Jurnal Kecamatan: Jatiwaras Kota/Kabupaten: Tasikmalaya Provinsi: Jawa Barat

Oleh-oleh Dari Festival Jawa Kidul: Dari Desa Membangun Nusantara

Avatar
Written by Imam Rahmadi

Sabtu pagi, ketika orang-orang biasanya menikmati akhir pekan dengan bangun siang dan kemudian bermalas-malasan, sebagaimana aku juga biasa melakukannya. Namun, tidak untuk Sabtu pagi, 2 Juni 2012, kemarin. Aku harus bangun pagi, segera mandi dan tak lupa gosok gigi, berbenah menyiapkan segala perlengkapan, dan selanjutnya segera pergi.

Belum selesai berbenah, “Mam, aku udah di halte UIN”, Renal Rinoza Kasturi, teman dari sesama Komunitas Djunda, melayangkan pesan singkatnya melalui ponsel. Memang, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Berarti, sudah melesat satu jam dari waktu yang telah direncanakan, padahal malamnya aku berencana akan berangkat pukul enam pagi.

Adalah Festival Jawa Kidul, di Desa Mandalamekar, Kecamatan Jatiwaras, Kabupaten Tasikmalaya yang membuat aktivitas pagi ini sangat berbeda. Festival Jawa Kidul merupakan festival dunia pedesaan di daerah Jawa bagian Selatan. Festival itu diselenggarakan selama empat hari, mulai Sabtu, 2 Juni 2012, hingga Selasa, 5 Juni 2012. Acara itu diselenggarakan atas kerjasama antara Desa Mandalamekar, Gerakan Desa Membangun (GDM), Infest, dan Blogger Nusantara.

Festival yang digagas oleh jaringan Gerakan Desa Membangun ini menjadi ajang pertemuan dan bertukar pikiran bagi desa-desa anggota jaringannya. Mereka tersebar di Kabupaten Kulonprogo, Kebumen, Cilacap, Banyumas, Ciamis, Tasikmalaya, Cianjur, Garut, Lebak, dan Sukabumi. Hingga saat ini, sudah ada 100 desa yang menjadi anggota dari Gerakan Desa Membangun.

Logo Festival Jawa Kidul

Empat jam sudah aku dibawa oleh bis yang berjalan menaiki lembah berkelak-kelok, melintasi jalanan beriring jurang, disertai angin pegunungan yang menerjang. Namun, rasanya, Kabupaten Tasikmalaya tidak muncul-muncul juga. Dalam benak, aku berkata, berapa lama lagi perjalanan ini. Bis pun tetap melaju kencang, dan aku pun masih terus berangan untuk segera menyudahi perjalanan, berharap segera sampai.

Lega sekali rasanya, tepat pukul dua siang, perjalanan itu usai. Aku dan Renal turun di depan Terminal Tasikmalaya. Terhitung sejak mulai naik ke bis tadi, pada pukul delapan pagi, berarti enam jam waktu tempuh perjalanan. Sungguh waktu tempuh yang relatif cukup lama, juga cukup melelahkan. Melihat ke sekitar Terminal, aku dan Renal sempat linglung sekaligus bingung. Sudah sampai ini, ya? Sudah di depan terminal, hah? Maklumlah, ini adalah pertama kalinya kaki menginjak Kabupaten Tasikmalaya.

Ternyata, karena perjalanan Tasikmalaya menuju Jakarta yang cukup lama, bis jemputan dari panitia sudah berangkat satu jam yang lalu. Setelah menghubungi panitia, aku disuruh untuk menunggu hingga dijemput. Namun, hingga pukul lima sore, jemputan tak kunjung datang. Bagaimana pun, secara manusiawi aku dan Renal sedikit kesal. Akhirnya, kita berinisiatif untuk berangkat menuju lokasi dengan menggunakan bis umum saja, tanpa harus dijemput.

Setelah menghubungi bapak Yana Noviadi, Kepala Desa Mandalamekar, aku dan Renal diberi petunjuk perjalanannya. Tepat di depan sudah siap bis kecil yang menuju ke Kecamatan Jatiwaras. Sebelum penumpang penuh, aku segera masuk. Tidak lama kemudian, ketika bis sudah penuh, bis pun segera melaju kencang. Senja sudah larut menuju malam. Suasana di luar semakin gelap, penumpang semakin sesak. Aku sudah tidak menghiraukan lagi apa yang terlintas di luar, namun yang aku rasakan jalan yang dilewati masih tetap berkelak-kelok, naik menjulang, menurun tajam, berputar 180 derajat, dan entahlah seperti apa lagi, kosa kataku sudah habis untuk bisa mengungkapkannya.

