Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Lebak Membara dan Pemilik Bioskop

10 April 2009

“Ketika seseorang datang dan memunculkan ingatan, memperbincangkan lampau dalam obrolan baru. Apakah kalian pernah menonton filem Lebak Membara?. Maka kami tidak segan menjawab: ya!”. Keterbatasan ingatan kolektif, dengan segala keterbatasan penelusuran kecil pun dimulai”.

Filem yang pernah terinstruksi di lingkungan Sekolah Dasar (SD), kala itu. Ketidaksanggupan menolak sebuah ucapan si pendidik, “wajib di tonton” ungkapnya. Bukan atas dasar kuatnya sistem yang tumbuh subur di lingkungan pendidik. Tetapi lebih karena kami juga tidak berdaya melihat suguhan realitas visual bergerak yang dibuat oleh si pembuatnya. Saat itu, kami terkagum-kagum merasakan keheranan teramat sangat. Pancaran cahaya yang keluar dari mesin berputar. Terus membuai kami sehingga memori ini masih samar mengingatnya. Membelalaklah mata kami atas gerak gambar bersuara yang tersaji di layar lebar putih. Lebak Membara nama filemnya yang harus kami tonton. Potongan obrolan kecil akan segera dimulai.

Atap rumah kampung Lebak Picung terlihat dari kampung Pasir Jati

Atap rumah kampung Lebak Picung terlihat dari kampung Pasir Jati

Badrul Munir:

Jika harus mengingat dengan jelas, sangatlah sulit. Saat pemutaran Lebak Membara, aku masih seorang anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Sampai saat ini, aku hanya ingin terus menonton kembali filem itu jika ada. Jadilah aku menulis tentang pengalaman menonton filem Lebak Membara. Aku haruslah memeras ingatanku tentang filem itu. Yang aku ingat ketika pemutaran filem Lebak Membara. Filem itu diputar di sebuah bioskop bernama Apollo. Terletak di sisi selatan pasar Rangkasbitung. Kini gedungnya sudah tak berbekas karena sudah tergantikan oleh kawasan pertokoan. Usiaku sekitar 6 tahun memasuki kelas 1, Sekolah Dasar saat diajak bapak pergi menonton. Kebiasaan seorang bapak mengajak anaknya untuk menonton sudah sangat wajar di Rangkasbitung. Tempat yang dituju ialah bioskop kebanggaan masyarakat Lebak, Apollo namanya. Pengunjung yang berjejal antri karena banyak masyarakat yang mau menonton. Dan aku melihat jelas kumpulan orang-orang yang mengantri panjang menuju pintu masuk bioskop. Aku sendiri melihat di atas gendongan bapakku.

Kursi penonton yang terbuat dari kayu, aku dengan bapak mendapat kursi yang paling depan. Dengan jelas kami melihat layar berukuran sangat besar memantulkan cahaya putih. Tempat duduk yang leluasa dan bisa bersandar dengan bebas cukup nyaman untuk anak seusiaku. Sinar lampu proyektor mulai menyinari layar. Selang beberapa lama mulailah layar yang besar itu menampakan gambarnya. Suara penonton bergemuruh, bersorak, dan kegirangan karena filem yang akan diputar adalah filem tentang pemberontakan penduduk Lebak terhadap penjajah Jepang. Bapakku menuturkan dengan cakapnya saat itu. Syutingnya dilakukan di Lebak, sekitar wilayah Labuan. Bapakku menambahkan ia melihat sendiri bagaimana syutingnya. Ketika adegan pencopotan rel kereta api oleh para penduduk yang kelaparan, karena pada saat itu seluruh hasil pertanian diambil oleh penjajah jepang dan dibawa ke pusat, yaitu Jakarta untuk keperluan perangnya. Akibatnya para penduduk dan para petani jadi kelaparan dan mengakibatkan pemberontakan. Aku terbayang jika saat itu mereka semua berpura-pura. Ingatanku tentang filem itu pun selalu pada adegan tersebut.

