Darivisual Kecamatan: Pemenang Kota/Kabupaten: Lombok Utara Provinsi: Nusa Tenggara Barat

Pertemuan Ismal Dengan Garis Lurus Imajiner

Avatar
Written by Otty Widasari

Tulisan ini adalah bagian dari buku Sebelas Kisah dari Tenggara yang ditulis oleh Muhammad Sibawaihi, Otty Widasari, dan Manshur Zikri, diterbitkan oleh Forum Lenteng pada tahun 2016. Dimuat kembali di situs web AKUMASSA dalam rangka rubrik “Darivisual”.

Merenten mempolong adalah semboyan kerukunan masyarakat Lombok Utara. Kedua kata tersebut sama-sama berarti “bersaudara”. Renten adalah kata “saudara” yang digunakan oleh masyarakat Lombok Utara di bagian timur, sedangkan polong adalah kata “saudara” yang digunakan masyarakat Lombok Utara bagian barat. Warga Pemenang sangat percaya bahwa mereka semua memiliki hubungan persaudaraan satu sama lain. Merenten mempolong merupakan kosakata yang digunakan masyarakat Lombok Utara untuk mengungkapkan rasa hormat dan persaudaraan terhadap orang lain. Hal ini benar akan kita rasakan jika kita berada di sana. Sejak zaman dahulu kala, kawasan ini dikenal karena kerukunan umat beragamanya. Ada tiga agama yang dianut penduduk yang bermukim di kawasan ini sejak bergenerasi sebelumnya: Islam, Hindu, dan Budha.

Ismal Muntaha (salah satu partisipan akumassa Chronicle) melihat tempat ibadah tiga agama di Medana pada tanggal 6 Februari 2016.

Kisah-kisah tentang kerukunan antarumat di Lombok utara sudah lahir sejak dulu. Bilamana jika warga Islam membangun masjid, warga Hindu dan Budha pasti membantu dalam pembangunan tersebut. Juga mereka selalu terlibat dalam acara-acara keagamaan. Demikian pula sebaliknya. Bahkan, di upacara peringatan Hari Raya Nyepi, misalnya, warga Islam membantu menjadi pecalang (penjaga keamanan) supaya acara berjalan lancar. Tapi itu hanya kisah-kisah dulu. Mungkin kekerabatan yang saling menghargai itu masih tersisa hingga sekarang. Namun kini terasa memudar. Agaknya warga terlalu sibuk bekerja, karena sektor pariwisata kian menggeliat di kawasan ini. Suatu ketika, saat Nash Jau’na, si aktor pantomim, sedang berinteraksi dengan para porter dan pedagang di Pelabuhan Bangsal, beberapa calo travel pariwisata merasa terganggu, dan menyindir Nash dengan mengatakan bahwa: Baiklah, pertunjukanmu memang lucu, tapi tolong jangan mengganggu wilayah mata pencaharian kami, karena itu bisa menggangu para tamu asing. Sementara, para wisatawan mancanegara yang dimaksud malahan mengerumuni Nash dan menjadikan Nash objek ambilan kamera mereka sebagai eksotisisme yang bisa ditemui di negara tropis berkembang. Situasi sosial di Pemenang kini memang demikian adanya. Masyarakat berada di antara dua pilihan hidup: menjadi pekerja di bidang pariwisata, yang artinya mengabdi pada kebutuhan para tetamu yang mencintai keeksotisan surga tropis, atau menjadi penonton pasif pesta-pesta a la barat yang bertaburan menu berbahasa Inggris makanan dan minuman yang terasa asing di lidah.

Ismal Muntaha bertemu Tuan Guru Amir pada tanggal 1 Februari 2016.

Ismal Muntaha, seorang seniman lintas media, yang karyanya selalu berbasis pemberdayaan masyarakat, berdiri di ujung dermaga Bangsal. Kisah kerukunan yang merupakan ingatan kolektif itu selalu didengarnya selama dia menemui banyak orang di Pemenang. Di utara dermaga tampak hamparan laut dengan latar belakang tiga gili pembawa harapan masyarakat. Lalu Ismal membalikkan tubuhnya menghadap selatan. Terhampar barisan bukit hijau dengan latar Gunung Rinjani. Ismal tertegun sejenak. Saat dia menatap lurus ke arah bukit, dia melihat sesuatu menyerupai bangunan berwarna putih, yang terlihat kecil di antara hijau pohon-pohon. Jika ditarik garis lurus imajiner, bangunan kecil itu memang berposisi tegak lurus dengan ujung Dermaga Bangsal. Sejak hari itu Ismal mencari tahu bangunan apakah kiranya yang berposisi tegak lurus dengan Bangsal itu? Ternyata didapat keterangan bahwa bangunan tersebut merupakan sebuah vihara, atau tempat peribadatan umat Budha, yang terletak di Dusun Tebango Bolot, yang memang merupakan lokasi pemukiman warga asli Sasak Lombok yang beragama Budha.

