Dengan niat iseng, saya mengambil fotonya yang sedang melihat ponsel, lalu mengunggahnya ke media sosial. Hitung-hitung menjadi semacam kabar harian ke kawan-kawan di Jakarta jika kebetulan mereka online dan melihat Facebook, bahwa kami di Pemenang masih belum menemukan rumah untuk markas baru.
Tiba-tiba Siba dan Ghozali mengajak saya untuk duduk nongkrong di saung milik tetangga mereka. Di sana, sudah ada seseorang yang saya lupa namanya. Orang yang ramah. Di temani dua gelas kopi, Ghozali, Siba dan saya berkeluh-kesah kepadanya soal kesulitan mencari rumah. Tak lupa dibumbui dengan cerita menjengkelkan tentang si orang yang melipatgandakan harga rumahnya itu—saya juga ikut bantu membumbui.
Setelah mendengar kriteria rumah kami, akhirnya tamu kami itu menawarkan untuk melihat sebuah rumah di Dusun Sira Daya, Desa Sigar Penjalin. Areanya terletak dekat dengan garis pantai. Dia mengatakan rumah itu memiliki banyak kamar dan satu ruangan besar. Si tamu menawarkan untuk melihat rumah itu esok hari.
Di waktu yang bersamaan dengan tawaran si tamu, Ghozali mendapat kabar dari seorang kawannya melalui Facebook, yang mengomentari foto dirinya yang saya unggah (menampilkan gesture-nya yang terlihat mumet mencari rumah). Kawan Facebok-nya itu mengatakan ada rumah kosong di Dusun Lendang Berora, Desa Sigar Penjalin, dan bisa dilihat malam itu juga. Tanpa menunggu lebih lama, kami bertiga segera melihat rumah itu setelah berpamitan dan meninggalkan si tamu dengan setengah gelas kopinya yang tersisa.
Namun, rumah di Lendang Berora, ternyata, jauh dari kriteria. Rumahnya sangat kecil, bahkan listriknya sulit menyala waktu itu. Dalam perjalanan pulang, saya yang berboncengan motor dengan Siba sempat melihat sebuah rumah besar yang menurut Siba memenuhi kriteria sebagai markas, yakni rumah milik Herman Zohdi di Dusun Bentek, Desa Persiapan Manggala. Sayangnya, sinyal internet untuk di daerah itu masih sangat sulit. Sementara, fasilitas internet sangat penting bagi kelancaran kerja Komunitas pasirputih, terutama untuk persoalan distribusi konten/produk, seperti tulisan atau video.
Rumah di Sira Daya yang kami lihat keesokan harinya, jauh lebih baik. Selain ada empat kamar, ada sebuah ruangan cukup luas seukuran 4×5 m. Pekarangannya juga luas, dan ada banyak rumah-rumah tetangga yang, menurut si pemilik rumah, tidak akan merasa keberatan jika pasirputih mengadakan kegiatan yang “berisik”. Itu merupakan peluang yang sangat baik, dan saya pribadi cukup jatuh hati dengan rumah itu—meskipun, Ghozali sendiri merasa ragu dengan penerimaan para tetangga setelah dia memperhatikan lingkungan sekitar rumah itu. “Aku gak yakin dengan suasananya, Zik!” ucapnya. Pada akhirnya, rumah itu pun batal kami ambil (walaupun harganya, kalau saya tidak salah ingat, sangat terjangkau) karena alasan masih ada satu ruangan yang masih akan ditempati oleh keluarga si pemilik. Hasil konsultasi kami dengan Hafiz, Direktur Forum Lenteng, keberadaan keluarga si pemilik itu pastinya nanti akan mengganggu kinerja komunitas. Bukan berarti pasirputih tertutup dengan warga sekitar, tapi adanya pertimbangan bahwa kinerja internal komunitas tak elok jika berada dalam satu atap dengan urusan privasi keluarga orang lain. Dan belum tentu juga si keluarga pemilik itu akan merasa nyaman, atau sebaliknya, seniman-seniman tamu yang akan datang berkunjung juga akan merasa kurang leluasa.
Dalam perjalanan pulang dari Dusun Sira Daya, kami sebenarnya sempat melihat sebuah ruko yang sangat layak, dengan dua ruangan sangat besar dan ketersediaan listrik dan air cukup. Tapi, terlalu mahal: 50 juta setahun. Sedangkan sebuah ruko yang lain (yang kelihatan lebih mewah dan cocok untuk “galeri seni”), di Dusun Tembobor, desa yang sama, juga batal ditindaklanjuti pada hari berikutnya, karena, selain kelihatannya si pemilik ruko kurang berkenan menyewakan, kami sudah terlanjur jatuh hati dengan sebuah rumah di Dusun Karang Baro, Desa Pemenang Timur, milik Pak Mas’un.
