Kecamatan: Randublatung

Rindu Ketupat

Kue lebaran yang biasanya disajikan di Hari Raya Idul Fitri.

Aku merindukan suasana lebaran seperti masa lalu, masa ketika semua tetangga saling berkunjung ke rumah tetangga masing-masing. Bahkan, tradisi ‘lahir batin’ (tradisi bermaaf-maafan; kami menyebutnya ‘lahir batin’) sering dilakukan di pinggir jalan karena satu sama lain saling berpapasan ketika hendak berkunjung ke rumah-rumah tetangga. Kue-kue yang disajikan dalam rumah untuk menyambut tamu, tak jarang aku dan adik-adikkulah yang menghabiskannya, dan itu adalah hal yang paling aku suka dari lebaran. Terakhir kali aku merasakan suasana lebaran yang seperti itu pada tahun 2003.

Kue lebaran yang biasanya disajikan di Hari Raya Idul Fitri.

Kue lebaran yang biasanya disajikan di Hari Raya Idul Fitri.

Sejak tahun 2004, lebaran tidak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Antar tetangga sudah jarang berkunjung untuk bersilaturahmi atau bermaaf-maafan. Hanya tetangga yang paling dekatlah yang berkunjung satu sama lain. Dan ini juga membuatku senang, sebab kue-kue yang disajikan saat lebaran, akulah yang menghabiskan. Kue-kue yang tersedia di meja untuk menyambut tamu adalah kue-kue kering seperti nastar, kue S (berbentuk huruf S), wafer, astor, biskuit dan keripik.

Lebaran tidak selalu identik dengan ketupat, sekarang. Di kampungku, Lebaran Ketupat biasanya diadakan lima hari sesudah hari raya, atau pada tanggal 6 syawal tahun Hijriah. Setiap Lebaran Ketupat, banyak sekali ketupat yang tersaji di meja makan, bahkan sering tidak habis termakan karena basi. Banyaknya ketupat yang tersaji di meja makan saat lebaran ketupat disebabkan oleh kemurahan hati antar tetangga yang saling bertukar ketupat dengan masakan si empunya rumah, beserta sayur-sayur santannya yang pedas. Lebih dari sekedar kemurahan hati, hal itu tentu saja merupakan tradisi bersilahturami antar tetangga dan menjaga kerukunan.

Lontong, salah satu sajian yang sering ada pada hari lebaran, selain ketupat.

Lontong, salah satu sajian yang sering ada pada hari lebaran, selain ketupat.

Bodo kupat kapan sih?” (Lebaran ketupat kapan sih?), tanyaku kepada dua orang yang sedang duduk di depanku. Kedua orang itu adalah ibuku, dan seorang lagi adalah orang yang selalu diminta untuk menjaga rumah saat keluarga kami sedang bepergian keluar kota. Malam sekitar pukul tujuh, si penjaga rumah datang untuk bersilaturahmi karena masih dalam suasana lebaran hari pertama.

Mereka berdua segera menoleh kepadaku dengan mimik muka yang keheranan, seperti terkejut dengan alisnya yang sedikit terangkat ke atas, dan kepalanya yang agak mundur kebelakang saat menoleh kepadaku. Mungkin mereka terkejut karena pertanyaan yang kuajukan, sebab memecah obrolan mereka tentang kecelakaan yang menimpa tetanggaku, yang sampai meninggal dunia beberapa hari lalu.

Bodo kupat biasane, limang dino sak uwise riyoy,” (Lebaran ketupat, biasanya lima hari sesudah hari raya.) jelas ibu kepadaku, yang sedang duduk di meja berwarna merah, meja yang tidak terlalu tinggi, meja yang tingginya setara dengan kursi yang aku duduki bersama si penjaga rumah. Aku tidak tahu mengapa ibu memilih duduk di atas meja, padahal kursi panjang yang berwarna merah tua masih banyak yang kosong. Rasanya tidak sopan, namun begitulah biasanya, bukan cuma ibu yang duduk di atas meja kalau ada tamu, kadang aku, juga si tamu.

“Sekarang, yang mau membikin ketupat, ya tinggal bikin. Tidak harus menunggu lima hari setelah lebaran,” kata ibuku yang malam itu menggunakan kaos berwarna kuning polos sambil menghadap kepadaku.

Percakapan pun beralih ke percakapan lainnya, sebab aku tidak lagi tertarik dengan ketupat yang tadi aku tanyakan. “Masih empat hari lagi lebaran ketupat,” gumamku dalam hati.

