Hari itu adalah hari kedua saya di Pemenang. Malam harinya, kami sudah sibuk mengutak-atik gambar, merancang denah dan sekat-sekat ruang untuk markas yang baru. Di Dusun Cupek, Desa Sigar Penjalin, kami menemukan sebuah bangunan bagus, tampak berdiri gagah di tengah halaman dan berjarak 10 m dari pinggir sebuah jalan raya yang menghubungkan Pemenang dan Tanjung. Awalnya, itu bukan rumah incaran, karena Ghozali sudah menemukan sebuah rumah di pinggir jalan yang sama, tapi di titik lokasi yang jaraknya lebih jauh. Namun, rumah incaran itu terlalu kecil dan bangunannya terlalu merapat ke pinggir jalan. “Kalau muter filem, suara mobil akan mengganggu acara,” kata saya.
Ada juga rumah incaran yang lain, letaknya di Dusun Mekar Sari, Desa Pemenang Barat. Dari jalan raya, kita harus memasuki sebuah gang kecil untuk menemukan rumah itu. Pekarangannya begitu luas, suasananya tenang, dan memiliki banyak kamar. Si pemilik bahkan tidak keberatan jika kami menjebol satu dinding untuk membentuk sebuah ruangan tengah yang memadai sebagai ruang kegiatan. Tapi sayang, tetangga tampaknya tak setuju jika ada keramaian. “Mana mungkin…? Kegiatan kita pasti akan sangat padat sampai malam hari, setiap hari. Pasti akan menimbulkan sedikit kegaduhan. Apalagi kalau dijadiin bioskop…?”
Di tengah kebingungan dan kelelahan karena rumah-rumah incaran gagal didapati, kami tidak sengaja melihat bangunan gagah itu saat sedang menaiki motor dari arah Tanjung menuju kembali ke rumah Siba yang berada di Dusun Karang Subagan. Melihat bangunannya yang berdinding kaca, terasa kesan mewah dan tentunya cocok jika difungsikan sebagai, misalnya, galeri. Bangunan itu sendiri terdiri dari dua ruangan yang cukup besar, masing-masing seluas ± 6×7 m dan ± 4×7 m, dengan tinggi ± 3 m. Di bagian paling kanan ada lorong selebar 3 m untuk menuju pekarangan yang sangat luas di belakang bangunan. Sebuah rumah—milik si induk semang—berdiri di sebelah kiri bangunan itu. Si pemilik sedang tidak di tempat waktu itu, dan dari si penjaga rumah, kami mendapat nomor telepon sehingga negosiasi pun berlangsung via ponsel. Negosiasi dengan si ibu pemilik sebenarnya berjalan mulus. Kami sepakat akan membantu membuatkan sebuah kakus seukuran 2×2 m. Permintaan kami untuk menutup lorong dan mengubahnya menjadi ruangan baru pun dibolehkan. Yang lebih menggembirakan, si ibu setuju dengan harga Rp 6 juta saja (termasuk di dalamnya biaya pembuatan kakus dan perbaikan di sana-sini) untuk kontrak satu tahun. Tahun berikutnya, kami cukup membayar dengan harga segitu.
Maka dari itulah, di malam kedua saya di Pemenang, saya dan Siba beserta Bang Husnaini yang mengerti pertukangan, mulai sibuk menghitung-hitung biaya pembuatan kakus dan sekat-sekat triplek untuk membagi satu ruangan menjadi beberapa kamar. Tapi kegembiraan itu dirusak karena si anak pemilik rumah tiba-tiba menghubungi Ghozali, menyampaikan keberatannya.
“Lorong itu, kan, buat jalan ke belakang rumah,” kata si anak, sebagaimana ditirukan Ghozali saat menceritakan perbincangannya di telepon kepada kami. “Tapi tidak apa-apalah, saya anggap itu korting-an. Tapi, untuk bikin WC-nya, kami minta lagi 6 juta… Begitu, Zik, katanya.”
“Lah, itu kan artinya kita harus bayar 12 juta setahun…?!”
“Ya, itu dia…”
Itu jelas memberatkan. Sebenarnya, bisa saja kalau diusahakan, tapi tampaknya Ghozali dan Siba sudah terlanjur kesal. Terlebih lagi, si anak pemilik rumah itu adalah teman mereka sendiri, tapi tak mau bermurah hati kalau sudah berbicara bisnis. Padahal, rumah itu sangat baik lokasinya. Di samping kanan rumah itu, ada toko fotokopi, di belakangnya ada rumah tetangga. Katanya, setiap sore, ibu-ibu di sekitaran sana menggunakan halaman bangunan itu sebagai tempat senam sore warga. Situasi semacam itu tentunya menjadi peluang untuk bisa mempopulerkan markas baru pasirputih sekaligus promosi kegiatan-kegiatannya.
Kabar mengecewakan itu membuat kami harus kembali mencari rumah keesokan harinya.