Menonton Demonstrasi Lewat Layar
Jelang petang, awak media mulai memindahkan peralatan, mengambil jarak dari kerumunan. Dari seragamnya, perintah untuk mundur diberikan oleh seorang anggota Korps Brimob menggunakan pengeras suara. Gambar berganti menjadi pantauan udara yang memperlihatkan massa demonstrasi disemprot oleh mobil-mobil meriam air. Gas air mata mulai ditembakan, pelurunya jatuh di hadapan dan di tengah kerumunan. Sementara itu, di balik punggung-punggung polisi Pasukan Pengendali Massa, seorang juru kamera tak kuasa menahan bersin dan batuk-batuk. “Odol tadi odol. Ada lagi gak? Tadi odol mana tadi, eh?” Suaranya tersiar langsung bersama gambar yang kini bergoyang-goyang tak karuan.Perkara serupa lumrah ditemukan di berbagai siaran langsung stasiun televisi dalam sebuah demonstrasi—video-videonya bisa diakses di media sosial semacam YouTube. Lagi pula, perspektif paling ideal, selain dari ketinggian atau dari udara, tentu dengan berlindung di balik aparat kepolisian. Skenario yang barangkali sudah menjadi bagian dari “Standar Operasional Prosedur” peliputan aksi massa. Dalam tayangan itu—yang kadang tak keburu di-backup oleh gambar cadangan—kita akan melihat dapur awak media; menggulung kabel sambil berjalan, mengangkat tripod, bahkan percakapan koordinasi antara juru kamera dan operator suara pun turut tersiar. “Eh, audio ke mana nih? Ini salah, salah, salah…!” Keruan saja gambar, suara, malahan narasi yang disampaikan sang reporter terkadang bocor atau bolong di sana-sini, toh, jurnalis juga manusia.
Sudut kamera ditinggikan. Tak lagi punggung, kini hanya helm-helm para polisi yang tertangkap kamera, sisanya berisi massa yang melempar berbagai benda melewati pagar. Kepolisian bergilir pasukan. Yang masuk ke dalam pagar, tampak batuk-batuk dan muntah-muntah, mencuci wajah mereka dengan air mineral. Beberapa yang lain merasa perlu untuk berbaring sebelum kembali merangkak mengambil helm dan tameng yang semula dibiarkannya tergeletak. Seterusnya, gambar dipenuhi oleh anggota kepolisian yang terlihat sibuk. Menyiasati pekatnya udara oleh gas air mata, si juru kamera berinisiatif melakukan pembesaran, namun tak lagi tampak massa demonstran. Dari pantauan udara, rupanya massa sudah lari kocar-kacir.
Dua kali saja saya turut hadir di demonstrasi skala besar di tahun ini. Di kedua demonstrasi itu, saya tak hadir sebagai demonstran; saya hanya datang untuk melihat-lihat atau merekam jika memungkinkan. Pertama, aksi protes yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada tanggal 22 Mei 2019. Kedua, demonstrasi terkait RUU-RUU yang bermasalah pada 24 September 2019. Ritualnya serupa: sebelum berangkat, saya menonton tayangan yang disiarkan oleh stasiun televisi seperti Kompas TV, Metro TV, TV One, dan lain sebagainya melalui kanal YouTube. Keesokan hari dan seterusnya, saya lanjut menonton dan membaca beberapa artikel berita. Tak ubahnya garam dalam menu makanan, bahan utama yang selalu ada di media massa adalah kekerasan; tak peduli siapa pelaku, korban, atau tingkat seriusitasnya. Tapi, di sini, saya tidak hendak membicarakan news values atau turunan-turunannya.
Kala itu, saya masih terus menonton acara siaran langsung di depan komputer, sambil sesekali membuka Instagram Stories beberapa teman yang ikut turun melakukan demonstrasi. Kifu, salah seorang teman saya, terus-menerus bertanya apakah saya jadi ikut atau tidak. Melihat ketiga baterai handycam sudah terisi penuh, segera saya tutup jendela YouTube Live milik akun beberapa media massa dan mematikan komputer. Lalu saya mandi dan siap-siap menuju titik demonstrasi.
