Jurnal Kecamatan Pasar Rebo Kota: Jakarta Timur Provinsi: DKI Jakarta

Bolak-Balik Bilik

Avatar
Written by Dhuha Ramadhani

Ram bangun! Nyoblos! Mama mau ke Cipayung.

Saya terbangun dengan mendapati notifikasi di smartphone saya yang menunjukkan kalau saya melewatkan tujuh kali jam alarm yang saya pasang. Mama juga ternyata sudah menelepon saya lima kali sejak pukul 6.33. Kutipan di atas adalah ucapan Mama di telepon ke-6 yang berhasil saya dengar deringnya pada pukul 7.28. Duduk-duduk sebentar di kamar atas di kantor Forum Lenteng, energi saya terkumpul juga untuk mengambil handuk dan mandi. Baru pada pukul 8.31 Grab-Bike yang akan mengantarkan saya ke Kalisari tiba. Hari ini, 17 April 2019, adalah hari pemilihan umum serentak untuk menentukan presiden dan wakil presiden serta para legislatif di seluruh Indonesia. Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) yang kedua selama hidup saya.

***

Gambar 1 Warkop si teteh dari seberang jalan.

Saya sedang menikmati bubur kacang hijau dan ketan hitam di sebuah warung kopi (warkop) ketika seorang bapak tiba-tiba bilang, “Lu kagak milih?” Saya kira dia bertanya ke Si Teteh penjaga warkop, sampai dia perlu mengulang pertanyaannya dua kali sambil menepuk-nepuk meja berusaha menarik perhatian saya, Bang, lu kagak milih, Bang?“Belum bisa, Bang. Nanti jam 12 kayaknya,jawab saya singkat. “Lah, bukan orang sini?” Saya yang masih berusaha mengunyah bubur kacang hijau menjawab sekenanya saja, “Nggak dapat undangan.” Si Teteh yang dari tadi mendengarkan ikut merespons pertanyaan Si Bapak. Karena sibuk baca berita di smartphone, pelan-pelan saya tak terlibat lagi pembicaraan.

Mereka memperbincangkan soal banyaknya warga asal luar Jakarta yang tidak bisa ikut mencoblos di Pilpres dan Pileg tahun ini. Saya berceletuk, Tetangga-tetangga di sekitar tempat kerja saya banyak yang pulang kampung, Bang. Kata Bu Haji, yang punya warung langganan saya, mereka dibayarin sama Caleg (Calon Legislatif) di daerah asalnya.” Langsung saja dia nyerocos, memang, sekilas pendengaran saya, dari tadi Si Teteh lebih banyak diam dan merespons daripada melempar pendapat, “Noh kan, Teh! Emang harusnya gitu, diongkosin sama Caleg. Mau gak mau keluar duit, Bang. Gue kalo nyalon jadi Caleg, atau lu kalo nyalon jadi Caleg juga pasti begitu. Misalnya, disuruh cari relawan, walaupun sodaraan kan gue juga pengen makan.”

Gambar 2 Gapura Gang Mushola.

Melihat bubur saya sudah habis, Si Bapak lagi-lagi melempar pertanyaan dan pendapat dia tentang Pilpres dan Pileg ini. Pertama dia tanya soal tempat tinggal saya, saya bilang di Jalan Lestari. TPS (Tempat Pemungutan Suara)-nya di mana, Bang?tambahnya. Itu di situ, di Gang Mushola.” Si Bapak sadar kalau posisi Jalan Lestari dan Gang Mushola itu beda RT (Rukun Tetangga) bahkan RW (Rukun Warga). Sebelum dia sempat bicara, jadilah saya jelaskan duluan kalau saya pindah alamat di Jalan Lestari itu untuk keperluan pendaftaran di SMA (Sekolah Menengah Atas) di dekat sini, agar domisili saya dan letak sekolah yang saya incar ada di kelurahan yang sama. Saya tidak ingat kenapa perlu melakukan itu. Saya tambahkan juga, Kalau alamat orang tua saya dulu masih di Cipayung, Bang. Jadi saya numpang alamat ke bibi saya.Dia manggut-manggut saja. “Nah, waktu SMA, alamat saya dan keluarga pindah ke Jalan Puskesmas di RT 5 RW 11, makanya saya cek ke Gang Mushola itu, Bang.”

Gambar 3 Si Teteh dan Si Bapak yang sedang ngobrol.

