DKI Jakarta

Oleh-oleh dari Ancol: Pentingnya Strategi Politik Bagi Komunitas

Diskusi
Avatar
Written by Manshur Zikri

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan menghadiri pameran di North Art Space, Pasar Seni Jaya Ancol. Yang menarik, terutama bagi saya, adalah kemasan pamerannya, yang belum pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya.

Para pengunjung pameran FIXER di North Art Space, Ancol

Para pengunjung pameran FIXER di North Art Space, Ancol

Selama ini saya mengira apa yang dipamerkan dalam sebuah acara pameran adalah karya-karya seni atau teknologi. Akan tetapi, apa yang dipamerkan dalam acara tersebut sungguh berbeda. Saya takjub, karena yang dipamerkan bukan hanya sekadar karya, tetapi juga komunitas-komunitas atau organisasi-organisasi pilihan, yang aktif dalam kegiatan seni, yang tersebar di Indonesia. Bagi saya, pameran yang seperti itu merupakan sesuatu yang baru.

FIXER, Pameran Ruang Alternatif & Kelompok Seni Rupa di Indonesia. Begitulah kalimat yang tertulis di sampul buku katalog berwarna biru, bergambar labirin yang sedikit cembung, yang memuat berbagai informasi dan penjelasan tentang komunitas-komunitas yang menjadi peserta dalam pameran tersebut.

Sampul depan katalog FIXER

Sampul depan katalog FIXER.

Pengunjung pameran di sekitar North Art Space (pada acara pembukaan pameran 18 Juni 2010)

Pengunjung pameran di sekitar North Art Space (pada acara pembukaan pameran 18 Juni 2010)

Awalnya saya berpikir, mungkin yang dipamerkan hanyalah karya-karya yang telah dibuat oleh masing-masing komunitas. Namun, setelah mengikuti beberapa diskusi yang diadakan dalam acara itu, saya berkesimpulan bahwa memang komunitas-komunitas pilihan itu lah yang sebenarnya dipamerkan, di mana di dalam gedung pameran itu dipajang banyak foto, video dan karya seni rupa lainnya milik setiap komunitas beserta juga dengan profilnya masing-masing.

FIXER, acara pameran yang dikuratori oleh Ade Darmawan dan Rifky Effendy itu, diselenggarakan pada tanggal 19 hingga 28 Juni 2010. Diikuti oleh 21 komunitas/organisasi dari berbagai kota, dia ntaranya Padang Panjang (Sarueh), Jakarta (Akademi Samali, Atap Alis, Forum Lenteng, Kampung Segart, Maros Visual Culture Initiative, ruangrupa, Serrum, dan Tembok Bomber), Bandung (Asbestos Art Space, Common Room Networks Foundation, dan Videolab), Jatiwangi (Jatiwangi Art Factory), Cirebon (Gardu Unik), Semarang (Byar Creative Industry), Yogyakarta (House of Natural Fiber, Ruang Mes56, dan Performance Klub), Malang (Malang Meeting Point), Surabaya (Urbansmpace), dan Makassar (Ruang Akal).

Komunitas Gardu Unik (Cirebon) dan Sarueh (Padang Panjang) juga tergabung dalam komunitas jaringan akumassa.

Dari semua benda yang dipamerkan itu, di mana saya masih berpikir sampai saat ini bahwa n=benda-benda itu pastinya mewakili kegiatan dan program yang dimiliki oleh setiap komunitas, yang menarik perhatian saya adalah karya dari House of Natural Fiber (HONF), yang memajang karya berupa rangkaian alat-alat yang sering saya lihat di ruang laboratorium kimia. Salah satu karya dari HONF ini memperlihatkan tentang pembuatan cairan dari buah-buahan, yang kemudian menghasilkan suara.

Karya

Karya dari House Of Natural Fiber (HONF)

Setelah bertanya ke sana kemari, saya baru mengetahui bahwa karya itu adalah contoh dari karya seni media baru. Kemudian ada juga karya video dari Forum Lenteng yang berjudul “Bilal”. Adegan yang terlihat adalah seorang anak berdandan  punk sedang mengumandangkan azdan. Aneh tapi menarik, mengundang tanya dan takjub dalam kepala saya.