Melihat Odol-odol di Wajah Demonstran
Pandji, teman saya yang lain, bersikukuh untuk menggunakan odol di sekitar matanya, begitu pula dengan Kifu. Sejak menghadiri Aksi 22 Mei 2019 silam, saya sebenarnya sudah tak percaya dengan mitos tentang odol dan gas air mata. Justru, setelah mengoleskan odol ke wajah, saya harus lari ke mobil ambulans terdekat untuk meminta air bersih; mencuci wajah. Petugas dari PMI dengan sabar menyirami wajah para demonstran yang berlarian ke arahnya. Setelah dialiri air, malahan mata saya bertambah perih. Saya baru tahu kemudian bahwa air yang disemprotkan itu adalah air garam steril yang biasa digunakan sebagai air infus. “Tahan mas, ini lebih steril dari air mineral!” kata petugas itu sambil menyemprot mata-mata lain yang dibelalakkan pemiliknya. “Tahan…, tahan…, ya, sudah”. Baru hilang perih di wajah, tangan saya keburu ditarik kembali untuk maju ke dalam kerumunan, oleh seseorang, entah siapa.Di mata saya kala itu, odol seakan-akan menjadi bekal wajib pada demonstrasi 24 September 2019.
“Ayo keluar, beli odol…!” kata Pandji atau Kifu seturunnya kami dari kereta di Stasiun Palmerah.
Sebelumnya, saat pintu kereta terbuka, mata kami memang terasa agak perih. Baru berjalan beberapa langkah, kami langsung dihadapkan pada wajah-wajah berlapis odol pula—ada yang di bawah kelopak mata, yang menyebar di area pipi, turun ke hidung, naik ke dahi; isinya odol semua. Tapi, saya dan kedua teman saya tak jadi beli odol karena semua warung dan toko di sekitar Stasiun Palmerah tutup, padahal hari itu belum pukul sembilan malam. Entah bagaimana ceritanya, ketika saya kembali bertemu dengan Kifu setelah berpisah beberapa saat, tampilannya jadi lebih ekstrem: ia lapisi seluruh bagian lehernya dengan odol, entah untuk apa.
Saat demonstrasi, lapisan odol tidak hanya ada di wajah para demonstran. Kau juga akan melihatnya berada di wajah para jurnalis, polisi, dan tentara yang ada di sekitar lokasi demonstrasi. Seperti tidak ingin salah kostum, bahkan Bambang Soesatyo—Ketua DPR RI yang batal menemui pengunjuk rasa itu—juga mengoleskan odol di bawah kelopak matanya…! Buat saya, fenomena dari “tindakan mengantisipasi gas air mata” ini menarik. Entah bagaimana mitos soal odol yang meredakan efek gas air mata itu kemudian bisa diyakini oleh mayoritas kalangan. Padahal, sejumlah artikel online yang mengutip komentar ahli kesehatan memuat keterangan bahwa odol tidak punya efek apa pun terhadap gas air mata yang mengenai manusia. Kalaupun ada, mungkin yang dikejar adalah efek sugestif saja: mengalihkan rasa perih dengan merangsang perih yang lain. Seorang polisi pernah diwawancarai oleh Detik.com saat kerusuhan di Bawaslu tanggal 22 Mei 2019; dia mengaku bahwa lapisan odol di wajah memang bukan untuk mengatasi perih akibat gas air mata, tapi justru untuk memancing air mata keluar dari mata.
