Sentani-Kabupaten Jayapura

Lindungi Kemanusiaan dari Kekeliruan Sistem

Avatar
Written by Manshur Zikri

Hari ini adalah hari kedua di minggu keempat. Dengan kata lain, sudah tiga minggu lebih dua hari, saya berada di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Beberapa kali, saya dan Gelar sempat bermobilisasi ke Depapre, menghabiskan waktu lebih kurang dua jam di perjalanan, atau juga ke Waena, dengan waktu tempuh yang hampir sama, mengunjungi tiga orang teman kami di sana, Siba, Paul dan Komeng.

DSCN1459

Kehadiran kami di Papua bermaksud melaksanakan pelatihan media—Program Media Untuk Papua Sehat yang diinisiasi oleh Forum Lenteng—untuk para peserta yang merupakan warga asli Papua. Saya, Gelar, Siba dan Paul sudah berada di Papua sejak tanggal 10 Februari, 2014. Kegiatan pelatihan untuk peserta di Sentani dimulai sejak tanggal 12 Februari, bertempat di Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, Kompleks Misi Katolik, Sentani, Kabupaten Jayapura. Sementara itu, kegiatan pelatihan untuk peserta di Perumnas III, Waena, Kota Jayapura dimulai tanggal 13 Februari. Saya dan Gelar bertugas sebagai fasilitator pelatihan di Kabupaten, sedangkan Siba dan Paul di Kota. Diki dan Komeng datang ke Papua tanggal 20 Februari sebagai bala bantuan yang akan melakukan monitoring kegiatan ini.

DSCN1453 DSCN1456 DSCN1457 DSCN1458

Saya, Gelar dan Diki, menginap di SKPKC. Lembaga ini berada di bawah naungan Gereja Katolik dan Ordo Fransiskan yang aktif melakukan aksi pemberdayaan masyarakat. Sekretariat ini berdiri di atas tanah yang luas. Selain Kantor SKPKC FP, di Kompleks Misi Katolik Sentani terdapat bangunan berupa aula (yang bisa digunakan oleh publik, seperti penyelenggaraan pesta pernikahan dan pertemuan), susteran KSFL, penginapan dan tempat-tempat pelatihan bagi para pelajar. Meskipun sudah disediakan satu kamar di penginapan oleh tuan rumah, kami bertiga lebih sering tidur di kantor SKPKC, lantai bawah. Lantai atas bangunan kantor tersebut merupakan ruangan kerja para pegawai sementara lantai bawah merupakan ‘ruang dapur’ atau ‘ruang keluarga’.

DSCN1464

Kegiatan pelatihan Media Untuk Papua Sehat dilakukan di lantai bawah, dan oleh karenanya selalu ramai tiga minggu terakhir ini. Dalam pelatihan Media Untuk Papua Sehat, kami mendampingi para peserta pelatihan untuk mempelajari media sebagai langkah strategis membicarakan isu-isu kesehatan. Thomas Waisima dan Stefanus Abraw adalah peserta pelatihan yang sering ikut menginap bersama kami.

Hampir setiap malam, kami berdiskusi tentang media dan kesehatan. Kami juga memperbincangkan hal-hal lain, seperti cara makan papeda (sagu), kerusuhan yang sering dilakukan oleh pemabuk-pemabuk, konflik-konflik yang terjadi di Papua, bahkan pandangan-pandangan masyarakat Papua mengenai ‘wilayah pusat’ dan militer. Kami jarang berjalan-jalan keluar di atas pukul sepuluh. Selain karena pertimbangan pintu gerbang SKPKC tutup pada jam segitu, kami menghindari tingkah laku rusuh para pemabuk di jalanan.

***

SKPKC, seperti hasil perbincangan saya dengan Br. Edy Rosariyanto, sang direktur, bekerja di wilayah pemberdayaan masyarakat dengan dasar pemikiran yang menjunjung tinggi prinsip kemanusiaan. SKPKC juga bergerak di bidang ekologi, guna melakukan pemetaan terhadap perkembangan lingkungan dan dampaknya bagi masyarakat Papua, baik secara sosial, kultural, maupun dari perspektif ilmu eksakta. Selain itu, SKPKC juga sering menjadi mediator yang membantu menyuarakan aspirasi masyarakat Papua ke pemangku kebijakan, terkait kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya erat dengan konteks lokal Papua. Lembaga ini pun turut aktif dalam penyelesaian berbagai konflik dan sengketa tanah dengan pendekatan soft approach (diplomasi, negosiasi, dan musyawarah yang mengutamakan perdamaian dan keadilan bagi semua pihak), yang mempertemukan masyarakat Adat, pemangku kebijakan, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya dalam sebuah forum yang egaliter.

