Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Rakit Ciujung

Digital image

Beberapa lokasi di Rangkasbitung mulai menarik perhatian kami untuk beranjak membicarakan ide karya akumassa. Alun-alun, Pasar Rangkasbitung (tradisional dan subuh), Sungai Ciujung dan Ciberang, Jalan Multatuli, Kampung Muara, Komplek Pendidikan (pejagalan kerbau), sepanjang Jl. R.T Hardiwinangun menjadi fokus amatan sebagai lokasi-lokasi utama di Rangkasbitung. Sungai Ciujung dan Ciberang adalah lokasi pertama dalam pematangan ide. Ide ini cukup beralasan karena hampir seluruh partisipan bermukim di sekitar kali Ciujung dan kali Ciberang. Kali Ciujung merupakan sungai besar di kota Rangkasbitung yang berakhir di Banten.

Rakit (Getek) selain menjadi alat transportasi sungai, juga berfungsi sebagai sarana untuk mandi, cuci baju, piring, buang air besar atau kecil, membersihkan daging dan sayuran yang menjadi rutinitas sehari-hari biasanya di lokasi ini. Lokasi itu bernama Tampian. Aktivitas dimulai subuh, kurang lebih pukul 04.30 hingga waktu maghrib. Aktifitas ini biasa dilakukan para ibu rumah tangga yang seringkali bergosip, lelucon, dan masalah sosial yang aktual seperti pembagian gas, kelangkaan minyak tanah, dan sebagainya.

Di sisi lain kali ini, warga sekitar biasa memancing dan menggali pasir. Tetapi hal yang paling menarik perhatian kami adalah para penjual bambu yang datang dari sungai Ciberang, Cisimeut dan Ciujung. Kebanyakan dari mereka berasal dari daerah Cimarga, Karian, Bolang, Beulah Hayang, Baketruk, Lebak Maja, Sepang, Genten, Kaduluhur, dan Synday (kini). Pedagang bambu membawa bambu mereka ke penampungan yang berada di Sajira, setidaknya bambu yang dibawa dapat berjumlah 1.000 batang sekali angkut. Harga per batang bambu dibagi dua adalah Rp. 1.000,- untuk diameter 5-8 cm, sedangkan bambu berdiameter 8-12 cm harganya mencapai Rp. 2.000,- sampai Rp. 3.000,-.

Menurut seorang kawan di sini, sebelum berdagang bambu para pedagang ini sering membawa arang, kayu bakar, kelapa, dan pisang. Dahulu sungai ini terdapat menara pengintai Belanda untuk mengawasi musuh datang. Terdapat dua menara di sini, pertama terletak dekat kuburan di Muara, yang kedua berada di atas air. Tapi sayang menara kedua ini sudah tak tampak lagi. Hal-hal mistis juga menyelimuti sungai ini, tepatnya pada pertemuan arus antara Kali Ciujung dan Ciberang, menurut mitos yang beredar terdapat istana siluman di dalam sungai ini. Menurut cerita masyarakat setempat ada Istana Siluman Buaya Putih di bawah pertemuan arus kali antara Ciujung dan Ciberang yang tiap tahun meminta tumbal manusia. Menurut Jaenuddin, warga setempat, kejadian tersebut pernah dialami oleh H. Acang yang yang pernah ditarik kakinya oleh pertemuan arus tersebut (Istana Siluman) dan beruntung H. Acang sadar dan mengucapkan istighfar akhirnya ia bisa kembali ke daratan dekat kebun kelapa. Selain itu terdapat juga Setan Kali (keukeuk), buaya buntung dan buaya putih. Kenyataannya kini bahwa beberapa bulan lalu seorang anak SD hilang di kali.

diskusi lebak

Diskusi di Lebak.