Anehnya, penampakan odol-odol yang melapisi wajah-wajah para demonstran ini justru mengingatkan saya pada berita tentang istilah “cabut gigi” di masa Reformasi. Istilah yang diduga sebagai “kode intelijen” itu keluar dari mulut pengamat politik Sarwono Kusumaatmadja saat ia diwawancarai Ira Koesno di SCTV. Gara-gara wawancara itu, SCTV sempat terancam diberedel.[1]Redaksi Remotivi/Wisnu Prasetya Utomo. 2017. Media di Sekitar Reformasi 1998. Jakarta: Remotivi. Diakses kembali pada 28 September 2019 pukul 07.33 WIB. Ingatan ini, tentu saja, tidak punya kaitan sama sekali dengan fenomena penggunaan odol oleh orang-orang yang berdemonstrasi. Tapi, bukankah pantikan dari peristiwa tertentu, ke ingatan tertentu, bisa kita tarik menjadi sebuah refleksi penting untuk menilai apa-apa saja yang terjadi sekarang…?
Seperti reporter lapangan yang menggunakan helm saat bertugas meliput demonstrasi, tampaknya odol memang sudah termasuk dalam “daftar perlengkapan wajib” di dalam “Standar Operasional Prosedur” demonstrasi. Adakah mitos odol dan gas air mata itu akan terus berlipat ganda, penganutnya? Adakah mungkin mitos semacam itu terpelihara gara-gara praktik simulasi demonstrasi pada masa-masa ospek kampus—yang sarat kekerasan itu—, atau justru hanya terinspirasi dari tayangan berita di televisi? Yang jelas, odol selalu ada setiap kali terjadi protes massa. Begitu pula dugaan-dugaan tentang keberadaan massa provokator, massa bayaran atau—istilah teranyar—panasbung, kelompok penunggang, bahkan tindakan brutal (yang kerap keliru disebut “anarkis” oleh media massa) para demonstran. Apa pun itu, yang jelas kita harus tetap peka, bahwa narasi-narasi semacam ini sering kali bergulir di media massa arus utama dan, meskipun kecil atau tidak signifikan, bisa mengaburkan pandangan sebagian besar kita tentang esensi dari protes massa yang sebenarnya. Belum lagi narasi-narasi pascademonstrasi, yaitu tentang kerusakan berbagai fasilitas umum, kebersihan lingkungan jalan, dan tindakan kekerasan berbagai oknum. Demonstrasi adalah arena yang selalu didramatisasi oleh media massa kita.
Mengkritisi Gelagat Rekaman-rekaman Demonstrasi
Dalam memahami kejahatan kekerasan, Stuart Henry dan Dragan Milovanovic, melalui teori Kriminologi Konstitutif-nya, menganjurkan kita untuk melihat kejahatan sebagai hasil akhir dari wacana yang diproduksi oleh agen-agen yang mempertahankan ideologi tertentu, yaitu ideologi tentang kejahatan sebagai realitas konkret.[2]Stuart Henry and Dragan Milovanovic, “Constitutive Criminology: Origins, Core Concepts, and Evaluation”, dalam Social Justice Vol. 27, No. 2 (80), Criminal Justice and Globalization at the New Millennium (Summer 2000), hal. 268-290. Sementara itu, menurut Slavoj Žižek, ideologi tertentu menjadi alasan mengapa tindakan kekerasan yang satu menjadi lebih penting disorot ketimbang yang lain. Ideologi bahkan melegitimasi tindak kekerasan tertentu sembari mengutuk kekerasan lainnya.[3]Eduard Lazarus Tjiadarma. 2017. Kekerasan dan Ideologi: Sebuah Tur bersama Slavoj Žižek. Jakarta: Remotivi. Diakses pada 28 September 2019 pukul 06.10 WIB. Dua gagasan ini, menurut saya, adalah anjuran (atau rambu-rambu) dalam mengonsumsi ragam informasi di sekitar kita. Artinya, kita harus melakukan seleksi. Mungkin dengan cara itu kita bisa memahami bagaimana narasi kekerasan yang satu bisa memancing emosi kelompok masyarakat tertentu, atau bagaimana kita bisa menetapkan posisi dan sikap kita terhadap pemberitaan-pemberitaan yang ada. Dengan usaha seleksi informasi pula kita bisa melihat penyebar informasi yang mana yang meletakkan keberpihakannya pada kepentingan masyarakat umum, dan penyebar informasi mana yang lebih mementingkan agenda kelompok-kelompok tertentu (yang seharusnya kita kritik).
