Situs Kompas.com, misalnya, pada artikel bertanggal 24 Januari, 2015, pukul 02:27 WIB, mengabarkan bahwa Polri menangguhkan penahanan terhadap BW setelah KPK bertemu dengan Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin Haiti.[1]Ihsanuddin, 24 Januari, 2015, “Bambang Widjojanto Tetap Pimpinan KPK”, Kompas.com, http://goo.gl/cAvrVg, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:00. Begitu pula artikel pada situs detiknews yang terbit dua jam lalu, mengabarkan bahwa BW dilepaskan oleh Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri sekitar pukul 01:30 WIB, kemudian BW tiba di KPK sekitar pukul 02:15 dan sampai di rumahnya di Depok sekitar pukul 04:15 WIB.[2]Ray Jordan, 24 Januari, 2015, “Kronologi Sehari Penangkapan Bambang Widjojanto Hingga Bebas”, detiknews, http://goo.gl/RjpFbG, tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:10. Artikel dari situs MetroTV News,[3]MetroTV News, 24 Januari, 2015, “Bambang Widjojanto Sampaikan Kronologis Hingga Bebas”, http://goo.gl/mtKHYB, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:15. Viva,[4]Bayu Adi Wicaksono, 24 Januari, 2015, “Bambang Widjojanto Bebas”, Viva.co.id, http://goo.gl/AcO7B3, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:10. JPNN,[5]JPNN, 24 Januari, 2015, “Akhirnya, Bambang Widjojanto Bebas”, http://goo.gl/WrsVKz, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:15. dan Tempo,[6] Linda Trianita & Muhamad Rizki, 24 Januari, 2015, “Bambang Widjojanto Sebut Ada Penelikung”, Tempo.co, https://goo.gl/NGAKrO, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:15. juga menegaskan hal yang sama. Dari beberapa sumber ini—meskipun isi beritanya tidak menunjukkan adanya eksplorasi yang berbeda dan mendalam terhadap isu tersebut—saya yang bangun kesiangan di kosan, Depok, menjadi cukup yakin bahwa Bambang Widjojanto memang sudah dibebaskan dini hari tadi. Belum ada kabar terbaru dari daftar artikel yang ditawarkan Google kepada saya.
Menurut saya, di tengah-tengah situasi carut-marut politik yang semakin krisis ini, isu-isu terbaru berkembang demikian cepat seiringan dengan fenomena disinformasi. Dengan begitu banyaknya informasi yang datang ke hadapan kita, baik yang faktual maupun yang berbual, kita rentan tersesat. Mau tidak mau, sebagai masyarakat awam, melakukan pemeriksaan ke berbagai sumber berita menjadi suatu keharusan. Apalagi bagi para jurnalis profesional, memastikan informasi yang mereka dapat berasal dari sumber yang benar merupakan tanggung jawab profesinya supaya tidak menyesatkan publik pembaca.
Di tulisan ini, saya berniat menjadikan isu BW sebagai latar. Saya ingin berbagi pengalaman ketika berada di depan kantor KPK kemarin, melihat-lihat suasana demonstrasi yang memprotes penangkapan itu.
Jum’at, 23 Januari, 2015, saya baru saja terbangun—lagi-lagi kesiangan—di kamar kosan ketika ponsel saya berdering. Otty, Direktur Program akumassa Forum Lenteng, berbicara dari rumahnya di Cibubur, menanyakan apakah saya sudah mendengar kabar bahwa BW ditangkap polisi. “Di Facebook sekarang lagi ramai, tuh!” serunya.
Langsung saja saya memeriksa media sosial dan mendapati beberapa kawan di Facebook membagi-bagikan publikasi tentang agenda berkumpul di depan kantor KPK, usai waktu sholat Jum’at, untuk melakukan aksi massa. Saya masih belum percaya dengan apa yang terjadi. “Kok makin ngaco aja, sih?” begitulah justru reaksi saya, awalnya, ketika membaca berita-berita penangkapan BW.
Beberapa saat kemudian, teman saya, Bagas, seorang peneliti muda di Yayasan Interseksi, mengirim pesan melalui whatsapp: “Ke KPK, yok!”