Bapakku sering menceritakan adegan itu ketika berada di rumah, diulang dan diulang terus. Adegan tersebut begitu sangat mengharukan dan menyedihkan sekaligus juga membanggakan, ujarnya. Aku kira, saat kecil aku merasakan hal yang sama. Selanjutnya aku memastikan ke sebuah Sekolah Dasar yang seingatku mewajibkan menonton film itu. Sayang tidak ada banyak keterangan yang didapat. Ibu guru Yani (45) salah satu guru sekolahku. Dari hasil obrolan, hanya didapat pemaparan dan pembenaran tempat shooting filem itu di rumah tua milik Ibu Kania, di daerah Pasir Waru dan Kadu Agung. Selebihnya mereka menjawab lupa akan peristiwa yang mewajibkan anak muridnya menonton filem itu. Tetapi mereka paling tidak memberikan banyak petunjuk sederhana padaku.

***

Zaenudin a.k.a. Dableng:

Mustahil rasanya kalau aku bisa menceritakan filem Lebak Membara sampai akhir. Pertama kali aku menonton filem tersebut, aku baru duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu, aku benar-benar tidak tahu sama sekali kalau sebenarnya filem itu ada kaitannya dengan sejarah tempat kelahiranku, Lebak saat pendudukan Jepang. Waktu itu, aku hanya ingin menonton aksi laga George Rudy, tokoh utama film Lebak Membara. George Rudy sebagai pemuda pemberani dari Lebak melawan penjajahan Jepang dengan peran sebagai Herman, pemuda yang gigih membela rakyat Lebak dari penderitaan serta penindasan dari tentara Dai-Nippon Jepang yang sangat kejam. Ia rela mengorbankan nyawanya demi membela tanah air yang dicintainya. Berikut kira-kira inti dari film Lebak Membara yang masih aku ingat, detailnya aku benar-benar sudah lupa karena memang sudah 25 tahun yang lalu.

Bintang film favoritku saat itu adalah Barry  Prima dan Advent Bangun.

Cuaca malam itu sangat dingin, hembusan anginnya yang kencang sewaktu-waktu membuat orang-orang  yang berada di sekitar lapangan alun-alun kota Rangkasbitung memeluk erat-erat lutut masing-masing. Berusaha mengusir rasa dingin yang menusuk kulit. Perkiraanku saat itu menunjukan jam tiga pagi. Keinginan yang besar beserta rombongan teman-teman dari kampungku rela berjalan sejauh satu kilometer demi menonton filem layar tancap di alun-alun kota Rangkasbitung.

Tiga minggu yang lalu aku menanyai rumah dinas yang terletak di samping Taman Makam Pahlawan. Maksud hati mendapat petunjuk lebih  jelas atau minimal mempertegas asumsi pengalaman lampau. Entah penampilanku yang tidak sopan atau mereka sedang sibuk rapat dinas. Aku hanya dilayani di pintu masuk saja. Dengan berat hati mereka tidak mengiyakan pengalamanku. Penelusuranku jelas tidak menghasilkan secuil keterangan, bahkan arsip tentang kegiatan tahun itu.

Tembok bioskop KAMI masih utuh berdiri, bertolak belakang dengan tembok depan

Tembok bioskop KAMI masih utuh berdiri, bertolak belakang dengan tembok depan

Kembali ke masa lampau, layar berukuran besar yang terbuat dari kain warna putih terbentang. Sesekali layarnya bergoyang-goyang karena terpaan angin. Pemutaran filem belum juga dimulai padahal ratusan orang sudah berkumpul di depan dan di  belakang layar yang ditancapkan. Aku lebih senang melihat dari arah yang terbalik karena takut akan terhimpit, di tengah alun-alun. Hampir semua orang yang ada di situ sengaja membawa selimut atau kain sarung untuk menutupi badannya dari hembusan angin malam yang dingin. Dengan bermodalkan kain sarung dan koran bekas yang aku bawa dari rumah aku berniat menonton filem-filem itu sampai habis. Dan biasanya alas itu sangat berguna jika aku sudah mengantuk ataupun kedinginan.

***

Lokasi bekas gedung Seminar yang sudah menjadi pertokoan

Lokasi bekas gedung Seminar yang sudah menjadi pertokoan

Fuad Fauji:

Pembicaraan tentang ingatan setidaknya tidak akan menjadi apa-apa jika tidak ada penelusuran selanjutnya. Itulah yang terpikir saat kami berbagi ingatan masa lalu di Saidjahforum. Apakah masih ada si pelakunya? Apakah mungkin aku menemukan sedikit jejak yang bisa memastikan keakuratan ingatan atas sebuah peristiwa lampau itu?