DSCN1449

Kantor SKPKC Fransiskan Papua

Yang membuat saya percaya dengan perjuangan lembaga ini ialah kegiatannya yang sadar dengan penelitian. Di kantor SKPKC, saya menemukan banyak dokumen-dokumen berupa laporan penelitian tentang kehiduan masyarakat Papua. Laporan-laporan ini tersusun sesuai dengan kode tahun. Bahkan, Bernard, koordinator lokal yang mendampingi kami menyelenggarakan kegiatan pelatihan di sini, sempat menunjukkan buku hasil penelitian tentang pelayanan kesehatan di Kabupaten Jayawijaya di tahun 2006, berjudul “Sehat itu Sa Pu Hak” (Sehat itu Hak Saya). Nico, koordinator lokal yang bertanggung jawab untuk pelatihan di Waena, juga sempat menunjukkan literatur hasil investigasinya tentang aksi-aksi penembakan yang sering terjadi di wilayah konflik. Di bidang ekologi, SKPKC juga aktif melakukan seminar-seminar hasil penelitian. Misalnya, di tahun 2011, ketika masih di bawah kepemimpinan Br. Rudolf Kambayong, OFM, SKPKC menyelenggarakan seminar hasil penelitian tentang dampak pertambangan emas di Sungai Degeuwo.

Lemari arsip SKPKC.

Lemari arsip SKPKC.

Buku hasil penelitian SKPKC, berjudul "Sehat itu Sa Pu Hak"

Buku hasil penelitian SKPKC, berjudul “Sehat itu Sa Pu Hak”

Suasana ruang kerja di SKPKC.

Suasana ruang kerja di SKPKC.

“Apa biasanya kendala yang sering ditemukan dalam melakukan aksi-aksi seperti ini, khususnya dalam konteks Papua, Bruder?” kira-kira begitu pertanyaan saya kepada Br. Edy, suatu hari.

Dengan jelas dan ringkas, Br. Edy memaparkan bahwa masalah Papua menjadi ‘tak kunjung selesai’ karena kurangnya kesadaran untuk menyatukan suara. Terutama di masyarakat Adat, mereka sering bentrok karena perbedaan pendapat sehingga menyulitkan proses pewacanaan isu. Selain itu, tindakan intimidasi juga sering dilakukan oleh pihak penguasa kepada masyarakat Adat dan kaum buruh. Br. Edy juga bercerita bahwa pernah suatu kali beberapa orang buruh dipecat oleh perusahaan mereka karena ketahuan turut aktif dalam kegiatan-kegiatan serikat buruh.

“Hari ini mereka mengadu ke SKPKC, besoknya mereka sudah kehilangan pekerjaan,” ucap Br. Edy.

Br. Edy Rosariyanto

Br. Edy Rosariyanto

Bruder juga bercerita bahwa pemetaan isu yang mereka lakukan juga banyak berangkat dari pengaduan masyarakat. Mereka bergerak ketika masyarakat yang meminta. Dalam memenuhi permohonan itu, SKPKC berperan sebagai pendamping. Mengubah kebijakan secara langsung memang tidak mungkin, tetapi mengawasi hingga suatu persoalan masyarakat ditanggapi oleh pemerintah, sudah pasti dilakukan oleh SKPKC.

***

Pater (atau Pastor, biasanya disingkat P.) Paul Tumayang, OFM menemani kami makan di sebuah rumah makan ikan gurame tadi malam. Beliau aktif berkegiatan di SKPKC, khususnya di wilayah keagamaan.

P. Paul bercerita banyak tentang pengalamannya mendatangi daerah-daerah di Papua. Benturan-benturan keadaan sosial-kultural masyarakat yang harus dihadapinya seakan mengajarkannya tentang karakter orang Papua. Tidak hanya mengetahui, tetapi juga memahami.

“Jika kau berjalan-jalan di Wamena, lebih baik jalan kaki, karena kalau pakai mobil nabrak, nanti kau diminta ganti rugi satu babi,” kata P. Paul seraya tertawa, menceritakan pengalamannya di Wamena. “Harga satu babi bisa sampai enam puluh juta. Untung jika diminta langsung denda saja, tapi biasanya kau akan babak belur dulu sebelumnya karena dipukuli masyarakat.”

