Darivisual Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Pertemuan Sulung Dengan Ibu, Sang Pemilik Tanah

Avatar
Written by Otty Widasari

Tulisan ini adalah bagian dari buku Sebelas Kisah dari Tenggara yang ditulis oleh Muhammad Sibawaihi, Otty Widasari, dan Manshur Zikri, diterbitkan oleh Forum Lenteng pada tahun 2016. Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.

Pemenang memiliki sebuah lumbung yang makmur. Warga hidup dari kekayaan lumbung itu. Ada banyak kekayaan Pemenang yang dikontribusikan oleh warga sejak dahulu kala ke dalam lumbung milik bersama tersebut. Dan salah satu kekayaan yang paling berharga milik warga Pemenang adalah kerukunan antarumat tiga agama yang ada di sana. Sebagaimana lumbung, warga tentunya harus menjaga agar kehidupanan mereka selalu baik dengan menjaga lumbungnya. Seperti sebuah agama, untuk menjaga kehidupan, ada aturan dan petuah-petuah yang diatur oleh apa yang ada di dalam kitab suci. Ketiga agama yang ada di Pemenang memiliki kitabnya masing-masing. Dan semua kitab suci memiliki pesan-pesan kebaikan yang sama. Seperti pesan yang selalu kita dapat dari ibu.

Sulung (salah satu seniman partisipan akumassa Chronicle) bertamu ke rumah Dammatha Samena (Ketua Komunitas Kearifan Lokal Tebango), tanggal 29 Januari 2016.

Suatu saat, Sulung Widya Prasastya, seorang seniman graffiti, membolak-balik pemahaman literatur dari intisari kitab Dammapada yang dipinjamkan teman-teman barunya dari Komunitas Budha di Dusun Tebango Bawah. Sulung memindainya dengan kemampuan indra yang ia miliki. Tak lain, hanya kata-kata kebaikan yang tertulis di sana. Tak bedanya dengan apa yang dia pelajari juga di agamanya sendiri.

Masyarakat Pemenang memang sangat mencintai tanah mereka seperti mencintai ibu mereka sendiri. Sulung sungguh mengagumi kecintaan warga pemenang pada tanahnya. Seperti yang dia ketahui sebagai contoh, komunitas Budha Tebango yang memiliki aktivitas rutin berkala untuk membersihkan Pasar Pemenang dan pantai Bangsal. Maka Sulung pun memulai perjalanannya di Kota Pemenang dengan mengikuti jejak mereka, membersihkan dan memperindah pasar. Sebagai seniman yang terbiasa menggarap dinding kota, Sulung mengecat ulang tugu, gapura, dan tembok-tembok yang sudah kotor kusam dan menjadi sandaran sampah pasar cukup lama. Walau tidak terlalu signifikan, dapatlah dilihat sedikit kecerahan di pasar karena tembok-tembok dan tugu-tugunya kembali putih bersih. Di sekitar tugu yang sudah putih cerah tersebut nampak sampah berserakan. Ketika Sulung melanjutkan kerja keesokan harinya, beberapa petugas kebersihan ikut menemaninya bekerja, sambil membersihkan sampah-sampah yang ada di sekitar tugu dan pasar. Alangkah menyenangkannya, walau beberapa hari kemudian sampah-sampah kembali memenuhi lokasi tersebut.

Entah, mungkin memang naluri para steert artist sudah demikian, menjadikan ruang publik sebagai wadah kerjanya, selalu memberi aksen pada tata kota. Suatu ketika Sulung bersama Bujangan Urban, temannya yang sesama seniman graffiti asal Jakarta, berjalan-jalan mendaki bukit terjal menuju Dusun tebango Bolot. Mereka ingin melihat proses kerja The Broy, street artist dan komikus asal Surabaya, yang memiliki proyek mural di SD Negeri 5 Pemenang Timur yang terletak di Dusun Tebango Bolot. Sementara The Broy mulai menggambar tema “Dunia Sekolah” bersama anak-anak kecil di dinding sekolah mereka, Bujangan Urban pun dengan sendirinya bergerak tanpa rencana, mulai mengecat ulang tembok-tembok sekolahan. Tulisan dan lambang Tut Wuri Handayani yang berarti “dari belakang seorang guru harus memberi dorongan dan arahan” warisan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, sudah nyaris tak tampak warnanya. Bujangan Urban pun mulai mempertegas kembali warna-warna tersebut.

Kerja street artist yang biasanya banyak terdapat di kota-kota besar sering dianggap sebagai aksi vandalisme. Pertentangan perspektif tata kota antara penegak hukum dan street artist mungkin berasal dari ketakutan negara terhadap tembok-tembok yang berbicara lantang tentang kritik terhadap negara, yang dikhawatirkan akan menggulirkan gelombang kesadaran tertentu yang meluas, dan mengusik stabilitas negara.

