Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Melihat Lebak Sekarang

14 Desember 2008

Melanjutkan riset dan catatan lapangan di hari sebelumnya, dimulai pukul satu siang, kesepakatan telah dimulai. Untuk membuat jadwal pertemuan kami, misal dalam waktu kumpul untuk berdiskusi tentang riset yang telah didapat. Di hari ini riset antara saya sebagai pendatang dengan partisipan sebagai warga setempat mulai dibincangkan, bagaimana sejarah kota dan bagaimana kota ini di saat sekarang.

Ternyata dari setiap partisipan kurang mengetahui sejarah kotanya ini. Sedikit senyum, bagaimana yang lahir dan besar di kota ini tidak terlalu kenal dengan kotanya. Mengingatkan saat Bupati Lebak bertemu dengan Presiden Soeharto, di mana presiden ke dua ini tidak mengenal kota di dalam negaranya.

Kami mendiskusikan tentang kota ini mulai dari sejarah Rangkasbitung, Rangkasbitung sendiri yang berarti bambu betoeng, ya dari sinilah kota tempat pohon bambu, yang mungkin tak dimiliki oleh kota lainnya. Berlanjut ke zaman kolonial kami memperbincangkan, siapa Multatuli?

Rumah Sakit Misi, Rangkasbitung, Lebak, Banten.

Suatu nama jalan raya kota di Rangkasbitung
Perbincangan kami terus berlanjut sampai ngawadul kemudian kami menceritakan keadan Lebak saat ini. Banyak hal-hal sekarang (kini) yang tidak saya tahu, seperti Jawara wanita dari Mandala, Mama Beton, atau cerita mistis di kampung Empang. Atau seperti istri dari Bupati Mulyadi Jayabaya yang diketahui memiliki tiga orang istri. Perbincangan mulai menarik,  selain para partisipan ada juga orang yang datang hanya untuk sekedar memberi informasi bagi kita akan masalah kekinian Kota Rangkasbitung.

Perbincangan menarik, barulah saya mulai mengelompokkan tempat sebagai suatu sejarah dan kekinian sebelum kami turun kejalan. Saya dan kawan-kawan mulai turun ke lapangan, yang pertama adalah di Jalan Multatuli, tapi sayang hujan gerimis menemani kami, tetapi setidaknya saya sudah melihat beberapa peninggalan gedung Belanda yang kini masih berdiri walau sudah mengalami banyak renovasi, di sana terdapat delapan gedung, halaman rumah Max Havelaar (Rumah Sakit Umum, Kantor Pos, Gedung Sekolah (SD, SMP, TK), Rumah Sakit Misi, Rutan Rangkasbitung, SMPN I, Gereja Katolik, BRI, dan rumah tempat tinggal.

Gerimis semakin deras dan kami pun berbelok ke arah Barat, sebuah nama jalan ketika pagi hari disulap menjadi Pasar Subuh. Kami berteduh di Rabinza (Rangkasbitung Plaza) kata kawan saya sebelum dihancurkan menjadi pusat perbelanjaan termewah di kota yang merupakan pabrik minyak dahulunya. Saya Pun melihat dinding tembok tua pabrik minyak yang sudah hancur, kami pun ingin mengabadikannya, baru beberapa frame gambar, seorang jawara datang menghampiri, dengan logat lokal dia melarang untuk mengambil gambar. Katanya ini milik pengusaha yang ada di Jakarta seraya pergi, tanpa mau menjelaskan lebih lanjut siapa yang memiliki tanah ini sekarang.

Pemerintah kota terus mempercantik jantung Kota Rangkasbitung. Semakin hari semakin indah meski tidak berarti antik, jalanan diperlebar, bangunan dibongkar, dan pohon habis ditebang, demi memajukan Kota Bambu Betoeng. Pemerintah harusnya selalu berhati-hati akan setiap pembangunan, di kota inilah sejarah besar terjadi dan atas nama pembangunan mungkinkah sebuah tembok juga menjadi sejarah.