Ismal pun mendatangi tempat tersebut. Bertemulah ia dengan warga Pemenang komunitas Budha Sasak. Berikutnya Ismal pun menemui pemuka-pemuka agama lain. Selain itu dia juga menemui banyak sekali tokoh-tokoh masyarakat, baik yang menjabat di pemerintahan maupun yang memimpin secara adat. Bertemu pula ia dengan kelompok pemuda dan semua elemen masyarakat Lombok Utara lainnya. Bagi Ismal, kerukunan antarumat yang ada di Pemenang merupakan benteng pertahanan yang kuat, yang membuat kawasan ini damai dan minim konflik. Namun hal tersebut bisa saja menjadi pisau bermata dua, jika mengingat situasi sekarang di mana keberadaan pariwisata yang begitu menguasai kehidupan masyarakat, sudah mampu merenggangkan hubungan kekerabatan yang selama ini terpelihara. Maka Ismal menawarkan sebuah kesepakatan bersama baru untuk menjaga harta karun kerukunan yang selama ini menjadi satu-satunya benteng pertahanan masyarakat. Ikatan bersama itu dibuat dalam bentuk wasiat, yang akan dirumuskan bersama oleh seluruh elemen masyarakat Lombok Utara.

Ismal Muntaha bertemu Metawadi, salah seorang pemimpin umat Budha di Kecamatan Pemenang, pada tanggal 10 Februari 2016.

Ismal Muntaha bertemu dengan Nengah Karuna, salah seorang pemimpin umat Hindu di Kecamatan Pemenang, pada tanggal 5 Februari 2016.

Ismal Muntaha bertemu Dr. Muchsin, salah seorang pemimpin umat Islam di Kabupaten Lombok Utara, pada tanggal 5 Februari 2016.

Ismal meyakini bahwa relasi sosial adalah sebuah investasi, di mana fenomena seni sekarang mengalami pergeseran dari estetika yang bersifat formalis, ke relasi-relasi sosial.

Dr. Lalu Muchsin, seorang tokoh lintas agama di Pemenang pernah mengatakan bahwa, daripada menjadi pengamat sejarah, lebih baik menjadi pelaku sejarah. Ismal membenarkan pernyataan tersebut.

“Telah sampailah kita pada zaman yang bergerak sangat cepat, tumbuh dan berubah. Yang baru datang, yang lama perlahan hilang. Dalam pergerakan zaman ini, kami pemilik kebudayaan Pemenang berkumpul untuk membuat wasiat bersama. Merekat ikatan sebagai saudara, demi cinta kami terhadap tanah ini. Tanah para pemenang. Sebagai tanda keteguhan hati yang tidak lekang oleh waktu.

Atas berkat Tuhan Yang Maha Esa serta hormat budi terhadap leluhur, kami pemilik kebudayaan Pemenang, bertekad: Menjaga kerukunan, keharmonisan dengan nafas persaudaraan, saling menghormati, berlandaskan kasih sayang dan keberagaman. Menjaga akar budaya leluhur dengan santun dan penuh kehormatan, terus melestarikan karya-karya generasi dari zaman ke zaman. Menyiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi segala perkembangan dan tantangan zaman. Dengan semangat mencipta, melakukan penemuan baru, untuk diwariskan pada generasi yang akan datang. Mengolah segala sumber daya dan anugerah alam dengan bermartabat, kreatif, dan menghormati norma-norma lingkungan hidup. Membangun Pemenang dengan semangat kebersamaan, kemandirian, tanpa kesenjangan, berlandaskan kearifan budaya dan keberagaman dalam bingkai mempolong merenten.”

2016

Hari ke 59

Demikian isi wasiat yang disepakati oleh warga Pemenang, yang akan diterakan pada sebuah prasasti kayu, dan kelak diletakkan bersama dengan gapura yang dibangun bersama warga. Ismal membangun dua buah gapura yang akan diletakkan di dua tempat. Satu di ujung dermaga Bangsal, dan satu lagi di depan vihara di atas bukit Dusun Tebango Bolot: sebagai dua titik yang menghubungkan garis lurus imajiner tentang sebuah ikatan kebersamaan masyarakat Pemenang.