Padahal, kalau dilihat dari pola kerja para street artist semacam Sulung, Bujangan Uban ataupun The Broy, keinginan mereka sejalan dengan semua sistem yang mencita-citakan kota yang beradab dan bermartabat.

Tanggal 11 Februari 2016, seniman Sulung Widya Prasetyo memulai kolaborasi karyanya bersama warga masyarakat Dusun Tebango.

Kembali pada Sulung, setelah beberapa sudut mulai terlihat lebih bersih, Sulung merasa sepertinya mungkin tembok-tembok putih ini harus sedikit diberi warna lain, agar tampak lebih ceria. Mulailah dia menuliskan teks-teks yang merespon situasi Pasar Pemenang, semacam: pasar bersih, rejeki lancar; pasar bersih, semua senang; pasar bisa diciptakan, bersih bisa dipasarkan; Pemenang kota bersih. Melalui propaganda yang dilakukannya, Sulung meletakkan hal-hal ideal bagi sebuah situs, yang semua orang tahu itu tak akan terwujud dalam jangka waktu dekat. Peletakkan pesan dengan spekulasi yang cukup radikal rasanya, jika mengingat pesan-pesan graffiti yang umum diketahui justru berbanding terbalik dengan pesan publik yang biasa dikelola dalam propaganda pemerintah. Cenderung terkesan keras dan provokatif. Namun yang patut diapresiasi dari kerja ini adalah, di mana Sulung tidak melakukannya dengan spontan sebagai hasil kerja riset yang bersifat sporadik. Dia justru melakukan semacam kerja riset literatur kecil-kecilan sebelumnya dengan mempelajari pesan dari kitab suci agama. Sekelompok pesan yang memang memiliki kesamaan di tiap agamanya. Kemudian Sulung menerapkannya dalam ranah praktis.

Street art bekerja mengintervensi ruang publik, dengan negosiasi ruang atau mengokupasi ruang dengan melemparkan pertanyaan retoris tentang “ruang ini milik siapa”. Dalam kerja Sulung kali ini, pesan justru tidak satu arah dilemparkan kepada pemangku kepentingan dan kebijakan, melainkan sekaligus kepada tubuh masyarakat sendiri, yang seharusnya memikirkan tanah mereka. Ibu pertiwi mereka.

Sambil terus berjalan menelusuri seluk beluk Kota Pemenang, Sulung mengunjungi dan menjalin silaturahmi dengan warga kota. Kerap ia berbincang dengan kelompok pemuda di komunitas Budha Dusun Tebango. Sulung gembira karena mendapati idenya sejalan dengan program yang sedang direncanakan oleh Sanggar Komunitas Kearifan Lokal Tebango (K2LT). Maka mereka pun mulai merencanakan kolaborasi untuk membuat plang-plang papan yang akan diisi teks kedamaian yang akan diambil dari kitab suci Dhammapada.

Kebahagiaan mengikuti ucapan, perbuatan dan pikiran yang baik.
Seseorang yang inderanya terkendali, makan cukup dan bersemangat, maka mara tak akan menguasainya.
Kebencian tidak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian.
Pikiran adalah pelopor, pemimpin dan pembentuk dari segala sesuatu.
Orang dungu terlena dalam kelengahan. Orang bijaksana selalu waspada.
Sesungguhnya mereka yang bertengkar akan binasa… mereka yang sadar akan segera mengakhiri pertengkaran.

Sederhana saja. Kelompok yang mengelola kearifan lokal punya rencana menyematkan teks dari kitab di rumah-rumah warga komunitas mereka, Sulung menawarkan diri untuk membuatkannya. Lalu untuk terwujudnya kerjasama itu, para ibu-ibu berpatungan dari uang hasil penjualan kelapa mereka, membelikan cat, thiner, kuas, hingga konsumsi. Sulung merasa sangat terharu dengan inisiatif ini, dan dadanya terasa sesak hampir menangis saat mereka berkumpul dan mendoakan dirinya sebagai tanda terimakasih, dengan tata cara agama mereka. Dari pulau yang berbeda, memiliki agama yang berbeda, namun merasa memiliki ibu yang sama. Mereka bersama-sama menuliskan pesan untuk sang ibu, sang pemilik tanah mereka. Estetika macam apa lagi yang harus kita bahas dalam proses berkarya semacam ini?

About the author

Avatar

Otty Widasari

OTTY WIDASARI adalah seorang seniman, penulis, sutradara, dan kurator. Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media (AKUMASSA) di Forum Lenteng.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.