Darivisual Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Sebelas Kisah dari Tenggara – “Prolog”

Pemenang, Dulu dan Sekarang

Hampir tidak ada jejak sejarah di Kecamatan Pemenang yang bisa dijadikan referensi tentang Pemenang. Belakangan, alasan ini baru saya ketahui dari keterangan salah seorang tokoh agama di Pemenang, Bapak Nengah Karuna, bahwa tidak mungkin Pemenang tidak punya adat dan catatan sejarah. Tapi, di mana fakta-fakta sejarah itu tersembunyi?

Sumber gambar: situs web Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.

Menurut ingatan Pak Nengah Karuna, ketika saat bergantinya rezim pemerintahan di masa lalu, ada semacam pembenahan dalam tata kehidupan umat Islam Indonesia oleh Rezim Orde Baru. Berbagai kegiatan keagamaan yang bersifat lokal dan dianggap tidak sesuai dengan syariat agama, dihapus total. Itu terjadi di seluruh wilayah di Lombok Utara. Kabarnya, semua bukti sejarah kita dibuang.

Namun sebenarnya, beberapa bukti yang tersisa menunjukan adanya keterikatan yang kuat antara masyarakat Bayan, Sokong (Tanjung), dan Pemenang. Orang-orang menemukan lontar-lontar yang sama di ketiga lokasi tersebut. Selain itu, ditemukan juga lontar yang mengisahkan bagaimana penyebaran Islam di Lombok Utara, yang memuat kisah yang hampir mirip, dan disimpan di beberapa lokasi sakral di masing-masing tempat tersebut.

Beberapa orang yang mencoba mengungkap sejarah Lombok Utara mengatakan bahwa untuk beberapa tempat, jelas sekali sejarahnya. Namun, untuk sejarah Pemenang, itu masih rancu. Mungkin saja, Pemenang ada kaitannya dengan Syeikh Malaka yang datang meyebarkan Islam di Lombok Utara. Mungkin juga ada hubungannya dengan Bapuq Bayang, mungkin juga ada hubungannya dengan ekspansi Gajah Mada, setelah menaklukkan Bali, atau kemungkinan runtuhnya Majapahit yang akhirnya membuat beberapa pembesar Majapahit melarikan diri, hingga tibalah mereka di Lombok Utara ini. Namun, namanya juga ‘cerita’ sejarah, apalagi kita tidak punya bukti otentik untuk membuktikan cerita itu, semua bisa jadi benar, tergantung versi masing-masing. Jika kita ingin benar-benar menggali itu, menurut Pak Nengah Karuna, kita harus ke Museum Leiden, Belanda.

Kerancuan sejarah Pemenang, membuka peluang yang cukup lebar untuk analisa dan telaah sejarah. Berbagai opini pun beredar di masyarakat. Sah-sah saja. Akan tetapi, cerita belum tentu benar.

Masjid Kuno Bayan Beleq di Kecamatan Bayan.

Ada dua versi yang umum diketahui masyarakat tentang asal mula nama Pemenang. Pertama adalah versi yang saya dengar dari seorang tokoh pemuda di Pemenang, yang sempat melakukan penelitian tentang desa-desa yang ada di Lombok Utara, Herman Zohdi, S.Pd.I. Dia menjelaskan bahwa dari hasil peneltian beliau tentang Pemenang yang dilakukan pada kisaran tahun 1994, kata ‘pemenang’ berasal dari legenda Bapuq Bayang. ‘Bapuq’ dalam bahasa Indonesia berarti ‘kakek’, sedangkan‘bayang’ adalah julukan yang diberikan masyarakat kepada tokoh tersebut karena kesaktiannya yang bisa menggandakan diri atau membuat replika dirinya.

