Lenteng Agung, Jakarta Selatan

Nirwana Theatre

Bioskop Nirwana
Bioskop Nirwana Pasar Minggu
ciecie796
Bioskop Lingga Pasar Minggu

Berawal dari tugas riset program akumassa yang diadakan Forum Lenteng Jakarta, saya iseng mengajak kawan saya, Klara Isabela, untuk menemani ke salah satu bioskop di daerah Pasar Minggu. Dari program tersebut saya memilih kawasan sepanjang Pasar Minggu-Lenteng Agung-Depok sebagai wilayah riset. Jadi saya sekalian jalan-jalan ke Pasar Minggu. Selain itu, sebenarnya saya sangat penasaran dengan bioskop di sana. Saya menyebutnya bioskop XXX, karena dari jenis filem-filem yang diputar tidak jauh-jauh dari seks –lelaki dan perempuan yang menampilkan tubuh mereka tanpa pakaian sehelai pun, serta adegan-adegan syur lainnya. Ada juga yang menyebutnya bioskop esek-esek, tapi saya lebih suka sebutan XXX, karena terdengar lebih pantas saja, sebab bioskop esek-esek sepertinya kurang enak di telinga, terkesan hanya sebagai tempat ‘begituan’ saja. Padahal bisa saja ada orang yang benar-benar menonton dan menggemari filem-filem jenis itu. Orang-orang tertentu, pastinya. Ya, walaupun mungkin memang sebenarnya banyak yang melakukan ‘esek-esek’ di bioskop tersebut. Terserah setiap orang menyebutnya. Bebas-bebas saja.

ciecie797
Baliho Filem di Bioskop Nirwana

Dengan pemikiran seperti itu, saya mulai memantapkan diri untuk pergi. Sampailah saya di Pasar Minggu. Di bioskop yang saya tuju. Sebelumnya, perasaan saya sedikit was-was setelah menanyakan pada kawan saya Klara, apakah dia berani jika pergi kesana hanya berdua. Dengan cepat dia menjawab tidak. Padahal sebelumnya kami pernah mengunjungi kota yang belum pernah kami datangi, tapi kami percaya diri dan berani untuk tetap pergi. Namun kenapa kali ini debar jantung begitu cepat berderap? Dilihat dari jarak antara Lenteng agung dan Pasar Minggu tidaklah begitu jauh. Akhirnya kami sepakat mengajak salah satu kawan kami, Jaka, yang pastinya seorang pria. Maksud kami biar merasa aman sedikit, karena sifat dasar pria itu katanya melindungi. Sehingga jika ada sesuatu yang tidak diinginkan kami tidak terlalu khawatir.

ciecie8091
Loket Karcis

Oke, esoknya kami membuat janji pada pukul 13.00 di halte kampus IISIP Jakarta. Jaka memberitahu kalau di Pasar Minggu itu ada dua bioskop serupa. Yang satu bernama Lingga, terletak di pusat Pasar Minggu namun sudah tidak produktif lagi alias sudah tutup. Satu lagi bernama Nirwana Theater, letaknya di seberang Lingga Theater. Agak masuk ke daerah pemukiman. Dari halte kampus, kami menumpang angkutan kota bernomor 04 jurusan Depok-Pasar Minggu dengan membayar tarif Rp. 2000/orang. Kami turun di lampu merah Pasar Minggu sebab angkutan tidak sampai masuk terminal. Setelah itu jalan kaki sekitar 100m menuju bioskop tujuan kami, melewati kendaraan-kendaraan umum dan pribadi yang merayap, udara yang penuh asap knalpot, dan para pedagang yang menebarkan suara dan senyum magis khas mereka: pedagang buah, pedagang berbagai makanan, tukang servis kunci, pedagang kacamata, tukang servis jam, dan lain-lain.