Obrolan pindah ke persoalan pendidikan. Ketika saya mengaku kuliah di UI (Universitas Indonesia), air mukanya sumringah, “Gua mah bisa ngeliat orang dari mukanya, Bang,katanya. Saat itu beberapa remaja memakai hoodie masuk, bertanya ke Si Teteh apakah ada bubur ayam atau tidak. “Nih dia (menunjuk ke arah anak-anak itu), jah sekolahnya di kebon bambu. Lagu-laguan doang. Kalau ini calon-calon ojek.” Saya bingung harus menanggapinya bagaimana. Rombongan anak-anak ini tertawa kecil lalu pergi, “Cabut dulu, Bang!” Ternyata mereka sudah saling kenal, meski tetap, omongan Si Bapak kasar sekali tadi. Dia kemudian menceritakan istrinya yang mendapatkan beasiswa untuk kuliah di STIE Kusuma Negara, “Sudah beberapa kali sidang, sebentar lagi skripsi,” katanya. Saya manggut-manggut saja menyadari pernyataannya Si Bapak agak aneh. Si Bapak juga tadinya mau kuliah, Saya IPS (jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial), sih. Coba kalo IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), kan saya bisa kuliah di Teknik. Sambil mendengarkan omongan Si Bapak, saya pesan cappuccino dingin ke Si Teteh.

Bapak ini mencoblos di TPS 47. Di lingkungan rumahnya, pada Pilpres dan Pileg serentak 2019 disediakan dua TPS. Mungkin udah banyak kali warganya, tadinya mah cuma satu doang.” Si Bapak menjelaskan ke Si Teteh. Saya sendiri masih sibuk mencari berita tentang nasib hak suara saya kalau tidak mendapat formulir C6. Lagi-lagi saya tak terlibat pembicaraan. Topik terakhir yang saya ingat adalah Si Bapak bercerita ke Si Teteh tentang ondel-ondel yang berputar-putar sampai dia nyungsep karena terserempet motor. Setelahnya, Si Bapak pergi begitu saja tanpa basa-basi.

Tak berapa lama saya mendengar mesin motor dimatikan berbarengan dengan munculnya suara gelak tawa seorang lelaki. Dia adalah pemuda berambut cepak yang berbadan tegap. Masih tertawa-tawa, dengan bangga dia masuk ke warkop sambil memamerkan kelingking dan jari-jari lainnya yang tak ada bekas tinta tanda sudah mencoblos. “Saya mah males, Teh. Mending beli truk.” Saya tidak mengerti maksud ucapan itu. Si Teteh menjawab, “Warga Indonesia yang baik harus milih.” Si cepak makin berisik saja tawanya. “Andi, saya, Deni. Kalau ‘calon’ gak boleh. Orang yang mau berangkat pendidikan aja gak boleh. Udah bukan sipil lagi. Kalau kena, diproses. Udah, gak jadi, deh, berangkat.” Dari cara ngomongnya yang celetak-celetuk, menyebut beberapa nama, tampaknya dia dan kawanannya sudah langganan di warkop ini. Seperti Si Bapak tadi di awal, dia juga bertanya, “Gak ada yang ke sini, Teh?” “Nggak ada,” singkat Si Teteh.

Gambar 4 TPS 113 pukul 10.

Setelah membayar jajanan, saya memutuskan untuk kembali lagi ke TPS di RT 5 RW 11 yang tadi pagi hanya saya lewati saja. Maksudnya untuk memastikan bisa memilih langsung atau tidak sebelum pukul 12.00. Dari beberapa berita yang saya baca, dikabarkan kalau kita tetap bisa memilih hanya dengan membawa e-KTP (Kartu Tanda Penduduk elektronik), jadwalnya sama, sejak pukul 7.00. Setibanya di lokasi saya langsung menuju papan tempat terpasangnya kertas-kertas yang berisi DPT (Daftar Pemilih Tetap), nama saya tidak ada. Jadilah saya hanya foto-foto saja situasi saat itu di TPS 113. Persis di gang di seberang TPS 113 ternyata ada TPS lain. Saya mampir juga untuk mengecek DPT, barangkali nama saya terlempar ke situ karena masih di RT yang sama. Tidak ada juga. Saya tanya ke bapak-bapak yang di dada dan di punggungnya tertuliskan PPS (Panitia Pemungutan Suara). “Nggak ada namanya? Cek ke kelurahan saja!” Tapi kelurahan terlalu jauh, sedangkan saya sedang malas. “Ada TPS terdekat yang lain gak, Pak?” tanya saya. “Itu di RT 10,” ketusnya.

Gambar 5 TPS 113 dari arah TPS 112.

Gambar 6 Suasana di TPS 112.