Aku dan mereka menulisnya terbata-bata. Menonton film Lebak Membara setidaknya akan menyeret aku pada masa kanak-kanak. Masa yang begitu menggairahkan bagiku. Apapun itu. Aku mau tahu, dan ingin sekali mencobanya. Di tahun 1989, genap umurku menginjak usia sembilan tahun. Kursi yang kududuki saat itu bangku kayu keras yang terbuat dari pohon Jati. Bangku yang disediakan oleh si pendidik untuk kelas enam Sekolah Dasar. Ibu Marsinem (58) salah satu guru SDN Leudimar 09. Saat itu, dialah yang aku ingat dan sekarang masih ada. Dia pula seorang yang mewajibkan aku dan lainnya untuk menonton filem. Dugaanku saat itu, sudah pasti filem perang Janur Kuning yang kesohor di masyarakat akar rumput. Satu dari sekian banyak filem nasional yang harus aku tonton dan menyerahkan rangkuman hasil tontonan. Ternyata filem itu berjudul Lebak Membara. Produksi 1983 karya Imam Tantowi.  Filem yang diamini sebagai filem kebanggan masyarakat Lebak. Masyarakat Lebak yang tersebar di berbagai pelosok perbukitan ataupun di jantung kota sekalipun tahu filem itu. Pengakuan kecil ibu guru Sekolah Dasar, saat itu guru-guru  diinstruksikan untuk mewajibkan anak didiknya menonton filem. Prasangka muncul atas terjadinya pengalaman visual. Jelas jika itu semata-mata atas perintah dari Dinas Pendidikan, tanpa itu aku tidak akan menontonnya. Atau mungkin hanya menonton di layar tancap saat acara pernikahan atau hajatan. Kami asyik berbicara masa lampau dan hanya kata “perintah” itu yang terucap dari orang terpuji yang aku temui. Selebihnya dia banyak menanyakan kabar terakhir tentang kehidupanku.

Dari tulisan terbata-bata itu, aku coba menemui si pemilik gedung bioskop yang pernah kami datangi saat menonton filem Lebak Membara. Dengan susah payah aku menelusuri perkampungan bekas jalan kereta jurusan Bayah. Aku memulai dari kampung Pasir Jati. Perkampungan yang bisa melihat dengan jelas tempat tinggalku dan rumah orang yang akan aku temui untuk diajak berbagi. Setelah mendapat petunjuk dari beberapa kawan di kampung Pasir Jati akupun turun ke kampung Lebak Picung. Setelah bertanya-tanya lagi, akhirnya aku bisa menemuinya di ruangan sederhana miliknya. Ika (75) salah satu keluarga pendiri bioskop pertama di Lebak dengan tegar dan nada keras bertukar cerita di kediamannya beberapa minggu lalu. Berikut petikan wawancaranya dengan pemilik gedung bioskop pertama di Lebak.

Bapak Ika

Bapak Ika

Fuad (Fd):  Apakah bapak tahu bioskop pertama di Lebak?

Ika: Saya tahu bioskop pertama di Lebak. Bioskop pertama, berbadan swasta satu-satunya dimiliki satu keluarga. Keluarga Marjuk. Dan itu keluarga saya. Kita memang pemilik tanah itu sejak tahun 1955. Kita pertama kali mendirikan bioskop di tempat itu. Atas nama bioskop KAMI, KAMI merupakan singkatan dari Kartinah, Afifah, Marjuk, dan Ika. Bapak Marjuk ketika itu tidak banyak anak. Ketika itu bioskop mengalami kemunduran karena masuknya televisi yang berdampak pada kebangkrutan. Saya kira bukan hanya di Rangkasbitung saja tetapi di seluruh Indonesia juga. Gedung bioskop seperti gudang. Dengan ukuran dan bentuk yang sama dengan gudang. Ya kalau nggak ada filem buat apa digunakan gudang itu. Disewakan nggak ada objeknya. Tidak ada yang menyewa. Tidak ada yang nonton. Akhirnya kita jual sajalah. Saat itu saya engga mau ambil pusing. Ya sekarang baru merasakan pusing. Kalau tidak dijual mungkin sudah menjadi milyaran uang saya. Pemilik baru juga bernama Apollo mengalami kebangkrutan. Tidak lama setelah terjadi pembelian.

