Catatan I Gde Mika (Mahasiswa IKJ, Angkatan 2018)
Taman Budaya menjadi titik kumpul aliansi mahasiswa IKJ. Fenomena ini memberikan kami pengalaman visual lain, taman seakan berubah warna menjadi kejinggaan karena jumlah massa berlipat ganda. Hari itu sangat spesial karena bertepatan dengan Hari Tani Nasional. Hari itu, para petani dan kaum buruh turut hadir menyuarakan aspirasi mereka, tampaklah bahwa mahasiswa hanya sebagian kecil saja dari gerakan masyarakat, hampir tiada arti jika mahasiswa bergerak sendiri sambil meromantisir status kemahasiswaannya. Hari itu, saya yakin demonstrasi akan berjalan lebih lancar, dan tentu suara kami pasti didengar oleh DPR RI, yang katanya agak tuli itu.Kabar baru terdengar kalau yang menduduki gedung DPR RI bukan hanya Polri, tetapi TNI juga ikut turun tangan untuk mengontrol aksi damai ini. Saya berharap semuanya bisa berjalan dengan lancar dan aparat hukum juga tidak melakukan tindakan represif lagi seperti kasus kawan kami di Bandung dan sekitarnya. Ketua BEM kami juga terus menghimbau agar kami saling menjaga satu sama lain. Bukan hanya keterikatan sebagai satu almamater, tetapi sadar akan tujuan bersama untuk menggugat reformasi yang telah dikorupsi.
Setelah semua aliansi mahasiswa IKJ berkumpul, kami berangkat bersama dari Stasiun Gondangdia menuju Stasiun Palmerah, lalu jalan beriringan menuju gedung DPR RI. Selama di perjalanan, semangat terus dilontarkan oleh warga-warga yang sedang menunggu kereta, seolah mereka memberi sambutan hangat terhadap tindakan kami. Bagi saya ini cukup mengharukan, tak jarang aksi demonstrasi justru ditanggapi sinis oleh warga yang tak turut terlibat. Dengan menggunakan strategi komunikasi yang tepat akan persoalan apa yang hendak digugat, sebenarnya kegiatan demonstrasi oleh siapa pun akan didukung oleh mereka yang tak terlibat. Bukan soal macet atau mengganggu ketertiban yang menjadi perhatian kemudian. Basisnya adalah persebaran pengetahuan dan pemahaman. Mitos tentang mahasiswa sebagai roda penggerak bangsa kembali dapat dipertanyakan, bahwa selain harapan akan kritisisme dan intelektualitas pada dirinya sendiri, secara praktikal mahasiswalah yang memiliki kelenturan soal waktu, berbeda dengan mereka yang sudah terikat dengan jam kerja. Melalui upaya-upaya penyebaran pengetahuan, akan tiba saatnya mereka yang terikat jam kerja bersedia mengosongkan kantor dan turut bergabung dalam barisan.
Kami berdesak-desakan dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Palmerah. Ketika sampai di Stasiun Palmerah, rombongan kami bertemu dengan aliansi mahasiswa lainnya, di sana ada mahasiswa IPB dan UI yang berbondong-bondong menuju gedung DPR RI. Setelah semua massa terkumpul, seperti biasa kami mulai membentuk formasi dan berjalan menuju gedung DPR RI. Sembari berjalan, kami mengucapkan aspirasi kami dengan bernyanyi, ‘’Tolak!! Tolak!! Tolak RUU!! Tolak RUU!! Sekarang juga!!’’ Di antara itu, mahasiswa dari Fakultas Pertunjukan menggelar teater yang cukup menarik perhatian massa. Perjalanan kami sempat tersendat oleh banyaknya massa yang ingin menuju gedung DPR RI, sehingga kami tertahan di dekat flyover. Dari arah sebaliknya, tampak beberapa mahasiswa yang terluka dan ada juga yang pingsan digotong beramai-ramai dan diangkut oleh mobil ambulans. Karena ada larangan untuk tidak berlanjut maju dari koordinator kami, akhirnya kami memutuskan untuk berdiam diri di dekat flyover tersebut sembari membantu memberikan jalan kepada mobil ambulans yang lewat.
