Darivisual Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Pertemuan The Broy Dengan Tongkat Estafet Pemenang

Avatar
Written by Otty Widasari

Tulisan ini adalah bagian dari buku Sebelas Kisah dari Tenggara yang ditulis oleh Muhammad Sibawaihi, Otty Widasari, dan Manshur Zikri, diterbitkan oleh Forum Lenteng pada tahun 2016. Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.

Perjalanan menuju Dusun Tebango Bolot tidak mudah, karena beberapa alasan wajar: menanjak, jauh, di beberapa bagian licin dan berlumut, melelahkan. Itu semua kesan yang didapat oleh para seniman dalam Proyek Seni AKUMASSA Chronicle, yang berasal dari berbagai kota. Di sana bermukim penduduk asli Pulau Lombok yang beragama Budha. Bolot berarti atas. Komunitas Budha ini terbagi dalam dua lokasi pemukiman. Dusun Tebango Bolot yang berlokasi di atas bukit sana, dan Dusun Tebango Bawah yang berlokasi di kaki bukit, dekat pemukiman warga lain di Pemenang.

Tanggal 25 Januari, 2016: Khairunnas Mahadi dan Syarief Rausanzani (AKA The Broy) berkunjung ke rumah Pak Iri, warga Dusun Karang Desa.

Tanggal 29 Januari, 2016: Syarief Rausanzani AKA The Broy menyelesaikan karya mural di Dusun Tebango Bolot, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara.

Karena lokasinya yang jauh dan infrastruktur yang kurang memadai, kehidupan warga Dusun Tebango Bolot jauh lebih bersahaja dari warga Pemenang lainnya. Syarif Ravsanzani alias The Broy, seorang street artist yang juga aktif membuat komik, membuat proyek mural bersama anak-anak sekolah dasar di sana. Pilihan lokasi The Broy melakukan proyeknya ini bisa jadi berdasarkan keputusan pendistribusian ide seni graffiti di Pemenang. Aktivitas ini dirasa sangat menggairahkan bagi anak-anak usia sekolah dasar di Tebango Bolot. Gembira sekali mereka diberi kesempatan untuk mewarnai gambar-gambar outline yang telah dibuat oleh The Broy di dinding tangki penampung air dusun mereka. Penduduk dewasa lainnya pun ikut bergembira melihat kampung mereka lebih ceria dengan warna-warna baru.

The Broy menggambarkan seorang perempuan yang sedang melakukan salah satu gerakan Tari Sireh, tarian ritual untuk menyambut panen padi, upacara perkawinan atau hajatan besar umat Budha Lombok Utara. Si perempuan penari dalam gambar The Broy, tersenyum manis sambil memejamkan mata menikmati gerakan tariannya. Jangan dibayangkan gambaran ini seperti sebuah penggambaran yang sakral dan sepi. The Broy tidak bisa menghilangkan karakternya yang jenaka. Gaya komik The Broy selama ini sangat kuat mencirikan keurbanan si seniman dan seni graffiti itu sendiri. Di Pemenang, saat dia bertemu dengan seni tradisional spesifik yang ada di Lombok Utara, justru kedua latar belakang yang berbeda itu berkolaborasi dengan baik.

The Broy membuat komik tentang narasi-narasi lokal di Kecamatan Pemenang.

Dalam edisi komik strip yang dibuatnya dalam Proyek Seni AKUMASSA Chronicle, The Broy menjurnal pengalaman residensinya selama satu setengah bulan di Pemenang dengan gaya khasnya kembali. Latar belakangnya yang berasal dari Surabaya dan kemudian berbasis kerja di Jakarta saat ini, membuat kekayaan narasi terutama dalam bentuk teks yang menarik. Kelucuan yang selalu mengundang di dalam tiap komiknya, umumnya tidak mengidentifikasikan secara spesifik asal si seniman. Selama ini ia membaurkan gaya renyah tekanan bahasa Suroboyoan dengan gaya urban khas “anak kota” di Indonesia pada umumnya dengan gaya yang cair. Dan karya semacam ini bisa mengambil lokasinya di mana saja. The Broy selalu merespon lingkungan terdekatnya. Lalu kesadaran media The Broy juga cukup memadai. Sebagai contoh lain, dia yang pengguna aktif media sosial, selalu menerbitkan karyanya bukan sekadar dengan tujuan publikasi, melainkan juga dengan kesadaran medium yang terkait erat dengan fenomena perkembangan media sosial sekarang ini.

