Dimulai dari Bangsal
Bangsal adalah titik penting yang belakangan mulai ditinggalkan. Ia hanya dilalui, tidak dilirik lagi. Bangsal adalah tempat pemandian untuk membersihkan diri yang kita lupakan. Karena Bangsal dilupakan, maka Pemenang juga dilupakan, bahkan hingga ke permasalahan saluran air yang tidak beres, yang belakangan menyebabkan bencana di Pemenang: banjir bandang. Maka, Pasirputih, sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Pemenang, memiliki niat yang kuat, jangan sampai Pemenang kecolongan.Pasirputih memulai dari Pelabuhan Bangsal. Sebuah titik yang sangat penting dalam sejarah masyarakat Pemenang. Sebuah titik yang menyimpan jutaan memori masyarakat sejak zaman pertama kali masyarakat Pemenang terbentuk. “Jika terjadi kebocoran atap rumah kita, maka segeralah mencari titik lubang yang bocor.” Itulah kiranya yang diwujudkan dalam Bangsal Menggawe 2016: Membasaq.
Pasirputih memiliki keyakinan yang kuat, bahwa Bangsal adalah obat itu. Karena memang di sana masyarakat Pemenang berobat dengan mandi air laut (membasaq). Tiga agama yang ada di Pemenang, kerap kali mengadakan ritual di sana. Berbagai organisasi sosial muncul dan tumbuh di sana. Bangsal Menggawe 2016: Membasaq mengajak seluruh masyarakat Pemenang untuk kembali bersuka cita di Bangsal. Kadang kita perlu menjauh dari sebuah benda untuk benar-benar bisa mengenalinya. Itulah yang terjadi di Pemenang. Kebesaran Gili membuat masyarakat lupa, bahwa sebenarnya mereka memiliki bintang yang bersinar terang. Bahwa Pemenang juga memiliki potensi yang besar, bukan untuk menjadi ‘gerbang wisata’ tapi untuk menjadi tujuan wisatawan. Dan saya rasa, yang paling penting adalah, sejarah Bangsal dan sejarah Pemenang yang selama ini terkubur oleh industri pariwisata, saatnya bangkit. Bangsal yang selama ini tidak dimiliki lagi oleh warga, saat itu benar-benar menjadi milik warga.
Ambiguitas Realitas
Sejak dahulu, menusia selalu menuntut keadilan atau ingin medapat perlakuan yang adil, dari siapa pun. Dimana-mana, selalu ada otoritas yang menindas kaum yang lemah dan minoritas. Ada orang-orang yang merasa memahami realitas sehingga mendominasi gagasan. Dalam hidup, realitas kadang sengaja dikaburkan untuk mencapai mimpi-mimpi tertentu. Selanjutnya, mereka-mereka yang merasa tertindas oleh dominasi dan otoritas, memberontak menuntut kesetaraan. Pemberontakan yang terjadi sepanjang sejarah dunia, tidak semata-mata sebuah gerakan untuk mendapatkan materi, tetapi lebih pada bagaimana manusia hidup sejajar. Sejajar pada apa yang saya maksud, bukanlah penyeragaman, tapi penghargaan terhadap orang lain.Dalam hal kasus Pemenang, saya hanya takut, bahwa kita selama ini membangun identitas fiktif masyarakat Pemenang dengan indutrialisasi pariwisata. “Adalah pretensi dan kecenderungan manusia belaka bahwa dia merasa bisa menemukan yang-identik dalam apa yang kaotis, merasa mampu menyeragamkan apa yang beragam. … ini adalah pretensi yang berbahaya karena dia menindas pluralitas senyatanya demi sebuah identititas-fiktif.” (Wibowo, 2004, hal. 122).
Tentu Pemenang bisa dirumuskan. Asal, pertimbangan pada apa yang kita sebut sebagai ‘berdiri sama tinggi dan duduk sama rata’ harus diutamakan. Sekali lagi, bukan pada ranah materi. Sebab, saya sendiri mempercayai bahwa gagasan-gagasan abstrak yang lebih sempurna dari realitas sendiri, manakala kita menimbang kualitas yang tersembunyi di balik sesuatu.
Ada ruh yang hilang oleh dentuman musik pesta pariwisata, oleh tembok-tembok hotel yang dibangun, oleh ‘biang keladi’ yang mengubah sosial menjadi individual. Itulah yang kini diperjuangkan oleh warga Pemenang: pemuda, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan mereka yang benar-benar mencintai Pemenang. Ruh itu adalah kesatuan Pemenang dalam keberagamannya.
Pemenang, 20 April, 2016.
Bibliografi
Sugono, D., Sugiyono, Maryani, Y., Qodratillah, M. T., Sitanggang, C., Hardaniwati, M., et al. (Penyunt.). (2008). Kamus Bahasa Indonesia (IV ed.). Jakarta: Pusat Bahasa.
Wibowo, A. S. (2004). Gaya Filsafat Nietzsche. (S. Dema, Penyunt.) Yogyakarta: Galang Press (Anggota IKAPI).