Suatu ketika, sebuah kerajaan ingin menyerang Pemenang. Saat itu, penguasa yang ada di Pemenang, yang masih ada kaitannya dengan Kerajaan Karang Asem yang ada di Cakra, merasa gusar. Namun, Bapuq Bayang, yang sedari lama sudah menjadi petugas keamanan di Pemenang, menyanggupi melawan serangan itu sendirian. Begitu serangan dari musuh datang, Bapuq Bayang menggandakan dirinya. Musuh menjadi gentar melihat begitu banyak prajurit yang siap meladeni mereka. Ahirnya, merasa kalah jumlah, musuh pun mundur, dan Pemenang memenangkan pertarungan tersebut. Dari Kemenangan itu, Bapuq Bayang dijuluki Pemenang, yang akhirnya menjadi nama Kecamatan Pemenang. (Dalam versi Nengah Karuna, Pemenang tidak diserang, namun Anak Agung-lah yang meminta pasukan—salah satunya Bapuq Bayang—untuk menyerang).

Kisah yang kedua, saya dapatkan dari seorang Mangku Ayu di Dusun Jeliman Ireng, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang. Mangku Ayu tersebut bernama Bapak Jenalip. Beliau bercerita bahwa di Pemenang ada sebuah gong sakti. Gong tersebut sekarang berada di Dusun Jeliman Ireng. Suatu ketika, sebuah pasukan akan menyerang Pemenang. Warga Pemenang yang mengetahui akan adanya serangan dari musuh, melapor kepada semua masyarakat Pemenang. Maka, tetua Jeliman Ireng, yang mengetahui akan adanya bahaya, memukul gong tersebut. Begitu gong dipukul, bumi di mana para prajurit yang akan menyerang Pemenang itu berpijak, langsung bergetar, gempa terjadi, dan menewaskan banyak prajurit tersebut. Akhirnya, sang pimpinan prajurit memerintahkan untuk mundur, bahwa alam tidak mengizinkan mereka untuk menyerang Pemenang. Sejak saat itulah, kata Pemenang disematkan kepada lokasi yang berada di sebelah utara, berbatasan dengan Pulau Gili, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Bukit Sinjong. Sebab, masyarakat Pemenang, sudah menang sebelum pertempuran.

Terlepas dari kerancuan sejarah itu, sekarang Pemenang menjadi sebuah kecamatan. Dahulu, Pemenang masih merupakan desa dan masuk ke wilayah Kecamatan Tanjung. Saat ini, Kecamatan Pemenang memiliki lima desa: Desa Pemenang Barat, Desa Pemenang Timur, Desa Malaka, Desa Gili Indah, dan Desa Persiapan Menggala. Pusat Kecamatan Pemenang, berlokasi di dua desa, yakni Desa Pemenang Timur dan Desa Pemenang Barat. Pusat kota Pemenang ini kemudian diistilahkan dengan Pemenang Kota.

Lalu, berbagai macam aktivitas kota Pemenang tercermin dari kawasan Pelabuhan Bangsal itu sendiri. Berbagai aktivitas masyarakat meramaikan Bangsal. Pagi harinya, akan kita temui berbagai kesibukan, mulai dari para buruh, penjual tiket, penjual suvenir, para penumpang, pemancing, kusir cidomo, dan berbagai aktivitas lainnya. Sementara di sore hari, akan kita jumpai anak-anak bermain di sepanjang pantai di Bangsal. Ada yang bermain bola, ada yang berenang, mencari kerang, dan yang paling mengesankan adalah bagaimana warga datang bersama keluarga menikmati pelecing kangkung di Bangsal.

Sejak dahulu, beragam aktivitas warga masyarakat Pemenang bisa dijumpai di Bangsal. Begitu juga dengan tiga agama yang ada di Pemenang. Tidak jarang kita temui aktivitas peribadatan dan ritual keagamaan dilaksanakan di sana.

Berdasarkan ingatan Pak Nengah Karuna, saat ia masih kecil dan kondisi Bangsal masih belum seperti sekarang, di mana hamparan pasir masih luas, serta bangunan permanen yang tidak banyak, saat bulan purnama dan bahkan hampir tiap malam, mereka bermain di Bangsal. Pak Nengah bersama kawan-kawannya bersuka ria di Bangsal.

Suasana sore hari di Pelabuhan Bangsal tanggal 24 Februari 2016.

