Purworejo, Jawa Tengah

Sekolahku Kini

Delapan belas tahun aku hidup di sebuah kampung kecil yang bernama Desa Hargorojo, Purworejo, Jawa Tengah. Di desa kecil ini aku tinggal dengan nenekku dan jauh dari kedua orangtua. Di sinilah aku mulai mengenyam pendidikan dari TK (Taman Kanak-kanak) hingga SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), setelah lulus SMK aku bertekat meneruskan pendidikanku di Jakarta. Kenapa aku memutuskan untuk kuliah di Jakarta? Tidak di Jogja, Semarang atau perguruan tinggi lainnya yang lebih dekat dari rumah? Karena ibuku tinggal di Jakarta, jadi aku bisa ikut membatu pekerjaannya saat ada waktu luang dan memang aku ingin merasakan hidup dengan orang tua sendiri, yang tidak pernah aku rasakan selama 18 tahun.

Salah satu bangunan gedung sekolahku yang masih tersisa

Salah satu bangunan gedung sekolahku yang masih tersisa

Aku pulang ke kampung hanya saat liburan, itu pun jika sempat dan ada uang. Kebetulan seminggu sebelum masuk kuliah semester ganjil kemarin, aku berlibur sekaligus pulang ke kampung.

Seminggu pun telah berlalu, aku belum sempat untuk jalan-jalan dan harus kembali lagi ke Jakarta. Lalu aku memutuskan untuk pulang ke Jakarta, namun setelah membeli karcis untuk pulang ke Jakarta, aku teringat sesuatu, yaitu SD-ku dulu.

Dua jam sebelum berangkat ke terminal antar kota, aku menyempatkan untuk melihat sekolahku dahulu. Aku sangat terkejut begitu melihat keadaan gedung sekolah itu kini. Banyak sekali perubahan yang terjadi. Memang seingatku semenjak duduk di bangku SMP, Sekolah Dasar ini sudah ditutup dan dipindah, namun gedungnya masih utuh dan sering dimanfaatkan warga untuk kegiatan karang taruna. Begitu pula lapangannya, digunakan untuk bermain sepak bola oleh remaja. Namun, sekarang hampir semua gedung sudah tidak ada dan hanya tersisa ruang guru, dapur, kamar mandi dan tempat parkir motor para guru, yang semuanya dalam kondisi buruk. Misalnya bekas tempat parkir, kini dijadikan kandang sapi oleh salah satu warga desa dan bekas gedung-gedung yang lainya sudah menjadi semak belukar serta kebon singkong.

Semak-semak yang dulu merupakan bangunan SD Plarangan

Semak-semak dan kebon singkong yang dulu merupakan bangunan SD Plarangan

Sekolahku ini bernama SD Negeri Plarangan, di belakangnya terdapat sebuah air terjun kecil yang sangat jernih. Aku mulai belajar membaca, menulis dan banyak hal di sekolah ini. Walaupun mungkin pelajaran yang aku dapat tak sebanyak anak-anak yang bersekolah di kota, namun kenangan masa SD dulu dengan teman-teman sebaya yang hampir setiap hari bermain di lapangan depan SD tersebut masih selalu teringat dan seakan ingin mengulang semuanya, namun miris rasanya melihat SD yang kini hanya tinggal nama dan bekas gedungnya telah menjadi semak belukar serta kandang sapi.

Semenjak aku bersekolah di sana, bangunan-bangunan dari gedung SD ini memang mulai rusak dan murid-muridnya pun mulai berkurang. Dulu waktu aku masih bersekolah di SD ini, seingatku teman-teman satu kelas tidak lebih dari 20 siswa dan pada angkatan setelahku muridnya semakin berkurang hingga kemudian habis. Ini terjadi karena mulai sedikitnya warga dan penerus bangsa di desa ini, sehingga SD ini harus dikalahkan dengan sekolah lainnya di kampungku, yaitu SD Hargorojo.

Kandang Sapi yang dulu menjadi tempat parkir para guru

Kandang Sapi yang dulu menjadi tempat parkir para guru

Dulu sebelum ditutupnya SD Plarangan, lulusan TK harus dibagi untuk dua sekolahan, padahal murid TK-nya sedikit, yaitu sekitar 20 siswa. Memang dari dulu sampai ditutupnya SD ini, Desa Hargorojo mempunyai dua SD yang jaraknya berjauhan dan sekarang hanya tinggal SD Hargorojo yang jarak tempuhnya sekitar 15 menit dari rumah nenekku, jika berjalan kaki.

Kenapa dulunya desa ini memiliki dua SD? Karena saat ibu dan paman-pamanku masih kecil, warganya masih banyak dan jarang yang merantau.

Dengan alasan itu maka dibuatlah dua SD untuk memperdekat siswa yang rumahnya jauh dengan sekolah, karena kebanyakan dari mereka rumahnya cukup jauh dari sekolah.

Ruang sekolah yang masih ada

Ruang sekolah yang masih ada

Berkurangnya warga desa di karenakan orang-orang yang sudah lulus SMA atau SMK dan SMP lebih memilih merantau ke kota besar, bahkan ada yang menetap, berkeluarga dan tidak pernah kembali ke desa. Mereka pulang hanya saat liburan atau hari-hari besar, seperti saat Idul fitri. Terkadang lima atau empat tahun sekali mereka baru pulang, hanya untuk melihat keluarganya di kampung.

About the author

Avatar

Choiril Chodri

Pria kelahiran 1990 ini sedang menyelesaikan studinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan aktif diberbagai komunitas, di antaranya Div. Produksi di Komunitas Djuanda, Div. Media di Masyarakat Peduli Karakter Bangsa dan Wakil Ketua di Ikatan Mahasiswa Purworejo Jakarta Raya (Imapurjaya). Selain di kampusnya, beberapa karyanya pernah dipamerkan di Jakarta 32 ruang rupa di Galeri Nasional Indonesia 2010 dan Pameran fotografi 484, Cikini dan pernah presentasi khusus video akumassa di Festival Film Dokumenter (FFD) Taman Budaya, Yogyakarta, 2010.

10 Comments

  • Andai bangunannya dimanfaatkan…… para remaja disana mungkin bisa menggagas sesuatu untuk memanfaatkannya…..

  • Seandanya ada yang mau memanfaatkan…. mungkin ini kajian penting bagi pembaca untuk memanfaatkan gedung/apapun itu menuju hal yang lebih baik….. tidak hanya dibiarkan seperti itu….. bisa dijadikan BASE CAMP… ato apalah…..TRY!!!

  • iril, terimakasih oleh2 mudiknya ya…bagus banget. lagi-lagi sebuah napak tilas yang bisa di share ke teman2 menghadirkan sejarah di masa kini

  • Dulu pernah tempat ini di jadikan t4 karang taruna..tp krna remajnya semakin berkurang dan lebih memilih kerja di kota.jd gak di pkk lagi,,sedang remaja yg mash di ada jg sibuk dan mungkin gak terpikirkan memanfaatkan tmpat ini!!

  • wuihhh..pordjo, keren riel.

    2o siawa?..masih mendingan.
    saat aku SD dulu, angkatan lulusanku cuma 11 orang. cowoknya 8, cewek 3. hemm…

Tinggalkan Balasan ke Muhammad Sibawaihi X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.