Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Pasar Pagi di Rangkasbitung

Avatar
Written by Badrul Munir

Awal terjadinya Pasar Pagi atau Pasar Subuh sampai menjadi kaki lima yang berada di Rangkasbitung sekarang dipicu dengan banyaknya pengangguran yang ingin merubah nasibnya. Pada saat itu terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang imbasnya sampai ke berbagai daerah termasuk Rangkasbitung. Dengan modal pas-pasan maka jadilah mereka berdagang termasuk saya sendiri yang berlokasi dekat pinggiran jalan kantor Pegadaian Rangkasbitung.

Pasar Pagi di Lebak

Pasar Pagi di Lebak.

Kenapa berdagang di pinggir jalan? Alasan yang masuk akal jelas karena tidak punya tempat untuk berdagang di dalam pasar. Pilihan membeli jalur ‘aspal’ yang memerlukan uang sedikit berbeda dengan harga ruang tembok yang disediakan pemerintah. Jadi biar bisa gratisan maka dipilihlah trotoar dekat pasar utama, tepat dekat kantor pegadaian. Awalnya sedikit tapi lama-lama pedagang jadi bertambah banyak dan membuat waktunya semakin naik jadi pagi benar, kira-kira jam 4 pagi.

Lambat laun karena banyaknya pedagang di sana, lokasi trotoar jalan tidak mencukupi lagi dan para pedagang merangsek ke Jalan Raya Hardiwinangun. Memang pada realitanya hal ini sangat mengganggu para pengguna jalan, dan ajaibnya para pembeli menjadi keenakan karena mereka tidak perlu masuk ke dalam pasar yang jalannya sering becek dan kotor, karena pembuangan air yang tidak beres dan pedagang yang senang buang sampah sembarangan. Akhirnya pedagang yang di dalam pasar pun jadi ikutan berdagang di pinggir jalan walaupun waktunya sangat terbatas, karena jam 7 sampai jam 8 kami para pedagang harus cepat-cepat berbenah agar tidak ditegur pak Polisi karena jalanan bisa macet.

Tidak sampai 2 tahun, Pasar Pagi kini sering disebut Pasar Subuh menjadi terkenal dan semakin ramai. Dagangan Saya dan adik semakin besar sampai harus berbelanja ke Pasar Induk Tanah Tinggi di Tangerang sebagai pusat pembelian sayuran, dan menyewa mobil untuk mengangkut barangnya. Beberapa pedagang lainnya ada juga yang belanja di Bogor, dan Serang. Tapi karena berdagang di jalan raya dan mengganggu pengguna jalan raya, masyarakat banyak yang protes atau mungkin protes dari para pedagang yang berada dalam pasar karena tidak punya kesempatan untuk berdagang di areal jalan raya. Karena banyak pedagang menjadi iri, banyak laporan yang berujung pada penertiban. Maka pasar di jalan raya itu ditertibkan dan kami tidak boleh berdagang di jalan raya lagi.

Teguran untuk tidak berdagang di sepanjang jalan raya hanya bertahan paling lama seminggu, karena setelah itu kami berdagang kembali di sana dan seperti itu seterusnya. Tapi tidak beruntung bagi saya, pada 2002 mungkin karena tidak bisa mengatur keuangan, usaha berdagang saya bangkrut dan tidak bisa berjualan sayuran lagi.

Aktivitas pasar subuh itu sekarang terus berlanjut, walaupun sempat berhenti sebentar pada tahun 2006 ketika pasar Rangkasbitung direnovasi dan semua pedagang kaki lima yang berdagang di jalan raya didata dan diberi tempat dalam pasar, tetap saja mereka harus bayar uang lapak walaupun dicicil. Tapi seiring waktu tetap saja pedagang tidak mau berdagang di dalam pasar yang sudah disiapkan pemerintah, karena mungkin sepi. Dugaan saya bisa jadi benar atau salah. Karena kalau berdagang di jalanan hanya sampai jam 8 pagi paling lama. Dan sekarang, bahkan para pedagang sampai menyebar di sekitar Rabinza (Rangkasbitung Plaza), walau di sekitar kantor Pegadaian itu tetap ada dan semakin banyak saja jalur jalan raya dipakai berdagang. Karena mungkin susah diatur, maka pemerintah Lebak membiarkan saja para pedagang menggunakan aspal jalan raya untuk berdagang

About the author

Avatar

Badrul Munir

Dilahirkan pada 16 April 1978. Menyelesaikan studi Hubungan Masyarakat di LP3I tahun 2000 dan studi Ilmu Dakwah di STITDA – Lebak tahun 2008-2009. Pengajar ilmu Bahasa Inggris di STKIP Banten & STIB Pandeglang. Pernah mengikuti workshop akumassa dan terlibat dalam produksi filem dokumenter Dongeng Rangkas.

4 Comments

  • Rob, pedagang kakilima sebenarnya bukan sesuatu yang baru di indonesia. konsep toko atau pertokoan atau pusat perbelanjaan sebenarnya konsep yang dibawa oleh kolonial. yang disebut transaksi yang sudah menjadi darah daging orang2 di indonesia adalah kaki lima itu. jadi menurut aku, tidak mungkin mengahpus dan menekan dengan cara apa pun. karena kaki lima bukanlah karena pengangguran semata. terlalu naif kalo kita bilang adanya kakilima karena pengangguran. seharusnya kita bisa melihat jauh ke belakang bagaimana kultur masyarakat kita. dan seharusnya juga pemerintah kota juga sadar akan itu.
    salam,
    hafiz

  • ya, benar kita tidak bisa menapik hal itu, karena kaki lima sudah menjadi darah daging diIndonesia, maksud saya adalah ingin menulis awal dari adanya pasar shubuh,perluasan dari kaki lima pasar inti Rangkasbitung,yang terbentuk pada saat terjadinya krisis moneter 1997 sampai sekarang eksis dan bahkan meluas sampai sekitar mal Rabinza.dan saya terlibat dalam pembentukan pasar itu dan mereka bertransaksi dijalan raya bukan didalam pasar.terimakasih atas komentarnya bang.

Tinggalkan Balasan ke hafiz X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.