Darivisual Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Pertemuan Gelar Dengan Instalasi Kota

Avatar
Written by Otty Widasari

Tulisan ini adalah bagian dari buku Sebelas Kisah dari Tenggara yang ditulis oleh Muhammad Sibawaihi, Otty Widasari, dan Manshur Zikri, diterbitkan oleh Forum Lenteng pada tahun 2016. Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.

Sejak pertama kali Wahid Hasyim memutuskan untuk memulai bisnis televisi kabel kecil-kecilan di Pemenang beberapa tahun yang lalu, mungkin dia tidak pernah menyadari bahwa apa yang dia lakukan adalah menciptakan sebuah instalasi berskala kota yang berukuran 809,53 kilometer persegi dan berpenduduk lebih dari 200.000 jiwa ini. Pelanggannya ada sekitar 400 rumah.

Melalui sebuah ruangan kecil berukuran sekitar 1,5 X 2 meter persegi di bawah tangga ruang tengah rumahnya, Wahid mengontrol tontonan sekitar 400 rumah warga Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, yang menjadi pelanggan televisi kabel kreasinya, dengan perangkat analog. Pola kerjanya sangat sederhana. Dia memiliki sekitar 14 alat receiver, yang dikumpulkannya ke dalam satu terminal tempat semua kabel dari alat receiver berkumpul. Kemudian terminal tersebut mengeluarkan kabel-kabel yang disambungkan ke rumah-rumah warga.

Yang unik dari kreasi Wahid adalah, dia menyediakan satu slot kosong yang bisa dia isi dengan berbagai videonya sendiri sesuai keinginannya. Mulai dari video klip yang dia buat bersama Madun, musisi Gambus sehabatnya, acara pengajian di masjid, hingga video dokumentasi acara perkawinan tradisional Sasak yang sering dia dokumentasikan. Video-video itu ditayangkan sesuka hatinya untuk mengganti acara televisi yang secara subjektif dia anggap membosankan. Terkadang ada warga yang menelepon Wahid, memprotes, kenapa acara kegemaran yang sedang ditontonnya berganti. Namun banyak juga warga yang tidak mengeluhkan hal tersebut. Mungkin karena acara-acara pengganti tersebut dirasa sangat dekat dengan mereka. Toh, asik juga melihat video klip dari orang yang mereka kenal dengan lagu yang bercerita tentang keseharian yang mereka tahu. Atau, menyenangkan juga melihat acara perkawinan di kampung sebelah, apalagi saat muncul wajah-wajah yang mereka kenal, tradisi yang mereka tahu sejak lahir, dan lokasi yang mereka kenali sebagai bagian dari kehidupan mereka. Intinya, Wahid mengontrol bagaimana hiburan tontonan rumahan bagi warga di skala yang tidak bisa dibilang kecil: Kecamatan Pemenang. Patut dicatat bahwa pertanggungjawaban moral Wahid yang memiliki kuasa kontrol terhadap tontonan publik ini didasari oleh perannya sebagai Kepala Sekolah Dasar di Pemenang, juga sebagai orang yang taat beragama.

Walau pekerjaan tetapnya adalah Kepala Sekolah, hasrat bermain tak terbendung Wahid Hasyim tentang audio visual memang sudah sejak lama dia pelihara. Ia pernah aktif  membuat video dokumentasi untuk beberapa instansi pemerintahan dan juga dokumentasi lainnya seperti acara perkawinan-perkawinan, atau hajatan warga. Dia mencari uang dari sana. Namun usaha itu surut saat semua orang melakukan hal yang sama, karena teknologi makin mudah dan murah. Akhirnya sambil bermain, dia juga berbisnis kecil-kecilan dengan menciptakan layanan televisi kabel organik yang cukup diminati warga Kecamatan Pemenang.

Fenomena ledakan televisi swasta di Indonesia sekitar akhir ’90-an dan awal 2000-an, beriringan juga dengan ledakan teknologi video dan persebarannya yang massive di masyarakat, menginspirasi para peneliti dan aktivis senirupa Indonesia untuk membaca kemungkinan-kemungkinan ekspresi seni yang muncul, kemudian melahirkan wacana dari fenomena sosial tersebut. Adakah di antara jutaan orang yang menggunakan teknologi audiovisual yang menjamur sebagai ekspresi kreatif? Keyataannya, ada banyak inisiatif warga yang mengembangkan wawasan teknologisnya dengan cara kreatif dalam penerapan kehidupan sehari-hari, yang bisa dibaca sebagai ekspresi seni. Internet memudahkan munculnya TV komunitas. Tak sedikit pula yang melakukannya dengan cara offline entah karena niatan bisnis, ataupun keisengan membahagiakan belaka. Wahid salah satunya.

Sebagai seniman asal Jakarta, Gelar Agryano Sumantri terbiasa untuk bekerja di mana saja, tanpa studio, tanpa ketenangan ruang. Dengan latar belakang pendidikan jurnalistik dan kemudian bekerja di Forum Lenteng yang merupakan organisasi kajian sosial budaya dengan medium film dan video, serta aktif sebagai fasilitator dalam program pemberdayaan media berbasis komunitas, AKUMASSA, baginya membuat karya tidak selalu individual dan pribadi. Gelar terbiasa dengan kerja kolaborasi dan menjadi fasilitator lokakarya-lokakarya literasi media yang bekerja sama dengan komunitas-komunitas di berbagai kota di Indonesia.

