Indramayu, Jawa Barat

Sepi “Manggung”, Wayang Lamsijan Terpaksa Dijual

Artikel ini diambil dari Kompas Edisi Rabu, 24 Maret 2010

Tatkala lamsijan tak lagi sering bergoyang di atas gedebok, dia pun tak berbaring lagi di dalam kotak tua bersama rekannya, puluhan wayang golek cepak. Lamsijan telah beralih tangan demi hidup si empunya, dalang Akmadi (63).

Akmadi (63), salah satu dalang wayang golek cepak khas Indramayu, Jawa Barat, Senin (15/3), menunjukkan replika wayang goleknya yang berkarakter garuda di rumahnya di Desa Paoman, Kecamatan Indramayu. Jumlah dalang wayang golek cepak semakin berkurang karena tak banyak lagi warga Indramayu yang menanggap mereka.

Akmadi (63), salah satu dalang wayang golek cepak khas Indramayu, Jawa Barat, Senin (15/3), menunjukkan replika wayang goleknya yang berkarakter garuda di rumahnya di Desa Paoman, Kecamatan Indramayu. Jumlah dalang wayang golek cepak semakin berkurang karena tak banyak lagi warga Indramayu yang menanggap mereka.

”Saya menjual empat wayang seharga Rp 10 juta. Wayang yang saya jual itu namanya garuda, butha naga atau butha ula, ketek putih, dan lamsijan,” ujar Akmadi, satu dari lima dalang wayang golek cepak asli Indramayu, Jawa Barat, yang masih bertahan, Senin (15/3).

Lamsijan adalah salah satu wayang dengan karakter lucu, seperti cepot dalam wayang golek Sunda. Kemunculannya ditungu penonton karena akan menampilkan guyonan lucu.

Lamsijan dan tiga wayang golek cepak itu dijual kepada seorang kolektor wayang asal Jakarta, sekitar Maret 2009. Penawaran harganya ditentukan oleh pembeli, bukan oleh Akmadi yang buta harga jika diminta menakar nilai barang seni. Alhasil, empat lakon wayang yang unik itu terpaksa dijual murah meriah, masing-masing Rp 2,5 juta. Padahal, sebelumnya ada kolektor dari Amerika yang tertarik, tetapi tak diberikannya.

Laki-laki yang telah menjalani profesi sebagai dalang hampir setengah abad ini tak punya pilihan selain menjual empat wayang golek cepak warisan keluarganya. Tak ada lagi uang untuk menopang kebutuhan hidup karena jadwal pentas Lamsijan menyurut. Sekitar dua bulan lalu dia pun baru sembuh dari sakitnya, otomatis pendapatan dari mendalang tak ada lagi.

”Ketika saya butuh uang, tiba-tiba ada yang menawar ingin beli wayang saya seharga Rp 10 juta. Saya sempat tanya kepada istri apakah boleh wayangnya dijual, ternyata diizinkan,” tambah Akmadi, yang setiap hari membantu istrinya berjualan di warung depan rumahnya.

Sebelum tahun 1990-an, setiap pekan wayang golek cepak Akmadi selalu menghibur rakyat. Bahkan, sebelum tahun 1970-an, dia bisa manggung 20 kali dalam sebulan. Sekarang, jangankan seminggu sekali, sebulan sekali saja sudah bagus.

Kondisi sama dialami bapak-anak pedalang wayang golek cepak, Warsad dan Warnoto. Saat ini sedikit sekali warga Indramayu yang menanggap wayang saat berhajatan sebab mereka lebih memilih hiburan musik dangdut. Hiburan-hiburan instan berbiaya murah, Rp 1 juta-Rp 2 juta, menjadi pesaing wayang golek cepak yang sekali pentas tarifnya minimal Rp 6 juta.

Asep Ruchiyat Somantri, Kepala Seksi Kebudayaan Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Indramayu, menyebutkan, jumlah dalang yang terbatas, minimnya inovasi cerita, dan cara pementasannya membuat wayang golek cepak makin pudar di pesisir Indramayu dan Cirebon.

Tak ada penerus

Alasan ekonomi memang menjadi masalah yang membelit seniman rakyat Indramayu. Tergerus oleh kecanggihan dan modernisasi zaman, terimpit kebutuhan hiburan yang instan dan ringan, hingga terdesak karena sulit mereproduksi generasi baru. ”Kebanyakan dalang wayang golek cepak tidak punya generasi penerus. Pemerintah mencoba memberi kesempatan pentas. Namun, karena anggaran terbatas, menjadi tidak rutin,” kata Asep.