Hari ini, kerusuhan massa bukanlah sesuatu yang jauh dan tak lagi semata “katanya, katanya…”. Kian berkembang teknologi informasi, kian beragam pula cara informasi itu menghampiri kita. Bahkan, dari segi penyebar informasi pun, situasinya telah berubah. Warga mempunyai kesempatan yang sama sebagaimana para jurnalis dalam merekam peristiwa, mengolahnya, memproduksinya menjadi narasi, lalu menyebarkannya hingga menjadi diskursus yang berpihak kepada kepentingan warga itu sendiri. Rekaman-rekaman warga yang berisi dokumentasi peristiwa demonstrasi, dengan kata lain, bisa menjadi pengimbang narasi-narasi yang diproduksi oleh media massa arus utama. Toh, siaran demonstrasi sekarang ini tidak hanya bisa diakses dari kanal-kanal YouTube milik media besar, tapi lewat Instagram Stories atau Instagram Live beberapa kawan pun, upaya menyimak peristiwa lewat mediasi teknologi itu sudah sangat dimungkinkan.
Baru-baru ini, tersebar rekaman video yang mendokumentasikan peristiwa saat kendaraan taktis polisi melindas seorang demonstran di Makassar.[4]Video di-posting ulang pada 28 September 2019 pukul 12.10 WIB oleh akun Twitter milik Muammar Fikrie, seorang penulis dan editor di www.beritagar.id. Diakses pada 28 September pukul 06.52 WIB. Mata warga ada di mana-mana: di jalan raya, di dalam gang, di warung-warung, di dalam mobil, bahkan di atas gedung bertingkat. Lewat mata warga yang dengan sadar merekam, kita bisa melihat soal-soal mendasar dan kejadian-kejadian murni yang acap kali luput dari amatan media massa arus utama.
Peristiwa ini ada di depan Mal Nipah, Jalan Urip Sumiharjo, Makassar, posisinya kurang lebih 100 meter sebelum Kantor Gub Sulsel. Kendaraan polisi itu melaju kencang dari arah flyover. pic.twitter.com/Enzvv9CNmq
— Muammar Fikrie (@fikrie) September 27, 2019
Sejauh apa kita dapat mempercayai rekaman-rekaman warga?
“Bagaimana jika…”
“Jangan-jangan, yang bikin…”
“Palingan hoaks! Bener, gak, tuh…?”
Begitulah sejumlah contoh dari reaksi spontan pertama yang hadir dari teman-teman saya ketika seseorang menunjukan video yang diunggah Muammar Fikrie di atas. Mendengar itu, saya kemudian memutuskan untuk mengirimkan direct message ke akun yang bersangkutan. Saya bertanya tentang siapa yang merekam video itu, juga validitasnya.
“Itu direkam oleh warga. Saya dapat via jejaring wartawan-aktivis di Makassar, rekonstruksi dalam tweet juga didapat lewat pengakuan warga dan teman-teman wartawan-aktivis di Makassar,” jawab Fikrie.
Lantas bagaimana nasib kebenaran video yang tersebar viral tanpa dapat dikonfirmasi ke perekamnya? Namun, apakah lantas video atau informasi yang “jelas sumber”-nya, seperti tayangan berita harian atau program televisi semacam NET 86 menjadi auto-valid sebagai kebenaran tunggal? Reaksi-reaksi spontan sebagaimana yang saya contohkan di atas, setidak-tidaknya, mengindikasikan adanya potensi kritisisme yang, sadar tidak sadar, terbangun di masyarakat kita.