Tanda panah yang ditempel di tembok di arah masuk Jl. H. Imih menunjukkan TPS yang dimaksud Si Bapak PPS. TPS 119 bertempat di tempat parkir SDIT ash-Shafi’i. Setelah memotret saya langsung mengecek DPT, tidak ada juga nama saya. Akhirnya saya putuskan untuk ke rumah Pak RT agar informasinya lebih pasti. Saya jalan sambil mengingat-ingat rute ke rumahnya lewat gang-gang kecil karena baru sekali saja mampir selama beralamat di Jalan Puskesmas RT 5 RW 11. Di tengah perjalanan saya mendapati tanda panah menunjukkan posisi TPS 120. Saya menghampirinya dengan niatan yang sama. Seperti yang bisa diduga, hasilnya, sama pula. Cus! Rumah Pak RT tinggal satu turunan dan satu belokan ke kanan lagi.

Gambar 7 Suasana di TPS 119.

Gambar 8 Suasana di TPS 120.

Assalamualaikum.” Langsung saja, “Bu, Bapak ada?” Bu RT menjawab, “Lah kan di TPS. Ada apa?”. Saya ceritakanlah kalau nama saya tidak ada di DPT setelah mengecek beberapa TPS. Tidak langsung menjawab pertanyaan saya Bu RT balik bertanya, “Namanya siapa? Emang tinggal di mana?” Terus terang saya memang jarang pulang apalagi bergaul dengan tetangga-tetangga saya di alamat sesuai KTP. Kontrakan kami yang dulu gerbangnya persis di sebelah Jl. H. Imih. Sejak dulu saya lebih sering menghabiskan waktu di sekolah dan kuliah atau pergi dan nongkrong bersama teman-teman, sekarang, lebih banyak di tempat kerja. Balik lagi ke TPS aja, Mas. Kan yang di meja pendaftaran itu Pak Sekretaris dan ada Pak RT juga di sana.” Bu RT mengingatkan saya untuk membawa KTP dan KK (Kartu Keluarga) asli setelah pukul 12.00. “Emang gitu sih, kadang gak ada namanya, tapi ada orangnya. Pas ada namanya, tapi orangnya mah gak tau pada pergi ke mana, gak ada laporan.”

Gambar 9 Arah jalan dari rumah Pak RT.

Jam masih menunjukkan pukul 10.22, saya memilih untuk kembali ke warkop tadi. Ternyata si pemuda berambut cepak masih nangkring di kursi sebelah pojok, saya duduk di sebelahnya. Sekarang dia sibuk memainkan smartphone menggunakan earphone. Saya pesan kopi hitam satu sambil bilang ke Si Teteh saya harus balik lagi nanti. “Saya juga gak bisa. Kemarin Aa (panggilan sayang untuk suaminya) udah nanya ke panitia. Katanya harus urus formulir A5 di kampung.” Si cepak tertawa puas. “Ini bengkel sebelah mah udah. Diurusin bapaknya,” lanjut Si Teteh. Saya coba basi-basi dengan si cepak, “Bang, gak milih, Bang?” Saya dicuekin. Ternyata sejak semula dia tidak bisa mendengar obrolan kami. Berarti tertawaannya tadi bukan ditujukan ke Si Teteh dong, ya? Haha, padahal saya sempat sebal.

Di pojok dekat pintu keluar warkop duduk dua orang remaja. Yang belakangan datang menunjukkan jari kelingkingnya ke kawannya itu. Si Teteh yang baru selesai membuatkan kopi susu menghampiri kedua remaja ini sambil membawa 2 batang rokok yang tadi ia tawarkan. “Udah milih? Udah 17 tahun, dong?” tanya Si Teteh. “18, Teh,” jawab pemuda itu. Pemuda yang pertama datang berujar ke temannya, “Abis dapet kertasnya gua, kalau gak ada kertasnya mah gua golput (golongan putih-tidak memilih).” Kertas yang dimaksud mungkin adalah formulir C6 yang saya tidak miliki. Kenapa saya tidak golput dengan alasan yang dikatakan si remaja bertopi ini saja ya? Saya jadi ingat momen Pilpres pertama saya, pada tahun 2014 saya memilih di TPS pertama yang saya potret situasinya pagi ini, TPS 60. Posisinya ada di lapangan bulu tangkis di Gang Rahayu, Jalan Lestari. Waktu itu saya tercatat sebagai warga RT 11 RW 3. Seperti yang disinggung di atas, saya pindah alamat untuk kebutuhan daftar SMA, sekitar tahun 2010. Dan memang kebetulan saya tinggal di kontrakan yang ada di dekat kawasan RT itu. Untuk mempermudah urusan surat menyurat dan lainnya saya menumpang alamat di rumah bibi saya yang adalah warga RT 11 RW 3.

Gambar 10 TPS 60.