Menerima pesan seperti itu, “Wah, beneran, nih, ternyata!” seru saya kepada diri sendiri. Tanpa banyak basa-basi, saya pun menyetujui ajakan Bagas dan bergegas menemuinya di kantornya sebelum akhirnya kami menaiki kereta dari Pasar Minggu menuju Cawang, dan lanjut menaiki Transjakarta menuju Kuningan, Jakarta.
Ketika turun dari bus Transjakarta di halte Kuningan Madya, saya langsung mendengar suara orasi demonstran. Beberapa detik kemudian, sebuah lagu dari pengeras suara terdengar begitu kencang. Iringan demonstran yang saya dengar orasinya itu menggunakan banyak pengeras suara di mobil panggung—tempat berdirinya si orator—yang berhenti di pinggir jalan, depan gedung kantor KPK.
“Mafia hukum, hukum saja! Karena hukum tak mengenal siapa.”
Lirik dari band Navicula, berjudul Mafia Hukum terdengar berkali-kali diputar oleh demonstran di sela-sela orasi mereka. Saya melihat umbul-umbul dan spanduk bertuliskan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) dibawa oleh mereka. Sekali lagi saya tegaskan, dengan loudspeaker yang mereka gunakan, suara orator terdengar sangat jelas.
“Kami, para buruh, datang ke sini untuk mendukung KPK!” begitulah kira-kira ujaran orator, berkali-kali.
Sementara itu, penyampaian tiga tuntutan dalam demonstrasi oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi sudah dibacakan ketika saya masih berada di dalam kereta. Tapi saya mendapatkan foto lembaran siaran pers melalui whatsapp dari seorang teman. Isi dari tiga tuntutan itu, antara lain adalah (1) bebaskan Bambang Widjojanto, (2) Presiden Jokowi [harus] membatalkan pengangkatan Komjen (Pol) Budi Gunawan menjadi Kapolri dan mendukung pengusutan oleh KPK, (3) mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk membela KPK.
Selain rombongan buruh dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, ada juga rombongan demonstran lainnya, misalnya Solidaritas Aksi Mahasiswa Anti Demoralisasi (SAMAD) dan Pembela Kesatuan Tanah Air (Pekat). Lucunya, kesemua rombongan massa yang saya sebutkan itu berorasi dengan rombongannya masing-masing, tidak di bawah satu komando. Dan suara dari rombongan buruh—beberapa rombongan mahasiswa bergabung dengan rombongan buruh—tetap paling keras dan paling menggema sore itu, sedangkan rombongan demonstran lain hanya menggunakan toa.
Melihat namanya menyematkan kata “anti demoralisasi”, saya awalnya menduga rombongan SAMAD ini membela KPK. Akan tetapi, mereka justru membakar kain yang bertempelkan foto Abraham Samad. “Lho, kok…?”
Ketika saya masuk ke halaman kantor KPK, tepat di depan rombongan massa yang membawa spanduk dan kertas karton bertuliskan “Save KPK” dan “Saya KPK”, saya bertemu seorang teman (yang dulu satu jurusan kriminologi di Universitas Indonesia) yang sudah menjadi jurnalis. Ia baru saja selesai meliput untuk siaran stasiun televisi tempatnya bekerja.
“Ngapain, Kak, ke sini?” tanyanya.
“Iseng aja, pengen tahu!” jawab saya dan Bagas, nyengir.
“Oh…!”
“Dapet apa aja?” tanya saya, penasaran, kepada teman saya itu.
“Dapet banyak! Ada kabar katanya mau lanjut ke Mabes Polri. Terus katanya ada massa bayaran juga.”
“Oh, ya?! Yang di sebelah kanan itu, ya?” kata saya (maksudnya, di sebelah kanan gedung KPK). Teman saya itu mengangguk.
“Bayarannya dari mana?” tanya saya lagi.
“Ya, gitu, deh! Biasa, dengarnya, sih, dari Hasto Cs…!” katanya tersenyum. “Ya, udah! Saya lanjut dulu, ya, Kak!” Teman saya itu pun berlalu.
