Persoalannya sekarang, “ruang”, terlepas dari statusnya sebagai “yang alternatif” atau “yang mainstream”, pasti membutuhkan “keberlanjutan”. Maksudnya, “pengelolaan ruang” yang diharapkan di sini tidak dilakukan secara sementara, tetapi harus dapat terus bertahan dan bahkan semakin berkembang mengikuti semangat zaman. Terserahlah, apakah dia akan menjadi sangat populer, menjadi budaya massa, atau tampil sebagai kultur yang beda/unik/eksklusif, karena poin utamanya adalah bagaimana kegiatan-kegiatan milik si ruang tidak hanya menjadi selebrasi sesaat, kemudian lenyap-hilang tak diingat orang-orang lagi…? Bagaimana gagasan-gagsan yang dibawa oleh “ruang milik komunitas” itu dapat terus hidup, menginspirasi dan menemukan inovasi dari waktu ke waktu…?
Mencari Ruang, Mencari Rumah
Saya yakin, bahwa “yang organik” tidak tersembunyi jauh di dalam semak belukar kehidupan yang begitu kompleks, tetapi mereka sebenarnya adalah segala sesuatu yang akrab dengan kita, yang kita lihat, dengar dan alami setiap hari, setiap waktu. Saking organiknya, kita sering tidak sadar bahwa sesungguhnya ia sudah ada di situ sejak dulu: umumnya bukan hal baru sama sekali, tidak pula menghadirkan dirinya sebagai pilihan akhir, cadangan atau opsional (alternatif: “tersedia untuk dipilih—tetapi tidak wajib—kalau sudah mentok”…). Asalkan kesadaran kita bekerja terhadapnya, justru “sesuatu yang organik” itu adalah “sesuatu yang utama sebenar-benarnya”, bukan “alternatif”.