Catatan Dava Amrullah (Mahasiswa IKJ, Angkatan 2018)
Tanggal 24 September 2019, saya mengikuti rombongan kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ) untuk menyuarakan aspirasi kepada DPR di Senayan. Saat rombongan kami baru saja berangkat dari gedung TVRI, suasana sudah memanas; rombongan perempuan yang berunjuk rasa ditarik mundur; tampak semua orang berhamburan ke arah gedung TVRI. Di tengah situasi tersebut, saya melihat ada ambulans yang mengangkut beberapa korban yang berjatuhan. Karena penasaran, saya pun maju menelusuri jalan ke arah gedung DPR, meninggalkan rombongan saya dari IKJ.Di sana, ada banyak sekali mahasiswa (umumnya perempuan) yang ditarik mundur ke area belakang. Suasana kepanikan semakin mencekam, ditambah banyaknya kerumunan massa yang mulai tak terkoordinir. Di depan gedung DPR, terlihat ada beberapa titik asap. Ada tiga mobil komando yang terus berorasi menuju gedung DPR. Orang-orang yang saya lihat menyuarakan persatuan antara mahasiswa dan buruh-tani. Di sana, juga ada banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang bukan dari kalangan mahasiswa; mereka menyatakan keinginan untuk bergabung dengan demonstrasi.
Saat hari mulai gelap, polisi menembakkan gas air mata dari arah gedung DPR. Tembakan itu memicu kemarahan mahasiswa yang sedang berdemonstrasi. Sebagian dari mereka membuat barikade, dan perlahan mundur; sebagian lainnya melawan balik, maju, dan melempari area gedung DPR dan polisi dengan batu, kayu, dan benda apa pun yang ada di jalan. Polisi terus menyerang massa dengan gas air mata, banyak mahasiswa yang jatuh karena dampak gas air mata tersebut, termasuk saya. Rasanya sesak, mata perih, batuk, bersin, dan sakit pada hidung. Beberapa mahasiswa terus maju, sebagian terdesak dan pindah ke jalan tol serta ruas jalan yang ada di sisi seberang sambil terus memberikan perlawanan balik.
Polisi terus mengincar mahasiswa dengan tembakan gas air mata. Ada banyak mahasiswa yang berlari ke arah belakang pemukiman warga untuk meminta air. Beberapa warga menurunkan selang dan memberikan air; mahasiswa yang terkena gas air mata tersebut segera mencuci wajah mereka dan minum dari air tersebut. Saat kejadian itu berlangsung, pasukan polisi bahkan tetap menembaki mahasiswa yang sedang mencuci wajah. Mereka tetap menyasar ke arah rombongan mahasiswa itu, padahal lokasi itu dekat sekali dengan pemukiman warga. Mahasiswa marah dan berteriak, “Woy, itu warga kena nanti…!” sembari mengumpat dengan kata-kata kasar. Polisi tidak peduli dan terus menembaki mereka; mahasiswa pun mundur ke arah Jembatan Senayan.
Ada mobil barracuda polisi yang maju ke arah demonstran dan belum melancarkan tembakan gas air mata, kesempatan ini dimanfaatkan massa untuk menyerang mobil tersebut. Beberapa saat kemudian, massa yang menyerang justru lari tunggang langgang karena polisi kembali menembaki mereka dengan gas air mata. Sementara itu, di bawah jembatan, di sisi sebelahnya, yaitu di jalan yang menuju arah gedung TVRI, beberapa polisi yang tengah bersiaga juga diamuk oleh massa. Pasukan polisi yang berjaga di atas jembatan juga menyerang balik dengan menembakan gas air mata. Bentrokan tersebut terus terjadi hingga selesai maghrib.
Ba’da maghrib, di sepanjang jalan dari gedung DPR sampai jembatan, kondisi tenang. Akan tetapi, area setelah jembatan dan di jembatan itu sendiri, bentrokan masih terjadi. Banyak sekali mahasiswa yang menggunakan jaket almamater, tetapi ada juga orang-orang tanpa jaket almamater yang berjumlah tak kalah banyaknya, belum lagi rombongan siswa-siswa Sekolah Menengah tingkat atas yang katanya siap membantu melawan balik. Target utama perlawanan mereka adalah polisi-polisi yang berjaga di atas jembatan itu. Anak-anak bercelana abu-abu dan berjaket itu serempak melakukan perlawanan balik pada polisi yang berada di atas jembatan dengan menggunakan batu dan kayu. Polisi tidak tinggal diam, mereka menyerang balik dengan gas air mata pada massa yang melempari mereka.