Saya tidak bermaksud menuduh Hasto Cs dalam tulisan ini karena informasi dari teman saya yang wartawan itu belum tentu benar sama sekali. Akan tetapi, dugaan bahwa adanya massa bayaran di depan gedung KPK kemarin memang terasa begitu kuat. Massa yang berorasi di depan pintu masuk kantor KPK pun sempat berteriak “Huuu!” kepada rombongan demonstran yang berada di sebelah kanan gedung. Tingkah laku mereka tidak baik, seperti berusaha memaksa masuk dengan memanjat pagar—karena petugas kepolisian menjaga pintu gerbang.
Apa yang dilakukan oleh rombongan yang saya duga sebagai massa bayaran ini berbeda dengan rombongan buruh yang hanya berorasi di luar halaman, di pinggir jalan, tanpa menerobos masuk atau memanjat-manjat pagar.
Artikel berita dari Suara.com menyebutkan bahwa rombongan SAMAD adalah demonstran yang menuntut pengusutan terhadap Abraham Samad dengan tuduhan melanggar kode etik karena menemui politisi untuk meminta jabatan cawapres.[7]Laban Laisila & Dwi Bowo Raharjo, 23 Januari, 2015, “Pendukung dan Anti KPK Berhadapan di Gedung KPK”, Suara.com, http://goo.gl/BDJJ3q, diakses tanggal tanggal 24 Januari, 2015, pukul 10:00. Seperti yang kita tahu, isu ‘jabatan cawapres’ ini datang dari Hasto Kristiyanto.[8]Lihat di Indri Maulidar, 22 Januari, 2015, “Tanpa Izin Mega, Hasto Kristiyanto Serang KPK”, Tempo.co, https://goo.gl/dLUkCC; dan juga di Fidel Ali Permana (Ed.), 22 Januari, 2015, “Pernyataan Hasto Jadi Blunder untuk PDI-P”, Kompas.com, http://goo.gl/IuQW3d. Kedua sumber diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 10:30.
Sementara itu, pada artikel di situs Tempo, informasinya sedikit rancu: “Massa yang berkumpul di halaman merupakan pendukung KPK. Sedangkan segerombolan orang di jalan merupakan pendukung Polri,” tulis Tempo. “Massa di gedung KPK…itu digawangi tokoh-tokoh masyarakat…Sedangkan massa di jalanan tidak dihadiri satu pun tokoh masyarakat…Selain berorasi, massa di luar pagar KPK itu juga menyetel musik dengan kencang. Keberadaan mereka membuat macet jalanan sekitar.”[9]Linda Trianita, 23 Januari, 2015, “Aktivis Gelar Aksi Save KPK, Muncul Demo Tandingan”, Tempo.co, https://goo.gl/vMZka5, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 11:00.
Menurut saya, artikel di situs Tempo itu agak gegabah karena, seperti yang saya lihat sendiri di sana kemarin, tidak semua demonstran yang berdiri di jalan adalah anti KPK. Bahkan, salah seorang orator dari rombongan buruh sempat marah dan memanggil wartawan dari Kompas TV yang berada di lokasi.
“Kami minta Kompas TV meminta maaf karena sudah salah memberitakan dengan menyampaikan bahwa kami, buruh, anti KPK!” seru si orator. “Padahal, kami datang jauh-jauh ke sini adalah untuk mendukung KPK. Kompas TV harus meminta maaf dan memberikan klarifikasi!”
Saya yang saat itu kebetulan sedang membeli rokok kepada salah seorang pedagang asongan di luar pagar, melihat seorang jurnalis perempuan dari Kompas TV mendatangi mobil panggung milik rombongan demonstran buruh. Ia didampingi oleh petugas polisi.
“Beri tepuk tangan untuk Kompas TV karena jiwa besar wartawannya yang mau mendatangi kita untuk melakukan klarifikasi,” kata si orator. “Kawan-kawan, mohon tahan, jangan ada terjadi kerusuhan!”
