Jurnal Kecamatan: Rangkasbitung Kota/Kabupaten: Lebak Provinsi: Banten

Kalimati dan Sambaran Petir

Avatar
Written by Helmi Darwan

10 Februari 2009

“Keberadaan kami tidak diakui,” ungkap kecewa seorang warga Kalimati, Pulo Sari.

“Memang benar tanah yang kami diami sekarang ini adalah lahan timbul. Tapi, bahkan buyut saya saja sudah mendiaminya sejak kawasan ini dibendung oleh pemerintah kolonial Belanda, jauh sebelum kedatangan Jepang!” lanjutnya bertutur.

Awan mendung menyelimuti Kalimati

Awan mendung menyelimuti Kalimati.

Adalah Ujang, lelaki 50 tahun, bercerita kondisi daerah tempat tinggalnya sekarang. Katanya, jumlah penduduk Kalimati kini mencapai ratusan jiwa. Terdaftar pula di kelurahan. Ia begitu kecewa ketika tahu warga Kalimati tidak tercantum dalam Pilkada tahun 2008 lalu. Itulah alasan kenapa mereka berdemonstrasi.

Ini kali kedua saya menyusuri Kalimati. Merenungi kembali luasnya hamparan kebun pisang. Dulunya, di tempat ini ada lapangan sepak bola milik warga yang disewa pertahun dari juragan tanah bernama Kadul Kasan. Sepintas tampak kembali ingatan masa kecil. Saya sedang bermain bola, berlari-lari, ketawa-ketiwi dengan teman-teman saat itu. Sungguh indah hidup tanpa beban, seperti kanak-kanak.

Perkebunan pisang di sekitar Kali Mati

Perkebunan pisang di sekitar Kalimati.

Sekejap saya dikejutkan oleh suara seorang teman. Teguh, namanya. Usianya 27 tahun. Ia mengajak saya menapaki jalan ke arah kebun pisang. Perjalanan berkelok-kelok dan becek. Kami menemui jejak kaki yang masih tampak baru bekas. Mungkin jejak kaki pemilik kebun. Tidak lama kami sampai di perkampungan yang sudah dipenuhi deretan rumah-rumah penduduk. Jalanan semen selebar satu setengah meter membelah perkampungan. Saya ingat betul di sini dulunya hanya ada satu rumah yang didiami lelaki berkulit gelap bernama Sapri. Perawakannya kekar. Kebiasannya bertelanjang dada, terlihat garang ketika ia memakai tudung mirip yang dipakai jongos-jongos Kertanegara di film Multatuli. Celana pendek sedengkul, memakai sepatu boot karet hitam dengan golok terikat di pinggang. Dialah orang yang mengurus tanah milik Kadul Kasan. Setahu saya, orang akan takut bila berurusan dengannya. Dia begitu temperamental, sehingga acapkali bertengkar dengan lawan bicaranya, wanita maupun pria.

Berjalan di daerah yang masih banyak menyisakan pohon-pohon besar, udara yang jauh dari polusi terasa menyegarkan. Perjalanan pagi hari dengan maksud menemui mang Saad, kakek dari Teguh, teman saya, di rumahnya pun jadi terasa lebih dekat. Beliau tinggal di Kalimati sejak tahun 1946 dan ketika itu Kalimati masih dihuni oleh tiga keluarga, itupun letaknya di pinggir rumah sakit Misi. Tempatnya lebih menjorok ke dalam, tepat di belakang asrama perawat putri. Sambil ditemani anaknya, Sapri, yang ketika itu sedang sibuk memperbaiki kusen, kami berdua dipersilahkan masuk ke rumahnya. Tanpa basa-basi kami terlibat perbincangan tentang Kalimati. Dia pun mulai menjelaskan asal-usul Kalimati. Sambil menyalakan rokok kreteknya dia mulai membuka obrolan.

Awan mendung menyelimuti Kalimati

Awan mendung menyelimuti Kalimati.

“Dulu daerah ini disebut Pulo, karena letaknya yang dikelilingi aliran sungai Ciberang yang membentuk huruf “U”, membentang mulai dari bentengan, sekarang posisinya sudah tergerus sungai. Aliran sungai yang mengarah ke Kalimati (Pulo pada waktu itu), memanjang ke Leuwi Jamang membelok ke Kampung Jeruk, Muara, Kebon Kalapa sampai akhirnya bertemu dengan sungai Ciujung di pengaduan. Itu sekadar ingatan saya. Mungkin benar, mungkin salah,” ujarnya.