Akses terhadap informasi kini sudah semakin luas, dan situasi itu pada dasarnya memberikan celah-celah baru, baik positif atau negatif. Mekanisme algoritmis teknologi media baru pada masa sekarang tidak jarang menjebak kita ke dalam situasi yang selalu membuat kita menemui informasi yang berbasis pada “kebiasaan” kita dalam menggunakan peramban, dan informasi yang dikedepankan mesin algoritma itu kepada kita adalah informasi yang memiliki “keterkaitan”, “kesamaan nada”, atau “keserupaan narasi” dengan informasi yang sudah kita konsumsi sebelumnya dan biasanya.
Hal ini, sebenarnya, sudah banyak dikritik oleh para pengamat media. Perusahaan raksasa semacam Google (si pemilik YouTube) dan Facebook (si pemilik Instagram) dituntut untuk memperbaiki sistem algoritmanya sehingga bisa lebih mengutamakan keadilan informasi daripada kepentingan kapital berbasis data. Di tengah-tengah proses kritik dan respon Google dan Facebook terhadap kritik itu, supaya kita tidak menelan mentah-mentah informasi yang bergulir sesuai kerja mesin algoritma yang tak bisa kita kontrol tersebut, saya kira kita perlu melemparkan beberapa “pertanyaan wajib” (seperti contoh-contoh reaksi spontan yang saya sebut tadi), sebagai bagian dari tindakan kita mengantisipasi kabar tak benar yang tersebar di media massa arus utama (terutama yang online). Jika dengan gigih kita memasukan itu sebagai bagian dari “Standar Operasional Prosedur” dalam mengonsumsi informasi, perdebatan terkait benar/tidak benarnya kabar atau video yang tersebar dapat kita selesaikan. Energi kita dapat dialihkan pada upaya untuk terus memproduksi dan mendistribusikan informasi yang tak bias kepentingan penguasa.
Kemutakhiran perkembangan teknologi media telah memperkenalkan kita pada perangkat yang mampu memproduksi sekaligus mendistribusi informasi secara serempak dan dapat dimiliki oleh siapa saja. Situasi itu mau tak mau berpengaruh pada lanskap perpolitikan kita sebagai warga dunia. Dalam konteks Indonesia, pasca-Reformasi, relasi kekuasaan telah bertransformasi dari vertikal menjadi horizontal, maka narasi-narasi yang hanya berputar pada persoalan “rezim versus masyarakat” sebenarnya bisa kita kesampingkan. Ini juga sebagai sebuah antisipasi pada simplifikasi keliru yang justru kembali menjauhkan kita pada esensi-esensi yang dituntut demonstran. Jika kita gegabah menggunakan jargon-jargon agitatif, misalnya dengan serampangan beropini di media sosial (meskipun niatnya mengritik para penguasa), bisa jadi tindakan beropini tersebut malah mengerdilkan persoalan yang sebenarnya, dan bisa saja kita malah menyebabkan isu-isu yang sedang diperjuangkan masyarakat terancam menjadi isu elite para aktivis, mahasiswa, bahkan kaum intelektual saja. Gegabah dalam beropini hanya akan mengakibatkan gembosnya gerakan massa, karena istilah-istilah di dalam opini yang gegabah akan tampil sebagai kata-kata yang tak ramah pada warga.
Dalam mengimajinasikan kemungkinan yang dihadirkan oleh fitur semacam Instagram Stories atau Instagram Live, misalnya, saya meminjam penekanan dalam penutup tulisan berjudul “Notabene Generasi Performatif”, yaitu: istilah “generasi performatif” harus menjadi kunci imajinasi tentang “generasi yang aktif bertindak secara sosial” daripada sebagai identitas atau kategori “generasi yang hidup di era media sosial (era paling performatif)” saja.[5]Manshur Zikri. 2019. Notabene Generasi Performatif. Diakses pada 29 September 2019 pukul 19.34 WIB. Secara praktikal, saya memahami seruan Zikri itu pada tataran kesadaran—khususnya kesadaran bermedia. Yang perlu disadari—dan saya kira sebagian kita menyadarinya pula—adalah, merealisasikan kemungkinan-kemungkinan warga dalam membenturkan narasinya dengan narasi dominan yang dihegemoni oleh perspektif non-warga melalui media massa. Namun begitu, cara-cara membenturkan narasi itu harus diiringi oleh literasi media demi menghindari keterpelesetan informasi.
