DKI Jakarta

Mengapa Jakarta

Avatar
Written by Manshur Zikri

Dua tahun sudah aku memijakkan kaki di Jakarta. Alasanku berada di sini, tidak lain adalah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi yang ada di Ibukota. Merantau memang sudah menjadi tradisi di dalam keluargaku. Saat ini, aku belum dapat menentukan apakah akan kembali lagi ke kampung halaman, di Pekanbaru, atau akan mengikuti jejak orang rantauan pada umumnya yang memilih untuk tinggal lama di Jakarta, atau bahkan mungkin untuk menetap selamanya. Karena menimbang-nimbang pilihan ini, aku lantas terpikirkan sebuah pertanyaan: mengapa orang-orang datang ke Jakarta dan bisa tinggal lama di sana?

484 tahun lamanya, dari dulu hingga sekarang, Jakarta menjadi kota pusat aktivitas, mobilisasi, pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan Negara Indonesia. Kita semua tahu bahwa sebagai Ibukota, Jakarta semakin hari semakin dipadati oleh penduduk, baik dari dalam maupun dari luar Kota Jakartanya sendiri. Bisa dikata, Jakarta menjadi tempat ‘kumpul’ dan membaurnya orang-orang se-Indonesia yang ingin mendapatkan sesuatu, yang mungkin, bagi orang-orang, hal itu tidak bisa didapatkan di luar Kota Jakarta.

Para perantau berdatangan dari berbagai daerah untuk melakukan satu dan banyak hal di Jakarta. Aku sangat yakin, pastinya ada alasan tertentu yang berbeda-beda, yang melatarbelakangi mereka untuk meninggalkan kampung halaman, dan kemudian memilih untuk menetap di Ibukota. Dan sebagai orang yang sekarang hadir dan beraktivitas di Jakarta, tentunya mereka juga memiliki pendapat atau pandangan sendiri tentang Jakarta. Hal inilah yang kemudian mendorongku untuk bertanya kepada beberapa teman atau kenalan yang merupakan orang rantauan, tentang alasan mereka berada di Jakarta. Beginilah kira-kira jawaban mereka:

Kapan dan mengapa kamu ke Jakarta, dan mengapa sampai sekarang masih tetap berada di sini?

Andan, dari Makassar, Sulawesi  Selatan. Seorang  periset, penulis  dan seorang mahasiswa.

Saya lahir di sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan, 4 jam dari Makassar. Saya di Jakarta sejak tahun 2005. Mulai di Jakarta tahun 2005, meskipun sebelumnya pernah datang beberapa kali untuk kunjungan singkat, dan sejak tahun 2005 sampai sekarang  saya menetap di sini.  Dan kalau pertanyaannya kenapa sampai saat ini saya belum pulang dari Jakarta, karena sebagian banyak aktifitasnya itu di sini.  Sebagian besar aktifitas yang saya maksud adalah aktifitas yang menyangkut kebutuhan bertahan hidup atau aktifitas yang kebutuhan mengisi diri, dalam hal ini, saya masih sekolah di UI. Saya berfikir suatu saat saya harus kembali ke kampung halaman saya dan meninggalkan Jakarta, karena biar bagaimana pun setiap orang punya akarnya masing-masing.  Dan menurut saya akarnya ini perlu dibangun, tempat asalnya perlu dibangun. Mungkin suatu saat saya akan kembali, mungkin 2 atau 3 tahun lagi.

Hafiz

Hafiz, dari Pekanbaru, Riau. Seorang seniman.

Saya sudah tinggal di Jakarta 21 tahun, dan kenapa saya tidak pulang ke kampung halaman karena ini mimpi, ini harapan, jadi harapan di kampung tidak ada, karena bidang yang saya dalami berbeda, mungkin kita bisa merubah kampung dari sini saja, jadi gak perlu langsung pulang ke kampung. Pertama kali ke sini ya karena itu, mimpi. Mimpi itu diwujudkan dengan kuliah, yaitu ke Jakarta. Keinginan untuk kembali ke kampung itu tentu ada, tetapi jika jika paradigmanya sudah berubah. Pasti akan berubah, ya daerahnya kalau sudah mulai berubah, paradigma sudah berubah, pasti juga berubah. Pasti kalau paradigma daerahnya sudah berubah, pasti orang yang berpendidikkan juga berfikir untuk kembali ke kampungnya.