Fd: Kenapa bapak membuat Bioskop, dan bisa tidak diceritakan proses awal pembuatannya?

Ika: Ya! Kita yang membuatnya. Awalnya kita memulai dari panggung sandiwara.

Fd: Maksud bapak?

Ika: Ya sandiwara, namanya apa yah?. Saat itu kita mendirikan sandiwara.

Fd: Semacam opera?

Ika: Eee…bukan, kalau sekarang disebutnya apa yah?

Fd: Teater!

Ika: Ya..!! Mungkin sekarang namanya teater. Teater lama yang mengacu pada sejarah. Gajah Mada, Hayam Wuruk, terus ini apah..? Lutung Kasarung. Sejarah lama begitu. Setelah itu, karena mengurus orang lebih pusing, akhirnya kita mendirikan bioskop di tahun 1955. Sejak tahun 1955, kita terus memulai operasi. Ada kemajuan, terjual, ganti pimpinan, ya..  Apollo itu. Chow Sun waktu itu dulu. Sekarang dia sudah almarhum. Chow Sun itu, dulunya kuasa dari rokok Djarum.

Kan, dulu sebelum nonton di Apollo kita harus bayar tiket dengan menukar dengan bungkus rokok Djarum. Kamu belum pernah mengalami itu?

Usia kamu berapa tahun?

ika02

Fd: Benar? Jika Lebak punya bioskop satu-satunya?

Ika: Salah. Rangkasbitung memiliki dua bioskop. Yang pertama terletak di wilayah pasar dekat stasiun kereta api. Yang kedua di Jalan Sunan Kali Jaga. Yang sebelah selatan bernama Seminar. Dan yang sebelah utara namanya KAMI. Bioskop Seminar pada awalnya bernama bioskop Gembira. Setelah berhenti penguasanya atau manajer digantilah dengan Seminar. Mereka hanya merombak nama. Karena tanah di situ milik pemerintah. Hak guna pembangunan barangkali. Habis waktu diambil sama Pemda. Jadi rupanya diganti rugi saja oleh Pemda. Kemudian dijadikanlah pasar. Saat itu kami mendirikan bioskop bersamaan. Di Serang juga ada dua bioskop, yang pertama di Royal dan yang kedua di pasar. Nama bioskop di Royal bernama Gembira. Yang tidak ada bioskop mungkin hanya daerah Pandeglang. Masyarakatnya fanatik –agama.red.

Fd: Saya dengar di Labuan ada bioskop?

Ika: Ya memang ada di Labuan. Namanya bioskop Murni. Pemiliknya kawan saya. Tempatnya dekat stasiun kereta api tempo dulu. Persisnya yang sekarang dijadikan pangkalan bus Murni. Di situlah bioskop. Si pemiliknya kenal dengan saya dari awal berdiri. Kalau anda ke sana terus tanya nama saya. Dia pasti tahu. Umur dia lebih muda dari saya. Jikalau perbioskopan saya berani jamin. Rangkasbitung lebih ramai dari Labuan dan yang lainnya. Rangkasbitung punya dua bioskop dan bersaing ketat antara bioskop KAMI dan Seminar.

Fd: Anda kenal dengan pemilik bioskop Seminar?

Ika: Ya! Saya kenal. Dia itukan orang Jakarta. Dia itu orang Chinese. Tapi saya hanya kenal saja. Berbeda dengan yang di Labuan. Saya kenal dekat dengannya. Mungkin karena kami di bawah pengusaha filem yang sama. Terkadang adiknya disuruh cari filem ke Jakarta. Dan saya sering join dengannya.

Fd: Apakah alat untuk bioskop saat itu mahal?

Ika: Saat itu hanya bikin gedung, bangku, kan pake bangku bukan pake jok. Kemudian mesin. Filem sewa, listrik PLN. Dulu kursinya kursi kayu. Masih ada saya contoh kursinya dulu. Ini kursi bioskop dulu semacam ini. Tapi jati –kayu jati.red– loh. Ini salah satu peninggalan sisa dari mana saya tidak tahu. Ya semacam begini, terus diikat belakangnya pake bambu. Supaya tidak bisa di geser-geser. Saya masih punya kursi beginian, habisnya antik.

