertikal atau kotak-kotak sebagai gantinya.

Setelah

Setelah disunat.

Hei sunatan massal
Aha aha
Sunatan massal
Aha aha
Ditonton orang berjubal jubal
Banyak tercecer sepatu dan sandal

Di serambi kiri masjid, satu per satu keluar bocah yang berjalan ngenggang (mengangkang). Ada yang tersenyum-senyum sehabis terima amplop dari saudara, ada yang masih terisak menggenggam sarung. Sementara anak-anak berkaos berebut kursi untuk melongok, lalu meledek kawan yang cengeng dari balik jendela. Hampir dua puluh menit durasi rekaman video itu. Merekam proses sunatan massal yang berlangsung di masjid komplek perumahan PT. Timah, Kelapa Dua, Cimanggis-Depok.

Sedikit berbeda keadaannya dengan yang dikisahkan Chilung Ramali (Chilung Ramali adalah adik dari musisi Zaenal Arifin, personil band Zaenal Combo. Ia terlibat dalam penciptaan beberapa lagu yang dibawakan oleh Iwan Fals. Ia juga membuat lirik dan aransemen untuk lagu-lagu pop minang Lintas Sumatera) dalam lirik Sunatan Massal yang dinyanyikan oleh Iwan Fals. Sunatan massal dalam album Barang Antik (Diterbitkan oleh Musica Studio tahun 1984. Berisi 10 lagu: Neraka yang Asik, Jalan yang Panjang Berliku, Nyanyianmu, Salah Siapa, Tante Lisa, Asmara dan Pancaroba, Jangan Bicara, Sunatan Massal, Kumenanti Seorang Kekasih, dan Barang Antik. Hanya satu lagu yang diciptakan Iwan Fals dalam album ini, Jangan Bicara. Sembilan lainnya melibatkan Diat, Yoes Yono, Chilung Ramali, Jaya Susanto, Dama Gaok,  Richard Kyoto, Yosi, Tommi & Marie, dan Willy S) itu terasa lebih meriah dan bersuasana pedesaan. Sedang yang terjadi hari itu, tak ada arak-arakan Burok seperti di Cirebon, tradisi ‘mandi balimau’ di Bangka, atau nanggap layar tancap dan lenong seperti kisah ayah di Tanah Abang dulu.

Arak-arakan Burok di Cirebon

Arak-arakan Burok di Cirebon.

Mandi Balimau

Mandi Balimau.

Berbicara tentang lagu Sunatan Massal, tentu tak lepas dari celoteh penyanyi kenamaan, Iwan Fals. Saya mulai mengenalnya ketika album Swami diterbitkan tahun 1989. Ayah yang ketika itu masih berusia sekitar 28 tahun gemar sekali membicarakan seniman ini dengan kawan-kawannya di Manggarai. Sejak kepindahan kami ke Depok tahun 1988, saya memiliki tradisi menginap di rumah nenek setiap libur panjang sekolah di bulan Juni-Juli. Disamping saya belum memiliki banyak kawan di Depok, rasanya sangat membosankan hidup di daerah pinggiran yang tenang dan bergerak lambat. Tak bising dan seramai Manggarai di pagi hari. Apalagi di hari Minggu, ketika semua penghuni Gang Tujuh itu keluar untuk menjemur kasur dan bantal, mencuci motor, membersihkan kandang burung, nimba-angkut air, ditemani lagu-lagu Iwan Fals yang diputar oleh tetangga nenek.

Iwan Fals dan Manggarai, rasanya dekat sekali. Mayoritas anak-anak muda di sana menggemarinya di masa itu. Sebagai ungkapan kecintaan mereka terhadap Iwan Fals, mereka pun menulis-menggambar-kannya di dinding-dinding, dari dinding gang, hingga batu nisan kuburan Cina di seberang kuburan Belanda dekat Pasar Jembatan Merah. Bahkan ada yang menaruh bendera Iwan Fals di pohon-pohon pinggir kuburan Cina.

Iwan Fals

Iwan Fals.

Lagu yang tentu mengingatkan saya di masa itu, ya lagu Sunatan Massal. Sebab di bulan libur sekolah itulah saat yang tepat bagi kami, kaum laki-laki anak-anak, untuk memuaskan hasrat membeli mainan ataupun barang yang tak terjangkau di hari-hari biasa. Bulan itulah yang paling tepat untuk disunat, baik dilakukan perorangan ataupun massal.

Sunatan menjadi berkah tersendiri bagi kami. Konon, di masa itu, ‘kalau mau beli sepeda baru, sunat dulu,’ menjadi tradisi yang cukup trend di kalangan kami. Uang dalam jumlah banyak akan kami terima dari keluarga, kerabat, dan tetangga. Kami bisa berpesta membelanjakan uang itu untuk mainan atau barang-barang spesial yang telah diimpikan dan ditunggu detik-detik mendapatkannya. Walau kadang kami merasa saling cemburu dengan perolehan mainan atau barang yang dibeli dari uang sunat. Seingat saya, hal itu terjadi di hari pertama sekolah dengan kondisi ‘sudah gede‘ itu kami berbagi pengalaman dengan apa yang telah kami peroleh dari uang sunat itu. Ada yang bisa membeli barang mahal, ada  yang hanya sanggup membeli Tamiya, dan ada pula yang tak membeli apa-apa karena semua uang itu untuk orang tuanya.

Sunatan massal

Panitia Sunatan massal di Masjid Jami Al Huda.

Ketika kami terkapar tak bisa bermain di luar, hanya video atau videogames yang menemani kami. Butuh waktu lebih dari seminggu untuk memulihkan kondisi petakilan kami bermain di luar rumah lagi. Saya selalu sebal kalau ayah bercerita tentang pengalamannya disunat oleh bengkong yang bisa pulih cepat, bahkan tiga hari kemudian sudah bermain sepeda. Saat pemulihan itulah yang menyebalkan dari sunat. Kami harus menunggu dan menahan rasa debar untuk sombong memperlihatkan kepada kawan-kawan apa yang kami dapat dari sunat.

Ha ha ha, rasanya menulis ini seperti beromantis-romantis kepada masa-masa kanak-kanak dulu yang sekarang jauh sekali keberubahannya…

About the author

Avatar

Mahardika Yudha

Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Januari 1981. Pernah kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta pada tahun 2001, namun tidak sampai selesai. Sekarang pria ini aktif di Forum Lenteng pada divisi Penelitian dan Pengembangan (litbang). Selain itu ia juga telah menjadi kurator muda dalam berbagai macam festifal video, baik nasional maupun internasional.

12 Comments

  • Lagu sama tulisannya asik abis. haha
    jadi inget pernah jadi panitia sunatan massal di masjid deket rumah.

  • tulisan yang sangat puitiiikk…sedikit berkumis…kaya yang nulis, mirip bang iwan waktu miskin…muantebbbb

  • hhihihi…asyikk…jadi inget kiki adiknya jelitha ramadani yang bentar lagi mau disunat…kiki diiming2i hadiah sm bu’ el…dan kami(yopi, angga,fandi dan rama) menakut2inya dengan hal2 yg sangat menyeramkan…hahhahaha….

  • You actually make it seem so easy with your presentation but I find this
    topic to be really something which I think I would never understand.
    It seems too complicated and extremely broad for me.
    I’m looking forward for your next post, I’ll try to
    get the hang of it!

  • Ahaa, its nice discussion on the topic of this piece of writing here at
    this blog, I have read all that, so at this time me also commenting at this place.

Tinggalkan Balasan ke jelita X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.