Saya sendiri masih ingat, bagaimana dahulu saya dan kawan-kawan memiliki kenangan yang indah di Bangsal. Peristiwa-peristiwa menarik yang mewarnai masa kecil saya. Saya masih ingat saat dikejar anjing ketika kami melewati perkampungan umat Hindu di sebelah utara perempatan Pemenang. Masih terngiang suara boat man yang memarahi kami, saat melompat dari atas perahu. Juga bagaimana kaki dan tangan kami terbenam ke dalam pasir saat mencari kerang. Begitu juga, masih terasa pedasnya sambal pelecing kangkung di lidah kami, sembari kami menceburkan tubuh ke laut.

Ketika bapak saya pindah dari Lombok Barat ke Lombok Utara untuk menjalankan tugas sebagai guru sekitar akhir ’60-an, nama Bangsal memang sudah dipakai oleh masyarakat. Bapak juga tidak menampik kemungkinan makna Bangsal yang disematkan dalam kata Pelabuhan Bangsal memiliki arti yang sama dengan makna ‘bangsal’ yang dipakai dalam penyebutan sekumpulan ruangan di rumah sakit.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata ‘bangsal’ bisa bermakna: (1) rumah yang dibuat dari kayu untuk kandang, gudang, dsb; (2) los di pasar dsb; (3) rumah besar untuk pertunjukan, pertemuan, bermain-main, dsb; (4) barak; dan (5) bedeng (Kamus Bahasa Indonesia, 2008, hal. 135). Pelabuhan Bangsal sendiri, sejak dahulu kala, memang dijadikan sebagai lokasi berkumpul. Di Pelabuhan Bangsal, berbagai aktivitas perdagangan berlangsung.

Menurut Bapak, dahulu, di Bangsal ada banyak dibangun pondok-pondok (semacam lokasi pelelangan ikan). Semua jenis tangkapan ikan dari nelayan sekitar dijual di sana. Tidak hanya itu, Bangsal juga menjadi tempat menjual berbagai hasil bumi dari berbagai kawasan di sekitar Lombok Utara, seperti Tembobor, Nipah, Malimbu, Mentigi, dan Gili Ayer (sekarang Gili Air). Dulu, di Gili Meno dan Gili Trawangan, masih belum ada penduduk. Masyarakat menggunakan perahu, karena akses jalan raya belum ada. “Jalan ke arah Senggigi saja, itu dikerjakan pada tahun 1982. Bapak masih ingat, waktu pengaspalan, Bapak nenteng sepeda ke Nipah,” kata Bapak, bercerita.

Bapak juga masih ingat ketika sekolah, beliau diminta menghafal pulau-pulau kecil yang ada di Lombok. Untuk Tiga Gili yang ada di Kecamatan Pemenang, masing-masing dalam peta Pulau Lombok saat itu, tertulis: Gili Ayer, Gili Meno, dan Gili Trawangan. Selain itu, dari penjelasan Bapak juga, kami tahu bahwa di Lombok Utara dahulu terdapat empat Gili (pulau kecil). Satu pulau lagi yang belum tersebut di atas, adalah Gili Cupek. Saat ini, Gili Cupek lebih dikenal dengan kawasan Sira Indah. Karena faktor alam, air yang ada antara selat Gili Cupek dan pulau induknya, dalam hal ini adalah Pulau Lombok, menjadi surut.

Namun, itu terjadi jauh sebelum Bapak dilahirkan. Bapak sendiri mendengar kabar ini dari cerita orang-orang tua. Cupek sendiri diambil dari Bahasa Bali, yang berarti kecil. Dinamakan Cupek karena memang secara geografis, dari keempat Gili yang ada waktu itu, Gili Cupek adalah Gili yang paling kecil.

Setelah ikan dan barang dagangan lainnya dibawa ke Pemenang melalui Pelabuhan Bangsal, kemudian dijual di Peken Lauq (Pasar Utara). Lokasi tersebut adalah Perempatan Pemenang sekarang. Dari Bang BRI sekarang, ke selatan; dari jalan ke arah Bangsal, sampai gang menuju Gubuk Bali (nama perkampungan Hindu). Di situ, dulu, semua dagangan dijual. Kadang juga ada yang membawanya ke Teben (istilah orang Lombok Utara untuk menyebut kawasan Mataram).