Di tempat lain, teman kami meneliti pasar (Pasar Subuh), di kota ini terdapat dua Pasar Subuh. Pasar subuh pertama berada di Jalan Sunan Kali Jaga tepatnya di terminal lama dan yang kedua berada di sepanjang Jalan Hardiwinangun tepatnya depan Rabinza, seperti di atas. Kedua pasar inilah, salah satu bagian dari jantung ekonomi Rangkasbitung. Kebanyakan dijual dari pasar ini adalah hasil bumi seperti sayuran, ternak (ayam, kambing, kerbau) dan hasil laut (ikan air laut dan tawar).

Bagaimana dengan tahu, ini luar biasa banyaknya dari kampung tempat tinggal kami, di sinilah pabrik tahu terdapat sekurangnya dari pengamatan ada 13 pabrik tahu dan diperkirakan jumlah pedagang yang mencapai 150 orang. Mulai dari jam 03.00 dini hari kegiatan pedagang sudah nampak terlihat, salah satunya pedagang tahu. Gerobak–gerobak penuh oleh tahu serpong (putih) dan tahu kuning, sebagian ada tahu goreng dibawa oleh kurir pemiliknya, setiap jalannya dibayar Rp. 7000.

Selain pedagang tahu, di Muara juga ada pedagang tempe, namanya Kusnah. Dari sini dia produksi mulai dari membuat sampai menjualnya di pasar, berkeliling ke kampung–kampung dan disimpan di warung–warung tetapi terlebih dahulu harus dibeli. Bahan tempe dibuat dari kacang kedelai, ragi dan air yang dibeli di Pasar Rangkasbitung. Kemudian dia olah dengan dibantu dua karyawannya. Prosesnya memerlukan waktu satu hari dan keesokannya baru dijual kira–kira jam lima subuh tepatnya sesudah sholat subuh sampai siang. Profesi ini sudah ia jalani lebih dari 20 tahun. Dan dari profesi berdagang tempe ia bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai lulus.

Keesokan harinya, saya dan kawan di sini berkunjung ke komplek pendidikan. Di pemukiman yang terdapat beberapa sekolah (SMU, SMK, STSIP) dan ada Kampung Jagal Kerbau. Di mana si ‘pantang’ (nama kerbau milik Saidjah dalam filem Max Havelaar) dipotong. Di Rangkasbitung sendiri tempat penyembelihan kerbau ada dua, itupun sifatnya individual. Salah satunya di Kompleks Pendidikan satu lagi Cibeureum. Sebelumnya ada penyembelihan bersama (jagal) tempatnya di Cijoro yang sekarang jadi bangunan kecamatan. Setiap hari dia menyembelih satu sampai dua kerbau dan kalau hari–hari besar seperti lebaran Idul Fitri dan Idul Adha bisa menyembelih 20 kerbau. Nampak pula kulit–kulit yang dijemur di pinggiran kandang kerbau, keperluannya untuk membuat kerupuk dan bahan pembuat bedug. Tempat ini kemungkinan tahun depan akan dipindahkan ke Sangiang, karena pemerintah akan membuat semacam (Jagal) tempat penyembelihan bersama di Sanghiang. Selain itu banyak masyarakat merasa tidak nyaman dengan tempat ini.

Beberapa hari terakhir sampai harga BBM diturunkan, minyak tanah di sini sangat langka bahkan orang yang menginginkan harus rela antri.

About the author

Avatar

Maulana Muhamad Pasha

Maulana Muhamad Pasha, pria kelahiran Jakarta, 4 Januari 1983 ini kini aktif menjadi video maker di Indonesia. Karya-karyanya sering menghiasi galeri-galeri seni rupa, baik nasional maupun internasional. Beberapa karyanya pernah menjuarai festifal di antaranya, Festifal ASEAN New Media Art (2007), Indonesia Art Award (2008) dan FFTV-IKJ Long Short Film (2008). Sebelumnya, pria yang menamatkan pendidikan terakhirnya di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta ini pernah menjadi wartawan di beberapa media di Indonesia.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.