Fd: Bagaimana dengan pajak pemerintah?

Ika:  Pemerintah. Ya kitakan bayar pajak. Untuk bioskop, setiap menjual satu karcis itu. Pemda mendapat pajak sekian persen dari pada satu nilai karcis. Jadi, kalau satu rol filem harganya lima ratus rupiah untuk lima ratus orang. Kita masuk ke Pemda. Sebelum dijual karcis itu haruslah lapor dulu ke Pemda. Stempel tiap karcis lalu bayar. Dulu mereka enak, maka Pemda banyak duit. Seandainya sekarang lebih banyak duitnya Pemda. Jelas, sekarang sudah salah sistemnya. Sekarang toko Alya itu di flat. Toko-toko yang jualan milyaran itu kan. Ratusan juta semen dan yang lainnya. Ratusan juta itu. Semen, besi dan sebagainya itu. Itukan di flat oleh pajak. Kamu bayar dia sekian juta untuk satu tahun misalnya. Kalau dulu itu ada PPN . barang yang dijual itu diambil sekian persen.

Fd: Siapa yang membeli bioskop Bapak?

Ika: Saat itu, KAMI kesulitan uang dan kawan dari Jakarta membelinya. Dikarenakan di Lebak tidak ada yang mau membeli. Kemudian saya mencari pembeli. Kebetulan ada kawan di pasar ikan, usahanya. Dia ada duit dan join dengan kawannya lalu membeli bioskop saya. Tetapi tidak lama, dia tidak kuat, akhirnya dia jual lagi. Pindah tangan lagi. Itu pada Apollo. Apollo juga tidak kuat, akhirnya dijual lagi. Sekarang. Orang berebut membeli lahan itu buat Rumah Toko (RUKO). Dibuat sekian pintu menjadi sewa kontrak. Atau dijual. Dan itu bagi orang-orang yang punya uang.

Fd: Tahun berapa menjualnya?

Ika: Kita jual bioskop tahun 1969.

Fd: Itukan berdekatan dengan tahun pemberontakan?

Ika: Apaan sih..?! orang saat gerakan G30S kita masih membukanya. Saat itu kita dilempari batu oleh Gerakan Pemuda Rakyat. Karena saat itu kita putar filem Amerika. Pemuda Rakyat tidak senang. PKI itu. Kita banyak didemo. Saya tidak banyak mengerti soal politik. Saya tidak pernah ikut perpolitikan. Hanya saat itu, jika mereka melihat filem Amerika ditayangkan pasti marah. Marahnya kepada yang punya bioskop. Yang marah itu warga Lebak yang ikut dalam organisasi kepartaian. Yang tidak, ya pasti tidak. Ya penonton mereka terus saja menonton. Kalau misalkan pas lagi mau nonton ribut-ribut, paling-paling bubar dan tidak jadi filemnya diputar. Kejadian itu sering terjadi saat perpolitikan PKI. Sebelumnya tidak pernah ada. Jadi kalau dihitung dari tahun 1955 sampai 1965 belum pernah terjadi kerusuhan.

kursi

1965… mmm, sekitar 1968an lah kita menjualnya. Bioskop itu. Nah.. Setelah bioskop itu dijual kepada Djarum. Dibangun sedikit. Dibangun lagi bioskop. Tapi engga berapa lama. Sudah bikin bioskop, dijual lagi. Ya.. Kemudian jadilah yang sekarang ini. Oleh saudara Bhun Tiaw. Beruntung dia. Yang sekarang ini. Yang punya hotel Kharisma. Itu sebelahnya hotel punya saya yang dijual kepada dia. Hotel KAMI juga. Kita mempunyai bangunan dua. Hotel KAMI, yang sekarang jadi pertokoan, yang dibuat tingkat, sama yang sekarang dibuat pertokoan lagi. Yaitu bioskop KAMI. Tanah itu luasnya 1.600 meter. Sudah habis semuanya. Ya, kita akhirnya pindah ke Lebak Picung. Kira-kira sejak tahun 1980. Karena inflasi uang. Saat itu kita jual seharga Rp. 17.000.000,-. Hotel sebegitu besarnya sekarang harganya berapa Milyar itu. Haa…haa..haa..!! kalau ingat ke situ waduuuhhh.. bisa tiring istilahnya. Tapi ya sudahlah. Benar, dulu kita menjualnya segitu. Bioskop itu kita jual Rp. 1.000.000,-. Orang dulu di Rangkasbitung disuruh beli segitu tidak ada yang berani membeli. Seluruh Rangkasbitung nggak ada yang punya uang. Seluruh Rangkasbitung. Yang beli juga orang Jakarta. Jadi kuatnya uang dulu dengan kuatnya uang sekarang bayangkan saja. Sekarang sudah tidak aneh lagi. Di kampung saja uang sekarang bisa milyaran. Di kota banyak orang susah. Pekerja pabrik dan sebagainya.

