Lenteng Agung, Jakarta Selatan

Saya Laki-laki Berkomentar tentang Komentar Laki-laki tentang Kartini

Avatar
Written by Manshur Zikri
Arsip akumassa: "Perempuan-perempuan dari Lenteng Agung" (Foto: Agung Natanel dan Eko Yulianto).

Arsip akumassa: “Perempuan-perempuan dari Lenteng Agung” (Foto: Agung Natanel dan Eko Yulianto).

“Ya, Kartini mungkin panutan bagi wanita sekarang karena menjunjung hak kesetaraan, lebih kepada tatanan sosial, artinya pekerjaan dan pemikiran, cara kebebasan berpikir, tidak dikekang oleh aturan yang membatasi gender antara laki-laki dan perempuan.”

Begitulah ujaran Roberto Satyady, salah seorang anggota Komunitas Sarueh, Padangpanjang, yang kebetulan minggu-minggu ini berada di Lenteng Agung untuk menyelesaikan tugas magangnya di Forum Lenteng. Menopang kepala dengan tangan kanannya, tanpa melirik kamera, Robert, panggilannya, mengutarakan pendapatnya kepada saya tentang Hari Kartini.

“Kartini mungkin contoh, salah satu contoh yang terungkap. Banyak kisah-kisahnya diceritakan ulang, dan itu menjadi insiprasi, mungkin, bagi wanita-wanita zaman sekarang. Dapat memotivasi mereka untuk mencapai tujuan tertentu. Ya, Kartini merupakan seorang wanita yang dirinya butuh untuk mendapatkan pelayanan yang layak, atau lebih kepada… ‘Kita ini setara, lho dengan para pria!’”

Forum Lenteng, khususnya akumassa, sebagai media informasi alternatif yang melandaskan basis pemikirannya pada narasi-narasi kecil, peristiwa massa (warga) dan perspektif lokal, juga menaruh perhatian yang besar kepada memori-memori kolektif masyarakat mengenai Kartini, selain kepada opini-opini yang sifatnya personal ataupun publik. Yang menjadi pertanyaan penting untuk coba didedah lagi ialah apa yang seharusnya dilihat dan dipahami, berdasarkan sudut pandang sekarang, ketika kita berbicara wacana Kartini?

Sebelum kita masuk ke perdebatan itu, bagaimana kalau kita melihat beberapa tahun ke belakang?

Arsip-arsip tentang wacana Kartini

Redaksi akumassa.org sendiri, sejak tahun 2010, beberapa kali sempat menerbitkan artikel tajuk atau feature yang menyoal wacana Kartini, baik dalam bentuk narasi berdasarkan pengalaman maupun dalam bentuk kampanye bersifat artistik dan estetik yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran warga akan pentingnya wacana Kartini.

Saya, saat mencari-cari bingkaian yang menarik tentang Kartini, mencoba membongkar kembali beberapa arsip redaksi akumassa. Dalam jurnal online ini, wacana Kartini pertama kali diterbitkan pada tanggal 18 April, 2010, melalui tulisan Riezki Andhika Pradana, berjudul “Seandainya Kartini”. Satu paragraf menarik, saya kutip dari tulisan Kiki Pea, sapaannya, yakni:

Sehari setelah memperingati Hari Kartini, setiap 22 April penduduk dunia merayakan Hari Bumi. Sebuah peringatan terhadap kondisi bumi yang kian hari kian memprihatinkan. Semasa hidupnya, mungkin Kartini tak pernah ikut merayakan Hari Bumi. Namun, seandainya ia hidup di jaman ini, tentu saja karya tulisnya yang terkenal itu tidak hanya tentang minimnya kesempatan memperoleh pendidikan bagi kaum perempuan saja. Kartini pasti akan menulis tentang limbah pabrik, penebangan liar dan sebagainya. Mungkin ia juga menjadi tokoh wanita terdepan yang menyuarakan kesetaraan hak hidup dan kelestarian lingkungan.”

Pada paragraf itu, saya menangkap semacam imajinasi yang didasarkan pada keyakinan si penulis tentang cita-cita Kartini akan kesetaraan bagi segala sesuatu yang ‘tertindas’, cakupannya luas tak hanya terbatas pada perempuan saja. Pandangan Kiki Pea ini layak dicatat sebagai poin penting untuk memahami penjelasan saya selanjutnya.

Arsip akumassa: "Perempuan-perempuan dari Lenteng Agung" (Foto: Agung Natanel dan Eko Yulianto).

