Pemenang - Lombok Utara, NTB

Kamput Tatar, Kesenian Multi Talenta

Apakah benar manusia lahir membawa bakat? Lalu apakah fungsi pendidikan yang sebenarnya? Apa yang terjadi seandainya bakat itu dibiarkan berkembang bersama alam? Apakah tidak cukup alam membentuk manusia dengan bakatnya?

Anak-anak yang tergabung dalam grup musik Kamput Tatar sedang berlatih

Anak-anak yang tergabung dalam grup musik Kamput Tatar sedang berlatih

Beberapa pertanyaan di atas cukup membuatku pusing akhir-akhir ini. Karena mungkin secara tiba-tiba, teman-teman AKARPOHON, Mataram meminta kami untuk membuat video art tentang beberapa tokoh naturealisme di antaranya, Brecht, Artaud dan, Rimbaud, yang kemudian memaksa kami utnuk mencari gambar dan artikel mereka di Internet. Sangat mengesankan tentang siapa mereka sebenarnya, dan yang terpenting bagiku adalah ini akhir dari kebingungan ku tentang pendidikan. Meski saya sendiri pernah mendapatkan mata kuliah khusus tentang pendidikan, mulai dari Pengantar Pendidikan, Pengembangan Peserta Didik, Psycholinguistics, Sosiolinguistics dan sebagainya yang juga membedah tentang pendidikan itu sendiri.

‘Experience is the best teacher’ itu memang benar. Manusia justru mendapatkan ilmu yang banyak bukan dengan duduk di bangku sekolah tapi dengan pengalaman dari hidup, ‘Long live education’. Aku sudah tidak sabar bercerita tentang pengalamanku kali ini, baiklah semoga kisah berikut memberikan sebuah kesimpulan yang baik dan bijak.

Gazali: “Wae, sini bentar!!!”

Saya: “Ada apa?”

Gazali: “Mau gak kamu pergi nanti sore ke Dasan Tatar,  nanti kamu pergi ma ini (Sambil menunjuk seseorang di dekatnya).

Saya: (Berjabatan tangan) “Sibawaihi.”

Jirin:” Saya Jirin. Boleh dipanggil apa saja asal jangan yang jelek-jelek.”

Gazali: “Jadi begini, Wae, ‘akumassa’ itu seperti yang saya jelaskan sebelumnya, adalah komunitas berjejaring,  artinya bagaimana agar kita bisa membuat jaringan yang sebanyak-banyaknya untuk bisa menumbuhkan kesadaran sosial hingga akhirnya menuju kepada perubahan. Jadi….. Jirin,  ente aja yang jelasin!!!”

Jirin:  “Kamu tahu Dasan Tatar gak?”

Saya: “Ya,  tahu… kebetulan saya punya banyak teman sekelas dulu dari sana waktu kuliah di pondok.”

Jirin: “Tahu gak Komunitas Ale-ale?”

Saya: “Gak…. Emangnya itu komunitas apaan?”

Jirin : “Jadi, Ale-ale ini adalah komunitas yang bergerak di bidang musik tradisional. Namun sekarang sudah digabungkan dengan yang modern sedikit.”

Gazali: “Pokoknya kamu nanti ke sana ngambil gambar mereka pas latihan. Kemudian rencananya kita akan buatkan mereka profil tentang kesenian mereka itu. Nanti setelah Ashar kamu pergi bersama Herlan. Herlan, bisa gak ntar sore ke Dasan Tatar untuk ngambil gambar video sama Sibak.”

Herlan: “Apa… Saya gak denger… ntar dulu lagi ngedit Video nih.”

Gazali: “Makanya earphone-nya dilepas dulu!”

Herlan: “Ada apa?”

Saya: “Nanti sore kita pergi ke Dasan Tatar ngambil gambar video,  kebetulan di sana ada komunitas musik tradisional  dan kita mau buatkan mereka profil agar jangan sampai budaya kita ini hilang karna dipengaruhi oleh budaya luar.”

Herlan: “Okeee… Siap! Ba’da Ashar kan… Ya dah nanti saya datang ke sini.”