Fd: Filem apa saja yang dipertontonkan tahun 1950an di bioskop KAMI?

Ika: Saat itu filem yang diputar ialah film X Am Pay. Amerika. Itu semua produser orang Amerika. Filem-filem itu masih black and white. Belakangan ini saja color.

Fd: Film eropa tidak ada?

Ika: Ya Eropa termasuknya amerika juga. Ada Eropa film Italia, Rusia ada, Prancis, ya dunialah..!! Tapi pada umumnya disatukannya oleh pengusaha Amerika. Yang ada di Jalan Segara Satu. Dekat istana itu. Dulu. Segara satu, Segara dua, Segara Tiga. Di situ blok filem semuanya. MGM, Twentieth Century Fox, RKO, Columbia, dan sebagainya. Itu semua assembling Amerika, hanya pindah kantor-kantor saja. Saya hafal soal filem itu mah.

Fd: Bapak dapat filemnya?

Ika: Kita dapat sewa filemnya dari sana. Kan sistemnya sewa. Sewa tiga hari flat berapa? Rp.500,-. Tiga hari lima ratus perak. Karcisnya hanya seperak dulu. Bayangkan saja. Haa..haaa..!! nonton satu perak, sewanya lima ratus. Itu tiga hari belum tentu banyak orang yang nonton karena kalau orang seneng baru banyak, tapi kalau engga ya rugilah kita. Sewa lima ratus bisa rugi kita.

Fd: Saat itu ramai?

Ika: Weitss.. Jangan salah, ramai lah… Ramai sekali. Kursi lima ratus habis jikalau ramai.

Fd: Emang mereka ngerti bahasanya?

Ika: Orang-orang Indonesia segala bahasa senang kok! Ada filem Cina, orang seneng. Asal filemnya action. Filem yang dia bisa ngerti. Filem India, Italia juga senang. Sejarah itu. Gladiator, Ben Hur itu, kan, Italia.

Fd: Kalau filem Rusia?

Ika: Ya itu..!! Filem Rusia orang kurang seneng. Cara berpakaiannya juga kurang seneng. Pokoknya urusan filem saya mencari sendiri, dan sewa juga sendiri. Saya kalau ke Jakarta setiap hari atau dua kali sehari. Saya juga memutar sendiri. Pekerja bioskop tidak ada lagi. Kami sekeluarga yang mengerjakannya. Ibu, bapak, anak, dan yang lain-lain hanyalah karyawan kecil lah. Tapi kalau yang potensi urusan filem saya. Dan sayalah yang bertugas mengambilnya ke Jakarta. Kantor filem mana saja di Jakarta saat itu saya tahu.

Fd: Mungkin bapak banyak tinggal di sana?

Ika: Ya..! Saya sering tinggal di Jakarta. Saat itu saya sekolah. Di Universitas Kristen Indonesia (UKI). Saya masuk kuliah tahun 1960 dan tahun 1959 saya sudah lulus dari Sekolah Lanjutan Atas (SLA), Serang. Dulu SLA di sini tidak ada. Kita sekolah ke Serang, tiap paginya kita naik kereta. Jam empat pagi, kita sudah jalan naik kereta yang menggunakan bahan bakar arang. Terkadang perih jika kena mata. Sekarang saya lihat anak-anak sekolah tinggal enaknya. Kemana-mana pake angkot. Jarak dekat juga pake angkot, dulu kita tidaklah begitu. Saya dulu tiga tahun sekolah di Serang. Berangkat pagi pulang siang. Dulu, kita belum pernah disuruh-suruh sama orang tua untuk sekolah.. sekolah..!! bangun pagi..!! Engga tuh. Bangun dan sekolah sendiri. Kalau anak-anak sekolah sekarang harus dipukul dan dibangunkan, kalau tidak, mana mau sekolah. Itu bedanya sekarang. Kita bicara realitanya saja.