Perlawanan sengit terus berlangsung. Massa—saya tidak berani menyebutnya mahasiswa karena sudah ada banyak orang yang ikut dalam kerusuhan, bisa dikatakan, bukan lagi hanya dari kalangan mahasiswa, karena mereka tidak mengenakan jaket almamater—menembakkan petasan ke arah polisi. Sering kali terdengar seruan, “Ayo, naik! Gantian! Mana mahasiswa? Masa anak STM yang jebolin…? Gantian dong!”
Massa yang melawan balik polisi silih berganti. Beberapa orang kembali dengan luka berdarah dan terkena gas air mata. Mereka bilang bahwa polisi juga menyerang mereka dengan batu. Teman saya melarang saya mengambil gambar karena, menurutnya, rawan terkena lemparan batu.
Beberapa saat kemudian, barisan polisi yang ada di atas jembatan pun jebol; massa menguasai jembatan. Situasi agak tenang sekitar 15 sampai 30 menit, namun masih terlihat dan terdengar perlawanan antara massa dan polisi dari arah GBK.
Saat saya dan teman-teman saya berusaha melintasi area di atas jembatan, gas air mata kembali ditembakkan ke arah jembatan; semua orang pun mundur ke area di bawah jembatan. Massa yang tadinya berbondong-bondong ingin menuju ke gedung DPR juga kembali mundur. Polisi menghujani gas air mata ke arah semua orang yang ada di sekitar area tersebut walaupun massa demonstran tidak lagi memberikan perlawanan, salah satunya ke arah saya yang sedang duduk-duduk beristirahat di pinggir jalan. Gas air mata berdampak kuat memukul mundur massa ke arah markas TNI. Semuanya kesakitan karena gas air mata itu.
Tiga puluh menit kemudian, saya dan teman-teman kembali ke area di bawah jembatan; situasi tenang. Pasukan TNI pun datang dan disambut meriah oleh massa. Mereka menyampaikan keluh kesah karena ditembaki, lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama TNI. Saat sedang berdiskusi dengan TNI, beberapa massa datang dan bilang, “Pak, itu yang di sana (arah GBK—ed.) masih ditembakin, Pak! Tolong…!” Beberapa massa yang lain juga menghampiri jalan yang ke arah GBK itu; pasukan polisi malah menembaki mereka, bahkan tembakan dilancarkan ke arah massa yang berada dekat pasukan TNI. Massa marah dan berteriak, “Goblok! Di sini ada tentara, woy…!” Mereka menyerang sebentar, lalu TNI berinisiatif melerai kerusuhan dan bernegosiasi dengan polisi.
Situasi kembali tenang hingga lebih-kurang 45 menit. Polisi berjaga-jaga di jalan arah Semanggi, sedangkan massa terus meneriakkan yel-yel. Hingga pukul 21.39, pasukan polisi yang datang dari arah Semanggi menembaki massa dan mahasiswa demonstran. Ada massa yang memberi perlawanan dengan petasan tembak langsung; mereka langsung dihujani gas air mata. Sekali lagi, situasi kembali tenang, beberapa rombongan massa dan mahasiswa memberikan bantuan air mineral OKE OCE.
Sekitar pukul 22.00, pasukan TNI kembali turun ke jalan dan memberikan bantuan pengawalan kepada massa dan mahasiswa yang ingin kembali ke arah TVRI. Polisi membuka jalan, saya dan teman-teman ikut kembali ke TVRI, dikawal oleh TNI dengan selamat. Kami beristirahat setengah jam dan kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke arah pintu gerbang 11 GBK. Di dekat sana, ternyata juga sedang terjadi kerusuhan, tepatnya di dekat gedung Kemenpora. Saya pun mundur ke arah pintu gerbang 12 GBK dan menunggu teman-teman saya yang masih ingin mengamati kerusuhan tersebut.
Beberapa saat kemudian, seseorang memberikan saya nasi kotak untuk dimakan, saya memakannya. Saya melihat ada banyak orang membawa nasi kotak yang sama dengan nasi kotak yang saya terima. Orang-orang itu datang dari arah kerusuhan. Ketika teman saya kembali dari arah kerusuhan, ia bercerita bahwa ada mobil polisi yang dijarah, dan makanannya diambil massa lalu dibagi-bagikan. Nasi kotak tersebut adalah hasil jarahan massa. Katanya, ada juga bus aparat yang dibakar oleh massa.
Kami makan bersama di pintu gerbang 12 GBK itu sampai tiba-tiba polisi menembaki kerumunan dan memaksa kami mundur ke pintu utama GBK. Kemudian, saya dan teman-teman akhirnya memutuskan pulang meninggalkan kerusuhan malam itu.