Gelar sudah mengenal Komunitas Pasirputih sejak tahun 2010, saat ia menjadi fasilitator untuk program AKUMASSA Pemenang, yang membongkar seluk-beluk Pemenang dalam bingkaian media. Artinya, Gelar cukup mengenal Pemenang. Di tahun 2012 Gelar dan Pasirputih bekerja sama memproduksi film dokumenter Elesan Deq A Tutuq (Jejak Yang Tidak Berhenti/The Endless Trail), yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Pemenang. Maka bisa dibilang Gelar sudah cukup banyak melihat kota kecil ini dari perspektif  subjektifnya, melalui medium video dan juga melalui konstruksi film.  Salah satu video dari rangkaian seri Montase Air yang digarapnya di AKUMASSA Chronicle, Gelar menemui perspektif lain dari Pemenang. Yaitu, Pemenang yang harus melihat dirinya sendiri melalui perspektif yang objektif. Tentu tak mudah objektivitas itu. Namun Gelar yakin bahwa hal itu bisa dimediasikan oleh teknologi video. Dia memberikan kamera kedap airnya pada anak-anak kecil di Bangsal yang terjun dan berenang di air laut, membiarkan anak-anak merekam apa pun yang mereka inginkan saat bermain di Bangsal. Yang didapat dari ambilan antropologis ini cukup mengejutkan. Hanya ada ambilan gambar air, dasar laut, teman-teman, terjun bebas, … Tak satu pun dari gambar hasil rekaman anak-anak itu mengarah pada tiga gili dan fenomena turisme. Ini merupakan sebuah temuan berbeda tentang karakter masyarakat Pemenang yang selama ini merasa Bangsal, jantung hati mereka, terampas oleh pariwisata. Ada kenyataan lain bahwa, saat warga tetap merasa memiliki Bangsal seperti anak-anak kecil ini, Bangsal tidak akan kemana-mana.

Gelar Soemantri, salah satu partisipan akumassa Chronicle, berkunjung ke rumah Pak Wahid, salah seorang warga Dusun Karang Baru, pada tanggal 26 Januari, 2016. (Foto: arsip AKUMASSA Chronicle).

Wahid menunjukkan peralatan usaha TV Kabel-nya kepada Gelar.

Gelar mencoba terus melanjutkan mencari identitas diri itu dengan membangun bank data video bersama Komunitas Pasirputih. Gelar sadar bahwa mengarsip sama dengan memproduksi pengetahuan. Gelar memang mencari aksi-aksi pemberdayaan medium audiovisual di Pemenang. Dan dari sana bisa dibaca bagaimana bentuk peta sosial warga Pemenang yang lain. Melalui bingkaian video performatif yang menggejala di masyarakat, ia pun menginisiasi warga, terutama kalangan muda yang tidak pernah lepas dari smartphone, untuk menyumbangkan footage video mereka.

Di sini bisa dilihat apa yang dilakukan Gelar dan Wahid berada dalam satu garis linear.

Juga dengan pengalamannya bekerja kuratorial dalam festival video Internasional, Gelar membaca apa yang dilakukan oleh Wahid Hasyim sebagai instalasi yang menguasai ruang di seantero Kota Pemenang. Gelar melihat apa yang dilakukan oleh Wahid sebagai sesuatu yang penting di ranah sosial dan media.

Gelar dan Wahid bertemu bukan dengan cara yang tidak disengaja. Sebelumnya Pasirputih pun memang sudah menjalin hubungan dengan Wahid karena kesadaran yang dimiliki Wahid berpotensi dalam ide distribusi pengetahuan di lingkup warga Pemenang. Saat mengetahui ada warga yang mengelola bisnis televisi kabel, Gelar langsung menemuinya. Wahid dianggapnya bisa menjadi kolaborator untuk mengembangkan ide persebaran kreativitas warga. Layaknya metode kerja bank, footage-footage yang disumbangkan warga dikumpulkan dan disalurkan kembali melalui kanal yang dimiliki Wahid dan kemudian dapat ditonton ratusan warga kota itu sendiri.

Gelar mengambil beberapa sampel gambar pada tanggal 6 Februari 2016 di dermaga Pelabuhan Bangsal. (Foto: arsip AKUMASSA Chronicle).

Proses penyuntingan video dalam proyek Saling Gitaq. (Foto: arsip AKUMASSA Chronicle).

Saling Gitaq (saling lihat). Demikian mereka menamai program bank footage yang akhirnya kini terus berlangsung sebagai program reguler di TV kabel Wahid. Saling Gitaq yang dapat diartikan sebagai bacaan dari fenomena media sosial saat ini, adalah situasi di mana masyarakat memiliki kebutuhan untuk meihat dan dilihat, dan memunculkan eksistensi dirinya secara performatif di media.

Video Saling Gitaq dipresentasikan di TV tempat pembelian tiket di Pelabuhan Bangsal.

Ada hal penting dalam kolaborasi ini. Jika selama ini skena senirupa dan seni media Indonesia menyoroti kerja kreatif seni audiovisual sebagai kreativitas “otak-atik teknologis”, maka pertemuan dan kolaborasi yang terjadi antara Gelar—yang bergerak diwilayah aktivisme dan pemberdayaan—dengan Wahid yang gemar bermain-main dengan teknologi, adalah sebuah pertemuan yang menghasilkan sebuah reaksi sosial. Reaksi sosial tersebut berupa “otak-atik sosial”.  Karena yang terjadi adalah, mereka mengotak-atik medan sosial masyarakat.

Nah, ada titik terang tentang identitas Pemenang di tahap ini.

About the author

Avatar

Otty Widasari

OTTY WIDASARI adalah seorang seniman, penulis, sutradara, dan kurator. Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media (AKUMASSA) di Forum Lenteng.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.