Fd: Saat menyewa filem ke Jakarta apakah tidak mengalami kesulitan transportasi?

Ika: Tidak. Saya terkadang pakai kereta api dan kendaraan roda dua. Rutenya cukup jauh karena harus ke Serang dulu. Tiga hari sekali biasanya saya naik motor ke Jakarta. Bayangkan, dari sini ke Pandeglang saja 20 kilo, dari Pandeglang ke Serang jaraknya 23 kilo. Dari Serang ke Jakarta jaraknya 91 kilo. Di daerah Lebak Timur tidak ada jalan menuju Jakarta. Hanya ada satu jalan ke timur, yakni menuju Bogor saja. Jarak yang jauh saya tempuh puluhan tahun. Di jalanan kecepatan kendaraan sepeda motor mencapai 100 km/jam, itu tidak ada apa-apanya. Lari terus ke Jakarta. Kalau saya berangkat dari Rangkasbitung jam 5 pagi, jam 7 saya sudah sampai di jalan Istana Jakarta.

Fd: Bagaimana dengan sensor?

Ika: Dulu sangatlah ketat. Saya harus menyetorkan terlebih dahulu filem yang akan diputar ke polisi. Tetapi sebelumnya kami sudah memotong bagian-bagian yang vulgar supaya dipermudah. Saat pemutaran, biasanya polisi terlibat pemeriksaan secara ketat. Dia biasanya naik ke tempat proyektor dan menyalakan lampu besar. Anak buahnya dan saya menelusuri satu persatu kursi bioskop. Pernah ada kejadian saya dengan polisi terlibat pertengkaran hebat. Gara-garanya ada sepasang suami istri yang masuk bioskop terus dikeluarkan. Saya tidak terima. Penonton itu sudah menunjukan KTP dan surat nikah. Mungkin polisi hanya melihat dari tubuh dan tampang saja. Mereka memiliki tubuh yang kecil. Pokoknya polisi sering kami kritik saat itu karena biasanya ada saja masalah.

Fd: Bapak kenal dengan Misbach?

Ika: Kok kamu tahu? Misbach Yusa Biran kan? Kamu tahu darimana si Misbach?
Berapa umurmu?

Fd: Umur saya antara 26 sampai 27 tahun. Saya hanya kenal sedikit. Itupun hanya dari buku saja dan cerita-cerita kawan diskusi dari Forum Lenteng. Kalau ada waktu, saya ingin ketemu dia.

Ika: Dia itu kakak kelasku saat SMP. Waktu itu saya hanya teman bermain dengannya. Tetapi dengan Dorodjatun Kuntjorojakti saya teman sebangku. Misbach orangnya alim, dan pendiam sekali. Dia sungguh berbeda dengan kami. Dia tidak senang main bola. Dari keluarganya ada keturunan darah seni. Sehingga ada adiknya bernama Ida Farida seorang sutradara juga. Misbach Yusa Biran, foto-fotonya banyak. Dia sih hobinya memfoto. Minta sama dia saja di studio miliknya. Mungkin bisa kamu dapatkan di studio Bantam. Kami sering bermain bahkan nonton bareng di bioskop milik saya. Bilang jika ketemu dia. Ada salam dari KAMI, pasti dia tahu. Orang waktu kecil kami sering kali bermain. Tetapi saat itu dia melanjutkan SLA di Jakarta bersama Dorodjatun Kuntjorojakti. Kabarnya Kuntjoro jadi menteri yah. Benerkan? Katanya sih begitu. Saya pernah nyari-nyari buku di kediamannya di Gang Tarman. Tapi saat itu saya tidak mendapat izin oleh penjaga rumahnya.

Fd: Filem apa yang bapak suka?