P. Paul ketika sedang bekerja.

P. Paul ketika sedang bekerja.

P. Paul menjelaskan bahwa tingkah laku kriminal yang sering terjadi di Papua sesungguhnya bukan disebabkan oleh karakter masyarakat Papua itu sendiri, tetapi memang karena keadaan yang memaksakan demikian. Negara gagal memenuhi kebutuhan masyarakat di Papua. Itu sudah terjadi sejak era diktatorial Orde Baru, sehingga trauma itu seringkali muncul dan terjadilah bentrok antara kaum pendatang dan penduduk lokal. Bahkan tak jarang, bentrok juga terjadi antara sesama orang Papua.

“Kau pernah melihat orang mengais sampah lalu makan di tempat?” tanya P. Paul. “Di sini saya sering lihat. Seperti itu lah ketidakadilan yang terjadi di Papua. Makanya, menurut saya wajar, jika dampaknya ke perilaku mencuri. Orang butuh makan.”

Bahkan, menurut cerita P. Paul, kompor yang sedang menyala untuk menanak nasi pun bisa hilang dicuri orang. “Hilang dengan tungku-tungkunya sekaligus.”

Hal itu senada dengan ujaran salah seorang pedagang di Puskesmas Sentani.

“Jangankan handphone, gembok untuk menutup peti tempat menyimpan tenda saja bisa hilang, Kaka!” kata pedagang itu. “Kalau handphone, kan jelas, berharga…! Gembok?!” serunya seraya memukul jidat, dan disambut tawa oleh beberapa orang pembeli yang mendengar ceritanya.

Menurut P. Paul, persoalan ini tak ada bedanya dengan daerah-daerah lain yang menjadi sasaran transmigrasi. Ketika kaum pendatang berbaur dengan penduduk asli, terjadi persaingan. Penduduk asli biasanya kalah dalam persaingan itu, terutama di hal ekonomi. Ini yang menjadi penyebab kesenjangan sosial, dan akhirnya kriminalitas meningkat.

“Sistem negara kita juga keliru,” P. Paul berpendapat. “Terutama gara-gara program raskin itu, toh…?! Mendidik masyarakat jadi malas bekerja, padahal tanah banyak yang bisa diolah, tetapi karena terbiasa oleh raskin, tidak ada yang bekerja jadinya.”

***

Saya tidak tahu banyak tentang Katolik. Mendengar dari namanya, SKPKC Fransiskan Papua, seketika bisa diketahui bahwa lembaga ini memang bergerak di bawah prinsip-prinsip keagamaan yang diajarkan oleh Santo Fransiskus Assisi, santo yang melindungi hewan, pedagang dan lingkungan. “Pelindung” adalah kata kunci. “Fransiskan” atau Ordo Fratrum Minorum, bergerak demi kepentingan minoritas, bersahabat dengan alam, menumbuhkembangkan persaudaraan dan perdamaian.

Bernard, ketka sedang membaca koran di siang hari, di ruang keluarga SKPKC.

Bernard, ketka sedang membaca koran di siang hari, di ruang keluarga SKPKC.

Hari-hari di Sentani, saya banyak belajar dari Br. Edy, P. Paul dan Bernard tentang pentingnya menolong sesama, menghindari dendam dan sakit hati terhadap orang lain.

“Mengapa kau kasih uang ke orang mabuk itu?” tanya saya kemarin sore ketika membahas perjalanan kami menuju Puskesmas Depapre pagi harinya.

“Ah, sudah, tidak apa-apa!” jawab Bernard. “Anggap saja kita saling menolong sesama.”

Bagaimana mungkin kita memaksakan aturan dan kehendak kepada masyarakat yang mengalami ‘penindasan’ kekuasaan, apalagi menyalah-nyalahkan perilaku mereka yang berbeda dengan kita? Sebagaimana cerita P. Paul tadi malam, saya berkesimpulan bahwa semua itu bukan soal bagaimana kita harus menyalahkan siapa karena siapa, tetapi hanya karena kekeliruan sistem saja yang membentuk mental masyarakat Papua menjadi sulit untuk percaya kepada hal-hal yang baru.

Dengan keyakinan untuk mempertahankan nilai kemanusiaan dari kekejaman sistem itu lah, lembaga semacam SKPKC Fransiskan Papua bergerak menciptakan keutuhan-ciptaan hidup masyarakat Papua.

About the author

Avatar

Manshur Zikri

Lulusan Departemen Kriminologi, FISIP, Universitas Indonesia. Anggota Forum Lenteng, pelaksana Program akumassa. Dia juga aktif sebagai sebagai kritikus film di Jurnal Footage, dan sebagai Kurator di ARKIPEL - Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival.

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.