Saat saya menulis catatan untuk paragraf di atas, tiba-tiba ada suara bertanya ke dua pemuda di pojok tadi, “Ada Rama, nggak?” Saya cuek saja. Lagi pula tidak ada yang memanggil saya dengan nama “Rama” di sekitar sini. Tapi karena penasaran akhirnya saya menoleh, ternyata sumber suara itu adalah Uwak (paman) saya yang tinggal di Cipayung. Keluarlah saya dan mendapati ada Bapak juga masih duduk di atas sepeda motor. Bapak minta diantar untuk mengambil angkot di Jalan Lestari. Saya titipkan barang-barang saya ke Si Teteh, sementara Uwak saya pergi ke warteg (warung Tegal) di sebelah bengkel.

 

Gambar 11 Status di Facebook Bapak.

Kami mulai memasuki Jalan Lestari. “Bapak udah milih?” “Udah,” jawabnya. “Kok di Cipayung?” tanya saya yang baru sadar tadi pagi mama bilang mereka mau pergi ke Cipayung. “Iya, aneh. Udah Bapak share ke Facebook. 10 tahun KTP Kalisari, masa milihnya di Bambu Apus. Gak jelas!” Berarti semalam Mbah (nenek) saya menelepon untuk mengabarkan itu. Saya tak sempat angkat karena sedang menonton filem Godfather part I bersama teman sekantor. Sebelum pindah ke Kalisari saya memang tinggal di rumah Mbah di Cipayung. Kelurahan Cipayung berbatasan langsung dengan Bambu Apus di seberang jalan. Rumah nenek sendiri sebenarnya masuk ke kelurahan Bambu Apus, Jalan Bambu Hitam. Hanya saja kami lebih sering menyebutnya “Rumah Mbah Cipayung”. Baru setelah diterima di SMAN 98 Jakarta saya mulai tinggal di Kalisari. Tadi Bu RT bilang saya harus bawa KK asli untuk menghindari kesalahan atau kecurangan. Semakin aneh saja. Semua anggota keluarga saya yang namanya tercantum di KK, kecuali adik saya yang belum berusia pemilih, mendapatkan formulir C6 di Bambu Apus, saya tidak.

Saya kembali ke warkop untuk mengambil barang dan membayar kopi, setelahnya pergi ke warteg sebelah bengkel. Uwak saya tidak ada di warteg, ternyata dia berdiri di depan bengkel motor langganan saya yang sedang tutup. Jarinya sudah bertinta biru. “Milih siapa, Wak?” “Gerindra sama Prabowo,” jawabnya mantap. “Abis Jokowi kayaknya pro-Cina. Liat aja dulu pas gubernur, wakilnya Cina.” Saya tak merespons pernyataannya. Uwak lanjut berbicara tentang penggusuran di beberapa tempat di Jakarta. Ia protes karena penduduk itu sudah menempati lokasi yang digusur sejak 1920/1930-an. “Meski tanah Pemerintah, kan yang make rakyat. Sampe nangis-nangis orang-orang, tega banget. Itu gubernur, apalagi jadi presiden.” Di tengah perbincangan kami, angkot yang dikemudikan Bapak lewat. Uwa saya naik dan duduk di kursi depan, ikut berkeliling mencari penumpang. Sedangkan saya pulang mengendarai motor yang tadi mereka kendarai dari Cipayung.

Gambar 12 Bapak mengambil angkot di Jalan Al-Jauhari.

***

Dari tadi saya mengabaikan pesan masuk di grup-grup WhatsApp karena ribet mondar-mandir antar TPS. Terkait dengan urusan “pemilihan” ini, setidaknya ada satu grup yang paling aktif membahasnya: grup keluarga besar saya, yang orang-orangnya paling saya temui sekali setahun dalam momen lebaran. Umumnya, pembahasan di grup diisi dengan nasihat-nasihat yang di-forward atau di-copy tentang ibadah dan bagaimana cara menjadi muslim yang baik. Semenjak ada pesta demokrasi ini, topik-topik itu tetap ada, hanya saja dengan selipan pesan-pesan politik soal calon mana yang lebih baik, dengan kata lain ada calon yang buruk. Mulai dari cara-cara subtil sampai terang-terangan. Pesan-pesan ini begitu mendominasi keseharian virtual di grup itu. Sampai-sampai saya perlu me-mute-nya selama 1 tahun.