Ika: Saya jenis filem apa saja suka. Asal ada sifat action. Walaupun bohong tapi saya senang melihatnya. Saya senang filem yang bisa membawa hati saya jadi keras. Tekniknya terkadang bagus. Ceritanya juga bagus. Misalkan perang, penyelundupan, saya hobi yang nonton begitu-begitu. “Intel dimasukkan ke wilayah terlarang yang tidak aman. Saya senang walau pada kenyataannya bohong. Semua filem-filem bohong, tapi kalau action dibohonginya tidak jelas-jelas.

Fd: Bapak tahu filem action Lebak Membara?

Ika: Itu, kan, sejarah. Saya, sih, senang saja. Jadi meningkatkan pengetahuan kita pada sejarah. Itu sebetulnya bagus. Tetapi gimana, saya sudah tahu itu filem.

Fd: Apa selanjutnya yang anda lakukan setelah menjual bioskop?

Ika: Saat itu, saya beralih-alih profesi. Dari mulai jadi pemborong, penjual minyak kelapa, pokoknya ikut segala macam urusan dengan kawan-kawan yang bernasib baik. Saat itu karena banyak kawan jadi saya bisa ikut mereka. Sekarang saya berumur 70 tahun lebih. Bukannya mengurangi kawan malah nambah kawan. Setiap ketemu saya dia pasti jadi kawan saya, termasuk anda. Di Lebak ini saya tidak memiliki musuh sepotongpun. Sampai ke selatan sana. Bayah.

Fd: Apakah ada yang tersisa dari dokumentasi atau arsip bioskop KAMI?

Ika: Itu dia..!! Itu kelemahan saya. Dari dulu saya tidak suka foto-memfoto bahkan mengarsipkan sesuatu. Atau intinya menyisakan untuk kenangan. Saya tidak hobi.

menunjuk-kursi

“Tidak ada, Nak… tidak ada..! Hanya kursi jati mung,” ujarnya merasa bersalah.

About the author

Avatar

Badrul Munir

Dilahirkan pada 16 April 1978. Menyelesaikan studi Hubungan Masyarakat di LP3I tahun 2000 dan studi Ilmu Dakwah di STITDA – Lebak tahun 2008-2009. Pengajar ilmu Bahasa Inggris di STKIP Banten & STIB Pandeglang. Pernah mengikuti workshop akumassa dan terlibat dalam produksi filem dokumenter Dongeng Rangkas.

About the author

Avatar

Jaenudin "Dableng"

Zainudin "Dableng" adalah salah seorang anggota Saidjah Forum. Ia terlibat dalam kegiatan lokakarya AKUMASSA Lebak, dan juga dalam produksi film dokumenter panjang, berjudul Dongeng Rangkas (2011, disutradarai oleh Andang Kelana, Badrul “Rob” Munir, Fuad Fauji, Hafiz & Syaiful Anwar) yang diproduksi oleh Saidjah Forum dan Forum Lenteng.

About the author

Avatar

Fuad Fauji

Dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan komunitas Saidjah. Kerja video pertamanya adalah “Saidjah Project”, 2005. Pada tahun 2007 akhir, ia mendapatkan gelar S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, konsentrasi Jurnalistik. Film fiksi pertamanya “Maria”, hasil project workshop Cerpen ke Filem yang diadakan Forum Lenteng, 2008. Dia dibesarkan oleh keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya petani musiman di Leuwidamar. Kadang bertani kadang tidak. Ayahnya telah meninggal bersamaan dengan kerja residensi pertamanya di Tanjung Priuk tahun 2009. Terlibat dalam produksi teks dan video dokumenter di akumassa. Sejak tahun 2010 hingga sekarang ia bekerja dengan Dewan Kesenian Jakarta sebagai peneliti kritik seni rupa Indonesia. Bersama program akumassa dan Saidjah Forum, karya-karyanya telah diputar di berbagai perhelatan filem dan seni rupa, antara lain; Festival Film Dokumenter ke-9 (2009); The Loss of The Real, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung (2010); Decompression #10, Expanding Space and Public, ruangrupa, Galeri Nasional Indonesia – Jakarta (2010); The Decade of Reformation: Indonesian Film/Video, Artsonje Arthall, Korea Selatan; 24 Edition Images Festival, Toronto Free Gallery, Kanada; Selametan Digital, Langgeng Art Foundation, Yogyakarta (2011); Entre Utopia y Distopia-Palestra Asia di Museo Universitario Arte Contemporaneo, Meksiko (2011).

9 Comments

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.