Jurnal Kecamatan: Kuningan Kota/Kabupaten: Kuningan Provinsi: Jawa Barat

21 Desember 2008, Arya Kemuning

21 Desember 2008, Arya Kemuning
Avatar
Written by Mahardika Yudha
Hari telah sore, seperti biasa dalam beberapa hari terakhir ini di Kota Cirebon, awan mendung mulai menampakkan dirinya, ‘sebentar lagi hujan’, begitu ucapku dalam hati. Tapi aku berharap hujan kali ini akan sama dengan hujan-hujan sebelumnya, rintik-rintik yang mendinginkan cuaca dengan durasi yang tidak lebih dari tiga jam. Kemarin, di hari Jumat, hujan turun rintik-rintik dengan durasi yang lebih dari enam jam dan menyebabkan Kali Pacit, persis di belakang Sanggar Sinau, meluap cukup tinggi. Padahal di hari-hari tidak hujan, jarak permukaan dengan dasar kira-kira enam meter. Tetapi hari itu luapan air hanya memperlihatkan jarak satu meter dari permukaan. Aku menghitungnya dari jarak pandangku dengan sebuah spanduk peringatan bahaya flu burung. Tentu hujan seperti itu membuatku khawatir karena bisa saja akan terjadi banjir yang kemudian akan memotong jalan dan menghambat perjalananku menuju Kota Kuningan untuk melihat acara Seren Taun. Sebelumnya, delapan hari yang lalu, yaitu tanggal 12-14 Desember 2008, juga ada acara tradisi serupa, yaitu festival Nadran. Arak-arakan naga berkepala sembilan sebagai simbolisasi pembuka upacara tahunan itu. Tradisi itu dimaksudkan sebagai bentuk syukuran atas laut dan menjadi penanda bagi masa tanam. Sebuah tradisi masyarakat pesisir.

Kaos Seren Taun

Kaos Seren Taun.

Pembuka doa

Pembuka doa.

Dayak Indramayu membaca doa-doa

Dayak Indramayu membaca doa-doa.

Pasar di acara Serentaun

Pasar di acara Seren Taun.

Hujan turun. Kami baru saja melewati Gronggong. Tempat hiburan malam seperti halnya Puncak Bogor. Dari tempat itu aku dapat melihat lampu-lampu yang membentuk sebuah dataran Kota Cirebon. Kira-kira perjalanan satu setengah jam dari Gronggong, aku disapa oleh obor-obor yang ditaruh di pinggir jalan. Obor-obor yang sengaja dipasang hingga ke rumah-rumah warga itu sebagai penanda bahwa sebentar lagi aku akan sampai di  Cagar Budaya Nasional Gedung Paseban Tri Panca Tunggal tempat berlangsungnya Seren Taun.

Masyarakat muda menonton tayangan pementasan melalui proyeksi lapangan

Masyarakat muda menonton tayangan pementasan melalui proyeksi lapangan.

Masyarakat menonton tayangan pementasan melalui proyeksi pertigaan jalan

Masyarakat menonton tayangan pementasan melalui proyeksi pertigaan jalan.

Sebetulnya, acara ini sudah berlangsung sejak 14 Desember 2008 atau 17 Rayagung 1941 Saka Sunda dan berakhir di tanggal 21 Desember 2008 atau 22 Rayagung 1941 Saka Sunda. Tetapi kawan-kawan baru bisa menghadirinya di malam ini. Kawan-kawan partisipan workshop akumassa Kota Cirebon mengatakan padaku bahwa acara ini diadakan sebagai bentuk syukuran masyarakat agraris Sunda. Kalau Nadran lebih kepada masyarakat nelayan (pesisir), sedang Seren Taun lebih kepada masyarakat tani.

masyarakat menonton tayangan pementasan melalui proyeksi lapangan

Masyarakat menonton tayangan pementasan melalui proyeksi lapangan.