Menurut mang Saad, aliran sungai Ciberang dulunya arus kecil, lama kelamaan terus membesar, melebar, menyerang daratan, terutama yang terparah adalah Leuwi Jamang daerah pusat kota. Jika diperhatikan sungai menyerupai huruf U maka posisi Leuwi Jamang adalah di tengah atau di antara dua lengkungan dan di Leuwi Jamanglah permukaan air paling dalam. Sehingga bila terjadi banjir, arah aliran sungai itu akan deras menghantam daratan. Semakin besar sungai, semakin besar pula hantamannya.  Lewat Leuwi Jamang pula banjir mengobrak-abrik beberapa kampung seperti, Empang (kini pasar Rangkasbitung), gang Kibun (jalan menuju arah pasar pagi dari jalan multatuli), Kampung Sawah (kini rumah warga di depan kantor Polres Lebak) hingga pasar Rangkasbitung, dulu jadi korbannya. Jika saya melihat keadaan sekarang,  jauh sekali kemungkinannya daerah itu terkena banjir. Keberadaan daerah ini dinilai strategis oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai jalur transportasi sungai. Tetapi kuatnya arus sungai dinilai akan merusak jantung kota. Untuk menyelamatkan kota Rangkasbitung, terlebih dahulu harus menyelamatkan Leuwi Jamang (kini rumah makan Ramayana).

“Tidak tahu persis tahun berapa pemerintahan kolonial Belanda membuat bendungan, tapi yang jelas bendungan itu dibuat di seberang Leuwi Jamang, memanjang sampai rumah sakit Misi,” katanya.

Pemuda kalimati sedang menguliti biawak hasil tangkapan

Warga Kalimati sedang menguliti biawak hasil tangkapan.

Menurut mang Saad, panjang bendungan kurang-lebih 100m. di tengah percakapan, tiba-tiba Sapri ikut menimpali, “Kalau kamu gak percaya coba ukur, deh…Lebih jelasnya, coba tanya saja kelurahan,” ujarnya.

Obrolan berhenti. Saya menyimpulkan pengetahuan mang Saad sepertinya sampai di situ. Saya pun pulang dengan menyisakan banyak pertanyaan. Pekerjaan rumah pun jadi semakin menumpuk.

Keterkaitan tempat satu dengan tempat lainnya sangat erat. Kalimati masih jadi misteri besar bagi saya. Menemukan jejaknya kembali tentu agak sukar. Saya pun tak sabar ingin membicarakannya dengan kawan-kawan Saidjahforum. Dengan masih menyimpan rasa penasaran, besoknya saya ditemani Fuad dan Dableng, pergi ke lokasi di mana bendungan itu didirikan. Langit sangatlah mendung waktu itu. Tapi tak membuat kami harus mengurungkan niat untuk pergi ke lokasi. Sekitar seperempat jam, kami sampai di tujuan. Sepanjang perjalanan saya bercerita kepada Fuad dan Dableng, tempat ini dulunya sering  saya lalui ketika masih SMP. Tidak mengira jika kini menjadi permukiman padat. “Ini dulunya adalah bendungan,” kata saya pada mereka.

Sartubi (paling kanan) menunjuk ke arah bendungan kepada Dableng dan Helmi

Sartubi (paling kanan) menunjuk ke arah bendungan kepada Dableng dan Helmi.

Nampak beberapa ibu sedang ngerumpi, sesekali berbisik sambil menolehkan matanya ke arah kami, raut wajah sinis seolah curiga bahwa kami orang pemerintahan yang akan mengukur tanah (maklum daerah ini salah satu daerah yang akan digusur untuk dijadikan taman kota). Selanjutnya kami berjalan ke arah timur berbelok ke selatan menuju Leuwi Jamang. Dari kejauhan terlihat banyak tumbuh eceng gondok yang menghampar hijau menutupi rawa-rawa. Sambil berfoto, kami berhenti dekat MCK yang tidak terawat sama sekali. Menurut Sartubi (penjaga sarang burung walet milik koh Khohan, salah seorang warga Kalimati), pada tahun 1980an air rawa kondisinya masih jernih dan mayoritas penduduk  mandi di sini. Tidak seperti sekarang banyak eceng gondok. “Coba kamu perhatikan bangunan di seberang sana (Leuwi jamang),” kata Sartubi, “rumah makan Ramayana (rumah makan terkenal dulu hingga sekarang di Rangkasbitung) itu setahuku tempat bekas aliran sungai Ciberang dan tempat ini dulunya hanya ditinggali oleh tiga kepala keluarga saja.”