Ketupat-ketupat itu biasanya kami beli di pasar. Ketupat yang dijual biasanya adalah daun ketupat sudah jadi namun belum diisi beras. Ada juga yang menjual janur atau daun kelapa sebagai bahan dasar kemasan ketupat untuk pembeli yang ingin membuat ketupat sendiri. Ada juga yang menjual ketupat jadi, sudah diisi beras yag sudah dimasak menjadi nasi, dan kita tinggal menyantapnya saja. Menurut Budhe-ku, ketupat jadi yang dibeli plus isinya dibuat dengan asal-asalan. Mereka, si penjual, biasanya tidak membersihkan pinggiran daun ketupat sehingga warna ketupat berubah menjadi agak kemerahan jika sudah matang.

Pekarangan di sekitar rumah yang jarang sekali ada pohon kelapa.

Pekarangan di sekitar rumah yang jarang sekali ada pohon kelapa.

Lebaran ketupat kali ini, Budhe dan ibu tidak membuat ketupat.

“Kalau kamu mau, cari janur! Nanti akan ibu buatkan ketupat,” kata ibu saat sedang memasak sarapan untuk kami di hari kedua setelah lebaran. Saat itu, aku sedang menjerang air panas untuk membuat teh.

“Idih, ogah! mau cari janur di mana, coba?” jawabku kepada ibu sambil lalu, sebab air yang kujerang sudah mendidih. Kabarnya, tahun ini daun kelapa untuk bahan dasar membuat ketupat sangat sulit di dapat dipasar. Aku juga baru tersadar, di kampungku ini jarang sekali kutemukan pohon kelapa. Seingatku, sudah sejak dulu seperti itu. Dan aku tidak tahu dari mana penduduk kampungku selama ini mendapatkan janur untuk bikin ketupat.

Setelah membuat teh, aku pun pergi ke warung Budhe untuk membeli rokok. Saat Budhe sedang mengambil uang kembalian, aku bertanya kepadanya, “Enggak bikin ketupat, Dhe?”

Sambil memberikan uang kembalian, Budhe menjawab, “Enggak. Susah cari janur kalau mau bikin ketupat.”

akumassa_rindu ketupat_04

H+5 atau lima hari setelah lebaran, tidak ada satupun ketupat yang tersedia di meja makan. Sekarang aku tiba-tiba jadi merindukan ketupat. Aku sempat berharap menemukannya di meja makan, di hari yang seharusnya menjadi hari Lebaran Ketupat ini. Aku berharap seperti tahun-tahun lalu, di mana kami juga mendapat kiriman ketupat dari tetangga. Ternyata tradisi saling bertukar masakan ketupat saat Lebaran Ketupat sudah tidak ada lagi di lingkungan sekitarku, tahun ini. Entah karena tradisi silaturahmi itu mulai luntur, atau karena memang janur benar-benar hilang di pasaran.

Namun, di daerah-daerah pedalaman atau dipelosok-pelosok hutan, menurut Budhe, kemungkinan masih ada. Seperti di daerah tempat tinggal temanku, Pethek. Lebaran ketupat baru diadakan hari ini tanggal 14 Agustus 2014, yang mana bertepatan dengan tanggal 7 Syawal. Aku mendapat undangan untuk berkunjung ke rumahnya untuk menikmati hidangan ketupat yang disediakan ibunya.

***

Pukul setengah satu siang, aku berangkat ke rumah Pethek bersama Koko, temanku dari Blora, setelah berkunjung ke rumah salah seorang teman untuk membahas persiapan “Upacara Rakyat” yang akan diadakan tanggal 17 Agustus 2014 nanti, di Pati, guna menyambut hari kemerdekaan Republik Indonesia yang keenam puluh delapan.

akumassa_rindu ketupat_05

Siang itu sangat panas. Maklum saja, sebab sudah memasuki musim kemarau. Panas menyengat kulitku yang sudah agak kecoklatan, tapi sedikit terobati berkat hembusan angin yang lumayan kencang. Walau jalan menuju rumah Pethek sangat buruk karena saking banyaknya lubang di jalan dan teriknya matahari, tidak mengurungkan niatku untuk menyantap ketupat yang aku rindukan.

Setelah aku sampai di rumah Pethek dan bersilaturahmi dengan bapak dan ibunya, sedikit berbasa-basi, sambil menikmati kue-kue lebaran yang dihidangkan yang tidak jauh berbeda dengan kue-kue lebaran yang ada di rumahku, kami dipersilahkan makan. Aku, Pethek dan Koko, diantar ke ruang makan. Aku merasa gembira sebab sebentar lagi akan menikmati ketupat dengan kuah santan yang pedas. Namun, saat aku melihat hidangan yang tersaji di ruang makan, tak satu pun aku menemukan ketupat di atas meja. Yang ada hanya lontong dan lepat. Aku merasa kecewa, memang, namun apalah arti kecewa karena tidak mendapatkan ketupat yang kunanti-nantikan dibandingkan dengan perutku yang sudah terasa begitu lapar. Dengan senang hati, aku menikmati dua buah lontong dan sayur santan yang berisi daging ayam dan bihun mi itu. Laparku pun terobati.

Lontong di rumah Pehtek.

Lontong di rumah Pehtek.

