Jurnal Kecamatan: Ciputat Timur Kota: Tangerang Selatan Provinsi: Banten

Pak Rohman Bukan Pak Rohman

Pak Rohman Bukan Pak Rohman
Avatar
Written by Imam Rahmadi
Aku lapar. Perut kosong. Seakan terasa beralun kencang musik keroncong di dalamnya. Badan sudah terlalu lemas, tidak kuat lagi untuk berpikir serius. Mungkin benar guyonan Fajar, teman sekosanku dulu, bahwa logika tanpa logistik tak akan bisa jalan.

Sarapan? Sebagai pembangkit energi untuk melakukan aktifitas pagi pasti sangat berguna. Namun nampaknya masih terlalu pagi, belum saatnya untuk sarapan. Memang umumnya di kehidupan keluarga sarapan dilakukan pagi hari, berkisar sekitar pukul enam atau tujuh pagi. Namun beda halnya bagi anak kos yang harus memenuhi semua kebutuhannya sendiri.

Warung makan milik Pak Rohman

Sarapan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi sendiri oleh anak kos. Tak ada jamuan teh pagi hari untuk menghangatkan badan, apalagi sepotong roti dan segelas air susu. Tak ada pula kata, “Mama, nasinya sudah masak belum?” Atau “Mama, lauknya apa?” Bahkan bagiku dan mungkin juga anak kos yang lain, belum ada kata sarapan sebelum tabuh pukul sembilan. Dalam sehari makan pun hanya dua kali, tidak ada kata makan siang, yang ada hanyalah sarapan dan makan malam.

Hidup di Jakarta, masalah makan saja untuk aku sendiri masih pakai berpikir. Ya betul, di sini mau makan saja berpikir. Memikirkan harga yang harus aku bayar setelah makan, mengingat mahalnya biaya hidup. Kalau tidak pakai pertimbangan seperti itu, jujur aku khawatirkan uang saku bulanan yang selalu ditransfer oleh orangtua tak akan cukup untuk membiayai hidup selama sebulan.

Sebagai mahasiswa perantauan yang tinggal di kos dan jauh dari orangtua, soal kantong memang harus benar-benar diatur. Jangan sampai pasak menjadi lebih besar daripada tiang. Namun meski hidup di Jakarta ini mahal, terlepas dari hal itu, aku tetap bersyukur karena bagiku pengalaman hidup di Jakarta jauh lebih mahal daripada kemahalan Jakarta itu sendiri.

Hemm, rasa lapar ini semakin terasa. Dengan cepatnya angan-anganku langsung merujuk kepada sebuah warung makan dengan cat interior tembok berwarna kuning di pinggir pertigaan BBS, tepatnya di Jalan Legoso, Kelurahan Legoso, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan. Aku dan teman-teman di kosan biasa menyebutnya dengan warung makan Pak Rohman.

Banyak penghuni kos di Jalan Legoso, Ciputat, Tangerang Selatan yang melangsungkan santap makan malam di warung Pak Rohman

Warung makan Pak Rohman juga menjadi warung favorit teman-teman Komunitas Djuanda. Berawal pada saat itu aku memperkenalkan warung ini kepada Bang Ray dan Wahyu, ketika kami merasa lapar selepas melakukan riset di Tegal Rotan Bintaro, kami makan malam di sini. Hingga akhirnya teman-teman yang lain juga menjadi tahu. Sekarang ketika kami sedang ada di kantor dan merasa lapar, warung makan Pak Rohman-lah yang sering menjadi sasaran.

Warung ini berdiri pada tahun 1997. Semula tempatnya di seberang jalan dari tempat yang sekarang. Tempat yang ditinggalkannya sekarang juga dipakai sebagai warung makan oleh orang lain. Dua tahun kemudian barulah berada pada tempatnya yang sekarang ini.

Pada awal perintisannya hingga tahun 2008 warung ini hanyalah warung biasa saja, pembelinya tidak sebanyak seperti sekarang ini. Bahkan dulu hampir saja menggulung tikarnya. Dengan penuh kesabaran dan kerja keras selama lebih dari sepuluh tahun, akhirnya mulai tahun 2009 warung ini menjadi banyak pembelinya.

Warung makan Pak Rohman buka 24 jam setiap hari. Tak siang maupun malam selalu ramai dengan pembeli. Mereka berasal dari semua kalangan mulai dari pekerja, mahasiswa, supir angkot, sampai tukang ojek sekali pun. Pembelinya ada juga yang bertempat tinggal jauh dari warung makan itu. Bertempat tinggal di Pamulang, Pondok Cabe, Cinere, bahkan Bintaro yang jaraknya kira-kira 7 kilometer.