Awan mendung menyelimuti Kalimati

Awan mendung menyelimuti Kalimati.

Sore mengumpulkan awan hitam. Suasana Kalimati menjadi gelap. Dengan tergesa-gesa jalan dipercepat. Kami menyempatkan sebentar mengambil gambar di sepanjang jalan kampung dan pertigaan jalan yang dibatasi tugu patung Garuda Pancasila. Lalu kami bertiga terus bergegas meninggalkan utara Kalimati menuju arah rumah sakit Misi. Jalannya menanjak, posisinya lebih tinggi dari dataran rumah. Sekitar 40 m mendekati rumah sakit Misi, terlihat rawa-rawa di antara celah-celah rumah yang berjejer mengelilingi daerah ini, dan jalan ini mungkin pembatas perkampungan. Sebelah barat, rawa nampak seperti danau, airnya jernih. Sedangkan sebelah timur, Banyak ditumbuhi eceng gondok. Sampai di belakang rumah sakit Misi ada gang kecil menuju rawa (danau). Jalannya menurun, kami bertiga mengarah ke danau itu. Di antara semak belukar kami terus mengikuti jalan setapak sambil sesekali memperhatikan warga sekitar memancing. Tak terasa tetesan air hujan mulai membasahi kepala ini, lama kelamaan semakin besar. Hujan lebat pun tiba. Kami bertiga berlari berusaha mencari perlindungan dari guyuran air hujan. Akhirnya kami berteduh di saung Jagal Kerbau milik mang Tamilung. Di sini kami berkenalan dengan pemuda kampung Kalimati, Ape (29 tahun) dan Dede (30 tahun). Keduanya terlibat obrolan gagang cangkul yang terbuat dari pohon Jambu.

Tempat berteduh di saung jagal paska tersambar Petir

Tempat berteduh di saung jagal pasca-tersambar petir.

Cukup menyenangkan bicara dengan mereka. Bicaranya ngelantur kemana-mana, ceplas-ceplos, sering kali membuat kami bertiga tertawa ria. Kami pun tanya-tanya tentang pengalaman di Kalimati. Dia menceritakan kepada kami bahwa danau ini tempat pembuangan segala kotoran dari rumah sakit umum (Adjidarmo), selebihnya warga sekitar sini. Sedangkan yang sebelah timur adalah pembuangan kotoran dari rumah sakit Misi. Rumah-rumah penduduk yang berjejer dulunya adalah bendungan yang panjang, mulai rumah sakit Misi sampai ke selatan sana. Ada mitos soal hantu bayi di sini (kini letaknya di patung Garuda). Katanya, banyak bayi warga yang dikubur di samping tembok bendungan. Bendungan ini memisahkan rawa (danau) dengan rawa (eceng gondok). Selain itu Dia bicara banyak hal mulai keangkeran danau ini dengan segala mitos-mitosnya.

Tugu Garuda yang disinyalir tempat kuburan bayi-bayi di samping bendungan peninggalan Belanda

Patung Garuda yang disinyalir tempat kuburan bayi-bayi di samping bendungan peninggalan Belanda.