Arsip akumassa: “Perempuan-perempuan dari Lenteng Agung” (Foto: Agung Natanel dan Eko Yulianto).

Tiga hari kemudian, 21 April, 2010, wacana Kartini diangkat lagi oleh Otty Widasari, Agung Natanel dan Eko Yulianto. Dalam rangka memperingati Hari Kartini, ketiga orang ini mengemas sebuah foto esai yang diselingi puisi. Judul terbitan mereka adalah “Perempuan-Perempuan dari Lenteng Agung”. Foto-foto yang dihasilkan menunjukkan figur-figur perempuan yang tinggal di Lenteng Agung sedang bersiap-siap untuk melakukan sesi pemotretan di sekitaran kontrakan Forum Lenteng. Kesemua perempuan mengenakan kostum layaknya tampilan Kartini yang selama ini kita kenal: berkebaya dan bersanggul. Namun, yang menarik untuk dicermati, foto-foto itu tidak serta merta merepresentasikan ‘perempuan terkungkung’ atau ‘perlawanan perempuan terkungkung dengan sikap diam’. Kegembiraan dalam menampilkan gesture perempuan masa kini terasa kuat dalam karya foto esai itu. Khususnya, pada foto-foto yang memperlihatkan perempuan-perempuan Lenteng Agung itu berjalan menuju ruang publik: jalan raya, halte bus, dan pekarangan kontrakan. Ide untuk mendekonstruksi simbol-simbol kekhasan citra Kartini (sanggul dan kebaya), ditegaskan oleh puisi-puisi yang digubah oleh Otty Widasari.

Ada enam puisi di dalam foto esai tersebut. Saya kutip bait dari dua puisi di antaranya, yakni:

Kalau aku bisa menyutradarai kisah hidup manusia dalam memerankan kemanusiaannya, aku tidak akan mengarahkan manusia,
tetapi keinginannya

: untuk menjadi gajah, yang berjalan sendiri ke lubang-lubang kematiannya,  meninggalkan segelimpang gading.

(mungkin tidak ada ‘belis’ yang membuat perempuan Flores sengsara) (“Dini Hari”, Otty Widasari, 2004).

Teman satu ini,

Butir-butir jagung masyarakat Sumbawa yang dia bawakan untukku, sontak menyadarkan aku akan sesuatu, kerentanan sebuah kemapanan.

Kemapanan yang dibangun manusia sama rumitnya dengan membelah tubuh manusia yang berdarah, berdaging, berurat, bersyaraf, berjantung, berhati, berparu, berlimpa, berpenis, bervagina, berotak dan berproduksi nyata dan maya (“Puisi Kepada Yang Budiman”, Otty Widasari, 2004).

Saya tertarik pada tiga kata kunci dari dua puisi tersebut: “kemanusiaan”, “keinginan”, dan “kerentanan sebuah kemapanan”. Hadir menjadi semacam sumbu utama yang membenang-merahi kumpulan foto esai tersebut sebagai sebuah montase, terbitan akumassa.org yang kedua itu memunculkan sebuah nuansa optimis untuk melepas belenggu obyektifikasi atribut budaya dan komodifikasi citra Kartini. Kebaya dan sanggul tak lagi menjadi medium beromantis-romantis, tetapi sebagai wadah otokritik akan pemahaman kita tentang bagaimana media telah mengkontaminasi pola pikir masyarakat dalam memaknai Kartini, yang sadar tidak sadar, menjebak kita dalam kemapanan yang kontra-emansipatif dan jauh dari hakikat kemanusiaan.

Setahun kemudian, Otty Widasari dan Mira Febri Mellya mewacanakan kembali Kartini, juga dengan foto esai dan iringan puisi, dan bait yang saya kutip, yakni:

Menarilah, Kartini!

Mungkin mereka akan menoleh ke arahmu

dan sejenak dunia bisa berbenah tanpa komando sang penguasa,

walau kami tahu sistem mesin peradaban tetap bergerak simultan. (“Hai Kartini”, Otty Widasari, 2011).