Saya memutuskan untuk memisahkan diri sejenak dari barisan mahasiswa IKJ karena ingin melihat situasi dan kondisi di depan gedung DPR RI. Di bahu-bahu jalan, banyak sekali korban yang bergeletakan karena gas air mata yang terus ditembakan oleh aparat kepolisian. Beruntung ada bantuan rumah sakit yang menyediakan tabung oksigen secara gratis. Saya terus maju, melihat situasi dan kondisi yang sudah tak kondusif, ditambah lagi kepolisian yang semakin mengganas dengan terus menembaki gas air mata. Suara ledakan entah dari mana sesekali terdengar untuk memukul mundur massa. Jalan di depan gedung DPR RI dan tol di depan DPR RI lumpuh total dikerumuni massa. Aksi damai tetap berjalan, beberapa orang tetap teguh memegang spanduk dan mempertahankan formasi mereka. Semua mahasiswa tidak ada yang mengenakan pelindung, apalagi membawa senjata, tetapi aparat hukum terus menembaki gas air mata untuk memukul mundur mereka. Saya, yang awalnya berada di dekat DPR RI, terpaksa ikut mundur karena situasi yang sudah kacau, ditambah lagi gas air mata yang rasanya tiada henti ditembakan. Pasta gigi yang saya kenakan tidak lagi mempan menahan perih di mata, untung saja ada kawan mahasiswa yang lain memberikan saya air untuk membasuhnya. Semua massa bercampur aduk dan saling membantu satu sama lain, untuk mengevakuasi korban yang terperangkap di dalam kepulan asap tersebut. Beberapa pengendara yang membawa mobil di area tol juga ikut membantu evakuasi korban sembari membagikan air minum.
Aparat terus memukul mundur kami, sampai ke pintu tol. Saya mulai khawatir gas yang terus dilempar tadi pasti akan terbawa angin ke arah jalan flyover yang menjadi tempat evakuasi sekaligus titik aman bagi mobil ambulans. Teman-teman saya juga banyak bertahan di sana. Massa terus mundur secara perlahan, beberapa pengemudi ojek online juga turut membantu membawa korban yang pingsan dan terserang sesak napas karena asap. Masyarakat sekitar turut membantu dengan membagikan air mineral. Ketika saya sampai di gerbang tol, tampak banyak sekali orang yang meluapkan emosinya dengan menghancurkan pintu tol tersebut. Usaha saya dan beberapa kawan untuk menenangkan mereka tak dihiraukan. Tiba-tiba, asap mulai merambat ke arah pintu tol, saya terpaksa mundur jauh sekali sampai menuju gerbang GBK.
Di GBK, saya bertemu dengan seorang mahasiswa beralmamater biru. Dia menitip salam untuk adiknya, Ilham, teman seangkatan saya, sekaligus menanyakan kondisinya apakah baik-baik saja, karena takut asma Ilham akan kambuh lagi. Tetapi sayang sekali, saya lupa untuk berkenalan dengannya karena situasi yang mulai kacau, dan asap ada di mana-mana sehingga membuat saya harus mundur sejauh mungkin. Ada hal yang membuat saya terheran-heran: sejumlah siswa berseragam Sekolah Menengah tingkat atas tiba-tiba maju menerabas ke depan.
Akhirnya, saya dan rombongan mendapatkan panggilan untuk mundur dan segera menuju titik kumpul yang telah disepakati. Saya berusaha mencari jalan alternatif untuk menuju titik kumpul di dekat TVRI, tetapi saya mendapatkan kabar dari teman saya kalau di sana juga telah terjadi kericuhan. Saya masuk menelusuri GBK bersama mahasiswa lainnya dan ternyata asap dari gas air mata juga menembus masuk sampai GBK. Titik kumpul diubah di Bentara Budaya, tetapi ada kabar kalau di sana juga terjadi kericuhan. Tak tahu jalan, rombongan mahasiswa IKJ terpecah menjadi beberapa bagian sampai kami mendapatkan informasi kalau titik aman berada di depan pintu GBK 2.
Setelah sampai di titik kumpul, kami menunggu teman-teman kami yang terpencar sembari merawat teman kami yang luka-luka. Suara mobil ambulans terus berdengung di telinga kami, tidak pernah berhenti, mobil-mobil ambulans berlalu lalang di sepanjang jalan. Perlahan, situasi mulai membaik, sebagian kawan kami sudah terkumpul, beberapa tim masih terpecah, dan kami terus memantau kabar selanjutnya. Tiba-tiba, ponsel saya berdering dan ternyata orang tua saya meminta video call. Saya memberanikan diri untuk mengangkatnya dan untungnya mereka meminta saya untuk tetap hati-hati dan selalu waspada, bukan memarahi. Ketika semua orang sudah terkumpul, akhirnya kami pulang bersama-sama menggunakan Transjakarta. Ketika sampai di kosan, kabar akan konflik di lapangan terus bermunculan. Terdengar kabar kalau teman saya, Izha, masih terjebak di Stasiun Palmerah. Si pembawa kabar, Indra, yang satu kamar dengan Izha, memilih menginap di kamar kos saya sambil menunggu kabar Izha yang akhirnya bisa pulang dengan selamat.
Akhirnya, kami kembali ke kamar masing-masing sembari menunggu kabar keputusan DPR RI. Saya terus memantau Instastory beberapa teman yang meliput situasi. Area di sekitar Stasiun Palmerah masih ricuh.