Antrian loket
Antrian loket
ciecie823
Jadwal tayang bioskop
ciecie804
Ruang tunggu  Nirwana Theater

Kami melihat ada papan yang basa menginformasikan filem apa saja yang sedang diputar di suatu bioskop. Kami berhenti sejenak untuk melihat, hanya ada satu gambar filem ketika itu berjudul “Infatuation 2”. Di bawah papan tersebut ada gang kecil, kami dengan percaya diri saja lewat situ, ternyata kami melewati bagian belakang Nirwana Theater, sehingga kami berjalan memutar melewati pemukiman setempat yang padat, banyak rumah petak dan menyeberangi anak sungai Ciliwung yang menimbulkan bau tidak sedap. Di sekitar Nirwana Theater tersebut juga terdapat sekitar dua tempat bilyar. Jadi letaknya bisa dikatakan berada di permukiman kelas menengah ke bawah.

Memasuki kawasan Nirwana Theater yang cukup luas itu, tiba-tiba tanpa saya sadari jantung saya berdetak lebih cepat sedikit. Ada dua orang pedagang asongan menjajakan jualannya, lapangan parkirnya luas namun tidak banyak kendaraan yang parkir, hanya beberapa motor. Kami menuju lobi utama ketika masuk ke ruangan tersebut orang-orang yang berada di sana ada yang memperhatikan kami namun ada pula yang acuh. Ketika melihat orang-orang yang ada di sana rasa was-was saya timbul lagi. Tatapan mereka seperti seperti penuh curiga dan maksud tertentu, khususnya yang pria. Rata-rata usia pengunjungnya berumur kurang lebih 20 tahun ke atas. Ada juga anak-anak di bawah umur, setingkat SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), lalu saya melihat beberapa pria memakai baju dinas pemerintah, dan ada sekumpulan wanita berbadan montok yang sedang mengobrol. Saya tidak melihat ada petunjuk mengenai jadwal film yang akan diputar dan membuat bingung tentunya, lalu kami menuju loket dan melihat jadwal tercepat ialah pukul 14.30, kami datang pukul 14.00 kurang 10 menit. Harga tiket sebesar Rp. 2000,- yang terpampang di depan loket. Dari poster yang dipajang di sebuah papan pengumuman saya mengetahui filem yang akan diputar berasal dari Jepang, namun tidak tertera siapa sutradara atau kru yang terlibat.

Layar bioskop Nirwana
Layar bioskop Nirwana

Tiket yang kami beli tertulis waktu pemutaran pukul 16.00, namun pukul 14.15 kami sudah diizinkan masuk ke dalam teater. Ketika masuk saya sedikit bingung karena ruangan sudah gelap, hanya beberapa lampu pojok yang menyala jadi suasananya remang-remang. Teaternya cukup besar, kapasitasnya sekitar 150 orang, saat itu penonton yang hadir sekitar 20 orang, tempat duduknya seperti tempat duduk kopaja atau metro mini hanya lebih tinggi bagian belakangnya. Saya melihat sekeliling, ada dua pintu di kanan dan kiri layar awalnya saya kira itu pintu keluar dari teater seperi bioskop pada umumnya, namun setelah saya perhatikan ternyata itu adalah kamar mandi. Suara setiap orang yang menggunakan kamar mandi tersebut terdengar jelas sekali. Mengingat harga tiket yang sebesar Rp. 2000,- jadi jangan berharap ada fasilitas pendingin di dalam ruangan, terang saja udara di dalam begitu pengap dan sangat bau debu, terlebih lagi pengunjung diperbolehkan merokok di dalam teater. Praktis bukan, semua dalam satu hanya dengan 2000 rupiah saja. Lima menit filem sudah diputar, kualitas audio dan gambar cukup bagus mengingat harga tiket yang 2000 rupiah, filemnya menggunakan seluloid 35mm. Lima menit kemudian kami meninggalkan teater karena sudah tidak begitu tahan dengan udara yang pengap sehingga kami tidak mengetahui bagaimana jalan cerita filem tersebut. Jadi total kami bertahan di dalam teater adalah 10 menit.