Lagi-lagi, dalam benak kuberkata, “Sudah sekian kelokan lembah pegunungan terlewati, namun SMP Cibalong, tempat yang disebut Bapak Yana Noviadi agar aku dan Renal turun dari bis, tak kunjung terlihat.” Setelah sekitar satu setengah jam perjalanan, akhirnya tibalah juga di SMP Cibalong.

Sejenak aku dan Renal menunggu, dua motor mendekati. Mereka berdua adalah panitia yang bertugas melakukan penjemputan. Perjalanan belum khatam sampai di situ, ternyata. Dalam kegelapan, perjalanan berlanjut masuk ke jalan terjal berliku berbatu, di sebelah kanan-kiri hanya ada pepohonan yang menjulang tinggi, tak ada satu pun rumah warga.

“Mas, sebentar lagi siap-siap, ya! Ini mau melewati jembatan kayu, kalau berani lihat saja ke bawah, Mas!” kata mas Adray, panitia yang menjemput tadi, sambil sedikit bercanda.

“Waduh!” sambil garuk-garuk kepala singkat aku menanggapi.

“Iya, Mas, emang ini jalan cepatnya, ini masih mending lewatnya malam, coba kalau siang. Ngeri banget, Mas kalau lihat ke bawah. Hehe!” seraya tertawa Mas Adray menyambung percakapan.

Berdebar aku melewati jembatan kayu sepanjang kurang lebih dua ratus meter itu. “Setelah ini jalannya batu-batu, Mas, terus tanjakannya tajem banget, loh!” Mas Adray kembali menyambung percakapan, seolah menyuguhkan tantangan.

“Siap, Mas Adray!” aku jawab dengan lantang. Dan aku berkata lagi, sambil bergurau, “Eh Mas, ini masih Indonesia gak, sih?” yang kemudian disambut dengan tawa bersama dalam perjalanan terjal penuh tantangan itu.

Memang, yang berikutnya kami lewati adalah jalan cepatnya, yang hanya bisa dilewati menggunakan sepeda motor. Jalan masuk utama menuju Desa Mandalamekar berada di jalan yang berbeda. Jarak tempuhnya juga lama, yakni kurang lebih membutuhkan waktu satu jam. Bila melalui jalan alternatif itu, bisa lebih cepat, yaitu hanya setengah jam. Dalam benak kembali kuberkata, “Ternyata Desa Mandalamekar ini sungguh lebih desa dari desaku di Klaten sana.”

Kurang lebih tiga puluh menit sudah perjalanan, akhirnya aku dan Renal sampai juga di Desa Mandalamekar. Sungguh, seratus persen tak terkira dan tak terbayang akan  seberat ini perjuangan menuju tempat itu. Namun, tak terbayang juga sensasi melewati jalan terjal berliku di malam hari. Melintasi jembatan kayu, naik menukik dan menurun curam. Itu justru membuatku terhibur penuh fantasi. Aku pun juga menjadi maklum tentang penantian tiga jam menunggu jemputan yang tak kunjung datang sore tadi. Wajar, karena ternyata medannya begini. Sekaligus juga aku menjadi salut sepenuh hati, desa pelosok sepertei Mandalamekar bisa mengadakan acara festival sebesar itu.

Malam pertama diisi dengan acara pembukaan Festival Jawa Kidul oleh Kepala Desa Mandalamekar, Bapak Yana Noviadi, bertempat di panggung rakyat. Acara dimulai sekitar pukul delapan. Beliau mengucapkan selamat datang kepada seluruh peserta yang telah berkenan datang untuk mengikuti rangkaian acara Festival Jawa Kidul yang akan berlangsung selama empat hari.

Yana Noviadi Kepala Desa Mandalamekar

Setelah pembukaan, acara dilanjutkan dengan bincang-bincang tentang Gerakan Desa Membangun (GDM) dan pengenalan Festival Jawa Kidul, berkaitan dengan latar belakang diadakannnya acara tersebut. Sesi itu dimoderatori oleh Ibad, dari Infest dan juga Combine, dengan narasumber Qodirin dari jaringan GDM Banyumas, Jalu dari aktivis kehutanan, dan Irman Meilandi, selaku ketua panitia Festival Jawa Kidul. Sebelum memulai bicang-bincang yang sudah siap disimak oleh kurang lebih empat ratus peserta festival dan warga yang telah hadir. Ibad menjelaskan bahwa acara ini disiarkan secara langsung melalui radio komunitas Desa Mandalamekar, Ruyuk FM. Juga untuk membuat asyik suasana, ada live tweet yang dapat dilihat di layar.