Kisah tentang bagaimana dulu Bangsal menjadi arena bermain seluruh warga Kota Pemenang, selalu menjadi pembicaraan yang didengar The Broy selama dia berada di Pemenang. Hilangnya berbagai aktivitas masyarakat pesisir karena perkembangan pariwisata yang menguasai sendi kehidupan masyarakat, cukup membawa The Broy urun empati. Maka terkumpullah berlembar-lembar komik strip yang dengan sangat produktif dihasilkan The Broy selama masa residensinya. Warga gembira mendapatkan lembaran-lembaran fotokopian komik yang menceritakan pengalaman masa kecil mereka. Anak- anak kecil yang sudah tidak terlalu mengalami berbagai kegiatan bermain di pesisir pantai utara pun menikmati suguhan komik yang menceritakan tentang aktivitas generasi sebelum mereka seperti meta keke (mencari kerang), permainan boteq-boteqan (monyet-monyetan), tradisi berugaq (saung tempat berkumpul), aeq wat Bangsal (air mujarab Bangsal), dan banyak lagi tradisi kearifan lokal lainnya. Saat berlembar-berlembar kertas komik strip yang sudah diperbanyak itu dibagikan secara gratis di mana-mana, tak terkecuali anak-anak kecil, remaja, hingga orang-orang tua ikut berebut ingin memilikinya.

Bagaimana mungkin hal sekecil itu bisa luput dari amatan pemangku kepentingan, bahwa warga membutuhkan sentuhan sederhana dalam kehidupan mereka, bukan hal-hal besar yang digaungkan oleh para pembesar hanya pada saat kampanye pemilihan kepala daerah? Seorang ibu yang merajuk karena tidak kebagian selembar komik strip The Broy, bisa disejajarkan dengan kebutuhan mereka menonton berepisode sinetron kejam di televisi, bukan? Ibu-ibu distigma tidak intelek karena menjadi penikmat tontonan murahan. Padahal, yang terjadi hanya mereka tidak memiliki alternatif hiburan dalam kesehariannya. Menginisiasi sebuah inisiatif adalah hal yang harus dilakukan warga kepada warga lainnya. Itu yang terpenting.

Di tengah proses menuju ke Pesta Rakyat Bangsal Menggawe, beberapa anggota Komunitas Pasirputih menyebar ke beberapa kios fotokopi untuk memperbanyak komik strip milik The Broy dalam kerjanya di AKUMASSA Chronicle. Mereka tertegun saat bertemu dengan segerombolan anak-anak yang juga tersebar di beberapa kios fotokopi seperti mereka, dengan berbekal uang receh dan beberapa lembar komik strip The Broy. Anak-anak kecil ini melakukan hal yang sama, memperbanyak komik itu untuk kembali disebarkan kepada teman-teman lainnya. Ternyata persebaran ini bergulir dengan organiknya, inisiatif ini tak membutuhkan cara yang rumit. Komunitas Pasirputih mendapatkan pengalaman baru, keluh kesah mereka selama ini bahwa tradisi lokal, permainan kanak-kanak yang mereka alami di masa kecil dulu menghilang ditelan waktu, dan memikirkan bagaimana cara mengembalikannya, memang bisa dilakukan dengan cara semudah metode komik yang bersifat massal, tanpa menafikan perkembangan zaman dan teknologi. Tongkat estafet yang sudah digenggam sejak dahulu bisa terus dilanjutkan kepada pemegang berikutnya tanpa harus terlekang oleh kendala apa pun.

About the author

Avatar

Otty Widasari

OTTY WIDASARI adalah seorang seniman, penulis, sutradara, dan kurator. Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media (AKUMASSA) di Forum Lenteng.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.