Foto-foto yang ditampilkan oleh Mira adalah bocah-bocah perempuan di sekitaran kontrakan Forum Lenteng yang sedang bermain-main. Representasi dari tunas yang memiliki masa depan dan perjalanan yang terjal untuk menggenggam dunia, bait puisi dari Otty Widasari sekali lagi menegaskan bahwa Kartini adalah wacana ‘perlawanan’ dan ‘penyeimbang’ terhadap otoritas, perlawanan yang terus beregenerasi dan mengalami pembaharuan dan perluasan harapan-harapan. Dengan kata lain, menurut tafsiran saya terhadap artikel yang ketiga itu, wacana Kartini yang hendak diangkat ialah langkah alternatif dalam menggerakkan sebuah sistem, yang tak lagi berpijak pada perintah semata, tetapi lebih kepada kesadaran: kesadaran kaum yang rentan (perempuan, anak, dan kelompok-kelompok lain yang mengalami diskriminasi hanya karena alasan kestabilan gerak sebuah sistem [patriarkis]).

Selanjutnya, masih pada 21 April, 2011, redaksi akumassa.org menerbitkan ucapan Selamat Hari Kartini dengan sebuah foto: perempuan-perempuan berkebaya yang berdiri di belakang pagar, menghadap ke kamera. Dan pada 21 April, 2012, ucapan Selamat Hari Kartini dari Mira Febri Mellya, mencantumkan satu pernyataan:

Perempuan tidak membenci laki-laki, begitupun sebaliknya. Hanya saja di dunia ini mereka terlanjur ditaruh dalam posisi tanding. Seolah-olah harus membela kaum masing-masing. Akhirnya perempuan mendambakan kesetaraan, dan laki-laki semakin berusaha lari kencang.

Arsip akumassa: Selamat Hari Kartini (Ilustrasi: Mira Febri Mellya).

Arsip akumassa: Selamat Hari Kartini (Ilustrasi: Mira Febri Mellya).

Pada dua artikel yang terakhir itu, kita kembali diingatkan oleh akumassa bahwa di tengah-tengah polemik konflik sosial-budaya yang demikian luas itu, kita tetap harus sadar bahwa persoalan perempuan, hingga kapan pun, akan terus mengalami pergulatan zaman, baik di wilayah abstraksi maupun kehidupan sehari-hari yang konkret. Isu perempuan menjadi khusus, dan wacana Kartini tetap dilihat sebagai momentum untuk menyuarakan itu.

Itu hasil tinjauan saya terhadap beberapa arisp akumassa.org mengenai wacana Kartini. Lalu, apa sekarang yang perlu lihat lebih jauh, sebagai langkah lanjut dari akumassa sendiri untuk menyoalkan Kartini? Sudut pandang laki-laki zaman sekarang, sepertinya, menarik untuk disimak.

Komentar Lelaki tentang Wacana Kartini

Saya melakukan riset kecil-kecilan dengan mewawancarai anggota Forum Lenteng, yang laki-laki, untuk memetakan perspektif mereka dalam menilai esensi wacana Kartini: apa yang dirasa keliru, dan apa yang dirasa menjadi ‘seharusnya’. Maksud saya mewawancarai laki-laki adalah untuk melihat kemungkinan yang lain, yang bisa saja luput dari kesadaran kita ketika berbicara wacana Kartini.

Maka, saya memulai perdebatan ini dengan pertanyaan, “Bagaimana pendapat, pandangan, atau bacaan kamu tentang wacana Kartini dalam sudut pandang waktu sekarang?”

Roberto Satyady, akumassa Padangpanjang.

Roberto Satyady, akumassa Padangpanjang.

Roberto Satyady memberikan komentar (lanjutan dari pendapatnya yang saya kutip di awal tulisan), sebagai berikut:

“Mungkin, kalau Hari Kartini, diadakan karena hanya untuk mengenang supaya orang tidak melupakan sosok seorang Kartini. Bisa jadi, karena budaya yang terus berkembang, orang bisa melupakan Kartini karena banyak sosok-sosok yang lahir, yang juga menginspirasi, selain Kartini. Ya, perlunya diadakan Hari Kartini karena, ya, itu … orang bisa lupa siapa itu Kartini. Itu aja.”

Bagasworo Aryaningtyas, Divisi Penelitian dan Pengembangan Forum Lenteng.

Bagasworo Aryaningtyas, Divisi Penelitian dan Pengembangan Forum Lenteng.

Dengan derajat keraguan yang sama, Bagasworo Aryaningtyas juga memberikan komentarnya ketika kami berbincang di Perpustakaan Forum Lenteng:

“Sekarang? Kartini? Waduh… buyar! Ya, … bukan buyar, sih… maksudnya, ya kalau menurut gue, sih udah setara. Udah nggak ada istilah … pria selalu lebih pintar atau apa, tapi perempuan, tuh bisa lebih survive, lebih pintar, kayak gitu. Dan gue, sih setuju, gue dukung. Memang harus posisinya setara. Jadi, nggak ada istilah-istilah lelaki memimpin, lah! Bisa gantian, rolling… Ya, menyikapi Hari Kartini, maksud gue, sih ya … apa, ya … sama aja kayak hari-hari biasanya, gitu lho! Karena, semuanya sudah otomatis berjalan secara simultan, udah. Jadi, maksudnya … ‘Wah, Hari Kartini gini, gini …’. Apa, sih?! Paling, baliknya, kita ngeliat si tokoh ini. Itu aje.”