Jam lima lewat seperempat, hujan belum juga reda. Rokok kretek tinggal dua batang lagi, terlihat dari bungkus yang sudah kempes, agak menggoda memang untuk dihisap kembali, apalagi cuaca sangat dingin pikirku. Obrolan pun semakin jauh.  “Oh ya  kalau itu rumah tua dekat sungai Ciberang, milik siapa?” tanya Dableng. Kata Ape, penghuninya seorang wanita tua, umurnya mencapai 126 tahun, kemarin (tanggal 1 Februari 2009) baru meninggal, semasa hidupnya ia terkenal dengan keberanian dan kesaktiannya. Orang Kalimati, Pulo Sari, semuanya kenal dengan almarhum. Keasyikan ngobrol, tangan saya mulai iseng menarik ulur  golok yang tersangkut di pinggang Ape. Tiba-tiba dari belakang kami keluar percikan kilat disusul gelegar petir menyambar pohon kelapa tepat di belakang. Kamipun terperanjat dan langsung tiarap. Dableng dan Ade berhamburan mencari perlindungan, sandal yang saya kenakan terlempar lima meter jauhnya. Telingaku sakit sekali, kami merasa sudah mati disambar petir. Dengan sedikit gugup Dableng berkomentar, “Baru kali ini saya melihat kilat sangat dekat, sinarnya sampai menyilaukan mata, suaranya memekakkan telinga”. Fuad malah tertawa. “Ini belum seberapa Bleng,” ucapnya, “coba lihat di Gaza (Palestina), suara rudal Israel membombardir tiap jamnya.”

Rumah juru kunci Kalimati

Rumah juru kunci Kalimati.

Tak lama hujan mulai reda, dan kami pamit pulang sambil berlari-lari kecil masih trauma dengan sambaran petir. Kalimati, Pulo Sari, daerah peninggalan Belanda, lokasinya tersembunyi di antara perkampungan lainnya. Di balik kekumuhannya, ternyata Kalimati mempunyai jasa besar menyelamatkan Rangkasbitung dari terjangan sungai Ciberang. Bahkan atas jasanya ini, daerah ini bisa disejajarkan dengan nama Multatuli. Walaupun sejarah Kalimati belum sepenuhnya terungkap karena tidak adanya saksi sejarah. Kebanyakan dari penduduknya pun tidak mengetahuinya. Hanya juru kunci nenek yang baru meninggal itu harapan terakhir penelusuran kami. Akan tetapi paling tidak ada sedikit bayangan tentang daerah itu, yang dulu merupakan bendungan raksasa. Akhirnya cerita kecil Kalimati aku akhiri dengan sambaran petir.

About the author

Avatar

Helmi Darwan

Dilahirkan di Lebak, Banten pada tanggal 9 Juni 1976. Pria yang berwirausaha ini termasuk salah satu pendiri Saidjah Forum dan Perpustakaan Ramandha. Pria yang akrab disapa Mamz ini juga aktif dalam mengembangkan kegiatan sosial dan budaya masyarakat muda di Rangkasbitung.

8 Comments

  • Bagus sekali, baru kali ini ada sebuah sejarah yang belum tersingkap, tabir masa kolonial dan post kolonial yang kini berbeda. Salam dan sukses selalu, teruslah untuk bereksplorasi dan menceritakan banyak narasi, baik narasi kecil maupun narasi besar.

    Setiap teks yang kita baca memiliki makna , memiliki arti, mungkin bermakna bagi banyak orang atau minimal buat diri kita

  • ujang berkata, perjalanan cerita menarik, tapi bagaimana objektifitas warga sekarang melihat kalimati? (ex:pemerintah, mungkin karena ingin digusur)
    terlepas dari itu, saudara helmi tulisanmu kian menawan ya (yuyu)…
    bikin video eceng gondok yu?

  • saluuuut…..alur cerita lumayan skematis.pngambaran situasi jg bagus.tp,bhs sastra hrs lbh d pertajam..terus berkarya boooooooz!!!

  • helmi,’Hanya juru kunci nenek yang baru meninggal itu harapan terakhir penelusuran kami.’gue suka tuh kalimatnya. trus gimana dong kalau satu2nya jurukunci sudah tiada? menarik kan tapi gimana helmi, darling?

  • menarik memang memndengarkan sejarah dari seseorang yang memang benar mengalami
    pergulatan hidupnya dengan situs lokasi yang memang bersentuhan dengan jejak-jejak kolonialisasi,tapi sangat sungguh menawan orang yang mau merekam dan mentranskrip dengarannya kepada kita dalam bentuk ceita-cerita dengan barisan kata-kata yang membuat kita terperangah dan sadar bahwa kalimati adalah situs sejarah yang perlu diakui keberadaannya…
    terimakasih helmi atas energi yang kau bagi kepada kami…

Tinggalkan Balasan ke sijojon X

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.