Kantor Manajer bioskop Nirwana
Kantor Manajer bioskop Nirwana

Keluar dari teater saya bertanya kepada seorang pegawai yang bertugas menyobek tiket, “Mas, kalau mau nanya-nanya tentang bioskop ini dengan siapa ya?” Si penyobek tiket diam saja sehingga saya harus bertanya lagi, “Kalau manajernya ada, Mas?” Dia langsung menjawab, “Wah tidak ada, manajernya datang nanti malam.” Saya belum tahu siapakah pemilik atau pengelola dari bioskop seperti ini. Tapi yang saya tahu Nirwana Theatre bukan satu-satunya yang ada di Jakarta atau Indonesia, pasti banyak Nirwana Theatre lainnya diberbagai daerah. Bioskop-bioskop serupa di Jakarta saja cukup banyak. Di Koja, Jakarta Utara, ada bioskop yang khusus memutar filem-filem silat Asia tahun 1980-1990an. Belum lagi berbagai bioskop esek-esek lain yang terdapat di kawasan Senen dan kawasan Tanjung Priok. Saya penasaran soal proses perizinan pembangunan bioskop seperti ini. Menarik jika bioskop seperti ini dikelola lebih baik, dan memang dijadikan bioskop khusus dengan ketentuan yang disepakati. Seperti teater khusus yang memutar filem XXX di Meksiko.


About the author

Avatar

Ajeng Nurul Aini

Dilahirkan di Jakarta, 29 Oktober 1985. Perempuan ini telah menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta sebagai Sarjana Komunikasi konsentrasi Jurnalistik. Sekarang, selain aktif di Forum Lenteng, ia juga aktif di Ruang Rupa.

6 Comments

  • darling,
    mungkin bukan bagaimana izin pembangunan gedung bioskop ini kali, melainkan bagaimana justru mereka bertahan dari kuatnya monopoli 21teater di indonesia sejak 90an sampai sekarang di mana monopoli distribusi tersebut mencapai titik temu dengan pesaingnya yang kuat. dan bioskop2 macam nirwana ini tetap berdiri dan memiliki pengunjungnya sendirimungkin mereka bukan mengkhususkan diri sebagai pemutar film esek2, melainkan memutar film yang terjangkau oleh manajemen mereka.sebenarnya temanmu Klara Issabela itu bisa kamu tanya lebih jauh karena dia tau tempat itu, pernah nongkrong di warung baksonya sambil makan kue cucur yang enak banget, bahkan masuk ke tempat dingdong yang ada di seberang NIRVANA teater. dia juga tau situasi ‘bronx’ di bioskop Lingga yang spooky, dia pernah menyaksikan adegan esek2 sesungguhnya di lorong2 bioskop lingga, dan yang paling cantik adalah toko buku kecil nyempil sekaligus tempat penyewaan buku di lingga’s neighbourhood.tanyalah lebih banyak padanya…lanjuuut…

  • waduhhh..
    teryata disu ada juga ya Bioskop yang kayak di Padang Panjang
    tapi bedanya disini Bioskop nya dikelilingi oleh orang jualan bakso..

    tapi teman mu yang di bawa itu pulang sama kamu kan ajeng?
    tidak di tinggalin kan…!!!

  • dear koordinator program aku massa…

    yoi mba itu juga sempet dibahas tp ga g tulis..(ko ga g tulis ya???dudung)hi2
    mba klar sempet cerita sii..tp blom panjang kali lebar..ntar ngobrol2 lg dah sambil makan bakso ma kue cucur (kalo masih ada yaa)..kmarenan lupa..yg di lingga dah tutup mba skarang, jd tinggal yg nirwana doang..tp boleh tu juga maen ke toko buku nya..

    ciao =)

  • mungkin lo bisa tambahin di tulisanlo, ekstrak wawancara dengan bu klara isabella pokeratu itu, atau buat tulisan baru melalui wawancara tersebut untuk membuka pintu menuju puing2 Lingga. yo’i kan?

Tinggalkan Balasan ke fd X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.