Dari dua komentar tersebut, saya menangkap ada semacam kekecewaan terhadap kecenderungan masa kini yang hanya menjadikan Hari Kartini sebagai seremonial belaka. Robert dan Bagas justru menangkap adanya pendangkalan visi dari perayaan-perayaan yang dilakukan di masa mereka hidup sebagai bagian dari warga masyarakat sekarang. Membandingkannya dengan pengalaman yang saya punya, kurang lebih sama. Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD) hingga bangku kuliah pun, pengalaman saya memberikan kesimpulan bahwa Kartini dan Hari Kartini hanya menjadi semacam simbol, ikon dan momentum untuk nostalgia. Kalau pun ada pawai atau pagelaran seni yang berbicara tentang Kartini, hanya berhenti pada narasi tentang kisah hidup dan perjuangan Kartini yang tercantum dalam buku-buku sejarah.

Apalagi, kalau kita mencoba menyempitkan wacana Kartini hanya sekedar untuk isu perempuan saja. Seringkali kita salah kaprah. Kita bisa menyimak, untuk elaborasi lebih jauh, pendapat Gelar Soemantri.

Gelar Soemantri, Pemimpin Redaksi halamanpapua.org

Gelar Soemantri, Pemimpin Redaksi halamanpapua.org

Laki-laki satu ini melihat bahwa ada yang miss dalam penangkapan masyarakat kita sekarang ini tentang Kartini. Sembari menghisap rokok, dia berkata:

“…gue pernah lihat satu iklan, iklan rokok, kalau gak salah, yang dia nge-frame di tangannya itu, ‘rumah idaman’, terus ‘isteri idaman’, tahu gak lu, yang kurus? Tiba-tiba, di scene terakhir, tuh [ada] perempuan duduk, gendut, begini, langsung begitu cowoknya (ekspresi kaget-red). Itu juga, kan maksud gue dalam tanda petik, pelecehan. Tapi, itu gak kesentuh… Yang kesentuhnya kalau perempuan KDRT, itu doang?! Maksud gue, hal-hal yang seperti di iklan itu, harusnya jadi wacana besar buat perempuan, gitu lho! Gimana posisi perempuan dalam tontonan, misalnya. Ya, bisa aja, itu, kan sangat kasar, ya, menurut gue. Ada orang gendut, tiba-tiba langsung ‘Wih…!’, gitu kan?! Itu, kan nggak enak banget, tapi ya perempuan-perempuan sekarang melihat itu malah jadi joke. Makanya, menurut gue, ya udah, Kartininya abu-abu lah, gitu. ‘Lu, Kartini di mana?!’ … Begitu.”

Menanggapi komentar Gelar itu, sebetulnya dalam pengalaman saya belajar di Jurusan Kriminologi, studi-studi tentang isu perempuan di Indonesia sudah menaruh perhatian yang cukup besar pada persoalan posisi perempuan sebagai ‘tontonan’, terutama di wilayah industri media massa arus utama. Ada yang dinamakan sebagai ‘media misogyny’, semacam konsep yang mempersoalkan tingkah laku media yang acapkali ‘membenci’ perempuan dalam berbagai bentuk: melebih-lebihkan sisi buruk perempuan yang menjadi pelaku kejahatan, membesar-besarkan citra buruk dan ketidakidealan perempuan, dan sebagainya. Ide tentang kekerasan simbolik juga menjadi topik yang seringkali dibahas. Namun, wacana ini tidak memasyarakat secara luas. Seringkali ia hanya menjadi bahasan di lingkungan akademik melalui serentetan data-fakta yang sulit untuk dipahami publik. Dan apa yang dimaksud Gelar, sesungguhnya, kekurangjelian aktivis masa kini, di Indonesia, dalam mengkampanyekan bahaya aspek-aspek minor—tetapi berdampak laten—yang mendiskreditkan perempuan. Dan keterkaitannya dengan wacana Kartini, yang selama ini dilakukan justru masih terjebak pada komodifikasi citra. Langkah untuk mencoba mendekonstruksi atribut-atribut ‘perempuan cantik’ itu masih sangat jarang dilakukan oleh media-media. Ini menjadi menarik, karena kita dapat mengkomparasikannya dengan hasil pembacaan saya terhadap arsip akumassa.org di sub-judul sebelumnya.