Uwak saya juga ada di grup itu, lebih banyak menimpali ketimbang melemparkan topik atau nasihat-nasihat. Nada ucapannya tadi persis seperti nuansa yang saya rasakan di grup keluarga besar. Ujaran semacam Calon ini antek asing dan aseng” jadi topik umum. Saya sendiri tidak ingat kapan pertama kali masuk ke grup itu. Namun kebetulan saya hampir tidak pernah menghapus chat history di WhatsApp. Setelah saya gulirkan chat room di grup sampai ujungnya, baru saya mengetahui kalau saya dimasukkan ke grup pada 15 Juli 2015. Saat itu momen lebaran jika membaca salah satu dari pesan yang masuk diawali dengan:

SURAT PERMOHONAN MAAF
Nomor           
: SPM/Syawal/1436H
Lampiran      
:
Perihal           
: Permohonan Maaf

Saya belum memeriksa kapan tepatnya topik-topik politik mulai menginfiltrasi grup silaturahmi ini. Akan saya ceritakan di lain tulisan.

***

Gambar 13 Situasi TPS 113 Pukul 12.13.

Bunyi azan terdengar, saya segera berangkat menuju TPS berbekal KTP dan KK asli. Saat tiba di meja pendaftaran, saya diberitahu ternyata harus membawa fotokopi KTP dan KK-nya. Hadeh. Batas akhirnya sampai pukul 13.00, atau gugur. Maksud kata “gugur” apa ya? Saya akhirnya jalan menuju warung fotokopi searah jalan ke kelurahan. Selain paling dekat, saya juga mau lihat pertigaan yang sebelumnya penuh baliho-baliho para calon. Pukul 12.25, KTP dan KK saya sudah difotokopi, tapi tidak jadi di dekat kelurahan melainkan di sebelah SDN 01 Kalisari. Rupanya bangunan yang dulunya warkop itu sekarang jadi warung fotokopi. Warteg di sebelahnya itu, sempat saya dan keluarga kontrak selama 1 tahun untuk berjualan Soto Bogor saat saya masih di SMA.

Sisa spanduk Caleg.

Pertigaan Gentong.

Pukul 12.31 saya kembali mendatangi meja pendaftaran. Urusan saya seharusnya di TPS 113, namun dipindahkan ke TPS di seberangnya yaitu TPS 112 karena antreannya terlalu panjang. Saya tak menunggu lama, baru saja meletakan tas nama saya sudah dipanggil petugas. Sampai di bilik suara saya dihadapkan pada kertas yang lebar-lebar, kecuali kedua pasang capres-cawapres yang kertasnya hanya dilipat empat. Kertas lain banyak sekali lipatan, pegal sekali mereka yang harus melipatnya. Akan jadi apa ya nantinya kertas-kertas ini setelah dihitung? Akhirnya ujung jari kelingking saya sudah berlumur tinta. Sekarang saya sedang menyusuri Jalan Kemuning menuju Jalan Al-Jauhari. Setibanya di Jalan Al-Jauhari saya sudah tidak ingat nama di dua lipatan kertas paling lebar yang saya coblos, banyak sekali, bro! Di jalan saya berpapasan dengan beberapa orang yang juga menenteng fotokopi KTP dan KK.

Gambar 14 Suasana di TPS 112 setelah saya mencoblos.

Gambar 15 Kelingking saya yang bertinta biru.

Dari Jalan Al-Jauhari saya balik lagi ke TPS pertama dan kedua yang saya lewati pagi tadi, salah satunya TPS tempat saya mencoblos untuk Pilpres 2014. Di DPT yang terpajang di TPS 61 tidak ada nama saya, begitu juga di TPS 60. Ke mana perginya nama saya itu ya? Saat sampai di rumah, kebetulan Mama dan adik saya baru kembali dari Cipayung. Ternyata tidak saya sendiri yang lupa saat di bilik mencoblos siapa. Mama bercerita juga, tetangga kami di Cipayung bilang “Pemilu sekarang bingung, mau milih, fotonya banyak, namanya apalagi. Gak pada kenal, yang kenal cuma Jokowi-Prabowo doang. Apalagi gak bisa baca. Asal nyoblos aja, abis keder!” Saya ceritakan juga kisah di atas tadi ke mama dan adik saya. Mereka bilang di Cipayung juga tidak ada nama saya, sedang nama mereka ada.

Gambar 16 Petugas di TPS 61 yang menggunakan beskap khas Jawa.

Beberapa waktu setelahnya, mama balik bertanya, Berarti kalau bisa ngapus tinta ini (menunjukkan kelingkingnya), mama bisa milih lagi dong, A’ di TPS Gang Mushola? Kan di KTP dan KK-nya mama warga sini.” Saya tidak menjawab karena saya sedang menonton filem The Shining bersama adik perempuan saya.

Jakarta, 17 April 2019

About the author

Avatar

Dhuha Ramadhani

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.