Pagi harinya kami menuju lokasi penampungan bambu di sebelah barat Kota Rangkasbitung, tersimpan di pinggir rumah tengkulak, sebelum dibawa ke Serang, Jakarta dan Bogor. Kami mencoba berbincang dengan seorang pekerja “Pengikat Bambu” yang berusia 40 tahunan bernama Hassan yang berasal dari Cibadak, sebuah kampung sebelah selatan kota Rangkasbitung. Obrolan dimulai dengan Hassan yang sehari-hari bekerja di belakang rumah. Si Tengkulak, juga tentang ingatan waktu kecil yang sering bermain di sungai Ciujung. Waktu kecil Hassan banyak melihat ribuan batang bambu terapung berderet di tengah sungai. Dalam ingatan itu sesekali diselingi, para ibu bergosip, para lelaki buang air besar, dan anak-anak mandi sebelum berangkat ke sekolah yang diantar orang tuanya menyeberangi kali dengan getek. Di sela obrolan tiba-tiba ada seorang perempuan sibuk ber-SMS di samping kami dan Hassan bergerak perlahan menuju hilir sungai sambil merapikan ikatan bambu satu dengan yang lainya. Ingatan itu masih ada sekarang, tetapi pelakunya mungkin sudah tidak ada lagi kini.

“Bambu-bambu itu menyerupai rakit raksasa terikat merapat terkadang putus dari sambungan dan segera Bapak mengikatnya, setelah tiba diikat kembali di batang pohon Bambu,” sela Hassan.

Jejak langkah Hassan di tanah tampak basah ketika menuju rumah Si Tengkulak.

Sekarang pekerja itu bicara, “Waktu dulu memang begitu, tapi sekarang tidak lagi begitu, kamu dan yang lainya hanya bisa melihat penjual bambu cuma di hari Pasar, Sabtu dan Minggu, tetapi setiap harinya sesekali ada, Pagi menjelang siang atau siang menjelang sore biasanya bambu dibawa dari daerah lain, daerah Gunung Kencana atau Cimarga, yang jumlahnya tidak banyak”.

Siapakah para penjual itu? Mereka hanyalah warga pemilik kebun Bambu kecil, berasal dari Buluheun daerah Sajira, ada juga yang dari Gunung Kencana daerah yang menuju Bayah. Perjalanan menuju Kota Rangkasbitung berkisar 10 jam, tapi kalau terlalu jauh biasanya sampai sehari semalam, ditemani anak atau saudara laki-laki, yang sudah lulus sekolah, tapi ada juga yang tidak sekolah tapi Pesantren.

Pekerja itu menyahut obrolan kami, “Kami dapat bambu dari mereka, tapi bambu bukan untuk kami tetapi untuk pembeli atau pemesan dari orang-orang Serang, Bogor, dan Jakarta. Pembeli dari Rangkasbitung biasanya sedikit, paling-paling mereka cuma beli bambu untuk pagar rumah, bale-bale, tempat jemuran pakaian, dan rakit tempat mandi, cuci, kakus, mancing, dan kebutuhan warga untuk menyeberang. Bambu-bambu yang dari sini di angkut pakai mobil truk ke berbagai daerah lain.”

Malamnya kami membuat perencanaan pengambilan gambar di atas rakit penjual bambu. Pagi hari pukul 09.00 WIB. Kami pun memutuskan Badrul (salah seorang partisipan) yang akan mengambil gambar dari atas rakit. Memang, Badrul pernah berjualan bambu sewaktu SMEA dulu. Pengalaman Badrul terhadap apa yang dilihat terhadap kali Ciujung diharapkan dapat terekam dalam kamera.

Esoknya kami berjalan menuju lebak. Di muara Kebon Kelapa kami menunggu tukang rakit datang sembari mencari orang yang dapat mengantar kami menuju tengah Sungai Ciberang agar dapat merekam gambar dari atas rakit tukang bambu. Karena keadaan air sungai agak meluap dan kencang, tak ada orang yang mau mengantarkan kami ke tengah sungai seandainya tukang bambu itu datang. Sehingga kami memutuskan untuk pergi ke Kampung Keong untuk mencegat tukang rakit. Akhirnya kami dapat menemukan orang yang mengantar kami ke tengah sungai dengan rakit tukang pancing. Tapi selama hampir tiga jam kami menunggu tukang bambu itu tak kunjung tiba. Mungkin pada hari ini kami tidak begitu beruntung dapat bertemu dengan rakit tukang bambu.