Jadi memang, kawasan Pemenang Kota, dari dahulu kala, merupakan tempat bisnis bagi warga masyarakat di sekitaran Kecamatan Pemenang.

Bapak juga bercerita tentang seorang tokoh Pemenang yang dulunya dipercaya menjadi juru hubung antara pihak Jepang dan masyarakat Pemenang. Beliau dipanggil Bapuq Maing. Sewaktu kecil, saya dan kawan-kawan sepermainan, sering sekali dikumpulkan oleh Bapuq Maing, mendengar kisah-kisah beliau. Itu sekitar tahun 1995, saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Bagi kami saat itu, mendengar cerita Bapuq Maing adalah pengalaman yang luar biasa. Bapuq Maing tidak memberi kami kisah-kisah kepahlawanannya, misalnya berperang melawan penjajah. Melainkan, kisahnya sebagai pribumi yang tidak memiliki kekuatan saat itu, yang terpaksa patuh kepada penjajah, meski hatinya sangat ingin untuk membela diri dan masyarakatnya. Kisah-kisah itu, oleh Bapuq Maing, dikemas dengan humor yang sangat menghibur. Misalnya, tentang bagaimana ia mengelabui para penjajah dengan menggunakan Bahasa Sasak Lombok Utara. Sesekali ia memanggil para penjajah dengan kata-kata kotor. Semacam bentuk sakit hatinya. Begitu Si Penjajah bertanya artinya, segera ia artikan dengan kalimat yang baik. Selain bercerita tentang Belanda dan Jepang, sesekali kami berbaris seperti tentara yang siap untuk melawan. Dia mengeluarkan peringatan, seperti yang saya ingat, dalam bahasa Jepang. Dia mengajarkan kami cara berbaris gaya Nippon. Selain itu, ia mengajarkan kami beberapa kosakata Jepang yang ia tahu, seperti nomor-nomr dan benda-benda di sekitaran kami. Pada saat itu, seperti yang kami tahu, dia seperti guru bahasa dan sejarah yang sangat baik dan dikenal oleh anak-anak.

Dari cerita Bapak saya tentang Bapuq Maing, kami tahu, bahwa dahulu Bangsal juga pernah dijadikan Pos Hubung dan Pos Logistik untuk tentara Jepang yang ada di Trawangan. Trawangan sempat dijadikan benteng oleh Tentara Jepang. Jika saat ini kita berkunjung ke Trawangan, di bukit sebelah barat, akan kita jumpai sebuah gua yang dahulu menjadi markas Tentara Jepang. Masih ada tempat meletakkan meriam di bibir gua. Saya sempat ke sana, menyaksikan sisa-sisa sejarah. Meriamnya sendiri disimpan di Museum NTB, di Mataram.

Kembali lagi ke Bangsal. Penjelasan dari Bapak sama dengan penjelasan yang disampaikan oleh Nengah Karuna. Beliau juga menjelaskan, alasan mengapa masyarakat Pemenang menyebut kawasan pelabuhan itu dengan Bangsal, adalah karena memang masyarakat dahulu banyak berkumpul di sana. Bangsal tidak hanya menjadi lokasi berkumpulnya para penjual dan pembeli barang dagangan, tetapi juga memang beragam aktivitas budaya digelar masyarakat di sana. Misalnya saja, berbagai aktivitas keagamaan Umat Hindu yang ada di Pemenang, sering diadakan di Bangsal.

Apa yang tampak saat ini di Pelabuhan Bangsal, adalah cermin Bangsal di masa lalu meskipun, seiring berjalan waktu, banyak juga yang hilang di Bangsal. Apa-apa saja yang hilang dari Bangsal?

About the author

Avatar

Muhammad Sibawaihi

Dilahirkan di Desa Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 20 Mei 1988. Lulusan IKIP Mataram jurusan Bahasa Inggris. Ia adalah Direktur Program di Yayasan Pasirputih. Sehari-harinya ia juga aktif sebagai penulis dan kurator.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.