Saya langsung bergegas mengerahkan kamera android saya, merekam video dan berharap si jurnalis akan berbicara melalui pengeras suara untuk meminta maaf atas kesalahan pemberitaan dari medianya. Tapi harapan itu tidak terjadi. Sepertinya, si jurnalis hanya memberitahu bahwa Kompas TV akan melakukan siaran live sekali lagi untuk memberikan pemberitaan yang benar soal keberadaan buruh di depan gedung KPK dan meralat pemberitaan sebelumnya.
Ketika si jurnalis turun dari mobil panggung dan masuk kembali ke halaman gedung, tetap diiringi oleh petugas polisi, saya mendengar beberapa orang buruh berteriak, “Kawal! Kawal!” Mungkin maksudnya adalah mengawal dan memastikan bahwa si wartawan akan melakukan apa yang ia katakan. Saya pun mengikuti si jurnalis itu, berniat untuk merekam kegiatan siaran live mereka. Tapi, apa daya, karena berbaju kaos dan celana bahan, menyandang tas, persis seperti anak SMA yang baru saja pulang sekolah dan menyimpan seragamnya di dalam tas, saya tidak diizinkan petugas brimob yang berjaga di depan gerbang untuk masuk kembali ke halaman gedung.
“Lah, tadi boleh-boleh aja, Bang!” kata saya. “Saya mau ngawal itu!”
“Sekarang sudah tidak bisa, Mas!” kata salah seorang petugas.
Saya berbalik dengan kecewa. Saya lihat Bagas tertawa.
“Tadi gue juga mau masuk lagi, gak boleh!” kata Bagas. “Gue ampe ngaku anak LBH, padahal. ‘Itu temen-teman saya di dalam semua, Pak!’, tapi tetep aja gak diizinin masuk.”
Dengan kecewa, saya dan Bagas pun hanya duduk sambil merokok di trotoar jalan depan gedung kantor Jasa Raharja (sebelah kiri gedung KPK), mendengarkan oras-orasi para demonstran buruh yang tak lelah menyampaikan pandangan mereka tentang situasi politik di Indonesia sekarang ini. Pukul setengah enam sore, kami memutuskan pulang dan meninggalkan perkembangan-perkembangan terkini di lokasi sehubungan dengan peristiwa aksi massa tersebut.
Melalui pengalaman ini, saya pribadi menyadari betapa kesalahan informasi yang sangat kecil sekalipun akan dapat berakibat fatal. Saya merasakan nuansa ketegangan saat rombongan buruh marah ketika mengetahui pihak Kompas TV keliru menayangkan informasi. Padahal, bisa saja itu hanyalah kekhilafan manusia biasa—tapi tetap saja fatal karena sudah tayang. Untung saja, massa masih bisa meredam emosinya.
Sementara itu, pada pemberitaan Tempo, walau tidak sepenuhnya salah—artinya, tidak pula sepenuhnya benar—terasa adanya kecenderungan untuk melakukan stereotipe terhadap para demonstran di luar pagar gedung KPK sebagai perusuh. Si Jurnalis bahkan tidak menerangkan bahwa massa yang berada di luar pagar itu juga terdiri dari beberapa rombongan yang berbeda tujuan dan cara. Selain itu, saya sendiri bingung, apakah telinga si jurnalis demikian pekak sehingga tidak mendengar suara kencang dari loudspeaker rombongan buruh yang menyatakan dukungannya kepada KPK?
Walau tak ada niat untuk menyudutkan beberapa pihak—terlepas dari praktek jurnalis bodrek, kelalaian-kelalaian para jurnalis di lapangan seringkali terjadi tanpa disadari. Dan ini berdampak pada isi informasi yang diproduksi kemudian. Jurnalis juga manusia. Oleh karenanya, yang dituntut lebih aktif pada masa sekarang adalah kritisisme masyarakat pembaca dalam menilai kualitas berita yang akan dikonsumsi.