Syaiful Anwar, Divisi Produksi Forum Lenteng.

Syaiful Anwar, Divisi Produksi Forum Lenteng.

Dan masih pada wacana Kartini yang berhubungan dengan isu perempuan, nada skeptis juga muncul dari Syaiful Anwar, yang mempertanyakan dampak pasti pewacanaan Kartini sebagai momentum emansipasi secara lebih global:

“Sebenarnya, sih kayaknya menurut gue udah nggak ada. Nggak ada itu maksudnya, semangat Kartini, gitu… untuk memperjuangkan… Kalau di era sekarang, banyak perempuan yang udah emang bisa maju, lah! Bisa mandiri, gitu lho! Tapi, misalnya, secara untuk memperjuangkan hak asasi, menurut gue kayaknya … ada nggak sih, ya?! Kita, yang terakhir, misalnya ada presiden yang perempuan, tapi efek atau dampaknya ada nggak? Jadi, kalau ngeliat konteksnya di Kartini itu, di zaman dulu itu, ya mungkin… nggak tahu, deh! Tapi kalau untuk pribadi, sendiri-sendiri, golongan, mungkin banyak. Itu aja!”

Mahardika Yudha, Divisi Penelitian dan Pengembangan Forum Lenteng.

Mahardika Yudha, Divisi Penelitian dan Pengembangan Forum Lenteng.

Sementara itu, Mahardika Yudha, berkaitan dengan dampak pasti yang dipertanyakan oleh Syaiful Anwar, mencoba memaparkan pandangannya berdasarkan pengalaman menaiki transportasi kereta:

“Contoh kasus yang kereta, (KRL commuter line-red), ujung depan ama belakang, dikasih gerbong khusus wanita. Itu oke! Tapi kemudian, itu justru malah, dalam tanda kutip, bahayain elo, kalau menurut gue. Karena, kalau naik ekonomi atau bisnis ke luar kota, kayak ke Jawa, itu, kan kereta yang paling murah yang depan, tuh?! Karena yang paling riskan untuk kecelakaan. Jadi, akibatnya jadi salah. Maksud gue, ketika apa yang mereka perjuangkan—itu bagus menurut gue, untuk mereka minta perlindungan sendiri—jadi ekslusif, terus malah jadi salah…

Yuki Aditya, Arkipel Forum Lenteng.

Yuki Aditya, Arkipel Forum Lenteng.

Maksud dari pendapat Mahardika Yudha ini, juga senada dengan penuturan Yuki Aditya, yang saat saya tanyai pendapatnya, sedang sibuk mengurus agenda kerja Forum Lenteng bersama Mahardika Yudha. Menurut Yuki:

“Sebenarnya, agak mengherankan kalau di busway itu ada bagian khusus untuk cewek. Maksudnya, kalau misalnya … ng … ada tulisannya, gak sih?! Jadi, maksudnya kalau mereka biar di sana, biar gak dipegang-pegang ama cowok, itu, kan kesannya ada menampilkan kayak gitu. Berarti, kalau misalnya ada cewek yang di bagian cowok, berarti mereka siap dipegang-pegang, dong?! Itu gimana bilangnya, ya?! Itu jadi agak, agak aneh kalau digituin, disekatin begitu.”

Soal fasilitas khusus perempuan di transportasi umum, pernah menjadi diskusi menarik di meja redaksi akumassa.org. Pertanyaan yang dilontarkan adalah apakah dengan pemberlakukan kebijakan ruang khusus untuk perempuan di transportasi umum, akan ‘menyelamatkan’ perempuan dari kezaliman sistem masyarakat yang patriarkis, atau justru menguatkan kezaliman itu sendiri? Berangkat lagi dari pengalaman saya belajar di Kriminologi tentang perempuan, salah seorang dosen saya pernah berkata bahwa pelecehan di transportasi umum—ini adalah salah satu alasan paling kuat dari pemberlakukan gerbong khusus perempuan pada KRL—tidak hanya terjadi oleh laki-laki terhadap perempuan. Sesama jenis pun, potensinya cukup tinggi. Apakah ada yang menjamin bahwa seorang penumpang perempuan akan selamat dari pelecehan yang dilakukan oleh sesama jenis? Diskusi ini menunjukkan pada kita bahwa ‘perjuangan perempuan’ selayaknya dilakukan di ranah struktural dan sistemik, bukan terbatas apa yang diinginkan dan yang tidak diinginkan. Intinya, kemaslahatan individu sebagai manusia. Sebagaimana pendapat lebih lanjut dari Mahardika Yudha:

“Isu perempuan sebenarnya, kalau dia nggak mikirin dirinya sendiri, atau kalau dia [lebih] mikirin kemanusiaan secara umum, dampaknya pasti akan kena ke dia, gitu aja. Jadi, menurut gue, sih, jangan terlalu … apa, ya …? Eksklusif kali, ya? Mungkin itu. Jadi kejebak ‘feminis yang sempit’ itu, buat gue. Apalagi sekarang, kalau teknologinya udah canggih, terus semua orang bisa menyuarakan apa pun yang ada di pikirannya lewat media, ya, gue pikir, sekarang, sih seharusnya udah mulai meloncat, sudah melakukan yang dikatakan, yang diimajinasikan oleh Kartini.

Ketika Mahardika Yudha menyingung ‘imajinasi Kartini’, kita sampai pada keyakinan apa yang seharusnya dipahami secara mendasar tentang wacana Kartini. Dia lanjut menjelaskan, dengan sedikit geregetan berharap supaya saya bisa paham dengan maksudnya, bahwa:

“[Hari] Kartini itu udah,  ya, di satu sisi mungkin kayaknya udah nggak perlu lagi dibahas lebih jauh, kalau menurut gue. Karena, gue pikir sekarang udah sama, ya?! Sebenarnya yang menjadi problem, kalau buat gue, kalau gue baca surat-surat Kartini, gitu, misalkan, dia punya imajinasi yang futuristik yang gue pikir belum ada sekarang. Gue waktu itu selalu diskusi sama Ugeng, waktu riset yang perempuan, (Penelitian tentang Sutradara Perempuan-red). Kita benar-benar terpukau ketika Kartini mengimajinasikan pesawat terbang. Buat gue, seorang perempuan, waktu itu, nggak tahu mungkin dia udah nonton, udah baca, tapi, gue pikir, dia menuliskan itu di buku harian, buat gue itu keren banget!  Dan sekarang, mungkin, ada, ada beberapa orang yang sudah melakukan itu. Tapi, kalau misalkan perempuan cuma perjuangin soal perempuan doang, ya buat apa, gitu?! Dan dampaknya jadi ekslusif. Tapi, kalau Kartini?! Gila, dia membayangkan bukan cuma perempuan, bayangan imajinasi dia untuk masa depan! Mau laki-laki, kek, mau perempuan, ya pokoknya kemanusiaan, dah, itu intinya.”

Hafiz, Ketua Forum Lenteng.

Hafiz, Ketua Forum Lenteng.

Hafiz, di sela-sela kesibukannya menyelesaikan suntingan karya filem tentang Hak Asasi Manusia, juga turut memberikan pendapat yang kurang lebih sama, yakni:

“Intinya, kalau kita lihat sekarang, sebenarnya, mampu nggak perempuan zaman sekarang membayangkan cita-citanya melampaui zaman sekarang?! Pokoknya, intinya, membayangkan perempuan itu sekarang dan ke depan itu, apa? Ya, seperti Kartini, yang melampaui aturan-aturan sosial yang berlaku di zamannya. Sekarang, kan lebih banyak orang yang meng-eksotisasi apa itu Kartini. Itu yang gue pribadi gak suka. Konsep Hari Kartini itu dibayangkan harus pake kebaya, sanggul, dan sebagainya. Sebenarnya, kan bukan itu, intinya. Kalau kita baca surat-suratnya Kartini itu, kan sebenarnya ngomongin tentang apa itu pendidikan, apa itu keterbukaan, posisi tawar perempuan di ranah publik. Dan itu yang menurut gue, di zaman sekarang, sih tetap aja posisi tawar itu masih kalah. Paradigma tentang bahwa posisi perempuan itu, ya harus dilihat manusianya, bahwa posisi manusia itu sama, sebenarnya. Ya, memang ada hal yang sifatnya biologis itu berbeda, tapi itu bukan hal yang hakiki. Yang paling penting itu adalah posisinya dalam ranah sosial itu. Sama, seharusnya. Itu yang sebenarnya harus jadi basis pemikiran utama yang harus dipake untuk konteks sekarang.”