Sebenarnya aku merasa agak sedikit malas untuk pergi ke sana. Mengingat jalan menuju desa itu sangat tidak bersahabat. Belum diaspal, banyak pasir, banyak batu krikil, banyak lubang, memprihatinkan. Tapi aku berpikir, ya tidak apa-apa untuk pengalaman. Siapa tahu ada sesuatu yang baru yang bisa aku temukan di sana, apalagi setelah mendengar Jirin bercerita :

Jirin: “Pokonya ente akan heran lihat anak-anak itu, luar biasa.

Saya: “Anak-anak?”

Jirin: “Ya,  kebanyakan pemainnya itu anak-anak. Cuma dua orang yang sudah dewasa.”

Saya: “Wah… menarik nih.
Jirin: “Mereka itu orang-orang yang tidak paham tentang tangga nada,  not, do, re, mi sampai do lagi. Pokoknya mereka buta tentang itu. Ya.. namanya juga orang yang tidak pernah kursus musik. Bahkan banyak yang tidak sekolah.

Saya: “Terus bagaimana mereka bisa main musik kalau tidak kursus, atau paham tentang musik?“

Jirin: “Buta sama sekali sih tidak, karena mungkin mereka belajar secara otodidak. Tapi nanti ente bisa coba, dalam waktu singkat mereka bisa menciptakan lagu dengan nadanya sekaligus hanya kurang dari 1 jam. Bagaimana saya tidak heran. Mereka ini orang-orang yang tinggal jauh dari kebisingan. Tapi mereka memiliki bakat yang luar biasa untuk dikembangkan.”

Saya jadi penasaran,  apa benar yang dikatakannya itu. Untuk membuktikannya saya harus pergi ke sana. Sejenak Jirin menangkap raut ketidakpercayaan dari wajahku.

Jirin: “Pokoknya sudah, nanti ente buktikan. Ente tahu ketika saya datang ke sana membawa salon, gitar, orgen dan drum, anak-anak itu berkumpul. Mereka mengusap-usap drum itu seolah-olah itu mimpi. Dipegangnya dengan hati-hati. Gita-gitar yang kami bawa pun mereka pegang,  seperti ini (sambil memperagakan orang memegang gitar dan memetik senarnya dengan penuh hati-hati). Hati saya ini ingin menangis, karena nampak sekali kebahagiaan di wajah mereka. Waktu saya minta, “Tolong buat lagu religius satu saja”, mereka bertanya apa itu religius? Mereka bilang “gak usah pake bahasa modern, kami tidak paham”. Ketika saya bilang jangan sampai kita dimanfaatkan oleh para politikius, mereka juga bertanya apa itu politikus. Karena saking awamnya mereka. Tapi yang saya banggakan bahwa mereka bisa berkarya, dengan bakat-bakat yang mereka miliki. Meski tanpa pendidikan khusus dan tanpa kursus.”

Dua orang gitaris Kamput Tatar yang masih anak-anak

Dua orang gitaris Kamput Tatar yang masih anak-anak

Saya jadi semakin penasaran dengan informasi dari Jirin tadi. Benar tidak apa yang dikatakannya barusan. Saya jadi tidak sabar untuk segera pergi kesana, melihat anak-anak dengan bakat bermain musik yang sangat luar biasa.

Gazali: “Oke, nanti Jirin ke sini sebelum Ashar dan kalian bisa berangkat bersama-sama.”

Saya: “Ya… dah. Nanti ente ke sini dulu. Biar samaan jalannya. Saya juga kan gak tahu lokasinya.”

Jirin    : “Oke dah… nanti saya datang lagi. Kalau begitu saya pulang dulu. Nanti kita berangkat samaan.”

Aku tak sabar menunggu waktu yang lama berputar. Waktu Ashar terasa sangat lama sekali datang. Aku mengisi waktuku dengan menonton film di HBO, ketika waktu adzan sebentar lagi berkumandang, Herlan belum kunjung datang. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi bersama Maldi, apalagi ia lebih banyak tahu tentang video daripadaku. Dan ia pun menyetujui ketika kuajak pergi dan dia juga menyambutnya dengan senang hati karna mendengarkan cerita tentang anak-anak Kamput Tatar.

Tak berapa lama Jirin datang dengan seorang temannya. Namun ia hanya datang untuk memberitahu lokasi tempat mereka berkumpul latihan.