Penekanan saya di dalam tulisan ini ialah kewajiban untuk menjadi media massa yang baik dan pembaca yang baik. Krisis politik di Indonesia saling mempengaruhi terhadap situasi terpecah-pecahnya masyarakat, mulai dari elite, ahli, media massa, jurnalis, bahkan warga biasa. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ini, terutama bagi para pelaku media massa, ialah menghindari praktik dramatisasi isu, diskriminasi kelompok, dan menegaskan posisi untuk berpihak pada kepentingan publik. Pada titik itulah, nurani media yang kita harapkan muncul sebagai solusi. Sementara itu, sebagai pembaca media, kita harus bagaimana? Literasi media menganjurkan kita agar mau meluangkan waktu untuk memilah, memahami, menganalisa dan bertanya secara terus-menerus citra yang dibangun oleh media.
Footnote
1. | ⇑ | Ihsanuddin, 24 Januari, 2015, “Bambang Widjojanto Tetap Pimpinan KPK”, Kompas.com, http://goo.gl/cAvrVg, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:00. |
2. | ⇑ | Ray Jordan, 24 Januari, 2015, “Kronologi Sehari Penangkapan Bambang Widjojanto Hingga Bebas”, detiknews, http://goo.gl/RjpFbG, tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:10. |
3. | ⇑ | MetroTV News, 24 Januari, 2015, “Bambang Widjojanto Sampaikan Kronologis Hingga Bebas”, http://goo.gl/mtKHYB, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:15. |
4. | ⇑ | Bayu Adi Wicaksono, 24 Januari, 2015, “Bambang Widjojanto Bebas”, Viva.co.id, http://goo.gl/AcO7B3, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:10. |
5. | ⇑ | JPNN, 24 Januari, 2015, “Akhirnya, Bambang Widjojanto Bebas”, http://goo.gl/WrsVKz, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:15. |
6. | ⇑ | Linda Trianita & Muhamad Rizki, 24 Januari, 2015, “Bambang Widjojanto Sebut Ada Penelikung”, Tempo.co, https://goo.gl/NGAKrO, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 09:15. |
7. | ⇑ | Laban Laisila & Dwi Bowo Raharjo, 23 Januari, 2015, “Pendukung dan Anti KPK Berhadapan di Gedung KPK”, Suara.com, http://goo.gl/BDJJ3q, diakses tanggal tanggal 24 Januari, 2015, pukul 10:00. |
8. | ⇑ | Lihat di Indri Maulidar, 22 Januari, 2015, “Tanpa Izin Mega, Hasto Kristiyanto Serang KPK”, Tempo.co, https://goo.gl/dLUkCC; dan juga di Fidel Ali Permana (Ed.), 22 Januari, 2015, “Pernyataan Hasto Jadi Blunder untuk PDI-P”, Kompas.com, http://goo.gl/IuQW3d. Kedua sumber diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 10:30. |
9. | ⇑ | Linda Trianita, 23 Januari, 2015, “Aktivis Gelar Aksi Save KPK, Muncul Demo Tandingan”, Tempo.co, https://goo.gl/vMZka5, diakses tanggal 24 Januari, 2015, pukul 11:00. |
Jangan ribut-ribut melulu yang bikin pusing masyarakat awam, sebaiknya para aktor2 itu mundur semua atau dipecat dari institusinya masing2 dan carilah orang baru yang bersih supaya situasi negara aman dan tentram dak ada ribut2 lagi, trima kasih
[…] Perkara serupa lumrah ditemukan di berbagai siaran langsung stasiun televisi dalam sebuah demonstrasi—video-videonya bisa diakses di media sosial semacam YouTube. Lagi pula, perspektif paling ideal, selain dari ketinggian atau dari udara, tentu dengan berlindung di balik aparat kepolisian. Skenario yang barangkali sudah menjadi bagian dari “Standar Operasional Prosedur” peliputan aksi massa. Dalam tayangan itu—yang kadang tak keburu di-backup oleh gambar cadangan—kita akan melihat dapur awak media; menggulung kabel sambil berjalan, mengangkat tripod, bahkan percakapan koordinasi antara juru kamera dan operator suara pun turut tersiar. “Eh, audio ke mana nih? Ini salah, salah, salah…!” Keruan saja gambar, suara, malahan narasi yang disampaikan sang reporter terkadang bocor atau bolong di sana-sini, toh, jurnalis juga manusia. […]