Dian Komala

Dian Komala, dari Sukabumi, Jawa Barat. Seorang pekerja visual.

Alasan pertamanya karena di Sukabumi tidak ada penghasilan yang membuat saya tidak bisa maju.  Jadi saya berangkat ke Jakarta untuk bekerja dan belajar. Intinya saya tidak mau seperti keluarga-keluarga saya yang tetap ada di lingkaran setan. Maksudnya dari lingkaran setan itu, semua persoalan, terutama ekonomi itu selalu berangkat dari satu titik dan kembali lagi ke titik itu. Gali Lobang Tutup Lobang. Pinjam uang di sini, untuk menutupi utang di sini karena gajih yang ini tidak cukup. Pekerjaan pun di sana cuma sekedar pabrik dan jaga toko-toko, biasa lah.

Minah

Minah, dari Kebumen, Jawa Tengah. Seorang pedagang dan ibu rumah tangga.

Pertama menetap di Jakarta tahun 1995. Pulang ke kampung setahun sekali. Udah kumpul keluarga, terutama ada suami, anak juga sekolah di sini, ya betah jadinya. Di sini dagang, warung kecil-kecilan lah untuk menghidupi keluarga, kebutuhan. Habis, fasilitas di Kebumen susah sih untuk pencarian uang.

Lorry

Lorry, dari Salatiga, Jawa Tengah, seorang staf keuangan sebuah lembaga seni.

Alasan saya dulu ke Jakarta itu, salah satu kuliah karena waktu itu orangtua saya kedua-duanya sudah meninggal. Kakak saya berinisiatif  saya dibawa ke sini untuk tetap kuliah di sini. Jadi, ada yang mengawasi di sini. Itu alasan saya di Jakarta. Ada sih keinginan untuk pulang ke sana, kebetulan saya ada rumah di sana, paling untuk keperluan ke makam, kebetulan saya masih ada saudara di sana atau kalau ada acara natal dan tahun baru, itu baru kita kumpul keluarga besar di Salatiga. Mungkin kan di sini kesibukkannya udah yang bener-bener sama orang kerja jadi jarang ketemu. Ya, mungkin karena saya sudah bekerja di sini, ada sih keinginan membuka usaha di Salatiga. Tapi kan kalau kita mau buat usaha di sana, kita harus punya modal. Jadi untuk saat ini kita mencoba untuk mengumpulkan dulu, mengumpulkan uang atau apalah untuk modal, kalo misalnya kita sudah tidak… ya tinggal pulang. Usaha di sana, usaha apa saja, yang penting bisa menghidupi keluarga.

Yuniarti, dari Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Seorang pedagang baju muslim.

Pertama kali ke Jakarta tahun 75, waktu itu ikut paman ke Jakarta untuk kuliah. Kemudian setelah ke Jakarta, tetap tinggal di sini karena semua aktivitas sudah dilakukan sejak lulus kuliah. Kemudian berkeluarga, punya anak, dan rumah juga di sini. Paling hanya beberapa kali pulang kampung untuk kumpul keluarga. Kalau di Jakarta, peluangnya lebih menjanjikan, berbeda dengan di kampung. Apa yang mau didapat di kampung, nggak mungkin kembali dan pergi ke sawah, nyangkul.

Kartini

Kartini, dari Gunung Kidul, Yogyakarta. Seorang ibu rumah tangga dan pengusaha kecil.

Ke Jakarta, ya ikut kakak aja, pengen sekolah. Dulu kan dari lulus SMP.terus pindah ke Jakarta. Memilih tinggal di Jakarta karena Jakarta lebih menarik, lebih banyak peluang untuk maju dari pada kalau tinggal di kampung.

Reza Avisina, dari Bandung, Jawa Barat. Seorang pekerja seni.

Saya ke Jakarta tahun 1995 menuntuk kuliah di Institut Kesenian Jakarta, sinematografi. Selepas itu saya melakukan beberapa hal yang bersangkutan dengan pekerjaan.

Sebagai orang rantauan dan sudah lama tinggal di Jakarta, bagaimana pendapat kamu tentang Kota Jakarta itu sendiri?