Pada acara pembukaan pameran, saya langsung membaca beberapa tulisan dalam buku katalog yang saya dapat di meja tamu. Dan tulisan dari Ade Darmawan langsung membuat saya mengerti alasan mengapa pameran ini dihelatkan.

Selama ini, produksi gagasan seni rupa tidak diimbangi dengan dukungan dan pengembangan elemen lain seperti kritik, kajian, pendidikan, penerbitan, serta fasilitas ruang sebagai sarana pembentuk wacana, pendukung apresiasi, serta penyebaran informasi dan promosi, baik dalam skala nasional maupun internasional. (Ade Darmawan, Juni 2010)

Begitulah kutipan dari tulisan berjudul “Memperbaiki Mata Rantai Siklus Gagasan”. Lebih lanjut Ade menjelaskan dalam tulisannya:

Sejumlah inisiatif seniman yang muncul kemudian, akhirnya tak hanya mencoba melengkapi dan memperbaiki terputusnya mata rantai siklus produksi gagasan seni rupa tersebut, namun juga membawanya ke dalam konteks masyarakat yang lebih luas. (Ade Darmawan, Juni 2010)

Setelah membacanya, saya menyadari bahwa usaha dari komunitas-komunitas ini sungguh mulia. Mereka mencoba mengemas seni menjadi sesuatu yang baru dengan memanfaatkan perkembangan teknologi dan media sehingga karya-karya yang diciptakan menjadi tidak kaku dengan aturan yang konvensional. Saya rasa, tidak ada salahnya mengatakan para aktivis-aktivis yang tetap bertahan dengan komunitas yang mereka bangun ini sebagai pahlawan.

Namun begitu, saya masih melihat beberapa kekurangan, bukan dari acara pameran FIXER-nya, melainkan dari beberapa komunitas-komunitas ini. Tentu saja hal ini mungkin hanya pendapat pribadi saya, tetapi mungkin juga pendapat saya itu benar. Pendapat ini muncul ketika saya menghadiri acara diskusi pada hari ke tiga pameran, 20 Juni 2010. Tema diskusi kali itu adalah “Strategi artistik di ruang kota dan warga”. Dalam diskusi itu, yang menjadi bahasan adalah mengenai langkah-langkah dari masing-masing komunitas dalam melakukan negosiasi terhadap masyarakat berhubungan dengan aktivitas berkesenian mereka di ruang publik. Saya masih ingat satu pernyataan dari peserta diskusi yang sangat menggelitik telinga saya. Kira-kira pertanyaannya seperti ini, “Apa strategi kalian dalam melakukan negosiasi dengan masyarakat, karena ruang-ruang yang kalian bubuhkan dengan karya seni itu adalah milik publik/umum, belum tentu semua masyarakat menyetujui dengan aksi kalian?”

Pertanyaan itu dijawab oleh masing-masing komunitas yang duduk di meja depan. Akan tetapi, saya tidak menemukan inti jawaban yang memuaskan. Bahkan menurut saya, jawaban dari dua atau tiga komunitas itu sedikit ke luar jalur dari inti pertanyaan yang dilontarkan. Sayangnya, saat itu saya tidak memilki cukup keberanian untuk bertanya, karena merasa masih belum mengetahui apa-apa dan takut keliru untuk menyampaikan pendapat atau pertanyaan.

Diskusi

Diskusi bertema Strategi artistik di ruang kota dan warga

Pertanyaan selanjutnya, yang menurut saya juga penting, yang dilontarkan oleh orang yang sama kepada komunitas yang melakukan presentasi, adalah mengenai strategi politik, yaitu mengenai standar-standar yang dimiliki oleh komunitas. Kira-kira pertanyaannya seperti ini, “Apa tolak ukur kalian dalam menentukan bahwa program yang kalian jalankan telah berjalan dengan baik dan sesuai tujuan, seperti contohnya, dalam pendidikan terdapat standar kurikulum untuk menentukan sukses atau tidaknnya pendidikan itu berjalan. Bagaimana cara kalian mengukur itu?”