Akbar Yumni, Redaktur jurnalfootage.net Forum Lenteng.

Akbar Yumni, Redaktur jurnalfootage.net Forum Lenteng.

‘Sesuatu yang meloncat’ atau ‘yang melampaui zaman’, yang dimaksudkan oleh Mahardika Yudha dan Hafiz tersebut, dapat kita indikasi dari pendapat Akbar Yumni. Dia memberikan komentar sembari mengerjakan tugas kuliahnya. Kata Akbar:

“Kalau gue, sih, gambaran terbaik Kartini itu, filemnya Sjumandjaja yang judulnya Kartini. Di situ, adegannya sangat adiluhung. Ketika Kartini ngajak ibunya makan bersama dengan bapaknya. Kartini itu, kan anak selir, sebenarnya. Itu yang belum dibaca, gitu lho, bahwa Kartini itu sebenarnya perjuangan kelas. Karena, dia anak selir, berani. Itu, secara simbolis, dalam tradisi Jawa, kan gak ada sejarahnya, itu, anak selir, selir, makan bareng dengan Bupatinya, dengan rajanya, suaminya itu. Nah, di filem itu digambarkan secara jelas dan jadi poin besar yang menurut gue sangat berkesan, gambaran dari Sjumandjaja dalam filemnya itu. Mungkin kita ter-bias oleh gagasan-gagasan Kartini yang hanya melulu, dari surat-suratnya dia sama Abendanon, yang disunting oleh Abendanon, yang terkesan sifatnya sektoral dan enggak perjuangan kelas. Nah, di filemnya Sjuman ini, gue pikir, menarik untuk membawa Kartini ke arah yang lebih besar, yaitu perjuangan kelas itu. Gue pikir, itu aja.”

 Afrian Purnama, Arkipel Forum Lenteng.

Afrian Purnama, Arkipel Forum Lenteng.

Dan untuk mengkaji ‘imajinasi Kartini’ yang futuristik itulah kita seharusnya melakukan apa yang disampaikan oleh Afrian Purnama, dalam pendapatnya:

“Harusnya, ya perayaannya (Hari Kartini-red) nggak cuma sekedar tahu tokoh atau tahu bahwa Kartini adalah tokoh yang membawa emansipasi, tapi seharusnya bisa lebih kayak … apa… ada studi lebih jauh tentang pemikiran atau tentang karyanya dia, tulisan-tulisannya dia.”

Dan Sjumandjaja, adalah tokoh intelektual laki-laki yang dapat kita jadikan contoh, yang melakukan dekonstruksi pemikiran-pemikiran Kartini. Menurut saya, tak mungkin Sjumandjaja mampu melakukan penafsiran sejauh itu tanpa mendalami dan menghayati esensi dari karya-karya tulis Kartini.

Cuplikan filem "Kartini" (1983), karya Sjumandjaja.

Cuplikan filem “Kartini” (1983), karya Sjumandjaja.

Cuplikan filem "Kartini" (1983), karya Sjumandjaja.

Cuplikan filem “Kartini” (1983), karya Sjumandjaja.

Cuplikan filem "Kartini" (1983), karya Sjumandjaja.

Cuplikan filem “Kartini” (1983), karya Sjumandjaja.

***

Oke! Saya rasa, sampai di sini, kita semua cukup terang untuk melihat bahwa Kartini bukan hanya milik perempuan. Kartini adalah milik semua manusia yang berjuang. Wacananya menjadi kekuatan semangat bagi kita untuk mempertanyakan ulang kemapanan-kemapanan.

Namun, kemapanan apa yang perlu dipertanyakan ulang? Apa yang seharusnya kita lakukan dalam menyikapi wacana Kartini secara lebih kritis-skeptis?

Pendapat dari Ugeng T. Moetidjo, yang dalam beberapa kesempatan mengutarakan kepada saya tentang kekagumannya terhadap Kartini, melalui pernyataan: “Bayangkan, pada abad yang sekian, Kartini sudah punya pikiran secanggih itu, gagasan-gagasan modern tentang Indonesia. Jadi, dia bisa disetarakan dengan Chairil dan penyair Perancis yang berkarya di bawah 24 tahun, Arthur Rimbaud.”

Ugeng T. Moetidjo, Peneliti Senior Forum Lenteng.

Ugeng T. Moetidjo, Peneliti Senior Forum Lenteng.