Gerakan Desa Membangun adalah gerakan yang dilatarbelakangi masyarakat desa untuk mengangkat potensi desa yang ada. Konsep desa membangun menempatkan peranan masyarakat dalam pembangunan sebagai subjek yang bersifat aktif. Konsep ini berbeda dengan konsep membangun desa yang bersifat dari atas ke bawah, yang menyebabkan masyarakat tidak banyak berperan. Ini adalah gerakan akar rumput, dari bawah ke atas untuk menuju negara yang lebih maju. Materi yang sangat filosofis ini disampaikan oleh Qodirin dengan logat banyumasan yang sangat khas.

Jalu, sebagai aktivis kehutanan, melihat potensi hutan desa yang harus diberdayakan secara maksimal. Sayangnya, hal itu masih sekadar wacana. Masyarakat dan hutan sekarang justru dihadapkan dengan permasalahan pelik kepemilikan hutan. Semakin disayangkan, data-data menunjukkah bahwa kebanyakan masyarakat miskin terletak di tepi hutan. Hal ini sangat ironis, padahal hutan desa seharusnya dapat menopang kesejahteraan masyarakat desa.

Dari kiri ke kanan, Qodirin, Jalu, Irman Meiladi dan Ibad

Berdasarkan keprihatinan yang dialami oleh masyarakat desa, maka Gerakan Desa Membangun ini menjadi sangat penting. Adanya Festival Jawa Kidul ini diharapkan dapat merumuskan solusi dari permasalahan yang dihadapi masyarakat desa. Dengan meningkatkan sumber daya yang ada, dan dengan diiringi dorongan dari pemerintah, kelak akan lahirlah desa-desa yang mandiri. Inilah yang pada dasarnya melatarbelakangi acara festival tersebut. Hal itu dijelaskan oleh Irman Meilandi dengan penuh semangat.

Satu suara dari ketiga narasumber tersebut, adalah desa, kedepannya, harus bisa mandiri dan sejahtera. Kebersamaan, gotong-royong, dan kepercayaaan diri menjadi modal utama masyarakat desa untuk mewujudkannya. Sekarang saatnya untuk menunjukkan kemampuan membuat perubahan yang dimulai dari akar rumput, perubahan menuju Negara yang lebih maju dengan dimulai dari lingkungan desa.

Sekitar pukul setengah sepuluh, bincang-bincang usai, dilanjutkan dengan Pentas Seni Rakyat, persembahan dari masyarakat desa untuk menghibur para peserta. Sesi itu diisi berbagai pertunjukan kesenian, seperti Galuh Pakuan, degung, dan kecapi. Semakin malam, udara menjadi semakin dingin, maka sekaligus sebagai penutup dari Pentas Seni Rakyat, munculah biduan-biduan diiringi musik dangdut untuk kembali sedikit menghangatkan suasana.

Kesenian Galuh Pakuan

Tidak terasa, sudah pukul sebelas malam. Karena letih akibat perjalanan siang tadi, tidak sampai selesai hiburan terakhir, aku dan Renal sudah beranjak ke penginapan di salah satu rumah masyarakat desa. Tidak terasa juga, ternyata, tulisan ini sudah sampai di halaman kelima, padahal Festival Jawa Kidul masih akan berlangsung tiga hari lagi. Berarti, aku harus menyambungnya esok hari. Saatnya untuk istirahat telebih dahulu, memulihkan stamina untuk mengikuti rangkaian acara tiga hari ke depan.

Selamat malam. Selamat menanti tulisan berikutnya.

About the author

Avatar

Imam Rahmadi

Imam Rahmadi, memiliki nama pena Imam FR Kusumaningati di kedua bukunya: Jadi Jurnalis Itu Gampang! dan NGANDROID. Masih kuliah di Universitas Islam Negri Jakarta (UIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, jurusan Pendidikan Agama Islam. Aktif di Komunitas Djuanda sebagai Sekretaris Jenderal dan di Forum Lenteng sebagai Sekretaris Redaksi akumassa.org

4 Comments

  • Reportase tentang JadulFest yang runut namun renyah dibaca. Saya tunggu tulisan berikutnya ya?

  • Sebelumnya mohon maaf baru merespon komentarnya setelah satu minggu lebih berlalu.

    Senang sekali membaca komentar-komentarnya, terima kasih banyak atas hembusan pujinya Mas Joko Waluyo, Kang Ibad, dan Mbakyu Roro Mendut. Meski sebenarnya tetap mengharap caci agar tulisan lebih enak lagi untuk dinikmati.

    Banyak pengalaman yang Saya dapat dari JadulFest. Mas Joko dan Kang Ibad, salam buat teman-teman yang lain; Adetanesia, Anasir, Sarwono, Pradna, Suryaden, dan lainnya yang kemarin sempat sejenak berbincang, semoga bisa disambung lagi dilain waktu senggang.

    Selanjutnya semoga Saya bisa menyambung tulisan ini.

    Salam sambung..he

Tinggalkan Balasan ke Imam FR Kusumaningati X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.