Lagi-lagi jawaban yang diberikan tidak memuaskan saya. Karena perwakilan dari komunitas yang melakukan presentasi saat itu tidak menyebutkan standar-standar yang dimaksudkan.

Hingga acara diskusi itu selesai, kegelisahan saya terhadap hasil diskusi saya simpan saja. Karena seperti yang saya katakan sebelumnya, saya tidak memilki cukup keberanian untuk bertanya.

Dari pelajaran yang saya dapatkan tentang komunitas atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di kampus, strategi politik itu merupakan suatu hal yang penting. Karena strategi itu lah yang akan menentukan apakah suatu organisasi dapat bertahan atau tidak.

Penyelenggaraan acara pameran FIXER ini, menurut saya, merupakan salah satu cara dari perwujudan strategi politik tersebut. Membangun jaring-jaring yang menghubungkan setiap komunitas di Indonesia akan meningkatkan kekuatan dalam menempuh jalan menuju generasi yang maju. Saya berharap, di lain waktu saya dapat menghadiri acara-acara yang serupa seperti pameran FIXER ini. Selain makanan kecil yang disajikan lumayan lezat dan hiburan yang meriah pada acara pembukaan, kegiatan seperti ini banyak menambah wawasan saya sebagai mahasiswa yang masih baru.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

5 Comments

  • untuk zikri tidak usah takut bertanya, nanti bisa berani menggerutu… he..he..he… tulisan ini juga langkah keberanian juga lho…. saya pun juga bertanya2… khususnya pada beberapa komunitas yang hadir di pameran itu, apakah kosa kata ‘komunitas’ nya masih definitif? lalu aksi berkeseniannya apa? komunitas seni atau seni yang di komunitas kan? apa beda LSM (lembaga swadaya masyarakat) dengan Ornop/NGO (organisasi non pemerintah/non goverment organization)? dan semoga pengertian suatu organisasi seni dapat bertahan tuh semata-mata karena secara cita-cita, khususnya cita-cita kebudayaan,
    thanks zikri…atas tulisan nya yang memancing saya untuk discuss…. tentu discuss yang secara cita-cita… hehehhehe

  • @akbar yummi: ya mau gmn, Bang? emang kaga berani… wkwkw, ya lain kali smoga aj keberanian itu ada. Amin.

    nb: perasaan gue, foto yg terakhir itu bukan foto diskusi yang dimaksud dalam tulisan, deh! Salah upload foto kah?

  • zikriii…

    T.O.p bangeet daahhh… tulisannya zik, tapi mang benar kalo qt gak nanya secara langsuung, itu membuat qt tidak menjadi merasa gak puaas..dengan jawaban2 dari orang yang bersangkutan tersebuut, jujur.. waktu pertama kali aq nanya didepan para komuntias se indonesia tersebut, aq awalnya grogi karna hal tersebut merupakan pertanyaan q yg pertama dengan orang2 komunitas se indonesia, sehingga aq sendiri jadi kenal lebih jauh lagi dengan mereka, huu.. jadi terharu..

    tuk tulisaan tentang pameran FIXER nya.., y.. keduluaan zikri dah.. hiks..hiks..:(

    sekali lagi T.O.P dah…
    cayoo akumassa..

    • Ya itu memang foto dikusi, tapi temanya bukan tentang strategi artistik di ruang kota dan warga, melainkan tentang seni media baru. Diskusi yang dimaksud dalam tulisan itu diskusi yang setelah ini.

      Apa jangan2 ga ada di dalam kamera ya? Tapi seinget gue diambil kok.

      Kalau bole saran, kalau memang ga ada, lebih baik nama fotonya diganti aja, sesuai dengan tema diskusi yang sebenarnya, atau ditulis : suasana dari salah satu diskusi di pemeran FIXER.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.