Dengan gaya bicara yang selalu membuat penasaran, sembari melukis dan dengan bahasa tubuh yang acuh tak acuh dengan pertanyaan saya, Ugeng melemparkan semacam kode untuk menelisik kekeliruan kita selama ini dalam menafsir wacana Kartini, yakni:

“…secara ideologis, sebenarnya Kartini itu bukan ‘perempuan’. Artinya, kalau ngomongin gender atau apa, sebetulnya, di Kartini… cukup salah. Karena, pertanyannya, misalnya, apa gagasan-gagasanya itu tergenderisasi atau nggak, sih?! Nah, justru karena pikiran-pikiran Kartini atau gagasan-gagasan Kartini itu mengalami genderisasi, atau sebetulnya, dikerdilkan, gitu lho, dikerdilkan menjadi konsep ‘ibu sempurna’, versi pemerintah laki-laki, versi pemerintah patriarkis. Udeh …!”

‘Ibu sempurna’ versi pemerintah laki-laki, versi pemerintah patriarkis. Dengan kata lain, ‘perempuan sempurna’ versi penguasa patriarkis (karena, menurut Ugeng juga, yang menetapkan ‘Hari Kartini’ itu adalah pemerintah yang patriarkis). Kepercayaan bahwa Kartini sebagai sebuah gambaran perempuan ideal, jika merujuk pada pendapat Ugeng, sepertinya telah menjadi semacam ‘kemapanan’ sesat yang mengkebiri masyarakat kita pada perayaan-perayaan setiap tahun.

Arsip akumassa: "Perempuan-perempuan dari Lenteng Agung (Foto: Agung Natanel dan Eko Yulianto).

Arsip akumassa: “Perempuan-perempuan dari Lenteng Agung (Foto: Agung Natanel dan Eko Yulianto).

Nah, saya rasa ini yang perlu kita cermati. Apakah jangan-jangan dengan kita terlalu meromantisir perayaan Hari Kartini, kita justru sedang menguatkan ‘kezaliman patriarkis’ itu. Tanpa sadar, bukannya mendekonstruksi, kita malah memperkokoh konstruksi penguasa-penindas, dan menggali kuburan bagi jasad perjuangan, baik itu perjuangan kaum perempuan maupun perjuangan kelas-kelas yang tertindas lainya. Dan sekali lagi kita harus bertanya, kita berada di wacana Kartini yang mana?

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

5 Comments

  • suka sekali sama bagian puisi yang ‘perempuan tidak memusuhi laki-laki, begitu pula sebaliknya’ seperti membongkar pandangan beberapa individu yang mengaku sebagai atau mengagumi faham ‘feminis’ (atau mungkin harus disebut ‘misandry’ ketika faham feminis disalahgunakan sekedar untuk menyalahkan laki-laki), terkadang entah benar itu sebuah pengaruh struktur maupun dorongan dari dalam beberapa orang memang telah mengerdilkan Kartini hanya sebagai ‘perlawanan’ yang eksklusif pada satu gender saja atau ‘simbol ideal’ yang dipaksakan. Meskipun hari Kartini dirayakan pada hari kelahiran beliau, semoga selanjutnya pemaknaan akan Kartini tidak hanya seremonial saja, (layaknya perayaan hari kelahiran pada umumnya) melainkan juga pada perjuangan beliau semasa hidup. Khusus bagi saya sebagai mahasiswa kriminologi, ada harapan agar beliau lebih banyak disebut di kelas dan di lembar tugas (ironis, jurusan ‘satu2nya’ di Indonesia yg juga banyak membicarakan perempuan jarang sekali menyebut2 pejuang perempuan Indonesia!), mungkin bisa jadi alternatif dalam memahami hubungan perempuan dan fenomena sosial, terutama kejahatan. 😉

    salut untuk pembuat karya ini

  • Mantap bro, aku senang sekali membaca tulisanmu ini dan semoga tulisan ini bisa di baca para pejuang kesetaraan gender, biar mereka lebih paham. Salam

  • Setuju sama tanggapan “hari kartini itu bukan cuma pakai kebaya..berkonde..dsb” menurut gw hari kartini itu harusnya diperingati sbg hari gerakan perempuan. Perempuan bs bebas mengekspresikan apa saja yg mereka mau. Kalau hari Kartini diperingati dgn pakai kebaya..sanggul..kain dsb apa tidak sebaiknya diganti jadi hari kebaya atau hari baju tradisional? Apa sudah ada ya hari seperti itu?

    Zik, semoga dgn tulisan lo b menginspirasi banyak orang. Keep up ur good work!

Tinggalkan Balasan ke Putri Soesilo X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.