Secara politis, merekam dan mempublikasikan tangkapan peristiwa demonstrasi melalui Instagram Stories atau Instagram Live, atau platform media sosial lainnya, seperti di Twitter dan Facebook, menawarkan kekuatan yang besar jika itu dilandaskan pada kesadaran kita dalam membingkai peristiwa. Saya pribadi berani mengatakan bahwa sebagian besar akun yang saya ikuti di Instagram belum memaksimalkan kemungkinan itu, setidak-tidaknya itu yang tampak di timeline Instagram saya selama periode demonstrasi berlangsung—meskipun tetap tindakan itu harus diapresiasi. Konten yang tersebar liar itu sebenarnya memiliki “nilai lebih” karena pembuatnya mampu mencapai ruang-ruang yang gagal dijamah jurnalis-jurnalis profesional. Keunggulan dari konten yang diproduksi warga adalah pada kedekatannya dengan warga itu sendiri. Yang terekam bukanlah narasi besar atas peristiwa demonstrasi yang lantas tak aktual lagi jika disaksikan setelah peristiwa itu terjadi. Justru, karena pendekatannya personal, konten-konten itu terasa lebih humanis sehingga narasi-narasi kecil yang dihadirkannya akan tetap relevan sebagai dokumen sebuah peristiwa massa yang dialami beragam manusia dan disaksikan berbagai mata warga lainnya. Sebagaimana video atau foto yang tersebar, serangkai catatan—walaupun sekadar caption di Instagram atau cuitan di Twitter—juga bernilai sama. Saya percaya persoalan akan tampak terang benderang jika semakin banyak warga yang merekam.
***
Odol terlanjur keluar kemasan. Terpaksa saya pakai juga di bawah kelopak mata. Setelah mengganti baterai handycam, saya berjalan berbaur ke dalam kerumunan.
“Mas dari media…?!” seseorang bertanya kepada saya.
“Bukan,” jawab saya.
“Sini, Mas, ke balik tembok…! Awas, kena batu dari dalam…!” kata orang itu.
“Gila, mereka…! Masa stasiun ditembakin juga…?!”
Situasi semakin rusuh. Sudah sekitar setengah sepuluh malam, waktu itu. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah mencair ke dalam massa demonstran, melihat perkembangan yang entah bagaimana nanti.
Footnote
1. | ⇑ | Redaksi Remotivi/Wisnu Prasetya Utomo. 2017. Media di Sekitar Reformasi 1998. Jakarta: Remotivi. Diakses kembali pada 28 September 2019 pukul 07.33 WIB. |
2. | ⇑ | Stuart Henry and Dragan Milovanovic, “Constitutive Criminology: Origins, Core Concepts, and Evaluation”, dalam Social Justice Vol. 27, No. 2 (80), Criminal Justice and Globalization at the New Millennium (Summer 2000), hal. 268-290. |
3. | ⇑ | Eduard Lazarus Tjiadarma. 2017. Kekerasan dan Ideologi: Sebuah Tur bersama Slavoj Žižek. Jakarta: Remotivi. Diakses pada 28 September 2019 pukul 06.10 WIB. |
4. | ⇑ | Video di-posting ulang pada 28 September 2019 pukul 12.10 WIB oleh akun Twitter milik Muammar Fikrie, seorang penulis dan editor di www.beritagar.id. Diakses pada 28 September pukul 06.52 WIB. |
5. | ⇑ | Manshur Zikri. 2019. Notabene Generasi Performatif. Diakses pada 29 September 2019 pukul 19.34 WIB. |