Sambil menunggu waktu kami bercerita banyak, ketika sedang menunggu kedatangan rakit tukang bambu di atas rakit tukang pancing di Kampung Keong. Orang yang bersedia mengantarkan kami ke tengah sungai pun sudah lelah menunggu sambil sibuk membuat pancingan dengan golok dapur di tangannya. Sesekali dia menengok ke arah kami yang sedang enak mengobrol dengan pemandangan kali yang berwarna seperti bajigur itu.

Jam di tangan sudah menunjukan angka 12.30, tetapi rakit tukang bambu itu belum juga datang. Setelah konfirmasi dengan teman-teman yang sedang menunggu di muara Kebon Kelapa, akhirnya kami memutuskan untuk menunda pengambilan gambar dan mungkin akan membuat rencana yang lain.

Berharap tak lagi menunggu, kami sekali lagi memastikan dari tengkulak di penampungan. Benarkah rakit akan datang hari ini? Badrul mengiyakan rakit akan datang hari ini, menurut informasi dari tengkulak. Kami pun menunggu di muara sungai tepatnya di Kebon kelapa, sebuah kampung yang pada pinggiran sungainya dikelilingi pohon bambu dan pohon kopi, sedangkan Fuad dan Badrul berangkat ke Rangkasbitung Girang.

Siang tidak semakin panas tetapi menjadi mendung. Kami yang berada di muara menyusul Fuad dan Badrul yang berada di Rangkasbitung Girang. Dugaan kami, paling hujan ini sebentar sehingga kami memutuskan si Badrul pergi naik rakit dan kami menunggu di penampungan.

Hujan pun semakin deras dan kami yang di penampungan memikirkan bagaimana nasib si Badrul. Dengan tertawa, kawan kami berkata, “Paling dipinggirin, tuh, rakit terus pulang!” Ya, mungkin benar karena si Badrul membawa kamera. Tetapi setelah kurang lebih 40 menit kami menunggu, rakit yang membawa 1000 bambu itu muncul ke hadapan kami di pertemuan arus sungai. Mungkinkah si badrul merekam?” pikir saya. Karena apa yang terlihat di mata saya adalah gambar yang sangat indah dimana rakit yang membawa 1000 bambu ini mendekati pertemuan arus sungai dengan latar hujan yang semakin deras. Inilah Rangkasbitung, tempat di mana pohon bambu berasal.

About the author

Avatar

Maulana Muhamad Pasha

Maulana Muhamad Pasha, pria kelahiran Jakarta, 4 Januari 1983 ini kini aktif menjadi video maker di Indonesia. Karya-karyanya sering menghiasi galeri-galeri seni rupa, baik nasional maupun internasional. Beberapa karyanya pernah menjuarai festifal di antaranya, Festifal ASEAN New Media Art (2007), Indonesia Art Award (2008) dan FFTV-IKJ Long Short Film (2008). Sebelumnya, pria yang menamatkan pendidikan terakhirnya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta ini pernah menjadi wartawan di beberapa media di Indonesia.

About the author

Avatar

Jaenudin "Dableng"

Zainudin "Dableng" adalah salah seorang anggota Saidjah Forum. Ia terlibat dalam kegiatan lokakarya AKUMASSA Lebak, dan juga dalam produksi film dokumenter panjang, berjudul Dongeng Rangkas (2011, disutradarai oleh Andang Kelana, Badrul “Rob” Munir, Fuad Fauji, Hafiz & Syaiful Anwar) yang diproduksi oleh Saidjah Forum dan Forum Lenteng.

3 Comments

Tinggalkan Balasan ke Jessie jasmin X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.