Dian

Ya, itu sama seperti orang-orang ngeliatnya. Awalnya keluarga gue, terutama ibu, ngelarang gue buat ke Jakarta. Karena pandangan dia sama seperti orang-orang pada umumnya, di Jakarta kita bisa bebas, ya intinya bisa merusak… kan anak Sukabumi itu anak dusun terus pindah ke kota. Awalnya gue juga menganggap gitu, tapi sekarang, pokoknya Jakarta tempat bekerja gue dan tempat belajar gue.

Andan

Andan

Menurut saya Jakarta bagi orang yang rantauan seperti saya tetap dengan ilusinya. Jakarta penuh dengan ilusi, bahwa Jakarta adalah segalanya, Jakarta adalah tempat mengadu nasib dan dengan begitu tidak pernah kan kita lihat orang berhenti datang ke Jakarta. Setiap tahun pemerintahan Jakarta yang mengeluarkan peraturan mengenai kependudukkan dengan adanya operasi prostitusi, tetapi orang tetap saja datang dengan segala resikonya masing-masing.  Ya orang-orang pada tahu bahwa kalau kamu ke Jakarta tanpa ada skill yang bisa dipakai untuk bertarung di kota besar ini, orang tetap datang. Dan orang-orang yang juga sudar dari awal sadar bahwa dia sudah punya skill tertentu, berlebih untuk orang seperti itu dia akan tetap datang ke Jakarta untuk mengadu nasib. Menurut saya Jakarta adalah salah satu tempat yang tepat untuk bertarung bertahan hidup karena tidak bisa dipungkiri, misalnya kota ini adalah kota pusat percaturan baik ekonomi maupun politik. Dan dengan seperti itu banyak orang yang datang ke sini untuk mengambi…(ada orang datang)… Jadi begitu ya orang tidak pernah berhenti datang ke sini karena menganggap ini adalah kota yang menyimpan harapan. Banyak orang yang menggantungkan harapannya di sini. Karena itu tadi dia (Jakarta) pusat percaturan ekonomi maupun politik. Dan kan menurut saya ada tiga hal pendapat orang tentang mengenai kota, termasuk mengenai Jakarta lah, pendapat pertama selalu bilang bahwa kota seperti Jakarta adalah kota yang penuh dengan hiruk pikuk, tempat kemaksiatan terjadi tapi di tempat lain juga kemaksiatan terjadi tidak mesti  di Jakarta, tempat dengan penuh kemacetan, penuh dengan haru birunya sendiri dan pendapat pertama ini selalu bilang bahwa  ‘jangan datang ke Jakarta deh, lu akan sengsara kalau datang ke sana’. Ya terus yang ke dua, pendapat ke dua ini selalu berkata Jakarta adalah kota segalanya, lu bisa mengadu nasib dan nyaman lah kota ini.  Mereka mengesampingkan segala hal-hal yang negative mengenai Jakarta, cuek lah dengan bahwa Jakarta penuh macet, hiruk pikuk, penuh orang-orang dengan niat yang berkomunikasi bila ada kepentingan, menurut saya di tempat lai juga banyak yang kayak gitu, bukan hanya di Jakarta. Dan kelompok ke dua ini nyaman dengan kota ini dan terus tinggal mencari keuntungan sebesar-besarnya dari kota ini dan menganggap bahwa Jakarta adalah segalanya. Nah pendapat ke tiga ini, pendapat yang menggambungkan, dia hibridasi dari pendapat yang tadi disebutkan tetap melihat Jakarta dengan hiruk pikuk, penuh dengan kemacetan, kemaksiatan apalah segala macam, tapi tetap merasa bahwa kota ini nyaman untuk dipakai untuk mengadu nasib. Ya kita tahu lah ada beberapa pernyataan tentang Jakarta baik melalui film, atau lagu, atau mungkin melalui karya sastra. Dulu tuh ada film Badut-badut Kota yang main Dede Yusuf dan Ayu Azhari, itu adalah salah satu film yang menurut gue oke banget, kalau di lagu kita tahulah ada kalimat di lagu ‘siapa suruh datang ke jakarta’.  Atau misalnya di pribahasa ada kalimat ‘sekejam-kejamnya ibu tiri lebih kejam ibu kota’. Nah menurut gue, itu kesan orang-orang tentang Jakarta yang di formulasikan dalam budaya pop film, lagu dan kalau sastra mungkin ini ya, apa yah yang pernah gue baca dan menarik banget, oh kumpulan cerita pendeknya Pram, Cerita Dari Jakarta. Itu Jakarta tempo dulu ya bukan Jakarta yang sekarang. Kalau yang sekarang kayaknya belum nemu penulis yang menggambarkan Jakarta sebaik Pram.