Lepat di rumah Pethek

Lepat di rumah Pethek

Seusai makan, aku pun protes kepada Pethek. “Eh, kok ketupatnya gak ada, sih? Sudah habis, ya?” tanyaku kepada Pethek, sambil kulihat mukanya biasa-biasa saja tanpa ekspresi apa pun.

Pethek bercerita kalau di rumahnya, ibunya biasa hanya membuat 15 buah ketupat yang nanti akan dijadikan ‘syarat’ (semacam sesajen) yang akan ditaruh di beberapa sudut rumah. Biasanya dulu ada juga yang diantar atau dikirim ke rumah-rumah tetangga. Tapi kali ini, keluarganya tidak membuat ketupat untuk dikirim ke tetangga-tetangga. Ketupat yang dibuat oleh ibunya nantinya akan dipakai untuk ‘syarat’, biasanya dipajang di dekat pintu masuk. Kebetulan tahun ini ibu Pethek mendapat janur. Ia membelinya di pasar. Tradisi memasang ketupat di pintu-pintu rumah itu gunanya untuk mengenang atau menghormati anak kecil yang meninggal, dan biasanya dipasang di setiap rumah yang masih meneruskan atau mewarisi tradisi seperti itu. Menurut ibu Pethek, lebaran ketupat biasa juga dikenal dengan Lebaran Kecil (lebaran untuk anak kecil).

Ketupat yang digantung di sudut tertentu di dalam rumah Pethek.

Ketupat yang digantung di sudut tertentu di dalam rumah Pethek.

Aku masih ingat, saat aku dan kawan-kawan dari Pati sedang berkumpul dan bercanda saling meledek, seorang teman melemparkan pertanyaan sambil tertawa, “Emang di Blora, khususnya di Randublatung, ada gitu pohon kelapa?”

Dulu, di belakang rumahku dan di beberapa tempat di rumah tetanggaku, saat aku masih kelas enam SD, masih terdapat pohon kelapa. Pohon-pohon itu mati karena terserang hama. Ibuku tidak tahu dari mana janur-janur yang dibelinya di pasar untuk ketupat itu berasal. menurut Budheku, janur-janur itu berasal dari Semarang dan daerah sekitarnya. Namun, menurut Pakdhe-ku, janur-janur itu berasal dari Kabupaten Rembang. Aku mengiyakan dalam hati, apa yang diucapkan Pakdhe-ku adalah benar. Sebab, Rembang lah kota pesisir yang terdekat dari daerah kami, dan setahuku, pohon kelapa lebih mudah tumbuh di pesisir pantai.

Tradisi ketupat sudah ada sejak jaman Sunan Kalijaga. Menurut ibuku, ketupat, atau kupat dalam Bahasa Jawa, berarti Ngaku Lepat (mengakui kesalahan) dan Laku Papat (empat tindakan). Empat tindakan itu adalah Lebaran, Luberan, Leburan dan Laburan. Lebaran mempunyai makna pengampunan yang lebar dan menandai akhirnya puasa Ramadhan. Sementara itu, Luberan dari kata ‘luber’, meluber atau melimpah, namun ibuku kurang bisa menjelaskan yang ini. Leburan bermakna melebur, sebab saat lebaran, kita harus saling memaafkan. Dan Laburan, berasal dari kata labur atau kapur yang berwarna putih, di mana biasanya labur atau kapur ini dipakai untuk mengecat dinding rumah. Pintu maaf yang lebar, dari kesalahan yang meluber, melebur jadi satu di hari Raya, dan membersihkan diri yang ditandai dengan mengecat dinding rumah dengan kapur putih. Mungkin kurang lebih begitu maknanya.

Rasa lapar mengalahkan rasa rindu ketupat. Tak ada rotan akar pun jadi; tak ada ketupat, lontong pun jadi.

Sayang sekali, lebaran ketupat di daerah sekitarku sudah agak luntur, dan pada lebaran tahun ini, sama sekali aku tidak merasakan ketupat lebaran. Ketupat memang identik dengan lebaran. Meskipun banyak penjual ketupat di hari-hari biasa, namun momen menyantap ketupat saat lebaran sungguhlah spesial. Akan tetapi, momen spesial itu tak ada untuk tahun ini.

About the author

Avatar

Anib Basatada Wicaksono

Dilahirkan di Blora pada 18 Mei 1989. Pria yang akrab disapa Anib ini aktif dalam komunitas lokal di Blora yaitu Anak Seribu Pulau (ASP). Ia pernah bekerja pada sebuah bengkel mobil dan pernah menjadi buruh bangunan bagian kusen aluminium. Kini pria yang menamatkan studi terakhirnya di SMP Negri 1 Randublatung ini menjadi salah satu penulis aktif di jurnal akumassa.org.

1 Comment

Tinggalkan Balasan ke Muhammad Sibawaihi X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.