Jirin: “Nanti dari Masjid Dasan Tatar itu ente ke timur, nanti kalau ente denger orang-orang maen musik, tu dah mereka. Saya duluan, nanti kita ketemu di sana.”

Saya: “Oke dah, nanti saya pergi ke sana sama Maldi. Kalau ke sana yang kita cari ntar rumahnya siapa?

Jirin: “Cari dah rumahnya Asjudin, kebetulan dia jadi pimpinannya.”

Saya: “Oke dah, ana sholat and habis ntu baru jalan.”

Jirin    : “Ya sudah… Assalamu’alaikum…”

Saya    : “Wa’alaikum salam….”

Setelah sholat saya segera bersangkat ke sana. Jarak menuju Dasan Tatar sekitar 5 km, sehingga saya memacu sepeda motor dengan cepat. Takut ketinggalan juga, karena saya ingin lihat bagaimana mereka mempersiapkan peralatan sebelum berlatih. Meskipun sesekali Maldi menyuruh agar membawa motor dengan pelan, namun saya tidak menghiraukannya.

Kami sempat kesulitan juga menemukan tempat mereka berlatih, maklum tempat mereka berada cukup jauh dari jalan besar. Sesekali kami bertanya kepada orang-orang yang kami temui di jalan tentang lokasi tempat mereka latihan. Alhamdulillah, kami menemukannya juga setelah melewati jalan yang sempit dan berbatu juga berlubang-lubang.

Sesampainya di sana mereka sudah memulai latihan dan saya melihat Jirin duduk di berugaq bersama warga sekitar yang juga ingin menyaksikan mereka berlatih. Saya tercengang dan seperti ada perasaan haru melihat kesungguhan mereka dalam berlatih. Saya sempat tidak memperdulikan beberapa orang yang menyuruh saya untuk duduk meskipun mereka sudah membawakan bangku, karena masih tercengang melihat grup musik Kamput Tatar yang 80% nya adalah anak-anak kecil, bahkan ada yang tidak bersekolah.

Pemain drum Kamput Tatar sedang asyik berlatih

Pemain drum Kamput Tatar sedang asyik berlatih

Maldi pun sudah siap mengambil gambar dengan kamera video yang diikuti oleh anak-anak kecil berlarian mendekaitnya karena ingin melihat langsung bagaimana pengambilan gambar video tersebut. Saya kemudian duduk di sebuah bangku usang yang terbuat dari kayu yang tidak dihaluskan, sambil menikmati alunan musik yang sedang dimainkan. Jirin pun mendatangi saya sambil menyodorkan rokok. Warga pun semakin banyak yang berdatangan di samping untuk melihat anak-anak Kamput Tatar berlatih juga untuk melihat Maldi yang sedang sibuk mengambil video.

Jirin: “Begini sudah anak-anak ini, maklum mereka tidak pernah melihat hal-hal semacam ini. Dulu saja waktu saya datang membawa drum dan alat musik lainnya mereka semua berkumpul persis sudah kayak gini.”

Saya: “Gak apa-apa kok. Oh ya… mereka latihan ini pakai genset, ya?”

Jirin: “Ya… karena tidak semua warga punya kilometer (sambungan listrik). Jadi harus pakai genset supaya muat bebannya.”

Saya: “Terus, gitar yang di belakang itu siapa yang punya?”

Jirin: “Oh.. itu gitar mereka dulu sebelum ada sumbangan alat-alat ini.”

Saya: “Gitar-gitar itu seperti dibuat tangan. Kelihatan sekali dari bentuknya.”

Jirin: “Ya…itu mereka buat sendiri. Drumnya juga dulu mereka buat dari plastik dan ember-ember bekas yang mereka rancang sendiri.”

Saya: “Berarti betul-betul kreatif  mereka ini.”

Kamput Tatar terdiri dari 18 orang personil. Sembilan membawa Ale-ale yang terdiri dari gendang-gendangan. Tiga orang gitaris, dua di antaranya masih anak-anak. Tiga orang vokalis dan seorang memegang keyboard dan seorang lagi memainkan seruling. Kami sudah selesai meliput beberapa lagu, mereka pun sudah selesai berlatih yang ditandai dengan sebuah pengumuman “Sampai ketemu lagi hari minggu,” dari salah seorang personil Kamput Tatar. Selanjutnya kami duduk ngobrol bersama para personil Kamputr Tatar dan beberapa orang tua.