Di hari ketiga itu, akhirnya kami menemukan dua rumah di Desa Pemenang Timur untuk menjadi kandidat kuat sebagai markas baru Komunitas pasirputih. Selain rumah Pak Mas’un, satu rumah lagi terletak di Dusun Karang Montong. Rumah Karang Montong itu sebenarnya menarik. Pada bangunannya, terdapat sebuah ruangan yang dahulunya digunakan si pemilik (almarhum) sebagai perpustakaan untuk umum. Buku-buku dan meja-meja bacanya masih lengkap. Sang istri bahkan sempat meminta pasirputih, jika jadi mengambil rumah itu, untuk melanjutkan pengelolaan perpustakaan. Tentu kami sangat senang dengan tawaran itu. Akan tetapi, di sebelah rumah itu, ada sebuah ruangan yang sudah disewa sebagai tempat usaha penjualan semen. Sang istri pemilik rumah mengatakan orang yang menyewa itu adalah Pak Haji—yang kebetulan hari itu tak bisa kami hubungi—yang sepertinya akan keberatan jika kami mengundang orang-orang bukan muhrim menginap di satu tempat. Oleh karenanya, pilihan kami pun jatuh pada rumah Pak Mas’un.
Rumah Pak Mas’un terletak di dalam sebuah gang. Pekarangannya tidak terlalu luas, tapi cukup jika nantinya pasirputih berkeinginan mengadakan pemutaran filem di pekarangan rumah itu. Ada pagar tembok juga di depannya. “Nanti kita bikin mural yang isinya timeline sejarah sinema dunia, bagus nih, kayaknya…?!” canda saya dan Ghozali. Ada lima kamar (masing-masing seluas ± 3×3 m), satu dapur (± 2×3 m), dan satu ruangan besar berukuran ± 3,5×6 m. Listrik dan air cukup. Tapi kami masih perlu melakukan beberapa perbaikan di sana-sini, seperti kusen-kusen pintu yang sudah dimakan rayap, dan kamar mandi yang berantakan.
Pak Mas’un sendiri tidak peduli bagaimana bentuk kegiatan pasirputih, tak risau pula dengan niat kami untuk menginapkan beberapa seniman laki-perempuan di sana. “Yang penting harganya sesuai kesepakatan,” katanya tertawa. Beliau sendiri dan istrinya tidak tinggal di dusun itu.
Masih dalam satu area pekarangan yang sama, ada sebuah rumah yang sama besar berdiri di sebelah rumah Pak Mas’un itu. Safwan, orang yang tinggal di rumah yang akan menjadi calon tetangga kami itu, adalah teman Siba di klub karate. Dia juga pernah ikut beberapa kegiatan Komunitas pasirputih, dan sedikit-banyak tahu akan bagaimana kegiatan komunitas ini nantinya.
“Bagi gue, yang penting, tuh, tetangganya welcome, Zik!” kata Ghozali. “Kalau udah begitu, ente mau ngapa-ngapain juga, kan, bisa enak. Nyaman, gitu, loh…! Gimana menurut, ente?”
“Iya, sih…!” kata saya mengangguk. Saat itu, kami duduk nongkrong di warung yang terletak di teras depan rumah Safwan—ibunya mengelola warung itu. “Lumayan, ada warung juga di sini… Terus, feng shui-nya juga enak…”
“Lu bisa baca feng shui, Zik…?!” tanya Ghozali, takjub.
“Wah, jangan salah…!” kata saya, tertawa.
Lokasi bangunan rumah Pak Mas’un itu ada di tengah-tengah pemukiman warga. Di depannya, ada rumah tetangga, di sampingnya juga, di samping rumah tetangga itu juga ada rumah tetangga yang lain. Gang untuk memasuki rumah itu tidak terlalu lebar. Intinya, hiruk-pikuk warga cukup ramai di daerah itu, tetapi tidak berisik karena jauh dari jalan raya sehingga memungkinkan bagi Komunitas pasirputih jika harus mengadakan pemutaran filem-filem tanpa terganggu kebisingan jalan. Dan berdasarkan keterangan Safwan, tidak akan ada tetangga yang merasa keberatan. Dia sendiri, dan ayahnya yang saat itu turut berbincang dengan kami setelah Pak Mas’un pulang ke tempat tinggalnya, berani menjamin. “Paling, ya, jangan lupa lapor ke Pak RT, ngasih tahu bahwa di sini ada kegiatan-kegiatan seni,” sarannya.
“Tapi, ya, itu…, harganya yang masih agak memberatkan…” kata Ghozali, menggaruk-garuk kepalanya, kelelahan.
“Dia pasang berapa…?” tanya ayah Safwan. Ghozali menyebutkan kisaran harga yang ditawarkan, lalu, “Ah, ngarang itu! Terlalu mahal…!” seru ayah Safwan. Tapi bagaimana pun, rumah itu tetap kami pilih.