Selain tempatnya yang strategis, banyaknya menu masakan dan porsinya yang banyak, serta harga yang murah, inilah yang memikat banyak pembeli. Mungkin warung ini menggunakan prinsip berbisnis ala orang Cina, yaitu biar untung sedikit yang penting lakunya banyak.

Menu makanan yang biasa disajikan di warteg pada umumnya, termasuk warteg Pak Rohman

Meski murah, tapi soal rasa tetap bukan kelas murahan. Warung makan Pak Rohman memiliki karakter kelezatan rasa yang khas dan tidak membosankan. Murahnya harga bagi kalangan mahasiswa yang notabene sebagai anak kos adalah yang menjadi pertimbangan utama. Termasuk juga teman-temanku di kosan, merekalah para Rohmania, begitu istilah yang dibuat oleh teman-teman bagi para penggemar Pak Rohman. Selain istilah Rohmania, terkadang masih ada juga celotehan-celotehan istilah yang lain dari teman-teman, seperti Gerakan Rohmania Merdeka (GRM), Aktivis Pak Rohman (AKP), atau Rohmanisty.

Nah, terlepas dari beberapa kata Pak Rohman yang tersebut di atas, ada sesuatu yang sangat membuatku kaget, karena ternyata sebutan bahwa warung makan itu bernama warung makan Pak Rohman adalah hanya ada di lingkungan kosanku, yaitu kosan Al Barkah 1, terkhusus pada Kamar Dahlia 2 yang sekarang aku tempati dan Dahlia 3 sebagai tetangga kosan paling dekat. Kemudian merambah ke teman-teman Komunitas Djuanda, karena pada waktu aku mengenalkan warung itu kepada mereka juga dengan nama Pak Rohman.

Ternyata nama lelaki pemilik warung itu bukanlah Pak Rohman melainkan Pak Didik. Diketahuinya kalau namanya adalah Pak Didik bukan Pak Rohman, bermula ketika aku melakukan riset untuk membuat tulisan ini. Waktu itu aku bermaksud untuk mengobrol dengan pemilik warung yang semula disebut Pak Rohman. Karena tidak melihat keberadaannya, aku bertanya kepada seorang karyawan yang pada saat itu sedang bertugas melayani pembeli. “Bu, Pak Rohmane pundi?” (Bu, Pak Rohmannya mana?), tanyaku kepadanya dengan menggunakan Bahasa Jawa, karena aku tahu bahwa kebanyakan karyawannya berasal dari daerah Jawa Tengah.

Takjub, ibu itu menjawab “Pak Rohman sopo, Le?” (Pak Rohman siapa, Nak?), “Bapake Yusuf?” (Ayahnya Yusuf?), sambungnya. Yusuf adalah anak dari pemilik warung itu. “Njih, Bu” (Iya Bu), aku menjawab. “Hehe… kuwi jenenge Pak Didik, Le. Udu Pak Rohman,” (Hehe… itu namanya Pak Didik, Nak. Bukan Pak Rohman), jawabnya. “Ooo…”, aku hanya bisa melongo karena kaget dengan hal ini. Betapa tidak melongo, bagiku nama Pak Rohman sudah begitu kuat menancap dalam ingatanku. Tidak menyangka bahwa ternyata namanya adalah Pak Didik.

Pak Didik, pemilik warung Pak Rohman sedang menyiapkan masakan untuk santapan para penghuni kos dan tamu lainnya

Usut punya usut, ternyata asal mula nama Pak Rohman di antara teman-teman kosanku memiliki sejarah yang lumayan panjang. Berawal saat itu pada bulan Ramadhan tahun 2007. Aku berarti masih duduk di kelas 2 Aliyah. Kakak kelasku di Aliyah dulu yang sudah duluan lulus dan kemudian masuk ke UIN Jakarta tinggal di kosan Al Barkah di Kamar Dahlia 5.

Kamar Dahlia 5, berdekatan dengan Dahlia 2, 3 dan 4. Keakraban terjalin erat antara kamar Dahlia 5, 2 dan 3, untuk Dahlia 4 tidak begitu dekat karena penghuninya adalah perempuan. Kamar Dahlia 2 dihuni oleh Ana Mulyana dan Atar, Kamar Dahlia 3 dihuni oleh seseorang yang bekerja di Departemen Agama bernama Rohman Bashori dan istrinya. Sedangkan Kamar Dahlia 5 sendiri, dihuni oleh Nian, Rochim, Aziz dan Habib.

Pada bulan Ramadhan waktu itu, warung makan langganan mereka yang letaknya dekat dengan kampus, tutup selama sebulan penuh. Mereka kemudian berinisiatif untuk mencari warung makan yang lain. Dalam pencarian itu, Atar menemukan sebuah warung yang berada di pojokan pertigaan BBS. Karena murah, enak dan porsinya banyak, mereka dengan mudahnya langsung jatuh hati, sehingga mereka sering makan di warung itu.