Masyarakat menonton tayangan pementasan melalui proyeksi lapangan

Masyarakat menonton tayangan pementasan melalui proyeksi lapangan/

Aku terpana sesaat dengan kehadiran massa usia muda yang begitu antusias hadir di malam itu. Tetapi aku pun bertanya dalam hati, ‘apakah mereka benar-benar tahu dengan acara ini?’ Sebuah pertanyaan wajar dari seorang pendatang sepertiku tentang fungsi dari sebuah tradisi. Satu proyektor berada di pertigaan jalan. Jika seseorang melintasi jalan itu, maka bayangan kepalanya akan terproyeksi pada layar. Sesaat aku tidak berani melintasinya karena merasa takut mengganggu massa yang sedang menonton di jalanan. Tetapi ketika kulihat beberapa orang lalu-lalang biasa saja, aku ikut-ikutan. Aku masuk ke ruang depan gedung itu. Ramai sekali isinya. Mulai dari usia tua hingga usia muda. Tak ketinggalan beberapa pelaku pendokumentasian seperti fotografer dan kameraman/wati baik individu maupun dari institusi mempersiapkan perlengkapannya sambil menunggu acara yang ‘menarik’. Acara menarik yang kumaksud itu dimulai kira-kira pukul sembilan malam yaitu Ngareremokeun.

Prosesi Seren Taun

Prosesi Seren Taun.

Aneka pertunjukan tarian, musik, maupun doa-doa tradisi sebagai simbolisasi syukuran menjadi sasaran para pendokumentasi itu. “Clik, clik, clik, clik, clik, cklik, . . .,” menjadi bunyi yang amat mengganggu bagiku. Bermacam posisi mereka perlihatkan untuk mendapatkan gambar-gambar yang ‘bagus’. Tetapi entah dengan informasinya. Simbolisasi dan gambar cantik lantas menggangguku. Aku terdiam dan rindu pada kota.

Pementasan dari STSI Bandung

Pementasan dari STSI Bandung.

Kue serabi dan sekoteng rasanya menjadi unik di malam itu. Seunik dagangan Baduy Dalam yang dijajakan di pasar yang berseberangan dengan gedung. Ada dua proyeksi layar tancap di luar yang memutar secara langsung acara di dalam gedung. Yang satu di pertigaan jalan, sedang yang satu lagi diputar di areal lapang taman di sebelah gedung itu. Sambil makan sekoteng, aku menyaksikan pagelaran yang berlangsung khidmat melalui ‘mata kamera’ itu di proyeksi yang diletakkan di pertigaan jalan. Sesekali melirik masyarakat yang berkonsentrasi menonton sinema konsep keliling itu. Di atas layar tertulis Ciremai Putra Film. Tidak semua berkonsentrasi atau mempersiapkan dirinya untuk menonton sinema itu. Sebagian masyarakat lagi hanya berhenti sejenak kemudian melanjutkan perjalanannya. Berbeda dengan proyeksi yang diletakkan di tanah lapang. Masyarakat sangat berkonsentrasi menonton bingkaian kameraman yang ditugaskan untuk mendokumentasikan kegiatan itu. Sekarang terlihat perbedaan menonton antara di dalam gedung, di tanah lapang, dan di pertigaan jalan yang masing-masing memiliki karakteristik. Sinema lebih mencolok ketika aku menonton di dalam gedung dan di tanah lapang, video lebih mencolok ketika aku menonton di pertigaan.

proyeksi-layar-tancap-di-pertigaan_acara-seren-taun

Proyeksi Layar Tancap di pertigaan acara Seren Taun

Hari tambah malam, udara dingin semakin menusuk tulang. Terlihat rombongan Dayak Indramayu keluar dari taman menuju gedung pertunjukan. Tak lama wajah mereka terlihat di proyeksi. Doa-doa pun dihaturkan. Tetapi sial, zoom-in dan zoom-out berulang kali menggangguku. Informasi yang belum sampai sudah dipotong dengan pergerakan bingkaian menjadi close up. Mengganggu struktur gerak yang begitu penting dalam seni pertunjukan. Ditambah seni gerak yang sedang digelar itu merupakan tradisi yang memiliki nilai sejarah.

About the author

Avatar

Mahardika Yudha

Dilahirkan di Jakarta pada tanggal 23 Januari 1981. Pernah kuliah di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta pada tahun 2001, namun tidak sampai selesai. Sekarang pria ini aktif di Forum Lenteng pada divisi Penelitian dan Pengembangan (litbang). Selain itu ia juga telah menjadi kurator muda dalam berbagai macam festifal video, baik nasional maupun internasional.

1 Comment

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.