Saya dan Jirin sedang melihat-lihat gitar buatan personil Kamput Tatar

Saya dan Jirin sedang melihat-lihat gitar buatan personil Kamput Tatar

Saya: “Apakah Grup Musik Kamput Tatar ini sudah terbentuk sejak lama?”

Asjudin: “Dulu personilnya hanya orang tua saja, tapi tidak bertahan lama. Karena sering terjadi ketidakcocokan, tertutama masalah musiknya. Dan dulu yang ada hanya Ale-ale saja, tapi sekarang sudah digabungkan dengan band dan joget atau kamput.”

Maldi: “Oh.. ternyata kamput itu joget maksudnya. Terus sejak kapan anak-anak ini mulai ikut bergabung?”

Asjudin: “Baru dua bulan.”

Saya: “Dua bulan…?”

Asjudin: “Ya…tapi kami sudah sering sekali diundang dalam acara perkawinan dan Menjojo. Nama Kamput Tatar ini juga baru satu minggu yang lalu diberikan oleh bapak saya. Kebetulan beliau orang yang dituakan disini.”

Maldi: “Terus anak-anak ini dari mana saja asalnya?”

Asjudin: “Rata-rata anak sini semua, cuma ada satu orang dari Dusun Orong Gol. Dan anak-anak ini banyak yang sudah tidak bersekolah.”

Saya: (kepada salah seorang anak) “Kenapa hitam tangannya?”

Anak: “Tadi baru selesai membantu orang tua memanjat kelapa dan memanges (istilah untuk mengupas kelapa dengan besi panjang yang ditancapkan ke dalam tanah).”

Saya: “Saya kira karena terlalu semangatnya latihan.”

Saya mencoba gitar buatan personil Kamput Tatar

Saya mencoba gitar buatan personil Kamput Tatar

Setelah selesai ngobrol kami pun pulang dengan perasaan bangga melihat cikal bakal penerus bangsa yang sangat kreatif dan penuh semangat. Meskipun mereka berada di pedalaman, namun mereka tidak merasa minder untuk berbuat sesuatu yang sangat membanggakan. Dalam perjalanan tak henti-hentinya kami berbicara seputar pengalaman kami tadi.

Saya: “Maldi, luar biasa sekali anak-anak itu.”

Maldi: “Ya… saya saja sampai heran, apalagi kalau dibina dengan baik, pasti hasilnya sangat bagus.”

Saya: “Makanya, lewat media ini kita berusaha mengangkat hal-hal yang terlihat sangat sederhana tapi pantas untuk dibicarakan. Semoga teman-teman juga setuju untuk kita sama-sama membantu mereka.”

Maldi: “Semoga juga pemerintah memperhatikan hal ini, apalagi kasus seperti ini bukan hanya terjadi di sini. Di luar, jutaan anak yang memiliki talenta yang baik tidak memiliki  wadah yang baik untuk dikembangkan.”

Suasana gelap jalan menuju Pemenang sungguh terasa sangat terang benderang. Seolah seperti jalan-jalan yang akan dilalui anak-anak Kamput Tatar. Semoga semua kalangan memperhatikan hal ini. Bahwa Kamput Tatar adalah salah satu aset budaya yang sangat perlu untuk dikembangkan.

About the author

Avatar

Muhammad Sibawaihi

Dilahirkan di Desa Pemenang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, pada tanggal 20 Mei 1988. Lulusan IKIP Mataram jurusan Bahasa Inggris. Ia adalah Direktur Program di Yayasan Pasirputih. Sehari-harinya ia juga aktif sebagai penulis dan kurator.

4 Comments

  • Benar sekali dikatakan bahwa banyak anak-anak Indonesia yang memiliki talenta seperti komunitas anak-anak Kamput Tatar. Semoga dengan ditulisnya jurnal ini, akan menjadi pengingat pemerintah dan menyadarkan masyarakat kita untuk lebih aware dengan budaya yang bisa menjadi aset berharga bagi negeri.

  • Kamput Ntu = Joged… Tatar+ diambil dari nama daerah tempat mereka……. namun hebatnya dia tidak seperti namanya… karna ada unsur kesenian yang lain di dalamnya…

Tinggalkan Balasan ke Sibawaihi An-nuha X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.