Lorry

Untuk Jakarta saat ini, mungkin orang umum juga sudah tahu ya, keadaan Jakarta tuh sekarang, macet, itu yang ke satu, masalah juga dengan transportasi, menurut saya juga masalah ini belum terpecahkan. Sampai saat ini.  Walaupun program ini sudah lama berjalan, walaupun sudah ada busway, ata apa itu juga, kemajuannya juga belum terlalu, masih saja macet. Apalagi dengan banyaknya akhir-akhir ini tawuran warga, itu marasa kita tidak terlalu aman.  Masalah keamanan juga, banyak penodongan, banyak perampokkan sekarang, mungkin orang berfikir, orang pindah ke Jakarta tuh harus  bisa merubah nasib, dan terkadang di sini lowongan pekerjaan juga susah, seseorang berfikir mereka bisa cepat langsung bisa, ya itu jalan satu-satunya orang yang berfikiran pendek ya, dengan jalan merampok, menyopet apapun dilakukan untuk mereka bisa bertahan hidup. Saya harap sih untuk ulang tahun Jakarta yang ke 484 ya, berharapnya Jakarta, bisa berubah lebih baik untuk semua golongan masyarakat di sini.

Reza

Tentang Jakarta, sejauh ini, yang saya lihat adalah Jakarta merupakan sebuah tempat atau bia dibilang kota besar, karena memang masyarakat yang datang ke sini cukup banyak, dan perkembangannya juga cukup besar. Kalau dibandingkan dengan kota kelahiran saya, di Bandung, tempat tinggal saya sampai SMA waktu itu, tidak banyak hal yang berarti juga. Dibandingkan dengan beberapa isu yang mungkin di Jakarta jauh lebih fresh disbanding di daerah. Karena permasalahan di Jakarta sendiri adalah ketidakkompakan warganya dalam hal melihat situs Kota Jakarta itu sendiri. Dan ini tidak hanya bisa dilihat dari sekedar pembangunan atau hal-hal yang melemahkan Kota Jakarta, tapi menurut saya, mungkin kesadaran orang yang datang ke Jakarta, kaum-kaum urban ini, pendatang yang membangun Kota Jakarta, kemudian kembali ke daerahnya, karena nggak kompak. Satu merusak, yang lain ikut merusak. Satu membangun, yang lain mungkin cuma ikut-ikutan. Tidak pernah ada satu keselarasan. Dan gue rasa, Jakarta tidak bisa hanya dilihat sebagai kota yang membangun saja, tapi Jakarta itu juga bisa dilihat sama dengan kota lainnya yang mempunyai daya bertahan hidup. Sebetulnya sama saja, sih porsinya, tidak ada yang istimewa juga dengan Jakarta selain kalau kita melihat Jakarta sebagai kota besar, kota urban, atau sebagai Ibukota Negara. Tapi kalau saya lihat, sebagian besar warga yang hadir di Kota Jakarta, yang tinggal, bekerja, dan berkehidupan di Kota Jakarta itu, yang masih kurang adalah kekompakan, bukan soal kekeluargaan aja, tapi kompak.

Kartini

Melihat Jakarta, ya penuh dengan carut marut. Sebagai ibukota negara, Jakarta itu kan seharusnya bersih. Soal kebersihan itu kan memang seharusnya menjadi tanggung jawab masing-masing warga, gitu. Sekarang kan kesadaran itu nggak ada. Ya contoh kecilnya, kalau pedagang-pedagang di pinggir jalan, kalau nyapu, masuknya ke got. Terus soal kemacetan, kriminalitas juga tinggi. Harapan saya ya lebih ditertibkan lagi, baik itu tata kotanya, difungsingkan sebagaimana fungsinya, penghijauan diperbanyak. Jangan hanya penambahan gedung-gedung bertingkat aja, tapi penyerapannya nggak ada. Kalau misalnya suatu saat hancur Jakarta karena banjir, ya jangan disalahkan yang lain-lain, kan gitu.