Melihat pada pemilik warung itu, mereka merasa bahwa ada kemiripan wajahnya dengan Pak Rohman Bashori penghuni kamar Dahlia 3. Kemiripan ini sempat menjadi bahan bercandaan antara mereka. Hingga akhirnya mereka menyebut warung makan itu dengan sebutan warung makan Pak Rohman. Di sinilah mulanya warung makan itu bernama warung makan Pak Rohman.

Pak Rohman Bashori dan Istrinya tiga tahun yang lalu sudah pindah dari Kamar Dahlia 3, begitu juga dengan Ana Mulyana dan Atar. Kakak-kakak kelasku kemudian menempati Kamar Dahlia 3, dan Kamar Dahlia 2 sekarang aku tempati bersama kedua temanku Fajar dan Ihsan. Sedangkan Kamar Dahlia 4 dan 5 sudah ditempati oleh orang lain.

Kesalah pahaman nama ini menjadi bahan tawa di antara karyawannya dan Pak Didik sendiri. Ketika aku menanyakannya perihal ini langsung kepada Pak Didik, sebagai pengantar obrolanku. Untuk lebih akrabnya, aku menggunakan Bahasa Jawa, karena aku sudah tahu sebelumnya bahwa Pak Didik berasal dari Purwodadi. “Ngapunten Pak, aslinipun asmine sinten?” (Maaf Pak, sebenarnya nama Bapak siapa?), tanyaku. “Didik,” sambil menggoreng bakwan dia menjawab. “Ooo… dadhi dhede Pak Rohman gih?” (Ooo.., jadi bukan Pak Rohman ya?). “Biasanipun kulo kaleh rencang-rencang kosan, nyebut warung niki warung makan Pak Rohman” (Biasanya aku dan teman-teman kosan, menyebut warung makan ini warung makan Pak Rohman), tambahku. “Kok isoh Rohman tha… hehehe,” (Kok bisa Rohman sih… hehehe), jawabnya sambil tertawa, kemudian mengeluarkan dompetnya bermaksud menunjukkan KTP, namun sayang waktu itu KTP tidak dibawa. Kemudian aku pun menceritakan kepadanya perihal penamaan Pak Rohman, seperti yang sudah ku ceritakan di atas.

Sudah ada beberapa bakwan goreng yang sudah matang. “Iki lho, gorengan,” (Ini lho, gorengan), Pak Didik menawarkan. “Oh njih, Pak” (Oh iya, Pak), jawabku. “Terus warung niki aslinipun jenenge nopo, Pak, kok ten ngajengan beten ditulisi jenengipun?” (Terus warung ini sebenarnya namanya apa, Pak, kok di depan tidak ditulisi namanya?), aku mulai melanjutkan obrolan. “Hehehe… ra sah dike’i jeneng, tapi biasane do nyebut Warjok, Warung Pojok” (Hehehe… tidak usah dikasih nama, tapi biasanya orang menyebut Warjok, Warung Pojok), jawabnya.

Memang warung makan itu tidak memasang tulisan atau spanduk yang bertuliskan nama. Jadi setiap pembeli menjadi tidak terikat dengan sebuah nama. Namun justru banyak timbul nama-nama unik ala mereka. Seperti nama yang diberikan oleh Icha, Resti, Uyun dan Haris. Kebetulan mereka kuliah masuk malam, setelah selesai kuliah tidak langsung pulang ke kosan, melainkan sering kali terlebih dahulu makan ke warung itu, yang mereka sebut dengan nama Warung Pemadam Kelaparan.

Beberapa mahasiswi pengunjung sedang menyantap makan malam di warung Pak Rohman

Upss! Sudah tidak tahan lagi aku menahan rasa lapar ini. Melihat jam di telepon genggamku sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Nampaknya sudah waktunya untuk sarapan. Segera aku langkahkan kaki ini, selangkah demi selangkah, selangkah lagi, dan beberapa langkah kemudian masih terus melangkah, menuju ke suatu tempat yang pastinya sudah tertebak mau ke mana kaki ini melangkah.

About the author

Avatar

Imam Rahmadi

Imam Rahmadi, memiliki nama pena Imam FR Kusumaningati di kedua bukunya: Jadi Jurnalis Itu Gampang! dan NGANDROID. Masih kuliah di Universitas Islam Negri Jakarta (UIN), Syarif Hidayatullah, Jakarta, jurusan Pendidikan Agama Islam. Aktif di Komunitas Djuanda sebagai Sekretaris Jenderal dan di Forum Lenteng sebagai Sekretaris Redaksi akumassa.org

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.