Ismal Muntaha (ditemani oleh Manshur Zikri, fasilitator AKUMASSA Chronicle 2016) ketika merancang isi Wasiat Pemenang, pada tanggal 8 Februari 2016.

Hari itu, tanggal 12 Februari, 2016. Tepat setelah wasiat disepakati, gempa bumi berkekuatan 6,6 SR mengguncang Pulau Lombok dan sangat terasa di Pemenang. Ismal dan semua yang hadir menganggapnya sebagai pertanda bahwa bumi memberikan isyaratnya kepada janji wasiat bersama mereka.

Pertemuan para tokoh masyarakat dan pemimpun umat beragama dalam rangka bermusyawarah-mufakat, menyepekati isi Wasiat Pemenang, pada tanggal 12 Februari 2016.

Ide kerukunan antarumat di Pemenang yang terus menerus diverbalkan sejak dahulu kala akhirnya menjadi mitos yang dipercaya. Sebuah mitos dapat menjadi pegangan hidup dan kebudayaan dalam masyarakat. Orang Indonesia memiliki pola-pola mitologi, menyukai kisah-kisah besar yang diviralkan dari mulut ke mulut secara terus menerus bergenerasi lamanya. Garis lurus imajiner yang diciptakan oleh kolaborasi Ismal dengan warga Pemenang juga layaknya sebuah mitos. Ismal percaya bahwa mitos bisa dibaca sebagai sebuah strategi komunikasi sekaligus strategi kebudayaan yang efektif. Sebuah komunitas bisa melakukan strategi budayanya sendiri dengan bergotong-royong secara konsisten. Sebuah kesepakatan bersama itu akan bergulir dengan sendirinya dan pasti akan membuat sebuah perubahan. Terbukti, sebuah rezim yang diktatorial mampu menciptakan sebuah mitos yang dipercaya berdekade oleh rakyatnya, dengan penetrasi dalam intensitas yang kuat. Rakyat mampu bertahan hidup dalam jangka waktu yang panjang dengan mempercayai mitos tersebut.

Mengarak Wasiat Pemenang melintasi monumen pintu yang didirikan di ujung dermaga Pelabuhan Bangsal, tanggal 28 Februari 2016, bertepatan dengan hari puncak Bangsal Menggawe.

Pembacaan Wasiat Pemenang untuk pertama kalinya, oleh Bupati Lombok Utara, Najmul Akhyar, tanggal 28 Februari 2016.

Namun, dalam hal ini bukan serta merta Ismal melakukan sebuah tindakan diktatorial sebagaimana sebuah rezim. Justru yang dilakukan adalah sebaliknya, dengan menemui banyak sekali orang dari berbagai kalangan dan elemen di Pemenang, membuat sebuah ikatan baru untuk mempertebal benteng pertahanan kedamaian di lokasi mereka. Mitos yang ada di sini tak lain adalah sebuah ikatan bersama untuk mengangkat kehidupan sosial masyarakat secara bermartabat. Ismal memberi arti baru kepada peran seniman sebagai seorang komposer yang mengkreasi komposisi sosial. Lagi-lagi sebuah kemewahan hidup tentunya bagi warga kota mana pun saat ada peristiwa di mana warga beramai-ramai dengan gembira mengangkat gapura yang sangat berat ke atas bukit untuk dipancang di sana dan menyaksikan para ibu-ibu serta anak-anak kecil girang menjinjing ember berisi air dan pasir untuk membangun pondasi gapura. Sebuah kebudayaan pasti bisa dibangun dengan konsistensi berisi kesadaran penuh bahwa warga yang bahagia adalah pemenangnya. Memang perbedaan antara ‘kebetulan’ dan ‘terencana’ sangat tipis garis batasnya. Ismal pernah menelusuri arti kata Lombok (dalam bahasa Sasak: lomboq). Ternyata, arti dari kata itu adalah: lurus, yang dalam konteks agama biasa diterjemahkan sebagai istiqomah, alias: KONSISTEN.

About the author

Avatar

Otty Widasari

OTTY WIDASARI adalah seorang seniman, penulis, sutradara, dan kurator. Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Program Pendidikan dan Pemberdayaan Media (AKUMASSA) di Forum Lenteng.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.