Hampir semua dari orang yang aku tanyai alasan dan pendapatnya tentang Jakarta, jawabannya memiliki kemiripan yang sama. Jakarta menjadi kota tujuan dengan harapan untuk dapat mengakses lebih kesempatan-kesempatan yang ada di Jakarta dibandingkan dengan kota lain. Bahkan, seorang temanku, yang dahulunya lahir dan tinggal di Jakarta, dan kemudian sempat pergi meninggalkan Jakarta selama 10 tahun, memilih kembali ke Jakarta dengan alasan yang sama. Begitu juga dengan pandangannya tentang Kota Jakarta, yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selain persoalan sosial masyarakatnya.

Akbar Yumi, dari Jakarta. Seorang periset dan pengurus sebuah perpustakaan.

Gue lahir tahun 75 sampe SMA kelas 3… tahun 92-an lah. Ya udah gue ke Malang, kuliah. 10 tahun lebih, nggak lulus lagi. Balik ke Jakarta, karena gue lama nggak pulang. Yang kedua, di sini banyak fasilitas, mau belajar juga banyak buku, banyak perpustakaan, banyak bahan-bahan berkaitan dengan kebudayaan. Kalau di daerah, kan masih minim yang gitu-gitu. Ya itu mungkin alasan yang lebay, gitu deh! Oh, yang ketiga, alasan formal. Gue ditelepon oleh salah seorang untuk bantu pengarsipan di perpustakaan, waktu itu. gue nggak nyari pengalaman di Jakarta, justru gue terdidik di lokal, ya, di daerah. Maksud gue, iklimnya, masih belum profesi orientit. Gue pikir semua sejarah kepahlawanan itu, juga besarnya di lokal. Gue justru lebih cari banyak pengalaman di daerah. Jakarta itu udah aplikasi, menurut gue. Kalau urusannya survival, ya udah praktif. Jakarta, tetap aja, nggak ada yang berubah. Waktu gue kecil, begitu aja. Kalau fisik pastilah, nggak usah diomongin, kulturnya juga tetap sama. Cuma sekarang, karena gue dulu kecil, gue nongkrongnya sama anak-anak yang di Jakarta. Kalau sekarang, banyak orang daerah di Jakarta, jadi mungkin secara sosial pasti bergeser. Balik ke Jakarta, gue udah agak lebih tua. Jadi hubungan sosialnya juga udah beda. Mungkin yang membedakan, bukan soal kota. Maksud gue yang membedakan tuh karena umur gue, relasi sosialnya bergeser aja. Kalau kota di mana-mana, gue pikir, sama aja, di Jakarta atau di daerah. Tapi ya itu tadi, maksud gue bedanya, dulu gue waktu sekolah nggak punya beban, nggak butuh orang lain, mau bandel seenaknya. Sekarang gue balik ke Jakarta udah tua, jadinya beda. Maksud gue, beban-beban… beban yang didapat dari pengetahuan, gitu loh! Kalau orang yang tidak berpengetahuan, kan sebenarnya tidak punya beban.

* * *

Kenyataannya, persoalan yang melingkungi Jakarta semakin kompleks saja. Jawaban-jawaban dari orang-orang yang aku tanyai itu sudah mencerminkan hal itu, mulai dari soal ketangguhan untuk bertahan hidup, mencari pekerjaan, hubungan antar individu di dalam mayarakat, hingga ke persoalan instrumen-isntrumen kota yang belum begitu terasa manfaatnya bagi warga masyarkat Kota Jakarta. Kita seolah hidup di lingkungan yang begitu memaksa: memaksa untuk bertahan, memaksa untuk berkompromi. Kalau boleh aku mengutip sebuah tulisan, berjudul Ikan Asin, karya Otty Widasari, jika ingin tetap melanjutkan hidup di Jakarta ini, “jutaan warga masyarakat yang ada di Jakarta pun tetap bertahan mencari penghidupan di Jakarta, terus merajut mimpinya, dengan cara berkompromi dengan sistim yang terbentuk dengan deras, mengemas, membungkus, tanpa kompromi”.

Orang-orang rantau yang memilih untuk tetap tinggal di Jakarta pastinya harus dan sudah melakukan itu, dari pada berkompromi dengan takdir atau nasib yang tak ada indah-indahnya jika kembali ke kampung halaman yang belum banyak memberikan kesempatan yang lebih. Lebih baik berjuang untuk meraih mimpi. “Karena mimpi itu yang membuat kita bergerak berdiri.”

 

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

4 Comments

Tinggalkan Balasan ke manshurzikri X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.