 

Akmadi dan wayang golek cepaknya yang kini telah dijual pada kolektor

Wayang golek cepak Indramayu merupakan salah satu kesenian tradisional yang berada di ambang kepunahan.

Akmadi tidak seberuntung Warsad yang memiliki anak laki-laki yang mau meneruskan pekerjaannya. Semua anak Akmadi adalah perempuan dan yang berminat belajar jadi dalang pun tak ada. Cara memainkan wayang golek lebih sulit daripada wayang kulit, yang hanya dua dimensi. Pada wayang golek, semua bagian tubuhnya, kepala, tangan, dan badan, itu bergerak. ”Untuk belajar memainkannya saja, minimal butuh waktu dua tahun,” ujar Akmadi.

Benda antik

Akmadi dan Warsad bukan hanya melestarikan kesenian tradisional, tetapi juga kolektor benda antik. Wayang golek cepak yang digunakan Akmadi diperkirakan berusia 150 tahun lebih. Sudah lima generasi keluarga Akmadi berprofesi dalang wayang golek cepak. Meski dalangnya berganti-ganti, wayang digunakan tetap dari peti kayu yang sama.

Wayang-wayang itu sebagian besar dibuat tahun 1800-an. Semuanya tertulis di sebuah buku dalam bentuk nyanyian. Bahkan, tercatat tanggal hingga hari pembuatannya. Catatan itu dulu disatukan bersama dengan buku-buku yang berisikan kisah-kisah yang biasa dipentaskan dalam pergelaran wayang golek cepak, dalam tulisan bahasa Jawa.

Sayangnya, semua bukti itu kebanyakan telah hilang dan lapuk termakan rayap karena buku catatannya tidak terpelihara dengan baik. Padahal, jika catatan tersebut bisa dikumpulkan, didata, kemudian dimuseumkan, bisa menjadi sumber informasi yang kaya nilai. ”Dulu tidak terpikir untuk menyalinnya. Saya hanya baca saja dan kurang hati-hati menyimpannya,” tambah Akmadi.

Cerita utama wayang golek cepak berasal dari kisah para menak (bangsawan) di Negeri Padang Pasir (Jazirah Arab) yang berkembang hingga ke Nusantara. Oleh sebab itu, wayang ini dulunya disebut wayang golek menak. Namun, karena bagian atas pada kepala wayang ini rata, yaitu tidak memiliki telekung, sehingga disebut papak atau cepak.

Kisah perjuangan Hamzah, salah satu paman paman Nabi Muhammad SAW, adalah menu utama cerita wayang golek cepak. Menu lainnya diambil dari babad Indramayu, babad Cirebon, sampai cerita mitos-mitos suatu daerah di pesisir pantai utara Jawa Barat. Umumnya, saat ini, wayang golek cepak hanya ditampilkan pada acara adat seperti ngunjung buyut.

Meski unik dan antik, kesenian wayang golek cepak yang hanya ada di pesisir Indramayu-Cirebon ini terdepak pelan-pelan. Mungkin nanti, bukan hanya lamsijan yang pensiun dan pindah ke tangan kolektor, tetapi lakon menak dan panji ikutan berpindah pemilik.

About the author

Avatar

akumassa

Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media Berbasis Komunitas, atau biasa disebut AKUMASSA, adalah sebuah program pemberdayaan media yang digagas oleh Forum Lenteng sejak tahun 2008, berkolaborasi dengan komunitas-komunitas lokal di beberapa daerah di Indonesia untuk melaksanakan lokakarya dan memproduksi beragam bentuk media komunikasi (tulisan, gambar/foto, audio, dan video).

6 Comments

  • miris sekali mambacanya……
    mari kita mengarsipkan sekeliling kita agar budaya tetap lestari

  • Percuma kalo cuma mengarsipkan, harus ada regenerasi atau minimal dokumen berupa pertunjukan. Jadi kalopun hilang akan ada chance untuk reborn selama dokumen pertunjukan nya ada.

  • kami anak widasari-indramayu desa ujung aris telah kehilangan pusaka yaitu burung garuda yg bermahkota dan mempunyai lidah keris nagarunting & sebesar orang dewasa ,pusaka itu dari jaman nenek moyang dan sudah di keramatkan ,saya minta tolong barang siapa yg menemukan nya atau melihat tolong balikin karena itu cagar budaya,

  • Dijual karena pihak pemerintah setempat tidak ada dukungan atau mencarikan job buat dalang, karena dalang juga manusia yang punya keluarga yang harus di beri nafkah.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.